Indrian Koto
http://www.suaramerdeka.com/
AKU tidak akan bertanya padamu apa artinya menunggu. Di tanahmu, orang-orang merayakan keberangkatan seperti mempercakapkan kematian. Lebih sederhana lagi, seperti membicarakan hujan yang jatuh tadi malam, membanjiri kebun atau sawah siapa. Dan kepulangan, kadang begitu ganjil di telinga.
Tanahmu, sepenuhnya milik perempuan. Milik ibu dan para dara. Laki-laki memilih pergi sebagai lambang lain yang tak perlu kuceritakan. Mereka merasa terhormat menjadi orang dagang, anak rantau. Mereka memilih tanah jauh sebagai halaman barunya. Mereka terlempar di pelabuhan, di tempat parkir, menjadi tukang becak, atau menghilang ke negeri seberang sebagai buruh kasar yang setiap waktu berhadapan dengan rongrongan orang-orang berseragam —tak hanya pada waktu malam, tetapi di setiap simpang jalan pun.
Kepergian mereka akan disusul dengan kepulangan yang sebentar. Pada hari-hari baik, mereka berkumpul, menggumamkan banyak cerita-cerita indah, melengkapi ritual pada hari raya. Ini cukup membuat orang-orang paham dan mendengar sedikit kisahnya. Tentang boat yang terbalik, mereka yang terdampar di pulau kosong hingga mencapai tanah harapan. Cerita akan berlanjut dengan bagian yang hampir sama, tetapi tentu dengan debar yang berbeda, tentang bagaimana mereka bisa menghindar dari kejaran polis, bersembunyi di tempat kerja, mengumpulkan uang seringgit demi seringgit. Selebihnya adalah keberhasilan demi keberhasilan. Kedatangan mereka yang seperti juru warta, mengabarkan tanah lain itu cukuplah membuat para lelaki remaja mempertimbangkan lagi niatnya, bertahan di rumah atau menyusul jejak mereka. Cerita-cerita tentang pelabuhan ramai, lampu-lampu yang berpijar sepanjang jalan, jalan-jalan lebar dan gampangnya meraup uang cukuplah membuat mereka tak bisa memejamkan mata.
Mereka selalu datang pada hari baik, bulan baik dan bergegas pergi setelahnya. Tidakkah sudah cukup bukti bagi mereka yang bertahan di kampung halaman? Motor-motor mereka mengaum di penjuru kampung, saling berkunjung ke kampung lain, pakaian mereka bersih, sedikit wangi, dompet tebal dan siap mentraktir siapa saja. Para dara dan perawan bergayut di bahu mereka, dibonceng sepanjang sore dan malam. Siapa pula yang ingin? Siapa yang tak merasa bangga dengan itu semua?
Dan kau Maria, siapakah sebenarnya yang sedang kautunggu kini —pada hari baik bulan baik ini? Siapakah yang menjanjikan?
”Semuanya sudah diatur, aku hanya melakukan apa yang menjadi tugasku. Ada atau tidak ada yang datang aku akan tetap menunggu. Itulah takdirku.”
Apa aku perlu menceritakan padamu lagi tentang perempuan yang menunggui lelakinya hingga berubah menjadi sebatang kelapa pada akhir penantiannya? Kau tentu masih ingat cerita itu, perempuan yang ditanggung sakit tak habis-habis. Sepertimu, dia menunggu laki-lakinya di sebuah pulau jauh. Sendirian. Hanya berkawan kesedihan dan air mata.
Aku ingat dulu, kau menunjuk hamparan pulau-pulau yang terbentang di sepanjang pesisir kita. Sore yang indah tentu saja, ketika kita beristirahat di bawah keteduhan pohon kelapa.
”Apakah di sana? Di sana atau di sana?” tanyamu sambil menunjuk hamparan pulau yang tampak kecil dari pesisir, tempat kita duduk.
Berjejer dari utara hingga selatan.
”Bukan, bukan Pulau Kiabak, bukan Pulau Babi, Bukan Pulau Awuah, Pulau Panyu atau Pulau Kasiak. Pulau jauh, yang tak terlihat dari pinggir ombak ini, ” kataku dulu.
Dan kini kalimat itu kuucapkan lagi padamu. Sebagaimana amsal, dia menunggu di pulau entah, sebaiknya kita percaya itu saja. Tentu bukan Mentawai, Pulau Rupat rantau yang dituju lelakinya. Kita lagi-lagi kalah dengan amsal, dia menyeberang ke pulau jauh, pulau yang tak tercatat di dalam peta. Bertahun-tahun dia menunggu laki-lakinya. Ia tak mendapat kabar apa pun, tak ada perahu yang ditambatkan, tak ada seseorang yang menjelang. Mungkin laki-lakinya telah berumah di pulau barunya, tetapi mungkin juga telah berumah di balik ombak. Bukanlah laut dalam tak akan mampu kita selam rahasia di dalamnya?
Dan dia, pada akhir usianya meminta pada yang kuasa, semoga dijadikan sesuatu yang berguna, agar lelakinya kelak tahu —jika pun dia pulang— ia perempuan yang setia. Maka, lihatlah, tidak ada yang tidak bermanfaat dari sebatang pohon nyiur bukan? Dari akar, batang sampai pucuknya. Kau akan lihat di batok setiap kelapa, wajahnya menjelma. Wajah perempuan yang setia dan tabah.
Dan kau tahu apa yang kusuka dari dongeng itu? Dia tidak pernah putus asa, dia tidak mesti menceburkan diri ke laut lepas, dia tidak mesti melompat ke dalam api. Tetapi, apakah nasib perempuan memang selalu sama? Menunggu dan tak luput dari cobaan?
Apakah pada akhir waktu juga kau akan menjelma menjadi sesuatu yang kelak juga dikenang banyak orang?
”Aku tak ingin dikenang. Aku hanya mengikuti takdirku. Takdir seorang perempuan.”
Ahai, siapakah sesungguhnya yang kau nanti, Maria?
Laki-laki manakah yang membuatmu begitu betah?
”Tak ada yang menjanjikan, tapi bukankah takdir perempuan hanyalah menunggu? Dulu memang ada yang akan datang, ada yang menjanjikan, sebagaimana kau tahu. Tapi demi tuhan, aku tak sedang menunggu dia, kini. Meskipun dia datang menjemputku, tapi aku merasa tak pernah ke mana-mana. Aku tahu dia nyaris bosan menjemput dan menjelangku.”
Baiklah, baik. Aku merasa paham apa yang kaupikirkan. Aku mulai membaca jalan pikiranmu. Sebenarnya berapa banyak waktu di tanah ini disediakan untuk perempuan untuk berdiri di ambang pintu untuk menunggu?
”Segalanya sudah diatur. Aku hanya menjalankan.”
Aha, kau ingat cerita tentang Batu Pencari Kutu? Batu yang terletak di Gunung Rajo (Raja) yang terdapat di pantai belakang pasar kecamatan? Dulu kita sempat ke sana, mencari-cari di mana gerangan batu itu tersembunyi. ”Jauh di balik ombak. Jika disengaja mencarinya, ia —batu itu— tak akan pernah nampak.” Begitu kita dengar omongan orang-orang ketika kita nyaris putus asa dan menghabiskan separo waktu kita di sana, memutari karang-karang yang menjulang, menyibak celah lorong karang, memastikan di mana gerangan letak Batu Pencari Kutu itu.
”Ceritakan, ceritakan muasalnya padaku,” katamu, setelah kita lelah dan bersandar di celah karang yang menjorok, melindungi kita dari matahari sore yang garang dan tempias laut yang nakal.
”Bukankah sudah seringkali?” kutatap matamu yang bening.
”Tapi aku ingin mendengar sekali lagi. Sekali lagi,” pintamu setengah merengek.
Dan kini, di depanmu kembali kuceritakan soal perempuan yang menunggu itu (ah, mengapa selalu perempuan? Mengapa selalu menunggu?). Mereka sekelompok perempuan yang menghabiskan sisa sore di bibir pantai, di antara karang dan lamun ombak. Sepanjang sore mereka duduk di sana, menunggu lelakinya kembali dari laut jauh. Ketika sore jatuh, laki-laki mereka tak jua pulang, tak ada kapal layar yang bersauh di muara, tak ada layar yang diturunkan, tak ada pendayung membelah laut, tak ada laki-laki hitam kekar, laki-laki beraroma garam menghampiri mereka. Sepanjang sore, sampai matahari padam di laut jauh, mereka berkerumunan di situ, berbagi cerita tentang laki-laki mereka. Laki-laki mereka yang berlayar di laut jauh, mungkin kali ini kapal mereka memang menuju Mentawai, Pulau Rupat, Siberut atau menelikung menuju Nias? Bukankah tidak ada yang boleh diketahui perempuan tentang pulau-pulau asing dan pelayaran di laut lepas?
Cerita-cerita yang sama, dengan hambar yang sama ketika lekakinya —sebagian tentu suami mereka— pergi. Dengan wajah bersemu, sebagian bertutur tentang percumbuan terakhir mereka malam itu, membuat ranjang dan rumah kayu mereka berderit, para perawan dengan wajah tak kalah tersipu menceritakan ciuman terakhir lelakinya di bawah pohon ketapang, dibalik pokok kelapa atau di balik sesemak kecil di pinggir pantai —mungkin juga di curam karang?
Berbagi dan menanti hanya itu yang selalu mereka lakukan, kini. Kapal kayu itu berangkat menantang ombak dan badai laut. Disusul kapal-kapal lainnya. Dan sejak itu —entah bagimana mulanya— sepanjang petang, Gunung Rajo dipenuhi para perempuan. Berkerumunan dan saling bertukar cerita. Sebagaian mereka datang dan pergi, mungkin saja lelakinya sudah benar-benar pulang, atau mungkin batas menanti dirasa sudah mesti diganti.
Tapi mereka, setengah lusin perempuan itu masih terus berkerumunan di situ. Mereka bersepakat akan selalu menanti —setidaknya— kabar laki-laki mereka. Menghabiskan waktu dengan saling mencari kutu, berderet di antara karang, yang jika dilihat dari laut terlihat semacam sususan tangga untuk naik rumah. Begitulah, sampai seseorang mengeluarkan kutuk —ah, mengapa berkah hanya untuk laki-laki saja— mengatakan mereka perempuan pemalas dan melulu mencari kutu. Laki-laki itu orang tua dari salah seorang perempuan yang menunggu. Sang ayah ingin menikahkan sang dara dengan laki-laki lain. Tapi sang dara bertahan menunggu laki-lakinya pulang. Sejak itu, entahlah, entah karena sumpah atau kesabaran mereka sudah melewati waktunya, mereka menjelma menjadi batu. Bersusun di atas karang, sampai hari ini.
”Kita tak bisa melihatnya. Ia tenggelam di celah karang dan air pasang. Laut dulu tak sebesar sekarang,” kataku menutup cerita waktu itu, semacam penghibur hati gundahmu.
Kau gemetar, meraih tanganku. Pun, aku, sama gemetarnya.
Sebelum senja menjelang kita buru-buru pulang. Berpisah di ujung kampung.
”Kita akan menjadi batu jika orang tuaku tahu,” katamu.
Malam itu kau dihukum karena telah pergi denganku. Seseorang telah membocorkan rahasia kita pada orang tuamu. Sebab, kau telah dijodohkan dengan seseorang yang merantau setahun lalu.
Sesungguhnya kau tak akan menjadi batu. Tak akan menjelma apa pun di ujung penantianmu. Kau menyimpan rapat rahasiamu, hingga tak ada celah bagi siapa pun untuk masuk mengetahuinya. Tetapi aku paham betul kesedihanmu, Maria. Aku tahu laki-laki yang kau tunggu itu. Aku, laki-laki masa remajamu inilah yang sedang kaunanti. Laki-laki yang kini duduk di hadapanmu setelah bertahun-tahun pergi.
Aku meninggalkanmu ketika itu, tanpa janji apa-apa. Kini pun, aku tak bisa berjanji apa-apa padamu, Maria. Hidup kita adalah lipatan-lipatan kisah yang berjudul sama, menunggu dan menunggu. Sejak aku memilih tanah lain sebagai rantau baru, aku tak akan menapak pintu siapa lagi di tanah ini. Pun di rantau nanti.
Padang-Yogyakarta, 2007
Wahyaning wahyu tumelung, tulus tan kena tinegor (wirid hidayat jati, R.Ng. Ronggowarsito)
Jumat, 20 Maret 2009
Langganan:
Posting Komentar (Atom)
A Rodhi Murtadho
A. Ginandjar Wiludjeng
A. Junianto
A. Kurnia
A. Qorib Hidayatullah
A. Yusrianto Elga
A.S Laksana
A’yat Khalili
Aang Fatihul Islam
Abdul Azis Sukarno
Abdul Aziz Rasjid
Abdul Hadi WM
Abdul Kadir Ibrahim
Abdul Malik
Abdul Razak
Abdul Rosyid
Abdul Wahab
Abdurrahman Wahid
Abu Salman
Acep Iwan Saidi
Acep Zamzam Noor
Adam Chiefni
Ade P. Nasution
Adhitia Armitriant
Adi Prasetyo
Adrizas
AF. Tuasikal
Afriza Hanifa
Afrizal Malna
Agama Para Bajingan
Agnes Rita Sulistyawaty
Aguk Irawan M.N.
Agus B. Harianto
Agus Buchori
Agus R. Sarjono
Agus R. Subagyo
Agus Sulton
Agus Sunyoto
Ahda Imran
Ahid Hidayat
Ahmad Baso
Ahmad Faishal
Ahmad Fatoni
Ahmad Hasan MS
Ahmad Kekal Hamdani
Ahmad Khotim Muzakka
Ahmad Muchlish Amrin
Ahmad Naufel
Ahmad Rofiq
Ahmad S. Zahari
Ahmad Syauqi Sumbawi
Ahmad Yulden Erwin
Ahmad Zaini
Ahmadun Yosi Herfanda
Ahsanu Nadia
Aini Aviena Violeta
Ainul Fiah
Ajip Rosidi
Akhiriyati Sundari
Akhmad Muhaimin Azzet
Akhmad Sekhu
Akhmad Sofyan Hadi
Akhmad Taufiq
Akhudiat
Akmal Nasery Basral
Alam Terkembang
Alang Khoiruddin
Alex R. Nainggolan
Alfian Dippahatang
Ali Audah
Ali Mahmudi CH
Ali Rif’an
Almania Rohmah
Ami Herman
Amien Wangsitalaja
Aminah
Aminullah HA.Noor
Amir Sutaarga
Anam Rahus
Anata Siregar
Andari Karina Anom
Andina Dwifatma
Andong Buku #3
Andre Mediansyah
Andri Awan
Anett Tapai
Anggie Melianna
Anindita S Thayf
Anis Ceha
Anjrah Lelono Broto
Anton Bae
Anton Kurnia
Anton Wahyudi
Anwar Nuris
Ardi Bramantyo
Ardus M Sawega
Arie MP Tamba
Arie Yani
Arief Joko Wicaksono
Arief Junianto
Ariera
Arif Bagus Prasetyo
Aris Kurniawan
Arman A.Z.
Arswendo Atmowiloto
Arti Bumi Intaran
AS Sumbawi
Asarpin
Asep Sambodja
Asmaul Fauziyah
Asti Musman
Atafras
Awalludin GD Mualif
Ayu Wulan Sari
Aziz Abdul Gofar
Azizah Hefni
Bagus Takwin
Bahrul Ulum A. Malik
Balada
Bale Aksara
Balok Sf
Bambang Kempling
Bamby Cahyadi
Bandung Mawardi
Beni Setia
Benny Arnas
Benny Benke
Beno Siang Pamungkas
Bentara Budaya Yogyakarta
Berita
Berita Duka
Berita Koran
Bernando J Sujibto
Berthold Damshauser
BI Purwantari
Binhad Nurrohmat
Bobby Gunawan
Bonari Nabonenar
Brunel University London
Budaya
Budi Darma
Budi P. Hatees
Budiman S. Hartoyo
Burhanuddin Bella
Camelia Mafaza
Catatan
Cerbung
Cerpen
Chairul Akhmad
Chamim Kohari
Chavchay Syaifullah
Cover Buku
Cucuk Espe
D. Zaini Ahmad
D. Zawawi Imron
Dadang Ari Murtono
Dahta Gautama
Daisuke Miyoshi
Damhuri Muhammad
Dami N. Toda
Damiri Mahmud
Danarto
Daniel Paranamesa
Danusantoso
Dareen Tatour
Darju Prasetya
David Kuncara
Denny Mizhar
Denza Perdana
Desi Sommalia Gustina
Desiana Medya A.L
Dewan Kesenian Lamongan (DKL)
Dewi Indah Sari
Dewi Susme
Dian Sukarno
Didik Harianto
Didik Kusbiantoro
Dina Jerphanion
Dina Oktaviani
Dinas Kebudayaan dan Pariwisata (Disbudpar) Jawa Timur
Dipo Handoko
Diyah Errita Damayanti
Djoko Pitono
Djoko Saryono
Doddy Wisnu Pribadi
Dody Kristianto
Dody Yan Masfa
Donny Anggoro
Donny Syofyan
Dorothea Rosa Herliany
Dr Junaidi SS MHum
Dwi Cipta
Dwi Fitria
Dwi Pranoto
Dwi Wiyana
Dyah Ratna Meta Novia
Dyah Sulistyorini
Ecep Heryadi
Eddy Pranata PNP
Edeng Syamsul Ma’arif
Eep Saefulloh Fatah
EH Kartanegara
Eka Budianta
Eka Kurniawan
Eko Hendrawan Sofyan
Eko Hendri Saiful
Eko Windarto
Elnisya Mahendra
Elva Lestary
Emha Ainun Nadjib
Emil WE
Endah Sulwesi
Endo Suanda
Eppril Wulaningtyas R
Esai
Evan Ys
F. Moses
F. Rahardi
Fadlillah Malin Sutan
Fahmi Faqih
Fahrudin Nasrulloh
Faisal Kamandobat
Fajar Kurnianto
Fanani Rahman
Fanny Chotimah
Fatah Anshori
Fatah Yasin Noor
Febby Fortinella Rusmoyo
Felix K. Nesi
Festival Sastra Gresik
Gabriel Garcia Marquez
Galang Ari P.
Galuh Tulus Utama
Gampang Prawoto
Gandra Gupta
Ganug Nugroho Adi
Gerson Poyk
Ghassan Kanafani
Gita Nuari
Gita Pratama
Goenawan Mohamad
Grathia Pitaloka
Gunoto Saparie
H.B. Jassin
Habibullah
Hadi Napster
Hadriani Pudjiarti
Halim HD
Halimi Zuhdy
Hamberan Syahbana
Han Gagas
Hanibal W. Y. Wijayanta
Hardi
Haris del Hakim
Haris Saputra
Harri Ash Shiddiqie
Hartono Harimurti
Hary B Kori’un
Hasan Aspahani
Hasan Junus
Hasif Amini
Hasnan Bachtiar
Hasta Indriyana
HE. Benyamine
Hendra Junaedi
Hendra Makmur
Heri CS
Heri Latief
Heri Listianto
Herman RN
Herry Lamongan
Heru CN
Heru Nugroho
Hikmat Gumelar
HL Renjis Magalah
Hudan Nur
Hujuala Rika Ayu
Huminca Sinaga
IBM. Dharma Palguna
Ibnu Wahyudi
Ida Farida
Idris Pasaribu
Ignas Kleden
Ignatius Haryanto
Iksan Basoeky
Ilham Khoiri
Imam Cahyono
Imam Muhtarom
Imam Nawawi
Imamuddin SA
Iman Budhi Santosa
Imron Rosyid
Imron Tohari
Indiar Manggara
Indra Intisa
Indra Tjahyadi
Indra Tranggono
Indrian Koto
Ira Puspitaningsih
Irfan Budiman
Isbedy Stiawan Z.S.
Iskandar Noe
Iskandar Zulkarnain
Ismail Marzuki
Iva Titin Shovia
Iwan Kurniawan
Jabbar Abdullah
Jafar Fakhrurozi
Jalan Raya Simo Sungelebak
Jamal D. Rahman
Jamal T. Suryanata
Javed Paul Syatha
Jayaning S.A
JILFest 2008
Jody Setiawan
Johan Edy Raharjo
Johannes Sugianto
Joko Pinurbo
Joko Sandur
Joni Ariadinata
Jual Buku
Jual Buku Paket Hemat
Juan Kromen
Julika Hasanah
Jurnalisme Sastrawi
Jusuf AN
Juwairiyah Mawardy
Ka’bati
Karanggeneng
Karya Lukisan: Andry Deblenk
Kasnadi
Keith Foulcher
Kemah Budaya Panturan (KBP)
Khansa Arifah Adila
Khoirul Inayah
Khoirul Rosyadi
Khudori Husnan
Ki Ompong Sudarsono
Kirana Kejora
Komplek Gor Kamantren Paciran Lamongan
Komunitas Deo Gratias
Komunitas Sastra Ilalang Indonesia
Korrie Layun Rampan
Kostela
Kritik Sastra
Kukuh S Wibowo
Kurnia Effendi
Kurniawan
Kuswaidi Syafi'ie
L.N. Idayanie
Laili Rahmawati
Lamongan
Lan Fang
Langgeng Widodo
Lathifa Akmaliyah
Leila S. Chudori
Lely Yuana
Lembaga Pengembangan Pembelajaran dan Penjaminan Mutu (LP3M) Universitas Jember
Liestyo Ambarwati Khohar
Lina Kelana
Linda Sarmili
Liza Wahyuninto
Lucia Idayanie
Lukman A Sya
Lutfiah
Lynglieastrid Isabellita
M Arman AZ
M Ismail
M Thobroni
M. Afifuddin
M. Arwan Hamidi
M. Lukluk Atsmara Anjaina
M. Lutfi
M. Luthfi Aziz
M. Nurdin
M. Yoesoef
M.D. Atmaja
M.S. Nugroho
Mahendra Cipta
Mahmud Jauhari Ali
Mahmud Syaltut Usfa
Mahmudi Arif Dahlan
Malam Apresiasi Seni Tanahmerah Ponorogo
Malkan Junaidi
Maman S. Mahayana
Mardi Luhung
Marhalim Zaini
Martin Aleida
Maruli Tobing
Mas Ruscita
Mashuri
Masuki M. Astro
Matroni
Matroni Muserang
Media: Crayon on Paper
Membongkar Mitos Kesusastraan Indonesia
MG. Sungatno
Mh Zaelani Tammaka
Mia Arista
Mia El Zahra
Mikael Johani
Misbahus Surur
Misran
Mohamad Ali Hisyam
Mohammad Eri Irawan
Much. Khoiri
Muh. Muhlisin
Muhammad Al-Fayyadl
Muhammad Amin
Muhammad Aris
Muhammad Muhibbuddin
Muhammad Rain
Muhammad Taufiqurrohman
Muhammad Yasir
Muhammad Zuriat Fadil
Muhammadun
Muhammadun AS
Muhidin M Dahlan
Mujtahid
Mujtahidin Billah
Mukti Sutarman Espe
Mulyadi SA
Mulyosari Banyuurip Ujungpangkah Gresik
Munawir Aziz
Musfarayani
Musfi Efrizal
Nafisatul Husniah
Nandang Darana
Naskah Teater
Nelson Alwi
Ni Made Purnamasari
Nikmatus Sholikhah
Nina Herlina Lubis
Nina Susilo
Ning Elia
Noor H. Dee
Noval Jubbek
Novel-novel berbahasa Jawa
Novelet
Nunuy Nurhayati
Nur Azizah
Nur Hamzah
Nur Kholiq
Nurdin Kalim
Nurel Javissyarqi
Nurul Aini
Nurul Anam
Nurul Komariyah
Nuryana Asmaudi SA
Nyoman Tusthi Eddy
Obrolan
Okty Budiati
Orasi Budaya Akhir Tahun 2018
Otto Sukatno CR
Oyos Saroso H.N.
Pagan Press
Pagelaran Musim Tandur
Palupi Panca Astuti
Parimono V / 40 Plandi Jombang
Pawang Surya Kencana
PDS H.B. Jassin
Petrus Nandi
Politik
Politik Sastra
Pradana Boy ZTF
Pramoedya Ananta Toer
Pramono
Pringadi AS
Prof Dr Fabiola D. Kurnia
Prosa
Puisi
Puji Santosa
Puji Tyasari
Puput Amiranti N
Purnawan Andra
Purnawan Kristanto
Pusat Dokumentasi Sastra H.B. Jassin
Pustaka Ilalang Group
PUstaka puJAngga
Putu Wijaya
Qaris Tajudin
R. Ng. Ronggowarsito
Rachmad Djoko Pradopo
Radhar Panca Dahana
Rahmat Kemat Hidayatullah
Rahmat Sularso Nh
Rakai Lukman
Rakhmat Giryadi
Rasanrasan Boengaketji
Raudal Tanjung Banua
Redland Movie
Reiny Dwinanda
Resensi
Rialita Fithra Asmara
Ribut Wijoto
Riki Dhamparan Putra
Riki Utomi
Ririe Rengganis
Risang Anom Pujayanto
Riyon Fidwar
Robin Al Kautsar
Robin Dos Santos Soares
Rodli TL
Rofiqi Hasan
Roso Titi Sarkoro
Rozi Kembara
Rukardi
Rumah Budaya Pantura (RBP)
Rusmanadi
S Yoga
S. Jai
S.W. Teofani
Sabrank Suparno
Sahaya Santayana
Saiful Amin Ghofur
Saiful Anam
Sainul Hermawan
Sajak
Salamet Wahedi
Salman S. Yoga
Samsudin Adlawi
Samsul Anam
Sanggar Lukis Alam
Sanggar Pasir
Sanggar Rumah Ilalang KSII
Santi Puji Rahayu
Sapardi Djoko Damono
Saroni Asikin
Sartika Dian Nuraini
Sastra dan Kuasa Simbolik
Sastra Jawa Timur
Satmoko Budi Santoso
Saut Situmorang
Sayyid Fahmi Alathas
SelaSastra #24 di Boenga Ketjil Jombang
SelaSastra Boenga Ketjil
SelaSastra Boenga Ketjil #33
Seno Gumira Ajidarma
Seno Joko Suyono
Sergi Sutanto
Setia Naka Andrian
Shiny.ane el’poesya
Sholihul Huda
Sigit Susanto
Sihar Ramses Simatupang
Sinopsis
Siti Khoeriyah
Siti Muyassarotul Hafidzoh
Siti Sa’adah
Siwi Dwi Saputra
Siwi Dwi Saputro
Sjifa Amori
Slamet Rahardjo Rais
Soegiharto
Sofyan RH. Zaid
Soni Farid Maulana
Sony Prasetyotomo
Sosiawan Leak
Spectrum Center Press
Sri Weni
Sri Wintala Achmad
Suci Ayu Latifah
Sucipto Hadi Purnomo
Sudirman
Sugi Lanus
Sukron Ma’mun
Sulaiman Djaya
Sunaryono Basuki Ks
Sungatno
Sungging Raga
Sunlie Thomas Alexander
Sunu Wasono
Supriyadi
Surya Lesmana
Suryanto Sastroatmodjo
Susianna
Sutardji Calzoum Bachri
Sutejo
Suyanto
Syaf Anton Wr
Syaifuddin Gani
Syaiful Amin
Syarif Wadja Bae
Sylvianita Widyawati
TanahmeraH ArtSpace
Tarmuzie (1961-2019)
Taufiq Ismail
Taufiq Wr. Hidayat
Teguh Presetyo
Teguh Setiawan
Teguh Winarsho AS
Temu Penyair Timur Jawa
Tengsoe Tjahjono
Tia Setiadi
Tirto Suwondo
Tita Tjindarbumi
Tjahjono Widarmanto
Tjahjono Widijanto
Toko Buku Murah PUstaka puJAngga Lamongan
Tosa Poetra
Tri Nurdianingsih
Triyanto Triwikromo
TS Pinang
Tu-ngang Iskandar
Tulus S
Ulul Azmiyati
Umar Fauzi
Umar Fauzi Ballah
Umar Kayam
Umbu Landu Paranggi
Universitas Indonesia
Universitas Jember
Usman Arrumy
Utari Tri Prestianti
Viddy AD Daery
Virdika Rizky Utama
W Haryanto
W.S. Rendra
Wahyu Prasetya
Wan Anwar
Wawan Eko Yulianto
Wawancara
Wina Bojonegoro
Wita Lestari
Wong Wing King
Wowok Hesti Prabowo
Xu Xi (Sussy Komala)
Y. Thendra BP
Y. Wibowo
Yanusa Nugroho
Yasraf Amir Piliang
Yayat R. Cipasang
Yohanes Sehandi
Yona Primadesi
Yopi Setia Umbara
Yudhi Herwibowo
Yudi Latif
Yusri Fajar
Yusuf Ariel Hakim
Yuval Noah Harari
Zacky Khairul Uman
Zainuddin Sugendal
Zamakhsyari Abrar
Zawawi Se
Zed Abidien
Zehan Zareez
Zhaenal Fanani
Zubaidi Khan
Zuniest
Tidak ada komentar:
Posting Komentar