Imam Muhtarom
http://entertainmen.suaramerdeka.com/
KAMI turunkan genteng sepanjang siang yang terik setelah jendela, pintu, beserta jeruji-jeruji kami lepaskan dari tembok rumah yang dibangun kakek-nenek kami 90 tahun yang lalu. Kami memutuskan untuk membongkar rumah warisan itu dan menggantinya dengan yang baru. Kami akan mengubahnya dengan gaya "spanyol" yang lagi mewabah di daerah kami. Rumah dengan satu pintu di bagian depan, kaca hitam tanpa kerai kaca di sebelah kiri, dan dinding sebelah kanan akan dilekatkan keramik mengilat dengan bagian atasnya terdapat angin-angin dari kaca hitam. Di serambi akan kami pancangkan dua tiang dari beton berhias ukiran khas Jepara dan lantainya tentu dengan keramik mengilat. Rumah itu tidak membesar tetapi memanjang ke belakang dengan satu kamar utama di samping ruang tamu dan dua kamar tidur bersebelahan dengan ruang peristirahatan keluarga. Kami bayangkan tersedia satu televisi berukuran 21 inci dan satu perangkat lengkap elektronik untuk mendengarkan musik. Di bagian belakang akan dibangun sebuah dapur model terbaru dengan lemari kayu terpasang menempel di tembok dan di bagian bawah lemari itu dipasang plester tertutup keramik seukuran telapak tangan berwarna putih. Sementara di samping dapur, tepat di kanannya, akan dipisahkan oleh tembok sebagai sebuah ruangan garasi. Di sebelahnya akan ada sebuah kamar mandi dengan lantai keramik berukuran kecil berwarna biru dan satu bola lampu berkekuatan 70 watt. Dan kami akan mengecat tembok bersemen tersebut dengan cat putih buatan pabrik dan bukan dari kapur. Menutupinya dengan genteng bercat merah yang kalau tertimpa cahaya matahari akan memantulkan kilatan-kilatan yang menyilaukan. Mungkin rumah kami ini nantinya menyerupai makhluk baru dan siapa pun yang pernah datang ke rumah kami pasti akan tercengang dan apabila memasukinya akan merasakan seperti berada di sebuah pesawat luar angkasa dengan antena televisi menjulang ke atas seakan ingin menusuk langit.
Kami tiga bersaudara telah sepakat mengganti rumah itu bukan semata mengikuti gaya terakhir bentuk rumah di daerah kami, tetapi kami sengaja untuk menghilangkan segala peninggalan kakek-nenek kami. Jauh-jauh hari telah kami undang penebang bergergaji mesin untuk memangkas sepuluh batang pohon kelapa yang barangkali usianya lebih tua dari kami. Popon-pohon itu tinggi sekitar 75 meter dan kala tertiup angin akan meliuk-liuk seakan memanggil cerita-cerita yang kami dengar dari bapak-ibu kami, saudara-saudara ibu kami, dan tetangga-tetangga kami. Dan kami juga melihat album foto keluarga tentang rumah itu kala tahun 1967. Kami selalu merasa tidak pernah berada di tahun 2006 ketika mengingat dan membuka album keluarga itu. Ada bayangan hitam yang selalu membuat kami ingin membakar rumah beserta tanah sekitar satu hektar itu. Membakarnya dan menggantikannya dengan sebuah gedung bertingkat 70 lantai. Tapi itu mustahil. Kami hanya biasa menggantinya dengan rumah bergaya "spanyol" dan memangkas semua pohon kelapa di halaman dan menggantikannya dengan sebuah taman dan di situ berdiri sepuluh pohon cemara. Pohon dengan daun-daun bergerigi dan lancip yang akan mengingatkan kami bahwa kami hidup pada tahun 2006 dan bukan berada di tahun 1967.
Memang kakek-nenek kami tidak langsung membangun rumah yang sedang kami bongkar ini dengan tembok seperti yang terlihat sekarang, tetapi bertahap. Pertama kalinya dibangun dengan menjejakkan kayu yang ditebang dari hutan entah di mana dan menutupinya dengan anyaman bambu, memberinya daun pintu dari kayu jati dan jendela dengan terali dari kayu yang dipasak dan diatapi genteng yang dibeli dari tetangga desa. Setiap pasak dari kayu yang dijejakkan, diberi landasan batu kali yang diambil dari Sungai Ewuh di sebelah timur rumah. Pertama kali membangun rumah itu sekitar tahun 1930-an sebelum Jepang masuk dengan senjata berbayonet dan merampok padi-padi dan memaksa orang-orang makan dari ubi kayu dan sayur hati pohon pisang. Kami tidak tahu bagaimana rasa makanan seperti itu. Tapi menurut bapak kala itu makanan seperti itu nikmat sekali.
Tahap kedua rumah itu dibangun pada tahun 1957. Ibu pernah bercerita pemugaran rumah tersebut atas usul kakek kami sebelum dua tahun kemudian meninggal yang menurut ibu terserang sesak nafas. Rumah itu dibedah bagian tengahnya dan menguatkan pondasi dari batu kali dengan beton campuran pasir sungai, pasir batu merah, dan kapur putih. Lantas di atasnya batu-bata disusun membujur dan bukan melintang sebagaimana tembok sekarang. Tembok rumah kakek-nenek kami tersebut tebal dan tampak sangat kuat. Daun pintu dan jendelanya terbuat dari kayu jati yang sudah sangat tua dan ketebalannya 5 cm. Sementara bagian depan dibiarkan tetap berdinding anyaman bambu dan bagian dinding depannya tersusun dari bilahan-bilahan kayu jati. Rumah nenek kami tidak membujur ke belakang melainkan berbentuk serupa huruf L dengan bagian bangunan depan sebagai kakinya.
Rumah itu besar dan, sebagaimana terlihat sekarang, satu-satunya yang terbesar di antara rumah-rumah yang ada. Rumah tembok dengan warna putih dari batu kapur yang setiap tahunnya selalu dikapur, tepatnya hari raya lebaran. Setiap dikapur mendadak rumah itu tampak bangun dari tidur panjangnya, berganti dengan pakaian baru, dan siap menyambut siapa saja. Seolah hanya pada hari raya rumah kami bergembira dan menghadapi apa pun dengan kesukaan ria tersendiri yang tidak akan ditemukan kecuali pada hari raya itu. Kadang di depannya akan dipasang daun kelapa yang masih muda berjuntaian seolah tangan yang melambai-lambai kepada setiap orang yang lewat. Mungkin berkata, "Hei kemarilah. Aku bahagia kau datang. Aku sedang tidak ada masalah hari ini."
Demikian juga penghuninya. Pada hari raya itu semuanya, kami beserta bapak ibu kami, adalah manusia baru. Kami saling melihat di antara kami seolah kami adalah orang baru dan tidak teringat apa yang terjadi kemarin, kemarin, dan kemarinnya. Kami memakai baju baru meskipun tidak yang terbagus yang dijual di daerah kami. Sandal baru. Celana baru. Dan makanan-makanan baru berwarna-warni. Sering kami, ketika tidak hari raya, selalu berharap setiap bangun dari tidur adalah makanan yang baru tersedia, tersenyum-senyum, dan tidak bertemu orang-orang terkutuk yang selalu datang dengan wajah muram dan seolah hendak memakan kami seketika itu juga.
Ya, sewaktu kami berusia sekitar dua belas tahun rumah kami sering didatangi orang-orang yang meneror kami sekalipun mereka adalah keluarga dari ibu. Sebab mereka datang dengan begitu saja dan meminta pada ibu apa saja dan harus tersedia pada hari itu. Jika tidak, ibu kami akan dibentak-bentak dan jika tidak diberi juga apa yang diminta ibu kami akan digampar seolah ibu kami bukan manusia. Kami tak tahu apa yang dibenak orang itu. Orang itu biasa kami sebut Pak Min jika kami dengan terpaksa bertemu dengannya di depan rumah atau di jalan sebagai tanda hormat di mata orang-orang yang ada di sekitar kami: bahwa kami masih menghormati saudara ibu. Atau, sebenarnya ketakutan akan digampar juga?
Sebelum nenek kami meninggal, nenek kamilah yang menjadi sasaran. Kerap kali nenek dibentak-bentak oleh Pak Min dan entah karena takut terus-menerus dibentak anak laki-lakinya atau karena alasan lain nenek biasanya mengambil uang simpanannya atau perhiasannya dan begitu saja mengulurkannya pada si anak. Setelah itu, si anak, tanpa satu kata pun, beranjak dari tempatnya duduk dan langsung berjalan menuju sepeda di halaman dan mengayuhnya entah ke mana. Nenek kami lihat hanya menghela nafas dan berusaha tersenyum pada kami seraya mengajak kami ke luar rumah membersihkan rumput-rumput yang mulai tumbuh di seantero halaman depan. Nenek selama membersihkan rumput-rumput tak satu kali pun bersuara dan hanya tangannya yang cekatan dan kuat mencerabut cengkeraman akar-akar rumput di tanah halaman rumah. Kemudian mengumpulkannya di sebelah barat rumah dan membakarnya bersama-sama dengan daun pisang dan rambutan yang sudah mengering. Di mata kami selama pembakaran rumput nenek sangat khidmat seolah nenek sedang membakar kemarahannya sendiri atas perilaku anak lelakinya.
Tapi di dalam hati kami tidak menyebutnya Pak Min tetapi sang Pembelih. Sang Pembelih karena ia algojo orang-orang di daerah kami ketika prahara 1965. Menurut saudara Ibu, pada suatu malam sang Pembelih itu didatangi beberapa orang yang menggunakan penutup kepala hitam dan hanya dua biji matanya yang tampak serta sekujur badannya tertutup oleh pakaian hitam. Tak tahu bagaimana jalan pikirannya, sang Pembelih itu dengan senang hati ikut mereka. Sang Pembelih itu turun dari rumah dan berjalan di kegelapan malam dan menuju ke jalan menuju ke utara. Ibunya, nenek kami, menangis sewaktu sang Pembelih itu ikut sekalipun nenek kami telah berusaha mencegahnya. Ia tergulung-gulung di lantai disaksikan keempat anak perempuannya yang masih kecil-kecil menggigil di sudut rumah. Kakek kami saat itu telah mati dan nenek kami menjadi bulan-bulanan anak-anak lelakinya, terutama sang Pembelih.
Begitulah dalam bulan-bulan di paruh kedua tahun 1960-an sang Pembelih merajalela. Banyak orang yang dibunuh oleh sang Pembelih. Nenek kami mendengar kabar perilaku anaknya hanya tercenung dan sulit sekali diajak bicara. Nenek kami menjadi jarang di rumah dan suka sekali ke luar rumah malam-malam entah ke mana. Kadang dua hari tidak pulang dan pulang dengan baju lusuh dan bau tak sedap menguap dari badannya. Setiap ibu kami atau saudara perempuan lainnya mengatakan kebutuhan dapur telah habis, nenek akan diam atau berteriak, "Kalau ingin makan cari sendiri, kalau tidak mati saja sekalian!" Maka, ibu kami yang masih kecil bersama ketiga saudara perempuannya mencari kebutuhan dapur dengan cara pergi ke pinggiran Sungai Ewuh untuk mencari cabai dan sayur-sayuran yang tumbuh dengan sendirinya sebab sawah telah terbengkelai. Kalau tidak mencukupi sebab seharian tidak mendapatkan apa yang mereka butuhkan, biasanya mereka meminta kepada tetangga-tetangga sebelah. Sementara kedua saudaranya laki-laki semakin jarang pulang dan jika pulang hanya sekejap dan itu pun akan membawa barang-barang untuk digadai atau dijual semenjak nenek kami sulit sekali diajak bicara dengan enak tanpa ledakan-ledakan amarah. Ibu kami akhirnya putus dari sekolah menengah pertama karena sepeda yang dipakainya untuk mencapai sekolah selama dua jam perjalanan dibawa kabur dan tidak pernah kembali. Ibu kami hanya bisa menangis.
Ya, Ibu hanya bisa menangis. Menangis sebagaimana ia dipukul oleh sang Pembelih itu. Kami hanya diam dan diam-diam semenjak kami masih kecil hati kami mengeras kepada sang Pembelih itu. Sang Pembelih yang memang tak lagi menyembelih tetapi sang Pembelih itu tidak tahan ketika sangat lama tidak mendengarkan suara-saura sayatan sebagaimana ia dengar terus-menerus pada prahara 1965-an. Suara sayatan akibat parangnya itu telah meresap ke sanubarinya dan tertanam dalam dan bahkan berumah di sana. Setiap kali suara sayatan yang setiap malam terdengar di tahun-tahun paruh kedua tahun 1960-an itu berkelebat di tahun 1980-an maka sang Pembelih itu kelimpungan. Ia akan membanting apa pun sampai suara-suara itu meredam sayatan yang menggejolak dalam sanubarinya. Kalau membanting tidak cukup meredam suara sayatan itu, ia akan datang menemui istri atau anak-anaknya, dan kalau tidak ada maka ia akan ke tempat saudaranya, terutama saudara perempuannya. Dan sang Pembelih itu akan suka sekali mendengar suara saudaranya mengerang kesakitan.
Ah, dada kami seperti hendak memecah. Tapi Ibu kami mengatakan pada kami untuk tidak melakukan apa pun pada sang Pembelih itu atas semua yang telah dilakukannya kepadanya. Ibu mengatakan bahwa kami harus memberhentikan serangkaian dendam itu dan mengakhirinya, syukur kalau bisa memotongnya. Kami tak tahu apa yang sesungguhnya berada di dalam benak Ibu kami ketika Ibu kami mengatakan pada kami ketika ia membujur di ruang tengah rumah dengan wajah memandang jauh ke atas. Senja baru menyemburat ke langit. Burung-burung terbang di angkasa. Daun-daun pohon kelapa tampak kekuningan di pucuk-pucuknya. Nafas Ibu tersengal sebentar kemudian diam selamanya.
Pada saat itu Ibu adalah orang terakhir yang hidup di antara saudara-saudaranya yang lain. Ibu tidak memberikan apa-apa kepada kami kecuali harapannya kepada kami untuk hidup berdamai. Ya, kami bisa memaafkan kepada keluarga sang Pembelih yang membuat Ibu kami tersiksa sepanjang hidupnya. Kami hanya tak tahan apabila kenangan rumah itu menguat dan mulai mengganggu mimpi-mimpi kami lalu merambat di antara pikiran-pikiran kami seperti percikan api di musim kemarau. Kami bukan takut pada bayangan-bayangan itu, tetapi kami takut kami tidak bisa mengendalikan tindakan kami ketika dalam kami muncul bayangan sang Pembelih. Mungkin kami diam atau mungkin kami mengambil apa pun dan mengayunkannya kepada siapa pun yang berada di dekat kami.
Kami tak mau bayangan-bayangan itu muncul lagi dan kami telah sepakat di antara saudara kami untuk membongkar rumah kami yang usianya hampir seratus tahun itu dan menggantinya dengan rumah baru bergaya "spanyol". Kami tak tahu apa yang terjadi pada pikiran-pikiran kami setelah rumah baru tersebut selesai dibangun. Mungkin kami akan kehilangan semua masa lampau kami sebab semua perangkat rumah baru kami nanti tak satupun berasal dari warisan kakek-nenek kami dan bapak-Ibu kami. Kami akan membeli semua peralatan rumah dan menatanya dengan cara terbaru sehingga akan terbentuk suasana yang tak pernah kami rasakan sebelumnya dan tak pernah orang pikirkan. Kami akan berada di sebuah situs baru dan kami akan membuat masa lampau-masa lampau yang baru lagi.
2006
Wahyaning wahyu tumelung, tulus tan kena tinegor (wirid hidayat jati, R.Ng. Ronggowarsito)
Langganan:
Posting Komentar (Atom)
A Rodhi Murtadho
A. Ginandjar Wiludjeng
A. Junianto
A. Kurnia
A. Qorib Hidayatullah
A. Yusrianto Elga
A.S Laksana
A’yat Khalili
Aang Fatihul Islam
Abdul Azis Sukarno
Abdul Aziz Rasjid
Abdul Hadi WM
Abdul Kadir Ibrahim
Abdul Malik
Abdul Razak
Abdul Rosyid
Abdul Wahab
Abdurrahman Wahid
Abu Salman
Acep Iwan Saidi
Acep Zamzam Noor
Adam Chiefni
Ade P. Nasution
Adhitia Armitriant
Adi Prasetyo
Adrizas
AF. Tuasikal
Afriza Hanifa
Afrizal Malna
Agama Para Bajingan
Agnes Rita Sulistyawaty
Aguk Irawan M.N.
Agus B. Harianto
Agus Buchori
Agus R. Sarjono
Agus R. Subagyo
Agus Sulton
Agus Sunyoto
Ahda Imran
Ahid Hidayat
Ahmad Baso
Ahmad Faishal
Ahmad Fatoni
Ahmad Hasan MS
Ahmad Kekal Hamdani
Ahmad Khotim Muzakka
Ahmad Muchlish Amrin
Ahmad Naufel
Ahmad Rofiq
Ahmad S. Zahari
Ahmad Syauqi Sumbawi
Ahmad Yulden Erwin
Ahmad Zaini
Ahmadun Yosi Herfanda
Ahsanu Nadia
Aini Aviena Violeta
Ainul Fiah
Ajip Rosidi
Akhiriyati Sundari
Akhmad Muhaimin Azzet
Akhmad Sekhu
Akhmad Sofyan Hadi
Akhmad Taufiq
Akhudiat
Akmal Nasery Basral
Alam Terkembang
Alang Khoiruddin
Alex R. Nainggolan
Alfian Dippahatang
Ali Audah
Ali Mahmudi CH
Ali Rif’an
Almania Rohmah
Ami Herman
Amien Wangsitalaja
Aminah
Aminullah HA.Noor
Amir Sutaarga
Anam Rahus
Anata Siregar
Andari Karina Anom
Andina Dwifatma
Andong Buku #3
Andre Mediansyah
Andri Awan
Anett Tapai
Anggie Melianna
Anindita S Thayf
Anis Ceha
Anjrah Lelono Broto
Anton Bae
Anton Kurnia
Anton Wahyudi
Anwar Nuris
Ardi Bramantyo
Ardus M Sawega
Arie MP Tamba
Arie Yani
Arief Joko Wicaksono
Arief Junianto
Ariera
Arif Bagus Prasetyo
Aris Kurniawan
Arman A.Z.
Arswendo Atmowiloto
Arti Bumi Intaran
AS Sumbawi
Asarpin
Asep Sambodja
Asmaul Fauziyah
Asti Musman
Atafras
Awalludin GD Mualif
Ayu Wulan Sari
Aziz Abdul Gofar
Azizah Hefni
Bagus Takwin
Bahrul Ulum A. Malik
Balada
Bale Aksara
Balok Sf
Bambang Kempling
Bamby Cahyadi
Bandung Mawardi
Beni Setia
Benny Arnas
Benny Benke
Beno Siang Pamungkas
Bentara Budaya Yogyakarta
Berita
Berita Duka
Berita Koran
Bernando J Sujibto
Berthold Damshauser
BI Purwantari
Binhad Nurrohmat
Bobby Gunawan
Bonari Nabonenar
Brunel University London
Budaya
Budi Darma
Budi P. Hatees
Budiman S. Hartoyo
Burhanuddin Bella
Camelia Mafaza
Catatan
Cerbung
Cerpen
Chairul Akhmad
Chamim Kohari
Chavchay Syaifullah
Cover Buku
Cucuk Espe
D. Zaini Ahmad
D. Zawawi Imron
Dadang Ari Murtono
Dahta Gautama
Daisuke Miyoshi
Damhuri Muhammad
Dami N. Toda
Damiri Mahmud
Danarto
Daniel Paranamesa
Danusantoso
Dareen Tatour
Darju Prasetya
David Kuncara
Denny Mizhar
Denza Perdana
Desi Sommalia Gustina
Desiana Medya A.L
Dewan Kesenian Lamongan (DKL)
Dewi Indah Sari
Dewi Susme
Dian Sukarno
Didik Harianto
Didik Kusbiantoro
Dina Jerphanion
Dina Oktaviani
Dinas Kebudayaan dan Pariwisata (Disbudpar) Jawa Timur
Dipo Handoko
Diyah Errita Damayanti
Djoko Pitono
Djoko Saryono
Doddy Wisnu Pribadi
Dody Kristianto
Dody Yan Masfa
Donny Anggoro
Donny Syofyan
Dorothea Rosa Herliany
Dr Junaidi SS MHum
Dwi Cipta
Dwi Fitria
Dwi Pranoto
Dwi Wiyana
Dyah Ratna Meta Novia
Dyah Sulistyorini
Ecep Heryadi
Eddy Pranata PNP
Edeng Syamsul Ma’arif
Eep Saefulloh Fatah
EH Kartanegara
Eka Budianta
Eka Kurniawan
Eko Hendrawan Sofyan
Eko Hendri Saiful
Eko Windarto
Elnisya Mahendra
Elva Lestary
Emha Ainun Nadjib
Emil WE
Endah Sulwesi
Endo Suanda
Eppril Wulaningtyas R
Esai
Evan Ys
F. Moses
F. Rahardi
Fadlillah Malin Sutan
Fahmi Faqih
Fahrudin Nasrulloh
Faisal Kamandobat
Fajar Kurnianto
Fanani Rahman
Fanny Chotimah
Fatah Anshori
Fatah Yasin Noor
Febby Fortinella Rusmoyo
Felix K. Nesi
Festival Sastra Gresik
Gabriel Garcia Marquez
Galang Ari P.
Galuh Tulus Utama
Gampang Prawoto
Gandra Gupta
Ganug Nugroho Adi
Gerson Poyk
Ghassan Kanafani
Gita Nuari
Gita Pratama
Goenawan Mohamad
Grathia Pitaloka
Gunoto Saparie
H.B. Jassin
Habibullah
Hadi Napster
Hadriani Pudjiarti
Halim HD
Halimi Zuhdy
Hamberan Syahbana
Han Gagas
Hanibal W. Y. Wijayanta
Hardi
Haris del Hakim
Haris Saputra
Harri Ash Shiddiqie
Hartono Harimurti
Hary B Kori’un
Hasan Aspahani
Hasan Junus
Hasif Amini
Hasnan Bachtiar
Hasta Indriyana
HE. Benyamine
Hendra Junaedi
Hendra Makmur
Heri CS
Heri Latief
Heri Listianto
Herman RN
Herry Lamongan
Heru CN
Heru Nugroho
Hikmat Gumelar
HL Renjis Magalah
Hudan Nur
Hujuala Rika Ayu
Huminca Sinaga
IBM. Dharma Palguna
Ibnu Wahyudi
Ida Farida
Idris Pasaribu
Ignas Kleden
Ignatius Haryanto
Iksan Basoeky
Ilham Khoiri
Imam Cahyono
Imam Muhtarom
Imam Nawawi
Imamuddin SA
Iman Budhi Santosa
Imron Rosyid
Imron Tohari
Indiar Manggara
Indra Intisa
Indra Tjahyadi
Indra Tranggono
Indrian Koto
Ira Puspitaningsih
Irfan Budiman
Isbedy Stiawan Z.S.
Iskandar Noe
Iskandar Zulkarnain
Ismail Marzuki
Iva Titin Shovia
Iwan Kurniawan
Jabbar Abdullah
Jafar Fakhrurozi
Jalan Raya Simo Sungelebak
Jamal D. Rahman
Jamal T. Suryanata
Javed Paul Syatha
Jayaning S.A
JILFest 2008
Jody Setiawan
Johan Edy Raharjo
Johannes Sugianto
Joko Pinurbo
Joko Sandur
Joni Ariadinata
Jual Buku
Jual Buku Paket Hemat
Juan Kromen
Julika Hasanah
Jurnalisme Sastrawi
Jusuf AN
Juwairiyah Mawardy
Ka’bati
Karanggeneng
Karya Lukisan: Andry Deblenk
Kasnadi
Keith Foulcher
Kemah Budaya Panturan (KBP)
Khansa Arifah Adila
Khoirul Inayah
Khoirul Rosyadi
Khudori Husnan
Ki Ompong Sudarsono
Kirana Kejora
Komplek Gor Kamantren Paciran Lamongan
Komunitas Deo Gratias
Komunitas Sastra Ilalang Indonesia
Korrie Layun Rampan
Kostela
Kritik Sastra
Kukuh S Wibowo
Kurnia Effendi
Kurniawan
Kuswaidi Syafi'ie
L.N. Idayanie
Laili Rahmawati
Lamongan
Lan Fang
Langgeng Widodo
Lathifa Akmaliyah
Leila S. Chudori
Lely Yuana
Lembaga Pengembangan Pembelajaran dan Penjaminan Mutu (LP3M) Universitas Jember
Liestyo Ambarwati Khohar
Lina Kelana
Linda Sarmili
Liza Wahyuninto
Lucia Idayanie
Lukman A Sya
Lutfiah
Lynglieastrid Isabellita
M Arman AZ
M Ismail
M Thobroni
M. Afifuddin
M. Arwan Hamidi
M. Lukluk Atsmara Anjaina
M. Lutfi
M. Luthfi Aziz
M. Nurdin
M. Yoesoef
M.D. Atmaja
M.S. Nugroho
Mahendra Cipta
Mahmud Jauhari Ali
Mahmud Syaltut Usfa
Mahmudi Arif Dahlan
Malam Apresiasi Seni Tanahmerah Ponorogo
Malkan Junaidi
Maman S. Mahayana
Mardi Luhung
Marhalim Zaini
Martin Aleida
Maruli Tobing
Mas Ruscita
Mashuri
Masuki M. Astro
Matroni
Matroni Muserang
Media: Crayon on Paper
Membongkar Mitos Kesusastraan Indonesia
MG. Sungatno
Mh Zaelani Tammaka
Mia Arista
Mia El Zahra
Mikael Johani
Misbahus Surur
Misran
Mohamad Ali Hisyam
Mohammad Eri Irawan
Much. Khoiri
Muh. Muhlisin
Muhammad Al-Fayyadl
Muhammad Amin
Muhammad Aris
Muhammad Muhibbuddin
Muhammad Rain
Muhammad Taufiqurrohman
Muhammad Yasir
Muhammad Zuriat Fadil
Muhammadun
Muhammadun AS
Muhidin M Dahlan
Mujtahid
Mujtahidin Billah
Mukti Sutarman Espe
Mulyadi SA
Mulyosari Banyuurip Ujungpangkah Gresik
Munawir Aziz
Musfarayani
Musfi Efrizal
Nafisatul Husniah
Nandang Darana
Naskah Teater
Nelson Alwi
Ni Made Purnamasari
Nikmatus Sholikhah
Nina Herlina Lubis
Nina Susilo
Ning Elia
Noor H. Dee
Noval Jubbek
Novel-novel berbahasa Jawa
Novelet
Nunuy Nurhayati
Nur Azizah
Nur Hamzah
Nur Kholiq
Nurdin Kalim
Nurel Javissyarqi
Nurul Aini
Nurul Anam
Nurul Komariyah
Nuryana Asmaudi SA
Nyoman Tusthi Eddy
Obrolan
Okty Budiati
Orasi Budaya Akhir Tahun 2018
Otto Sukatno CR
Oyos Saroso H.N.
Pagan Press
Pagelaran Musim Tandur
Palupi Panca Astuti
Parimono V / 40 Plandi Jombang
Pawang Surya Kencana
PDS H.B. Jassin
Petrus Nandi
Politik
Politik Sastra
Pradana Boy ZTF
Pramoedya Ananta Toer
Pramono
Pringadi AS
Prof Dr Fabiola D. Kurnia
Prosa
Puisi
Puji Santosa
Puji Tyasari
Puput Amiranti N
Purnawan Andra
Purnawan Kristanto
Pusat Dokumentasi Sastra H.B. Jassin
Pustaka Ilalang Group
PUstaka puJAngga
Putu Wijaya
Qaris Tajudin
R. Ng. Ronggowarsito
Rachmad Djoko Pradopo
Radhar Panca Dahana
Rahmat Kemat Hidayatullah
Rahmat Sularso Nh
Rakai Lukman
Rakhmat Giryadi
Rasanrasan Boengaketji
Raudal Tanjung Banua
Redland Movie
Reiny Dwinanda
Resensi
Rialita Fithra Asmara
Ribut Wijoto
Riki Dhamparan Putra
Riki Utomi
Ririe Rengganis
Risang Anom Pujayanto
Riyon Fidwar
Robin Al Kautsar
Robin Dos Santos Soares
Rodli TL
Rofiqi Hasan
Roso Titi Sarkoro
Rozi Kembara
Rukardi
Rumah Budaya Pantura (RBP)
Rusmanadi
S Yoga
S. Jai
S.W. Teofani
Sabrank Suparno
Sahaya Santayana
Saiful Amin Ghofur
Saiful Anam
Sainul Hermawan
Sajak
Salamet Wahedi
Salman S. Yoga
Samsudin Adlawi
Samsul Anam
Sanggar Lukis Alam
Sanggar Pasir
Sanggar Rumah Ilalang KSII
Santi Puji Rahayu
Sapardi Djoko Damono
Saroni Asikin
Sartika Dian Nuraini
Sastra dan Kuasa Simbolik
Sastra Jawa Timur
Satmoko Budi Santoso
Saut Situmorang
Sayyid Fahmi Alathas
SelaSastra #24 di Boenga Ketjil Jombang
SelaSastra Boenga Ketjil
SelaSastra Boenga Ketjil #33
Seno Gumira Ajidarma
Seno Joko Suyono
Sergi Sutanto
Setia Naka Andrian
Shiny.ane el’poesya
Sholihul Huda
Sigit Susanto
Sihar Ramses Simatupang
Sinopsis
Siti Khoeriyah
Siti Muyassarotul Hafidzoh
Siti Sa’adah
Siwi Dwi Saputra
Siwi Dwi Saputro
Sjifa Amori
Slamet Rahardjo Rais
Soegiharto
Sofyan RH. Zaid
Soni Farid Maulana
Sony Prasetyotomo
Sosiawan Leak
Spectrum Center Press
Sri Weni
Sri Wintala Achmad
Suci Ayu Latifah
Sucipto Hadi Purnomo
Sudirman
Sugi Lanus
Sukron Ma’mun
Sulaiman Djaya
Sunaryono Basuki Ks
Sungatno
Sungging Raga
Sunlie Thomas Alexander
Sunu Wasono
Supriyadi
Surya Lesmana
Suryanto Sastroatmodjo
Susianna
Sutardji Calzoum Bachri
Sutejo
Suyanto
Syaf Anton Wr
Syaifuddin Gani
Syaiful Amin
Syarif Wadja Bae
Sylvianita Widyawati
TanahmeraH ArtSpace
Tarmuzie (1961-2019)
Taufiq Ismail
Taufiq Wr. Hidayat
Teguh Presetyo
Teguh Setiawan
Teguh Winarsho AS
Temu Penyair Timur Jawa
Tengsoe Tjahjono
Tia Setiadi
Tirto Suwondo
Tita Tjindarbumi
Tjahjono Widarmanto
Tjahjono Widijanto
Toko Buku Murah PUstaka puJAngga Lamongan
Tosa Poetra
Tri Nurdianingsih
Triyanto Triwikromo
TS Pinang
Tu-ngang Iskandar
Tulus S
Ulul Azmiyati
Umar Fauzi
Umar Fauzi Ballah
Umar Kayam
Umbu Landu Paranggi
Universitas Indonesia
Universitas Jember
Usman Arrumy
Utari Tri Prestianti
Viddy AD Daery
Virdika Rizky Utama
W Haryanto
W.S. Rendra
Wahyu Prasetya
Wan Anwar
Wawan Eko Yulianto
Wawancara
Wina Bojonegoro
Wita Lestari
Wong Wing King
Wowok Hesti Prabowo
Xu Xi (Sussy Komala)
Y. Thendra BP
Y. Wibowo
Yanusa Nugroho
Yasraf Amir Piliang
Yayat R. Cipasang
Yohanes Sehandi
Yona Primadesi
Yopi Setia Umbara
Yudhi Herwibowo
Yudi Latif
Yusri Fajar
Yusuf Ariel Hakim
Yuval Noah Harari
Zacky Khairul Uman
Zainuddin Sugendal
Zamakhsyari Abrar
Zawawi Se
Zed Abidien
Zehan Zareez
Zhaenal Fanani
Zubaidi Khan
Zuniest
Tidak ada komentar:
Posting Komentar