Rabu, 11 Maret 2009

Kami Bongkar Rumah Kami

Imam Muhtarom
http://entertainmen.suaramerdeka.com/

KAMI turunkan genteng sepanjang siang yang terik setelah jendela, pintu, beserta jeruji-jeruji kami lepaskan dari tembok rumah yang dibangun kakek-nenek kami 90 tahun yang lalu. Kami memutuskan untuk membongkar rumah warisan itu dan menggantinya dengan yang baru. Kami akan mengubahnya dengan gaya "spanyol" yang lagi mewabah di daerah kami. Rumah dengan satu pintu di bagian depan, kaca hitam tanpa kerai kaca di sebelah kiri, dan dinding sebelah kanan akan dilekatkan keramik mengilat dengan bagian atasnya terdapat angin-angin dari kaca hitam. Di serambi akan kami pancangkan dua tiang dari beton berhias ukiran khas Jepara dan lantainya tentu dengan keramik mengilat. Rumah itu tidak membesar tetapi memanjang ke belakang dengan satu kamar utama di samping ruang tamu dan dua kamar tidur bersebelahan dengan ruang peristirahatan keluarga. Kami bayangkan tersedia satu televisi berukuran 21 inci dan satu perangkat lengkap elektronik untuk mendengarkan musik. Di bagian belakang akan dibangun sebuah dapur model terbaru dengan lemari kayu terpasang menempel di tembok dan di bagian bawah lemari itu dipasang plester tertutup keramik seukuran telapak tangan berwarna putih. Sementara di samping dapur, tepat di kanannya, akan dipisahkan oleh tembok sebagai sebuah ruangan garasi. Di sebelahnya akan ada sebuah kamar mandi dengan lantai keramik berukuran kecil berwarna biru dan satu bola lampu berkekuatan 70 watt. Dan kami akan mengecat tembok bersemen tersebut dengan cat putih buatan pabrik dan bukan dari kapur. Menutupinya dengan genteng bercat merah yang kalau tertimpa cahaya matahari akan memantulkan kilatan-kilatan yang menyilaukan. Mungkin rumah kami ini nantinya menyerupai makhluk baru dan siapa pun yang pernah datang ke rumah kami pasti akan tercengang dan apabila memasukinya akan merasakan seperti berada di sebuah pesawat luar angkasa dengan antena televisi menjulang ke atas seakan ingin menusuk langit.

Kami tiga bersaudara telah sepakat mengganti rumah itu bukan semata mengikuti gaya terakhir bentuk rumah di daerah kami, tetapi kami sengaja untuk menghilangkan segala peninggalan kakek-nenek kami. Jauh-jauh hari telah kami undang penebang bergergaji mesin untuk memangkas sepuluh batang pohon kelapa yang barangkali usianya lebih tua dari kami. Popon-pohon itu tinggi sekitar 75 meter dan kala tertiup angin akan meliuk-liuk seakan memanggil cerita-cerita yang kami dengar dari bapak-ibu kami, saudara-saudara ibu kami, dan tetangga-tetangga kami. Dan kami juga melihat album foto keluarga tentang rumah itu kala tahun 1967. Kami selalu merasa tidak pernah berada di tahun 2006 ketika mengingat dan membuka album keluarga itu. Ada bayangan hitam yang selalu membuat kami ingin membakar rumah beserta tanah sekitar satu hektar itu. Membakarnya dan menggantikannya dengan sebuah gedung bertingkat 70 lantai. Tapi itu mustahil. Kami hanya biasa menggantinya dengan rumah bergaya "spanyol" dan memangkas semua pohon kelapa di halaman dan menggantikannya dengan sebuah taman dan di situ berdiri sepuluh pohon cemara. Pohon dengan daun-daun bergerigi dan lancip yang akan mengingatkan kami bahwa kami hidup pada tahun 2006 dan bukan berada di tahun 1967.

Memang kakek-nenek kami tidak langsung membangun rumah yang sedang kami bongkar ini dengan tembok seperti yang terlihat sekarang, tetapi bertahap. Pertama kalinya dibangun dengan menjejakkan kayu yang ditebang dari hutan entah di mana dan menutupinya dengan anyaman bambu, memberinya daun pintu dari kayu jati dan jendela dengan terali dari kayu yang dipasak dan diatapi genteng yang dibeli dari tetangga desa. Setiap pasak dari kayu yang dijejakkan, diberi landasan batu kali yang diambil dari Sungai Ewuh di sebelah timur rumah. Pertama kali membangun rumah itu sekitar tahun 1930-an sebelum Jepang masuk dengan senjata berbayonet dan merampok padi-padi dan memaksa orang-orang makan dari ubi kayu dan sayur hati pohon pisang. Kami tidak tahu bagaimana rasa makanan seperti itu. Tapi menurut bapak kala itu makanan seperti itu nikmat sekali.

Tahap kedua rumah itu dibangun pada tahun 1957. Ibu pernah bercerita pemugaran rumah tersebut atas usul kakek kami sebelum dua tahun kemudian meninggal yang menurut ibu terserang sesak nafas. Rumah itu dibedah bagian tengahnya dan menguatkan pondasi dari batu kali dengan beton campuran pasir sungai, pasir batu merah, dan kapur putih. Lantas di atasnya batu-bata disusun membujur dan bukan melintang sebagaimana tembok sekarang. Tembok rumah kakek-nenek kami tersebut tebal dan tampak sangat kuat. Daun pintu dan jendelanya terbuat dari kayu jati yang sudah sangat tua dan ketebalannya 5 cm. Sementara bagian depan dibiarkan tetap berdinding anyaman bambu dan bagian dinding depannya tersusun dari bilahan-bilahan kayu jati. Rumah nenek kami tidak membujur ke belakang melainkan berbentuk serupa huruf L dengan bagian bangunan depan sebagai kakinya.

Rumah itu besar dan, sebagaimana terlihat sekarang, satu-satunya yang terbesar di antara rumah-rumah yang ada. Rumah tembok dengan warna putih dari batu kapur yang setiap tahunnya selalu dikapur, tepatnya hari raya lebaran. Setiap dikapur mendadak rumah itu tampak bangun dari tidur panjangnya, berganti dengan pakaian baru, dan siap menyambut siapa saja. Seolah hanya pada hari raya rumah kami bergembira dan menghadapi apa pun dengan kesukaan ria tersendiri yang tidak akan ditemukan kecuali pada hari raya itu. Kadang di depannya akan dipasang daun kelapa yang masih muda berjuntaian seolah tangan yang melambai-lambai kepada setiap orang yang lewat. Mungkin berkata, "Hei kemarilah. Aku bahagia kau datang. Aku sedang tidak ada masalah hari ini."

Demikian juga penghuninya. Pada hari raya itu semuanya, kami beserta bapak ibu kami, adalah manusia baru. Kami saling melihat di antara kami seolah kami adalah orang baru dan tidak teringat apa yang terjadi kemarin, kemarin, dan kemarinnya. Kami memakai baju baru meskipun tidak yang terbagus yang dijual di daerah kami. Sandal baru. Celana baru. Dan makanan-makanan baru berwarna-warni. Sering kami, ketika tidak hari raya, selalu berharap setiap bangun dari tidur adalah makanan yang baru tersedia, tersenyum-senyum, dan tidak bertemu orang-orang terkutuk yang selalu datang dengan wajah muram dan seolah hendak memakan kami seketika itu juga.

Ya, sewaktu kami berusia sekitar dua belas tahun rumah kami sering didatangi orang-orang yang meneror kami sekalipun mereka adalah keluarga dari ibu. Sebab mereka datang dengan begitu saja dan meminta pada ibu apa saja dan harus tersedia pada hari itu. Jika tidak, ibu kami akan dibentak-bentak dan jika tidak diberi juga apa yang diminta ibu kami akan digampar seolah ibu kami bukan manusia. Kami tak tahu apa yang dibenak orang itu. Orang itu biasa kami sebut Pak Min jika kami dengan terpaksa bertemu dengannya di depan rumah atau di jalan sebagai tanda hormat di mata orang-orang yang ada di sekitar kami: bahwa kami masih menghormati saudara ibu. Atau, sebenarnya ketakutan akan digampar juga?

Sebelum nenek kami meninggal, nenek kamilah yang menjadi sasaran. Kerap kali nenek dibentak-bentak oleh Pak Min dan entah karena takut terus-menerus dibentak anak laki-lakinya atau karena alasan lain nenek biasanya mengambil uang simpanannya atau perhiasannya dan begitu saja mengulurkannya pada si anak. Setelah itu, si anak, tanpa satu kata pun, beranjak dari tempatnya duduk dan langsung berjalan menuju sepeda di halaman dan mengayuhnya entah ke mana. Nenek kami lihat hanya menghela nafas dan berusaha tersenyum pada kami seraya mengajak kami ke luar rumah membersihkan rumput-rumput yang mulai tumbuh di seantero halaman depan. Nenek selama membersihkan rumput-rumput tak satu kali pun bersuara dan hanya tangannya yang cekatan dan kuat mencerabut cengkeraman akar-akar rumput di tanah halaman rumah. Kemudian mengumpulkannya di sebelah barat rumah dan membakarnya bersama-sama dengan daun pisang dan rambutan yang sudah mengering. Di mata kami selama pembakaran rumput nenek sangat khidmat seolah nenek sedang membakar kemarahannya sendiri atas perilaku anak lelakinya.

Tapi di dalam hati kami tidak menyebutnya Pak Min tetapi sang Pembelih. Sang Pembelih karena ia algojo orang-orang di daerah kami ketika prahara 1965. Menurut saudara Ibu, pada suatu malam sang Pembelih itu didatangi beberapa orang yang menggunakan penutup kepala hitam dan hanya dua biji matanya yang tampak serta sekujur badannya tertutup oleh pakaian hitam. Tak tahu bagaimana jalan pikirannya, sang Pembelih itu dengan senang hati ikut mereka. Sang Pembelih itu turun dari rumah dan berjalan di kegelapan malam dan menuju ke jalan menuju ke utara. Ibunya, nenek kami, menangis sewaktu sang Pembelih itu ikut sekalipun nenek kami telah berusaha mencegahnya. Ia tergulung-gulung di lantai disaksikan keempat anak perempuannya yang masih kecil-kecil menggigil di sudut rumah. Kakek kami saat itu telah mati dan nenek kami menjadi bulan-bulanan anak-anak lelakinya, terutama sang Pembelih.

Begitulah dalam bulan-bulan di paruh kedua tahun 1960-an sang Pembelih merajalela. Banyak orang yang dibunuh oleh sang Pembelih. Nenek kami mendengar kabar perilaku anaknya hanya tercenung dan sulit sekali diajak bicara. Nenek kami menjadi jarang di rumah dan suka sekali ke luar rumah malam-malam entah ke mana. Kadang dua hari tidak pulang dan pulang dengan baju lusuh dan bau tak sedap menguap dari badannya. Setiap ibu kami atau saudara perempuan lainnya mengatakan kebutuhan dapur telah habis, nenek akan diam atau berteriak, "Kalau ingin makan cari sendiri, kalau tidak mati saja sekalian!" Maka, ibu kami yang masih kecil bersama ketiga saudara perempuannya mencari kebutuhan dapur dengan cara pergi ke pinggiran Sungai Ewuh untuk mencari cabai dan sayur-sayuran yang tumbuh dengan sendirinya sebab sawah telah terbengkelai. Kalau tidak mencukupi sebab seharian tidak mendapatkan apa yang mereka butuhkan, biasanya mereka meminta kepada tetangga-tetangga sebelah. Sementara kedua saudaranya laki-laki semakin jarang pulang dan jika pulang hanya sekejap dan itu pun akan membawa barang-barang untuk digadai atau dijual semenjak nenek kami sulit sekali diajak bicara dengan enak tanpa ledakan-ledakan amarah. Ibu kami akhirnya putus dari sekolah menengah pertama karena sepeda yang dipakainya untuk mencapai sekolah selama dua jam perjalanan dibawa kabur dan tidak pernah kembali. Ibu kami hanya bisa menangis.

Ya, Ibu hanya bisa menangis. Menangis sebagaimana ia dipukul oleh sang Pembelih itu. Kami hanya diam dan diam-diam semenjak kami masih kecil hati kami mengeras kepada sang Pembelih itu. Sang Pembelih yang memang tak lagi menyembelih tetapi sang Pembelih itu tidak tahan ketika sangat lama tidak mendengarkan suara-saura sayatan sebagaimana ia dengar terus-menerus pada prahara 1965-an. Suara sayatan akibat parangnya itu telah meresap ke sanubarinya dan tertanam dalam dan bahkan berumah di sana. Setiap kali suara sayatan yang setiap malam terdengar di tahun-tahun paruh kedua tahun 1960-an itu berkelebat di tahun 1980-an maka sang Pembelih itu kelimpungan. Ia akan membanting apa pun sampai suara-suara itu meredam sayatan yang menggejolak dalam sanubarinya. Kalau membanting tidak cukup meredam suara sayatan itu, ia akan datang menemui istri atau anak-anaknya, dan kalau tidak ada maka ia akan ke tempat saudaranya, terutama saudara perempuannya. Dan sang Pembelih itu akan suka sekali mendengar suara saudaranya mengerang kesakitan.

Ah, dada kami seperti hendak memecah. Tapi Ibu kami mengatakan pada kami untuk tidak melakukan apa pun pada sang Pembelih itu atas semua yang telah dilakukannya kepadanya. Ibu mengatakan bahwa kami harus memberhentikan serangkaian dendam itu dan mengakhirinya, syukur kalau bisa memotongnya. Kami tak tahu apa yang sesungguhnya berada di dalam benak Ibu kami ketika Ibu kami mengatakan pada kami ketika ia membujur di ruang tengah rumah dengan wajah memandang jauh ke atas. Senja baru menyemburat ke langit. Burung-burung terbang di angkasa. Daun-daun pohon kelapa tampak kekuningan di pucuk-pucuknya. Nafas Ibu tersengal sebentar kemudian diam selamanya.

Pada saat itu Ibu adalah orang terakhir yang hidup di antara saudara-saudaranya yang lain. Ibu tidak memberikan apa-apa kepada kami kecuali harapannya kepada kami untuk hidup berdamai. Ya, kami bisa memaafkan kepada keluarga sang Pembelih yang membuat Ibu kami tersiksa sepanjang hidupnya. Kami hanya tak tahan apabila kenangan rumah itu menguat dan mulai mengganggu mimpi-mimpi kami lalu merambat di antara pikiran-pikiran kami seperti percikan api di musim kemarau. Kami bukan takut pada bayangan-bayangan itu, tetapi kami takut kami tidak bisa mengendalikan tindakan kami ketika dalam kami muncul bayangan sang Pembelih. Mungkin kami diam atau mungkin kami mengambil apa pun dan mengayunkannya kepada siapa pun yang berada di dekat kami.

Kami tak mau bayangan-bayangan itu muncul lagi dan kami telah sepakat di antara saudara kami untuk membongkar rumah kami yang usianya hampir seratus tahun itu dan menggantinya dengan rumah baru bergaya "spanyol". Kami tak tahu apa yang terjadi pada pikiran-pikiran kami setelah rumah baru tersebut selesai dibangun. Mungkin kami akan kehilangan semua masa lampau kami sebab semua perangkat rumah baru kami nanti tak satupun berasal dari warisan kakek-nenek kami dan bapak-Ibu kami. Kami akan membeli semua peralatan rumah dan menatanya dengan cara terbaru sehingga akan terbentuk suasana yang tak pernah kami rasakan sebelumnya dan tak pernah orang pikirkan. Kami akan berada di sebuah situs baru dan kami akan membuat masa lampau-masa lampau yang baru lagi.

2006

Tidak ada komentar:

A Rodhi Murtadho A. Ginandjar Wiludjeng A. Junianto A. Kurnia A. Qorib Hidayatullah A. Yusrianto Elga A.S Laksana A’yat Khalili Aang Fatihul Islam Abdul Azis Sukarno Abdul Aziz Rasjid Abdul Hadi WM Abdul Kadir Ibrahim Abdul Malik Abdul Razak Abdul Rosyid Abdul Wahab Abdurrahman Wahid Abu Salman Acep Iwan Saidi Acep Zamzam Noor Adam Chiefni Ade P. Nasution Adhitia Armitriant Adi Prasetyo Adrizas AF. Tuasikal Afriza Hanifa Afrizal Malna Agama Para Bajingan Agnes Rita Sulistyawaty Aguk Irawan M.N. Agus B. Harianto Agus Buchori Agus R. Sarjono Agus R. Subagyo Agus Sulton Agus Sunyoto Ahda Imran Ahid Hidayat Ahmad Baso Ahmad Faishal Ahmad Fatoni Ahmad Hasan MS Ahmad Kekal Hamdani Ahmad Khotim Muzakka Ahmad Muchlish Amrin Ahmad Naufel Ahmad Rofiq Ahmad S. Zahari Ahmad Syauqi Sumbawi Ahmad Yulden Erwin Ahmad Zaini Ahmadun Yosi Herfanda Ahsanu Nadia Aini Aviena Violeta Ainul Fiah Ajip Rosidi Akhiriyati Sundari Akhmad Muhaimin Azzet Akhmad Sekhu Akhmad Sofyan Hadi Akhmad Taufiq Akhudiat Akmal Nasery Basral Alam Terkembang Alang Khoiruddin Alex R. Nainggolan Alfian Dippahatang Ali Audah Ali Mahmudi CH Ali Rif’an Almania Rohmah Ami Herman Amien Wangsitalaja Aminah Aminullah HA.Noor Amir Sutaarga Anam Rahus Anata Siregar Andari Karina Anom Andina Dwifatma Andong Buku #3 Andre Mediansyah Andri Awan Anett Tapai Anggie Melianna Anindita S Thayf Anis Ceha Anjrah Lelono Broto Anton Bae Anton Kurnia Anton Wahyudi Anwar Nuris Ardi Bramantyo Ardus M Sawega Arie MP Tamba Arie Yani Arief Joko Wicaksono Arief Junianto Ariera Arif Bagus Prasetyo Aris Kurniawan Arman A.Z. Arswendo Atmowiloto Arti Bumi Intaran AS Sumbawi Asarpin Asep Sambodja Asmaul Fauziyah Asti Musman Atafras Awalludin GD Mualif Ayu Wulan Sari Aziz Abdul Gofar Azizah Hefni Bagus Takwin Bahrul Ulum A. Malik Balada Bale Aksara Balok Sf Bambang Kempling Bamby Cahyadi Bandung Mawardi Beni Setia Benny Arnas Benny Benke Beno Siang Pamungkas Bentara Budaya Yogyakarta Berita Berita Duka Berita Koran Bernando J Sujibto Berthold Damshauser BI Purwantari Binhad Nurrohmat Bobby Gunawan Bonari Nabonenar Brunel University London Budaya Budi Darma Budi P. Hatees Budiman S. Hartoyo Burhanuddin Bella Camelia Mafaza Catatan Cerbung Cerpen Chairul Akhmad Chamim Kohari Chavchay Syaifullah Cover Buku Cucuk Espe D. Zaini Ahmad D. Zawawi Imron Dadang Ari Murtono Dahta Gautama Daisuke Miyoshi Damhuri Muhammad Dami N. Toda Damiri Mahmud Danarto Daniel Paranamesa Danusantoso Dareen Tatour Darju Prasetya David Kuncara Denny Mizhar Denza Perdana Desi Sommalia Gustina Desiana Medya A.L Dewan Kesenian Lamongan (DKL) Dewi Indah Sari Dewi Susme Dian Sukarno Didik Harianto Didik Kusbiantoro Dina Jerphanion Dina Oktaviani Dinas Kebudayaan dan Pariwisata (Disbudpar) Jawa Timur Dipo Handoko Diyah Errita Damayanti Djoko Pitono Djoko Saryono Doddy Wisnu Pribadi Dody Kristianto Dody Yan Masfa Donny Anggoro Donny Syofyan Dorothea Rosa Herliany Dr Junaidi SS MHum Dwi Cipta Dwi Fitria Dwi Pranoto Dwi Wiyana Dyah Ratna Meta Novia Dyah Sulistyorini Ecep Heryadi Eddy Pranata PNP Edeng Syamsul Ma’arif Eep Saefulloh Fatah EH Kartanegara Eka Budianta Eka Kurniawan Eko Hendrawan Sofyan Eko Hendri Saiful Eko Windarto Elnisya Mahendra Elva Lestary Emha Ainun Nadjib Emil WE Endah Sulwesi Endo Suanda Eppril Wulaningtyas R Esai Evan Ys F. Moses F. Rahardi Fadlillah Malin Sutan Fahmi Faqih Fahrudin Nasrulloh Faisal Kamandobat Fajar Kurnianto Fanani Rahman Fanny Chotimah Fatah Anshori Fatah Yasin Noor Febby Fortinella Rusmoyo Felix K. Nesi Festival Sastra Gresik Gabriel Garcia Marquez Galang Ari P. Galuh Tulus Utama Gampang Prawoto Gandra Gupta Ganug Nugroho Adi Gerson Poyk Ghassan Kanafani Gita Nuari Gita Pratama Goenawan Mohamad Grathia Pitaloka Gunoto Saparie H.B. Jassin Habibullah Hadi Napster Hadriani Pudjiarti Halim HD Halimi Zuhdy Hamberan Syahbana Han Gagas Hanibal W. Y. Wijayanta Hardi Haris del Hakim Haris Saputra Harri Ash Shiddiqie Hartono Harimurti Hary B Kori’un Hasan Aspahani Hasan Junus Hasif Amini Hasnan Bachtiar Hasta Indriyana HE. Benyamine Hendra Junaedi Hendra Makmur Heri CS Heri Latief Heri Listianto Herman RN Herry Lamongan Heru CN Heru Nugroho Hikmat Gumelar HL Renjis Magalah Hudan Nur Hujuala Rika Ayu Huminca Sinaga IBM. Dharma Palguna Ibnu Wahyudi Ida Farida Idris Pasaribu Ignas Kleden Ignatius Haryanto Iksan Basoeky Ilham Khoiri Imam Cahyono Imam Muhtarom Imam Nawawi Imamuddin SA Iman Budhi Santosa Imron Rosyid Imron Tohari Indiar Manggara Indra Intisa Indra Tjahyadi Indra Tranggono Indrian Koto Ira Puspitaningsih Irfan Budiman Isbedy Stiawan Z.S. Iskandar Noe Iskandar Zulkarnain Ismail Marzuki Iva Titin Shovia Iwan Kurniawan Jabbar Abdullah Jafar Fakhrurozi Jalan Raya Simo Sungelebak Jamal D. Rahman Jamal T. Suryanata Javed Paul Syatha Jayaning S.A JILFest 2008 Jody Setiawan Johan Edy Raharjo Johannes Sugianto Joko Pinurbo Joko Sandur Joni Ariadinata Jual Buku Jual Buku Paket Hemat Juan Kromen Julika Hasanah Jurnalisme Sastrawi Jusuf AN Juwairiyah Mawardy Ka’bati Karanggeneng Karya Lukisan: Andry Deblenk Kasnadi Keith Foulcher Kemah Budaya Panturan (KBP) Khansa Arifah Adila Khoirul Inayah Khoirul Rosyadi Khudori Husnan Ki Ompong Sudarsono Kirana Kejora Komplek Gor Kamantren Paciran Lamongan Komunitas Deo Gratias Komunitas Sastra Ilalang Indonesia Korrie Layun Rampan Kostela Kritik Sastra Kukuh S Wibowo Kurnia Effendi Kurniawan Kuswaidi Syafi'ie L.N. Idayanie Laili Rahmawati Lamongan Lan Fang Langgeng Widodo Lathifa Akmaliyah Leila S. Chudori Lely Yuana Lembaga Pengembangan Pembelajaran dan Penjaminan Mutu (LP3M) Universitas Jember Liestyo Ambarwati Khohar Lina Kelana Linda Sarmili Liza Wahyuninto Lucia Idayanie Lukman A Sya Lutfiah Lynglieastrid Isabellita M Arman AZ M Ismail M Thobroni M. Afifuddin M. Arwan Hamidi M. Lukluk Atsmara Anjaina M. Lutfi M. Luthfi Aziz M. Nurdin M. Yoesoef M.D. Atmaja M.S. Nugroho Mahendra Cipta Mahmud Jauhari Ali Mahmud Syaltut Usfa Mahmudi Arif Dahlan Malam Apresiasi Seni Tanahmerah Ponorogo Malkan Junaidi Maman S. Mahayana Mardi Luhung Marhalim Zaini Martin Aleida Maruli Tobing Mas Ruscita Mashuri Masuki M. Astro Matroni Matroni Muserang Media: Crayon on Paper Membongkar Mitos Kesusastraan Indonesia MG. Sungatno Mh Zaelani Tammaka Mia Arista Mia El Zahra Mikael Johani Misbahus Surur Misran Mohamad Ali Hisyam Mohammad Eri Irawan Much. Khoiri Muh. Muhlisin Muhammad Al-Fayyadl Muhammad Amin Muhammad Aris Muhammad Muhibbuddin Muhammad Rain Muhammad Taufiqurrohman Muhammad Yasir Muhammad Zuriat Fadil Muhammadun Muhammadun AS Muhidin M Dahlan Mujtahid Mujtahidin Billah Mukti Sutarman Espe Mulyadi SA Mulyosari Banyuurip Ujungpangkah Gresik Munawir Aziz Musfarayani Musfi Efrizal Nafisatul Husniah Nandang Darana Naskah Teater Nelson Alwi Ni Made Purnamasari Nikmatus Sholikhah Nina Herlina Lubis Nina Susilo Ning Elia Noor H. Dee Noval Jubbek Novel-novel berbahasa Jawa Novelet Nunuy Nurhayati Nur Azizah Nur Hamzah Nur Kholiq Nurdin Kalim Nurel Javissyarqi Nurul Aini Nurul Anam Nurul Komariyah Nuryana Asmaudi SA Nyoman Tusthi Eddy Obrolan Okty Budiati Orasi Budaya Akhir Tahun 2018 Otto Sukatno CR Oyos Saroso H.N. Pagan Press Pagelaran Musim Tandur Palupi Panca Astuti Parimono V / 40 Plandi Jombang Pawang Surya Kencana PDS H.B. Jassin Petrus Nandi Politik Politik Sastra Pradana Boy ZTF Pramoedya Ananta Toer Pramono Pringadi AS Prof Dr Fabiola D. Kurnia Prosa Puisi Puji Santosa Puji Tyasari Puput Amiranti N Purnawan Andra Purnawan Kristanto Pusat Dokumentasi Sastra H.B. Jassin Pustaka Ilalang Group PUstaka puJAngga Putu Wijaya Qaris Tajudin R. Ng. Ronggowarsito Rachmad Djoko Pradopo Radhar Panca Dahana Rahmat Kemat Hidayatullah Rahmat Sularso Nh Rakai Lukman Rakhmat Giryadi Rasanrasan Boengaketji Raudal Tanjung Banua Redland Movie Reiny Dwinanda Resensi Rialita Fithra Asmara Ribut Wijoto Riki Dhamparan Putra Riki Utomi Ririe Rengganis Risang Anom Pujayanto Riyon Fidwar Robin Al Kautsar Robin Dos Santos Soares Rodli TL Rofiqi Hasan Roso Titi Sarkoro Rozi Kembara Rukardi Rumah Budaya Pantura (RBP) Rusmanadi S Yoga S. Jai S.W. Teofani Sabrank Suparno Sahaya Santayana Saiful Amin Ghofur Saiful Anam Sainul Hermawan Sajak Salamet Wahedi Salman S. Yoga Samsudin Adlawi Samsul Anam Sanggar Lukis Alam Sanggar Pasir Sanggar Rumah Ilalang KSII Santi Puji Rahayu Sapardi Djoko Damono Saroni Asikin Sartika Dian Nuraini Sastra dan Kuasa Simbolik Sastra Jawa Timur Satmoko Budi Santoso Saut Situmorang Sayyid Fahmi Alathas SelaSastra #24 di Boenga Ketjil Jombang SelaSastra Boenga Ketjil SelaSastra Boenga Ketjil #33 Seno Gumira Ajidarma Seno Joko Suyono Sergi Sutanto Setia Naka Andrian Shiny.ane el’poesya Sholihul Huda Sigit Susanto Sihar Ramses Simatupang Sinopsis Siti Khoeriyah Siti Muyassarotul Hafidzoh Siti Sa’adah Siwi Dwi Saputra Siwi Dwi Saputro Sjifa Amori Slamet Rahardjo Rais Soegiharto Sofyan RH. Zaid Soni Farid Maulana Sony Prasetyotomo Sosiawan Leak Spectrum Center Press Sri Weni Sri Wintala Achmad Suci Ayu Latifah Sucipto Hadi Purnomo Sudirman Sugi Lanus Sukron Ma’mun Sulaiman Djaya Sunaryono Basuki Ks Sungatno Sungging Raga Sunlie Thomas Alexander Sunu Wasono Supriyadi Surya Lesmana Suryanto Sastroatmodjo Susianna Sutardji Calzoum Bachri Sutejo Suyanto Syaf Anton Wr Syaifuddin Gani Syaiful Amin Syarif Wadja Bae Sylvianita Widyawati TanahmeraH ArtSpace Tarmuzie (1961-2019) Taufiq Ismail Taufiq Wr. Hidayat Teguh Presetyo Teguh Setiawan Teguh Winarsho AS Temu Penyair Timur Jawa Tengsoe Tjahjono Tia Setiadi Tirto Suwondo Tita Tjindarbumi Tjahjono Widarmanto Tjahjono Widijanto Toko Buku Murah PUstaka puJAngga Lamongan Tosa Poetra Tri Nurdianingsih Triyanto Triwikromo TS Pinang Tu-ngang Iskandar Tulus S Ulul Azmiyati Umar Fauzi Umar Fauzi Ballah Umar Kayam Umbu Landu Paranggi Universitas Indonesia Universitas Jember Usman Arrumy Utari Tri Prestianti Viddy AD Daery Virdika Rizky Utama W Haryanto W.S. Rendra Wahyu Prasetya Wan Anwar Wawan Eko Yulianto Wawancara Wina Bojonegoro Wita Lestari Wong Wing King Wowok Hesti Prabowo Xu Xi (Sussy Komala) Y. Thendra BP Y. Wibowo Yanusa Nugroho Yasraf Amir Piliang Yayat R. Cipasang Yohanes Sehandi Yona Primadesi Yopi Setia Umbara Yudhi Herwibowo Yudi Latif Yusri Fajar Yusuf Ariel Hakim Yuval Noah Harari Zacky Khairul Uman Zainuddin Sugendal Zamakhsyari Abrar Zawawi Se Zed Abidien Zehan Zareez Zhaenal Fanani Zubaidi Khan Zuniest