Ghassan Kanafani2)
Alih Bahasa Oleh Misran3)
http://www.riaupos.com/
Duhai Ibrahim...!
Entah kepada siapa pesan ini harus kutujukan. Aku tak tahu. Padamu sudah kujanjikan, tiap pertengahan November akan membawakan karangan bunga tanda kasih ke makammu, untuk kutebarkan. Sekarang sudah pertengahan November pula, dan belum satu karangan bunga pun kudapatkan. Sekiranya kudapat, bagaimanakah aku dapat sampai ke makammu dan memberikannya padamu? Padahal sudah dua belas tahun berlalu.
Kuyakin, saat ini kamu jauh dari apapun. Sebagaimana jauh terhunjamnya kamu ke perut bumi dan terurai, sedalam itu pula kamu kian menghunjam dalam ingatan kami dan terurai. Raut mukamu ikut terurai. Bahkan aku tak dapat lagi mengingat raut mukamu itu dengan baik. Suaramu memang menjadi agak sulit kukenali, bahkan kerlingan matamu pun tak dapat lagi kuingat. Aku pun menjadi sulit membayangkan bagaimana anggota tubuhmu melakukan gerak-gerik. Kini, di benakku tinggal jasad kaku, dengan telapak tangan terlipat di dada dan secarik kain penuh darah yang melintang dari bagian telinga ke bibir.
Namun, kali ini jelas sekali, aku dapat mengingat bagaimana mereka memanggulmu, dan membiarkanmu terhenyak dalam lahatmu, dengan pakaian yang masih utuh. Lalu mereka menimbunmu dengan tanah. Sesaat kemudian teman-temanmu yang terpaku tersentak mendengar suara rintihan seseorang yang terluka, yang semakin lama semakin kuat, lalu berhenti.
Pertanyaannya sekarang, untuk apa kutulis pesan ini padamu? Bukankah lebih pantas, setelah gagal membawakan karangan bunga ke makammu, aku tetap melanjutkan dua belas tahun bungkamku? Tapi, tampaknya, mustahil aku terus-terusan bungkam. Pertengahan November terus menekanku bagai takdir gila. Takdir yang pernah salah pilih: mestinya aku yang dibunuhnya, bukan kamu.
Benang cerita ini mulai mengurai di kepalaku. Percayakah kamu, aku takut melupakannya? Sungguh aku takut melupakannya! Barangkali kamu pun telah lupa. Duhai, apa lagi gunanya cerita itu sekarang? Tapi aku ingin membantumu, dan membantu diriku untuk menjalinnya kembali.
Banyak cerita yang tidak punya awal, tetapi anehnya cerita kita berdua punya awal yang jelas. Bahkan saking jelasnya, aku hampir bersumpah, awal cerita itu bisa kamu anggap sebagai bagian terpisah dari seluruh kisah hidup kita:
Waktu itu menjelang Ashar. Kita –aku dan kamu– sudah siap di samping sebuah batu besar yang dijadikan tempat duduk, di depan rumah kakekmu. Kita sama-sama baru belajar mengokang senjata. Hingga saat itu, sasaran tembak kita masih kaleng-kaleng bekas yang kosong, tempat minyak jelantah. Jika tidak salah, bisa kukatakan kita pernah memakai kaleng merek “Cahaya Kaz” sebagai sasaran tembak, dua atau tiga kali.
Waktu itu sedang Ashar. Ya, kembali kuberi tekanan pada kata Ashar karena potret cerita kita tidaklah lengkap kecuali setelah disorot matahari Ashar. Kita sudah berdiri di samping batu besar itu, kemudian kudengar kamu bertanya:
“Katanya kamu mau balas dendam?”
Pertanyaanmu itu kusambut dengan tawa pendek. Giliranku kemudian yang bertanya: “Pada apa?”
Kamu lalu memberi isyarat pada tembok di seberang sana. Tanganmu menunjuk suatu makhluk. Kemudian ujarmu dengan senyum yang masih mengembang: “Kucing garong, yang mencuri sepasang merpati dari sangkarnya...!”
Kini berganti, aku yang tertawa. Aku ingat bagaimana kucing brengsek itu bisa sampai di atap dan menjangkau sangkar merpati di taman, dua malam berturut-turut. Ia berhasil melarikan sepasang merpati yang sudah susah-payah kami pelihara bersama kakek. Sebelum sempat kuberikan suatu keputusan, kamu sudah lebih dulu memotong: “Aku yang akan menjagalnya jika kamu tidak berani...”
Kamu sandangkan senapanmu ke bahu, langsung melepaskan satu tembakan. Dari sela asap yang tidak sedap baunya itu, kita menyaksikan kucing malang itu melompat ke belakang karena takut. Kemudian ia biarkan kakinya melompat ke pagar taman sebelah. Di atas pagar itu ia berhenti, mengamati bekas bidikanmu dengan mata kaget. Aku tidak tahu, setan apa yang membuatku berujar: “Kamu meleset. Giliranku sekarang mencoba.”
Aku ingat bagaimana tembakanku tepat mengenai kepalanya. Ketika melihat kucing itu dari teropong di ujung senapan, aku merasa tubuh ini menggigil. Sasaran tembakku seketika menjadi goyang. Mata kucing itu –masih saja– ketakutan menatap sekeliling, sedangkan ekornya ia kibas-kibaskan ke tanah. Namun, kedua telinganya ia tegakkan, berusaha mencium bahaya yang akan datang. Pada detik berikutnya, aku sudah melihatnya berada tepat di tengah-tengah teropong. Pelatuk kutarik dan peluru melumatnya persis di muka. Kucing itu terpental; kakinya menggapai-gapai di udara, bergerak-gerak. Sebelum akhirnya jatuh ke samping. Darah pun mengalir perlahan.
Lalu kamu menggiringku untuk melihatnya. Kamu bolak-balikkan bangkainya dengan ujung senapan lalu berbisik padaku: “Bidikan bagus... tepat di kepala. Kamu sudah memutus jaringan otaknya.”
Tapi kemudian aku muntah-muntah. Aku pun terbaring lemas di kasur sampai lebih dari dua minggu.
Kamu bertanya beberapa waktu kemudian ketika datang menjengukku, menertawaiku: “Hah. Kucing garong yang tertembak itu membuatmu sampai seperti ini? Lucu nian! Bukankah kamu pernah berjanji akan berperang melawan pria dewasa, tidak dengan kucing?”
Aku malu sekali mendengarnya. Entah bagaimana aku bisa berbohong padamu waktu itu: “Kucing? Gila kamu. Waktu kecil aku membunuh banyak kucing pakai batu. Semua ini gara-gara bahu senapan yang terangkat ke atas habis ditembakkan dan menyikut tenggorokanku. Itulah yang menyebabkanku muntah-muntah. Lagi pula, sebelumnya aku juga sudah sakit.”
“Kamu mau bohong ya? Baru kali ini aku tahu kamu bohong.”
Tapi yang membuatku merasa tenang waktu itu, kamu kembali datang pada sorenya. Kamu berbisik di telingaku, supaya aku mau berjanji ikut denganmu dalam sebuah ‘serangan’... dua hari lagi.
Di atas mobil yang membawa kita ke pemukiman Yahudi di desa tetangga, kamu bernyanyi riang seperti biasa. Sementara aku, masih belum pulih dari sakit akibat kejadian kemarin. Tiba-tiba kamu mencolekku untuk melihat kebun-kebun di kanan-kiri jalan. Bulan November telah memberinya warna baru: oh, bunga-bunga hanun. Waktu itu kita bahkan sempat mencari kupu-kupu mungil warna-warni. Demi seekor kupu-kupu kita bahkan tega menjatuhkan ribuan bunga hanun yang merah, dari tangkainya. Alangkah indahnya.
“Aku kan bahagia bila kamu berjanji mau membawakan seikat bunga hanun tiap November ke makamku. Kamu mau kan?”
“Kamu ini ada-ada saja. Tapi jika janjiku bisa menghentikan bualanmu, aku mau saja!”
Tawa gugur dari kedua bibirku. Kamu lalu mendekapkan senjata ke dada. Dengan suara yang lembut, tapi dalam, kamu berbisik: “Makasih...”
Kita sampai di kebun milik pemukim Yahudi itu pada waktu Zuhur. Rencana yang kita buat cukup berani, tapi mungkin dilakukan: menduduki rumah-rumah di pinggir pemukiman lalu menggempurnya. Baru kemudian kembali ke kampung kita.
Namun, yang terjadi setelah itu justru berbeda dari rencana semula. Kita tertangkap tangan oleh beberapa pria Yahudi ketika sedang berada di kebun mereka. Pertempuran pun tak terelakkan. Aku di sampingmu, memberondongkan senapan membabi-buta. Tak satu pun mengenai musuh. Waktu itu, kita lari terbirit-birit menginjak duri dan tanaman. Apakah hari itu kamu merasa kecut, tak dapat lagi kuingat pasti. Tiba-tiba, seorang Yahudi sudah menghadang kita di depan sehingga membuat pikiranku kacau. Tangannya yang mengenggam sebuah granat tangan melemparkannya pada kita. Masih sempat kudengar teriakanmu saat asap hampir membuat mata kita tak mampu melihat apa-apa: “Bunuh dia. Dia memegang sebuah ranjau...”
Asap pun berkurang. Namun, Yahudi itu masih berdiri di tempat tadi, menggenggam granat tangan yang kedua. Ia mencari-cari kita di antara tanaman yang ada. Melalui teropong senapan aku dapat melihatnya berdiri di sana, dengan mata ketakutan. Beberapa saat berlalu, namun jemariku belum juga bisa menarik pelatuk. Badanku menggigil. Sasaran tembak masih berdiri di tempatnya. Aku dapat melihatnya dari teropong senapan. Lalu dari teropong yang sama aku melihatnya menemukanmu. Ia lalu melemparkan granat tangannya yang kedua dan kabur.
Akhirnya, kami memanggulmu pulang dan membawamu ke kampung kita. Tempat kamu dikubur masih dengan pakaian lengkap sebagaimana layaknya para syuhada. Di belakang teman-temanmu, ibumu menangis sendirian. Sementara itu dengan ditindih oleh rasa malu, aku mengais-ngais tanah yang masih basah dan menanam karangan bunga hanun, yang kita petik di jalan kita pulang, di makammu.
Sudah dua belas tahun berlalu semenjak hari itu. Rasa malu itu tak pernah bisa kuhindari. Tiap November tiba, ia menyesaki dadaku tak kenal ampun layaknya sebuah mimpi buruk.
Pertanyaan yang senantiasa menggema di kepalaku: Mengapa saat ini aku kembali mengingatmu, dan menulis pesan ini? Tidakkah sebaiknya aku tetap dalam bungkamku?
Takkan! Aku takkan sanggup. Hari-hari terus berlalu, sedang kamu kian jauh terkubur di dalam sana. Aku takut lupa padamu. Betapa pun tersiksanya aku karena mengingatmu, namun tak kan kubiarkan hal itu terjadi. Mungkin, suatu hari nanti, rasa tersiksa ini dapat membuatku merasa betapa sangat perlunya aku datang kembali ke makammu, lalu menyerakkan beberapa kuntum bunga hanun di atasnya. Aku tidak tahu, sudah seberapa beraninya aku sekarang. Sanggupkah aku membunuh seorang saja pria Yahudi tanpa gemetar? Aku sudah dewasa kini. Lagi pula, tinggal di pemukiman pengungsi telah membantuku berubah menjadi lebih keras.
Namun, semua itu belum mampu membuatku cukup yakin. Satu hal yang kuyakini secara pasti, rasa malu ini betul-betul telah membuatku terpojok...hingga ke tulang sumsum. Apakah malu saja cukup? Kukira, cukup. Sebab, aku membunuh kucing itu hanya gara-gara kesalahannya menerkam sepasang merpati. Tentu, karena ia sangat lapar. Padahal, yang saat ini sedang kubela adalah orang-orang dengan jumlah ribuan yang didera rasa lapar, baik laki-laki maupun perempuan. Aku ikut berbaris di tengah-tengah mereka menghadapi para pencuri yang telah merampas segalanya dari kami. Inikah alasannya sehingga aku bangkit dari bungkamku, yakni agar aku semakin mengakrabimu?
Pengakuan ini niscaya akan memberiku maaf.
Aku sadar, sebagaimana seharusnya juga kamu sadari sejak lama, terkadang segelintir orang harus merelakan diri mereka mati, agar yang lain dapat terus hidup, ungkap sebuah kata bijak. Namun yang terpenting dari semua itu, sekarang, aku sedang hidup di dalamnya.***
------------------
1)Diterjemahkan dari cerpen yang berjudul Muntashaf Ayar.
2)Sastrawan yang bernama lengkap Ghassan Fayiz Kanafani ini dilahirkan di Yafa (Palestina) pada 9 April 1936. Di samping sebagai sastrawan ia juga dikenal sebagai jurnalis. Semenjak pendudukan Israel atas tanah kelahirannya, hidupnya banyak ia habiskan di pengungsian hingga meninggal secara tragis karena ledakan bom yang dipasang orang tak di kenal di mobilnya, pada 8 Juli 1973, di depan rumahnya di Beirut. Ia meninggal dalam usia 36 tahun.
3)Misran adalah penggemar sastra. Sarjana sastra sastra lulusan Al-Azhar, Mesir.
Wahyaning wahyu tumelung, tulus tan kena tinegor (wirid hidayat jati, R.Ng. Ronggowarsito)
Langganan:
Posting Komentar (Atom)
A Rodhi Murtadho
A. Ginandjar Wiludjeng
A. Junianto
A. Kurnia
A. Qorib Hidayatullah
A. Yusrianto Elga
A.S Laksana
A’yat Khalili
Aang Fatihul Islam
Abdul Azis Sukarno
Abdul Aziz Rasjid
Abdul Hadi WM
Abdul Kadir Ibrahim
Abdul Malik
Abdul Razak
Abdul Rosyid
Abdul Wahab
Abdurrahman Wahid
Abu Salman
Acep Iwan Saidi
Acep Zamzam Noor
Adam Chiefni
Ade P. Nasution
Adhitia Armitriant
Adi Prasetyo
Adrizas
AF. Tuasikal
Afriza Hanifa
Afrizal Malna
Agama Para Bajingan
Agnes Rita Sulistyawaty
Aguk Irawan M.N.
Agus B. Harianto
Agus Buchori
Agus R. Sarjono
Agus R. Subagyo
Agus Sulton
Agus Sunyoto
Ahda Imran
Ahid Hidayat
Ahmad Baso
Ahmad Faishal
Ahmad Fatoni
Ahmad Hasan MS
Ahmad Kekal Hamdani
Ahmad Khotim Muzakka
Ahmad Muchlish Amrin
Ahmad Naufel
Ahmad Rofiq
Ahmad S. Zahari
Ahmad Syauqi Sumbawi
Ahmad Yulden Erwin
Ahmad Zaini
Ahmadun Yosi Herfanda
Ahsanu Nadia
Aini Aviena Violeta
Ainul Fiah
Ajip Rosidi
Akhiriyati Sundari
Akhmad Muhaimin Azzet
Akhmad Sekhu
Akhmad Sofyan Hadi
Akhmad Taufiq
Akhudiat
Akmal Nasery Basral
Alam Terkembang
Alang Khoiruddin
Alex R. Nainggolan
Alfian Dippahatang
Ali Audah
Ali Mahmudi CH
Ali Rif’an
Almania Rohmah
Ami Herman
Amien Wangsitalaja
Aminah
Aminullah HA.Noor
Amir Sutaarga
Anam Rahus
Anata Siregar
Andari Karina Anom
Andina Dwifatma
Andong Buku #3
Andre Mediansyah
Andri Awan
Anett Tapai
Anggie Melianna
Anindita S Thayf
Anis Ceha
Anjrah Lelono Broto
Anton Bae
Anton Kurnia
Anton Wahyudi
Anwar Nuris
Ardi Bramantyo
Ardus M Sawega
Arie MP Tamba
Arie Yani
Arief Joko Wicaksono
Arief Junianto
Ariera
Arif Bagus Prasetyo
Aris Kurniawan
Arman A.Z.
Arswendo Atmowiloto
Arti Bumi Intaran
AS Sumbawi
Asarpin
Asep Sambodja
Asmaul Fauziyah
Asti Musman
Atafras
Awalludin GD Mualif
Ayu Wulan Sari
Aziz Abdul Gofar
Azizah Hefni
Bagus Takwin
Bahrul Ulum A. Malik
Balada
Bale Aksara
Balok Sf
Bambang Kempling
Bamby Cahyadi
Bandung Mawardi
Beni Setia
Benny Arnas
Benny Benke
Beno Siang Pamungkas
Bentara Budaya Yogyakarta
Berita
Berita Duka
Berita Koran
Bernando J Sujibto
Berthold Damshauser
BI Purwantari
Binhad Nurrohmat
Bobby Gunawan
Bonari Nabonenar
Brunel University London
Budaya
Budi Darma
Budi P. Hatees
Budiman S. Hartoyo
Burhanuddin Bella
Camelia Mafaza
Catatan
Cerbung
Cerpen
Chairul Akhmad
Chamim Kohari
Chavchay Syaifullah
Cover Buku
Cucuk Espe
D. Zaini Ahmad
D. Zawawi Imron
Dadang Ari Murtono
Dahta Gautama
Daisuke Miyoshi
Damhuri Muhammad
Dami N. Toda
Damiri Mahmud
Danarto
Daniel Paranamesa
Danusantoso
Dareen Tatour
Darju Prasetya
David Kuncara
Denny Mizhar
Denza Perdana
Desi Sommalia Gustina
Desiana Medya A.L
Dewan Kesenian Lamongan (DKL)
Dewi Indah Sari
Dewi Susme
Dian Sukarno
Didik Harianto
Didik Kusbiantoro
Dina Jerphanion
Dina Oktaviani
Dinas Kebudayaan dan Pariwisata (Disbudpar) Jawa Timur
Dipo Handoko
Diyah Errita Damayanti
Djoko Pitono
Djoko Saryono
Doddy Wisnu Pribadi
Dody Kristianto
Dody Yan Masfa
Donny Anggoro
Donny Syofyan
Dorothea Rosa Herliany
Dr Junaidi SS MHum
Dwi Cipta
Dwi Fitria
Dwi Pranoto
Dwi Wiyana
Dyah Ratna Meta Novia
Dyah Sulistyorini
Ecep Heryadi
Eddy Pranata PNP
Edeng Syamsul Ma’arif
Eep Saefulloh Fatah
EH Kartanegara
Eka Budianta
Eka Kurniawan
Eko Hendrawan Sofyan
Eko Hendri Saiful
Eko Windarto
Elnisya Mahendra
Elva Lestary
Emha Ainun Nadjib
Emil WE
Endah Sulwesi
Endo Suanda
Eppril Wulaningtyas R
Esai
Evan Ys
F. Moses
F. Rahardi
Fadlillah Malin Sutan
Fahmi Faqih
Fahrudin Nasrulloh
Faisal Kamandobat
Fajar Kurnianto
Fanani Rahman
Fanny Chotimah
Fatah Anshori
Fatah Yasin Noor
Febby Fortinella Rusmoyo
Felix K. Nesi
Festival Sastra Gresik
Gabriel Garcia Marquez
Galang Ari P.
Galuh Tulus Utama
Gampang Prawoto
Gandra Gupta
Ganug Nugroho Adi
Gerson Poyk
Ghassan Kanafani
Gita Nuari
Gita Pratama
Goenawan Mohamad
Grathia Pitaloka
Gunoto Saparie
H.B. Jassin
Habibullah
Hadi Napster
Hadriani Pudjiarti
Halim HD
Halimi Zuhdy
Hamberan Syahbana
Han Gagas
Hanibal W. Y. Wijayanta
Hardi
Haris del Hakim
Haris Saputra
Harri Ash Shiddiqie
Hartono Harimurti
Hary B Kori’un
Hasan Aspahani
Hasan Junus
Hasif Amini
Hasnan Bachtiar
Hasta Indriyana
HE. Benyamine
Hendra Junaedi
Hendra Makmur
Heri CS
Heri Latief
Heri Listianto
Herman RN
Herry Lamongan
Heru CN
Heru Nugroho
Hikmat Gumelar
HL Renjis Magalah
Hudan Nur
Hujuala Rika Ayu
Huminca Sinaga
IBM. Dharma Palguna
Ibnu Wahyudi
Ida Farida
Idris Pasaribu
Ignas Kleden
Ignatius Haryanto
Iksan Basoeky
Ilham Khoiri
Imam Cahyono
Imam Muhtarom
Imam Nawawi
Imamuddin SA
Iman Budhi Santosa
Imron Rosyid
Imron Tohari
Indiar Manggara
Indra Intisa
Indra Tjahyadi
Indra Tranggono
Indrian Koto
Ira Puspitaningsih
Irfan Budiman
Isbedy Stiawan Z.S.
Iskandar Noe
Iskandar Zulkarnain
Ismail Marzuki
Iva Titin Shovia
Iwan Kurniawan
Jabbar Abdullah
Jafar Fakhrurozi
Jalan Raya Simo Sungelebak
Jamal D. Rahman
Jamal T. Suryanata
Javed Paul Syatha
Jayaning S.A
JILFest 2008
Jody Setiawan
Johan Edy Raharjo
Johannes Sugianto
Joko Pinurbo
Joko Sandur
Joni Ariadinata
Jual Buku
Jual Buku Paket Hemat
Juan Kromen
Julika Hasanah
Jurnalisme Sastrawi
Jusuf AN
Juwairiyah Mawardy
Ka’bati
Karanggeneng
Karya Lukisan: Andry Deblenk
Kasnadi
Keith Foulcher
Kemah Budaya Panturan (KBP)
Khansa Arifah Adila
Khoirul Inayah
Khoirul Rosyadi
Khudori Husnan
Ki Ompong Sudarsono
Kirana Kejora
Komplek Gor Kamantren Paciran Lamongan
Komunitas Deo Gratias
Komunitas Sastra Ilalang Indonesia
Korrie Layun Rampan
Kostela
Kritik Sastra
Kukuh S Wibowo
Kurnia Effendi
Kurniawan
Kuswaidi Syafi'ie
L.N. Idayanie
Laili Rahmawati
Lamongan
Lan Fang
Langgeng Widodo
Lathifa Akmaliyah
Leila S. Chudori
Lely Yuana
Lembaga Pengembangan Pembelajaran dan Penjaminan Mutu (LP3M) Universitas Jember
Liestyo Ambarwati Khohar
Lina Kelana
Linda Sarmili
Liza Wahyuninto
Lucia Idayanie
Lukman A Sya
Lutfiah
Lynglieastrid Isabellita
M Arman AZ
M Ismail
M Thobroni
M. Afifuddin
M. Arwan Hamidi
M. Lukluk Atsmara Anjaina
M. Lutfi
M. Luthfi Aziz
M. Nurdin
M. Yoesoef
M.D. Atmaja
M.S. Nugroho
Mahendra Cipta
Mahmud Jauhari Ali
Mahmud Syaltut Usfa
Mahmudi Arif Dahlan
Malam Apresiasi Seni Tanahmerah Ponorogo
Malkan Junaidi
Maman S. Mahayana
Mardi Luhung
Marhalim Zaini
Martin Aleida
Maruli Tobing
Mas Ruscita
Mashuri
Masuki M. Astro
Matroni
Matroni Muserang
Media: Crayon on Paper
Membongkar Mitos Kesusastraan Indonesia
MG. Sungatno
Mh Zaelani Tammaka
Mia Arista
Mia El Zahra
Mikael Johani
Misbahus Surur
Misran
Mohamad Ali Hisyam
Mohammad Eri Irawan
Much. Khoiri
Muh. Muhlisin
Muhammad Al-Fayyadl
Muhammad Amin
Muhammad Aris
Muhammad Muhibbuddin
Muhammad Rain
Muhammad Taufiqurrohman
Muhammad Yasir
Muhammad Zuriat Fadil
Muhammadun
Muhammadun AS
Muhidin M Dahlan
Mujtahid
Mujtahidin Billah
Mukti Sutarman Espe
Mulyadi SA
Mulyosari Banyuurip Ujungpangkah Gresik
Munawir Aziz
Musfarayani
Musfi Efrizal
Nafisatul Husniah
Nandang Darana
Naskah Teater
Nelson Alwi
Ni Made Purnamasari
Nikmatus Sholikhah
Nina Herlina Lubis
Nina Susilo
Ning Elia
Noor H. Dee
Noval Jubbek
Novel-novel berbahasa Jawa
Novelet
Nunuy Nurhayati
Nur Azizah
Nur Hamzah
Nur Kholiq
Nurdin Kalim
Nurel Javissyarqi
Nurul Aini
Nurul Anam
Nurul Komariyah
Nuryana Asmaudi SA
Nyoman Tusthi Eddy
Obrolan
Okty Budiati
Orasi Budaya Akhir Tahun 2018
Otto Sukatno CR
Oyos Saroso H.N.
Pagan Press
Pagelaran Musim Tandur
Palupi Panca Astuti
Parimono V / 40 Plandi Jombang
Pawang Surya Kencana
PDS H.B. Jassin
Petrus Nandi
Politik
Politik Sastra
Pradana Boy ZTF
Pramoedya Ananta Toer
Pramono
Pringadi AS
Prof Dr Fabiola D. Kurnia
Prosa
Puisi
Puji Santosa
Puji Tyasari
Puput Amiranti N
Purnawan Andra
Purnawan Kristanto
Pusat Dokumentasi Sastra H.B. Jassin
Pustaka Ilalang Group
PUstaka puJAngga
Putu Wijaya
Qaris Tajudin
R. Ng. Ronggowarsito
Rachmad Djoko Pradopo
Radhar Panca Dahana
Rahmat Kemat Hidayatullah
Rahmat Sularso Nh
Rakai Lukman
Rakhmat Giryadi
Rasanrasan Boengaketji
Raudal Tanjung Banua
Redland Movie
Reiny Dwinanda
Resensi
Rialita Fithra Asmara
Ribut Wijoto
Riki Dhamparan Putra
Riki Utomi
Ririe Rengganis
Risang Anom Pujayanto
Riyon Fidwar
Robin Al Kautsar
Robin Dos Santos Soares
Rodli TL
Rofiqi Hasan
Roso Titi Sarkoro
Rozi Kembara
Rukardi
Rumah Budaya Pantura (RBP)
Rusmanadi
S Yoga
S. Jai
S.W. Teofani
Sabrank Suparno
Sahaya Santayana
Saiful Amin Ghofur
Saiful Anam
Sainul Hermawan
Sajak
Salamet Wahedi
Salman S. Yoga
Samsudin Adlawi
Samsul Anam
Sanggar Lukis Alam
Sanggar Pasir
Sanggar Rumah Ilalang KSII
Santi Puji Rahayu
Sapardi Djoko Damono
Saroni Asikin
Sartika Dian Nuraini
Sastra dan Kuasa Simbolik
Sastra Jawa Timur
Satmoko Budi Santoso
Saut Situmorang
Sayyid Fahmi Alathas
SelaSastra #24 di Boenga Ketjil Jombang
SelaSastra Boenga Ketjil
SelaSastra Boenga Ketjil #33
Seno Gumira Ajidarma
Seno Joko Suyono
Sergi Sutanto
Setia Naka Andrian
Shiny.ane el’poesya
Sholihul Huda
Sigit Susanto
Sihar Ramses Simatupang
Sinopsis
Siti Khoeriyah
Siti Muyassarotul Hafidzoh
Siti Sa’adah
Siwi Dwi Saputra
Siwi Dwi Saputro
Sjifa Amori
Slamet Rahardjo Rais
Soegiharto
Sofyan RH. Zaid
Soni Farid Maulana
Sony Prasetyotomo
Sosiawan Leak
Spectrum Center Press
Sri Weni
Sri Wintala Achmad
Suci Ayu Latifah
Sucipto Hadi Purnomo
Sudirman
Sugi Lanus
Sukron Ma’mun
Sulaiman Djaya
Sunaryono Basuki Ks
Sungatno
Sungging Raga
Sunlie Thomas Alexander
Sunu Wasono
Supriyadi
Surya Lesmana
Suryanto Sastroatmodjo
Susianna
Sutardji Calzoum Bachri
Sutejo
Suyanto
Syaf Anton Wr
Syaifuddin Gani
Syaiful Amin
Syarif Wadja Bae
Sylvianita Widyawati
TanahmeraH ArtSpace
Tarmuzie (1961-2019)
Taufiq Ismail
Taufiq Wr. Hidayat
Teguh Presetyo
Teguh Setiawan
Teguh Winarsho AS
Temu Penyair Timur Jawa
Tengsoe Tjahjono
Tia Setiadi
Tirto Suwondo
Tita Tjindarbumi
Tjahjono Widarmanto
Tjahjono Widijanto
Toko Buku Murah PUstaka puJAngga Lamongan
Tosa Poetra
Tri Nurdianingsih
Triyanto Triwikromo
TS Pinang
Tu-ngang Iskandar
Tulus S
Ulul Azmiyati
Umar Fauzi
Umar Fauzi Ballah
Umar Kayam
Umbu Landu Paranggi
Universitas Indonesia
Universitas Jember
Usman Arrumy
Utari Tri Prestianti
Viddy AD Daery
Virdika Rizky Utama
W Haryanto
W.S. Rendra
Wahyu Prasetya
Wan Anwar
Wawan Eko Yulianto
Wawancara
Wina Bojonegoro
Wita Lestari
Wong Wing King
Wowok Hesti Prabowo
Xu Xi (Sussy Komala)
Y. Thendra BP
Y. Wibowo
Yanusa Nugroho
Yasraf Amir Piliang
Yayat R. Cipasang
Yohanes Sehandi
Yona Primadesi
Yopi Setia Umbara
Yudhi Herwibowo
Yudi Latif
Yusri Fajar
Yusuf Ariel Hakim
Yuval Noah Harari
Zacky Khairul Uman
Zainuddin Sugendal
Zamakhsyari Abrar
Zawawi Se
Zed Abidien
Zehan Zareez
Zhaenal Fanani
Zubaidi Khan
Zuniest
Tidak ada komentar:
Posting Komentar