Minggu, 08 Februari 2009

Pertengahan November yang Menikam-nikam1)

Ghassan Kanafani2)
Alih Bahasa Oleh Misran3)
http://www.riaupos.com/

Duhai Ibrahim...!

Entah kepada siapa pesan ini harus kutujukan. Aku tak tahu. Padamu sudah kujanjikan, tiap pertengahan November akan membawakan karangan bunga tanda kasih ke makammu, untuk kutebarkan. Sekarang sudah pertengahan November pula, dan belum satu karangan bunga pun kudapatkan. Sekiranya kudapat, bagaimanakah aku dapat sampai ke makammu dan memberikannya padamu? Padahal sudah dua belas tahun berlalu.

Kuyakin, saat ini kamu jauh dari apapun. Sebagaimana jauh terhunjamnya kamu ke perut bumi dan terurai, sedalam itu pula kamu kian menghunjam dalam ingatan kami dan terurai. Raut mukamu ikut terurai. Bahkan aku tak dapat lagi mengingat raut mukamu itu dengan baik. Suaramu memang menjadi agak sulit kukenali, bahkan kerlingan matamu pun tak dapat lagi kuingat. Aku pun menjadi sulit membayangkan bagaimana anggota tubuhmu melakukan gerak-gerik. Kini, di benakku tinggal jasad kaku, dengan telapak tangan terlipat di dada dan secarik kain penuh darah yang melintang dari bagian telinga ke bibir.

Namun, kali ini jelas sekali, aku dapat mengingat bagaimana mereka memanggulmu, dan membiarkanmu terhenyak dalam lahatmu, dengan pakaian yang masih utuh. Lalu mereka menimbunmu dengan tanah. Sesaat kemudian teman-temanmu yang terpaku tersentak mendengar suara rintihan seseorang yang terluka, yang semakin lama semakin kuat, lalu berhenti.

Pertanyaannya sekarang, untuk apa kutulis pesan ini padamu? Bukankah lebih pantas, setelah gagal membawakan karangan bunga ke makammu, aku tetap melanjutkan dua belas tahun bungkamku? Tapi, tampaknya, mustahil aku terus-terusan bungkam. Pertengahan November terus menekanku bagai takdir gila. Takdir yang pernah salah pilih: mestinya aku yang dibunuhnya, bukan kamu.

Benang cerita ini mulai mengurai di kepalaku. Percayakah kamu, aku takut melupakannya? Sungguh aku takut melupakannya! Barangkali kamu pun telah lupa. Duhai, apa lagi gunanya cerita itu sekarang? Tapi aku ingin membantumu, dan membantu diriku untuk menjalinnya kembali.

Banyak cerita yang tidak punya awal, tetapi anehnya cerita kita berdua punya awal yang jelas. Bahkan saking jelasnya, aku hampir bersumpah, awal cerita itu bisa kamu anggap sebagai bagian terpisah dari seluruh kisah hidup kita:

Waktu itu menjelang Ashar. Kita –aku dan kamu– sudah siap di samping sebuah batu besar yang dijadikan tempat duduk, di depan rumah kakekmu. Kita sama-sama baru belajar mengokang senjata. Hingga saat itu, sasaran tembak kita masih kaleng-kaleng bekas yang kosong, tempat minyak jelantah. Jika tidak salah, bisa kukatakan kita pernah memakai kaleng merek “Cahaya Kaz” sebagai sasaran tembak, dua atau tiga kali.

Waktu itu sedang Ashar. Ya, kembali kuberi tekanan pada kata Ashar karena potret cerita kita tidaklah lengkap kecuali setelah disorot matahari Ashar. Kita sudah berdiri di samping batu besar itu, kemudian kudengar kamu bertanya:

“Katanya kamu mau balas dendam?”

Pertanyaanmu itu kusambut dengan tawa pendek. Giliranku kemudian yang bertanya: “Pada apa?”

Kamu lalu memberi isyarat pada tembok di seberang sana. Tanganmu menunjuk suatu makhluk. Kemudian ujarmu dengan senyum yang masih mengembang: “Kucing garong, yang mencuri sepasang merpati dari sangkarnya...!”

Kini berganti, aku yang tertawa. Aku ingat bagaimana kucing brengsek itu bisa sampai di atap dan menjangkau sangkar merpati di taman, dua malam berturut-turut. Ia berhasil melarikan sepasang merpati yang sudah susah-payah kami pelihara bersama kakek. Sebelum sempat kuberikan suatu keputusan, kamu sudah lebih dulu memotong: “Aku yang akan menjagalnya jika kamu tidak berani...”

Kamu sandangkan senapanmu ke bahu, langsung melepaskan satu tembakan. Dari sela asap yang tidak sedap baunya itu, kita menyaksikan kucing malang itu melompat ke belakang karena takut. Kemudian ia biarkan kakinya melompat ke pagar taman sebelah. Di atas pagar itu ia berhenti, mengamati bekas bidikanmu dengan mata kaget. Aku tidak tahu, setan apa yang membuatku berujar: “Kamu meleset. Giliranku sekarang mencoba.”

Aku ingat bagaimana tembakanku tepat mengenai kepalanya. Ketika melihat kucing itu dari teropong di ujung senapan, aku merasa tubuh ini menggigil. Sasaran tembakku seketika menjadi goyang. Mata kucing itu –masih saja– ketakutan menatap sekeliling, sedangkan ekornya ia kibas-kibaskan ke tanah. Namun, kedua telinganya ia tegakkan, berusaha mencium bahaya yang akan datang. Pada detik berikutnya, aku sudah melihatnya berada tepat di tengah-tengah teropong. Pelatuk kutarik dan peluru melumatnya persis di muka. Kucing itu terpental; kakinya menggapai-gapai di udara, bergerak-gerak. Sebelum akhirnya jatuh ke samping. Darah pun mengalir perlahan.

Lalu kamu menggiringku untuk melihatnya. Kamu bolak-balikkan bangkainya dengan ujung senapan lalu berbisik padaku: “Bidikan bagus... tepat di kepala. Kamu sudah memutus jaringan otaknya.”

Tapi kemudian aku muntah-muntah. Aku pun terbaring lemas di kasur sampai lebih dari dua minggu.

Kamu bertanya beberapa waktu kemudian ketika datang menjengukku, menertawaiku: “Hah. Kucing garong yang tertembak itu membuatmu sampai seperti ini? Lucu nian! Bukankah kamu pernah berjanji akan berperang melawan pria dewasa, tidak dengan kucing?”

Aku malu sekali mendengarnya. Entah bagaimana aku bisa berbohong padamu waktu itu: “Kucing? Gila kamu. Waktu kecil aku membunuh banyak kucing pakai batu. Semua ini gara-gara bahu senapan yang terangkat ke atas habis ditembakkan dan menyikut tenggorokanku. Itulah yang menyebabkanku muntah-muntah. Lagi pula, sebelumnya aku juga sudah sakit.”

“Kamu mau bohong ya? Baru kali ini aku tahu kamu bohong.”

Tapi yang membuatku merasa tenang waktu itu, kamu kembali datang pada sorenya. Kamu berbisik di telingaku, supaya aku mau berjanji ikut denganmu dalam sebuah ‘serangan’... dua hari lagi.

Di atas mobil yang membawa kita ke pemukiman Yahudi di desa tetangga, kamu bernyanyi riang seperti biasa. Sementara aku, masih belum pulih dari sakit akibat kejadian kemarin. Tiba-tiba kamu mencolekku untuk melihat kebun-kebun di kanan-kiri jalan. Bulan November telah memberinya warna baru: oh, bunga-bunga hanun. Waktu itu kita bahkan sempat mencari kupu-kupu mungil warna-warni. Demi seekor kupu-kupu kita bahkan tega menjatuhkan ribuan bunga hanun yang merah, dari tangkainya. Alangkah indahnya.

“Aku kan bahagia bila kamu berjanji mau membawakan seikat bunga hanun tiap November ke makamku. Kamu mau kan?”

“Kamu ini ada-ada saja. Tapi jika janjiku bisa menghentikan bualanmu, aku mau saja!”

Tawa gugur dari kedua bibirku. Kamu lalu mendekapkan senjata ke dada. Dengan suara yang lembut, tapi dalam, kamu berbisik: “Makasih...”

Kita sampai di kebun milik pemukim Yahudi itu pada waktu Zuhur. Rencana yang kita buat cukup berani, tapi mungkin dilakukan: menduduki rumah-rumah di pinggir pemukiman lalu menggempurnya. Baru kemudian kembali ke kampung kita.

Namun, yang terjadi setelah itu justru berbeda dari rencana semula. Kita tertangkap tangan oleh beberapa pria Yahudi ketika sedang berada di kebun mereka. Pertempuran pun tak terelakkan. Aku di sampingmu, memberondongkan senapan membabi-buta. Tak satu pun mengenai musuh. Waktu itu, kita lari terbirit-birit menginjak duri dan tanaman. Apakah hari itu kamu merasa kecut, tak dapat lagi kuingat pasti. Tiba-tiba, seorang Yahudi sudah menghadang kita di depan sehingga membuat pikiranku kacau. Tangannya yang mengenggam sebuah granat tangan melemparkannya pada kita. Masih sempat kudengar teriakanmu saat asap hampir membuat mata kita tak mampu melihat apa-apa: “Bunuh dia. Dia memegang sebuah ranjau...”

Asap pun berkurang. Namun, Yahudi itu masih berdiri di tempat tadi, menggenggam granat tangan yang kedua. Ia mencari-cari kita di antara tanaman yang ada. Melalui teropong senapan aku dapat melihatnya berdiri di sana, dengan mata ketakutan. Beberapa saat berlalu, namun jemariku belum juga bisa menarik pelatuk. Badanku menggigil. Sasaran tembak masih berdiri di tempatnya. Aku dapat melihatnya dari teropong senapan. Lalu dari teropong yang sama aku melihatnya menemukanmu. Ia lalu melemparkan granat tangannya yang kedua dan kabur.

Akhirnya, kami memanggulmu pulang dan membawamu ke kampung kita. Tempat kamu dikubur masih dengan pakaian lengkap sebagaimana layaknya para syuhada. Di belakang teman-temanmu, ibumu menangis sendirian. Sementara itu dengan ditindih oleh rasa malu, aku mengais-ngais tanah yang masih basah dan menanam karangan bunga hanun, yang kita petik di jalan kita pulang, di makammu.

Sudah dua belas tahun berlalu semenjak hari itu. Rasa malu itu tak pernah bisa kuhindari. Tiap November tiba, ia menyesaki dadaku tak kenal ampun layaknya sebuah mimpi buruk.

Pertanyaan yang senantiasa menggema di kepalaku: Mengapa saat ini aku kembali mengingatmu, dan menulis pesan ini? Tidakkah sebaiknya aku tetap dalam bungkamku?

Takkan! Aku takkan sanggup. Hari-hari terus berlalu, sedang kamu kian jauh terkubur di dalam sana. Aku takut lupa padamu. Betapa pun tersiksanya aku karena mengingatmu, namun tak kan kubiarkan hal itu terjadi. Mungkin, suatu hari nanti, rasa tersiksa ini dapat membuatku merasa betapa sangat perlunya aku datang kembali ke makammu, lalu menyerakkan beberapa kuntum bunga hanun di atasnya. Aku tidak tahu, sudah seberapa beraninya aku sekarang. Sanggupkah aku membunuh seorang saja pria Yahudi tanpa gemetar? Aku sudah dewasa kini. Lagi pula, tinggal di pemukiman pengungsi telah membantuku berubah menjadi lebih keras.

Namun, semua itu belum mampu membuatku cukup yakin. Satu hal yang kuyakini secara pasti, rasa malu ini betul-betul telah membuatku terpojok...hingga ke tulang sumsum. Apakah malu saja cukup? Kukira, cukup. Sebab, aku membunuh kucing itu hanya gara-gara kesalahannya menerkam sepasang merpati. Tentu, karena ia sangat lapar. Padahal, yang saat ini sedang kubela adalah orang-orang dengan jumlah ribuan yang didera rasa lapar, baik laki-laki maupun perempuan. Aku ikut berbaris di tengah-tengah mereka menghadapi para pencuri yang telah merampas segalanya dari kami. Inikah alasannya sehingga aku bangkit dari bungkamku, yakni agar aku semakin mengakrabimu?

Pengakuan ini niscaya akan memberiku maaf.

Aku sadar, sebagaimana seharusnya juga kamu sadari sejak lama, terkadang segelintir orang harus merelakan diri mereka mati, agar yang lain dapat terus hidup, ungkap sebuah kata bijak. Namun yang terpenting dari semua itu, sekarang, aku sedang hidup di dalamnya.***

------------------
1)Diterjemahkan dari cerpen yang berjudul Muntashaf Ayar.

2)Sastrawan yang bernama lengkap Ghassan Fayiz Kanafani ini dilahirkan di Yafa (Palestina) pada 9 April 1936. Di samping sebagai sastrawan ia juga dikenal sebagai jurnalis. Semenjak pendudukan Israel atas tanah kelahirannya, hidupnya banyak ia habiskan di pengungsian hingga meninggal secara tragis karena ledakan bom yang dipasang orang tak di kenal di mobilnya, pada 8 Juli 1973, di depan rumahnya di Beirut. Ia meninggal dalam usia 36 tahun.

3)Misran adalah penggemar sastra. Sarjana sastra sastra lulusan Al-Azhar, Mesir.

Tidak ada komentar:

A Rodhi Murtadho A. Ginandjar Wiludjeng A. Junianto A. Kurnia A. Qorib Hidayatullah A. Yusrianto Elga A.S Laksana A’yat Khalili Aang Fatihul Islam Abdul Azis Sukarno Abdul Aziz Rasjid Abdul Hadi WM Abdul Kadir Ibrahim Abdul Malik Abdul Razak Abdul Rosyid Abdul Wahab Abdurrahman Wahid Abu Salman Acep Iwan Saidi Acep Zamzam Noor Adam Chiefni Ade P. Nasution Adhitia Armitriant Adi Prasetyo Adrizas AF. Tuasikal Afriza Hanifa Afrizal Malna Agama Para Bajingan Agnes Rita Sulistyawaty Aguk Irawan M.N. Agus B. Harianto Agus Buchori Agus R. Sarjono Agus R. Subagyo Agus Sulton Agus Sunyoto Ahda Imran Ahid Hidayat Ahmad Baso Ahmad Faishal Ahmad Fatoni Ahmad Hasan MS Ahmad Kekal Hamdani Ahmad Khotim Muzakka Ahmad Muchlish Amrin Ahmad Naufel Ahmad Rofiq Ahmad S. Zahari Ahmad Syauqi Sumbawi Ahmad Yulden Erwin Ahmad Zaini Ahmadun Yosi Herfanda Ahsanu Nadia Aini Aviena Violeta Ainul Fiah Ajip Rosidi Akhiriyati Sundari Akhmad Muhaimin Azzet Akhmad Sekhu Akhmad Sofyan Hadi Akhmad Taufiq Akhudiat Akmal Nasery Basral Alam Terkembang Alang Khoiruddin Alex R. Nainggolan Alfian Dippahatang Ali Audah Ali Mahmudi CH Ali Rif’an Almania Rohmah Ami Herman Amien Wangsitalaja Aminah Aminullah HA.Noor Amir Sutaarga Anam Rahus Anata Siregar Andari Karina Anom Andina Dwifatma Andong Buku #3 Andre Mediansyah Andri Awan Anett Tapai Anggie Melianna Anindita S Thayf Anis Ceha Anjrah Lelono Broto Anton Bae Anton Kurnia Anton Wahyudi Anwar Nuris Ardi Bramantyo Ardus M Sawega Arie MP Tamba Arie Yani Arief Joko Wicaksono Arief Junianto Ariera Arif Bagus Prasetyo Aris Kurniawan Arman A.Z. Arswendo Atmowiloto Arti Bumi Intaran AS Sumbawi Asarpin Asep Sambodja Asmaul Fauziyah Asti Musman Atafras Awalludin GD Mualif Ayu Wulan Sari Aziz Abdul Gofar Azizah Hefni Bagus Takwin Bahrul Ulum A. Malik Balada Bale Aksara Balok Sf Bambang Kempling Bamby Cahyadi Bandung Mawardi Beni Setia Benny Arnas Benny Benke Beno Siang Pamungkas Bentara Budaya Yogyakarta Berita Berita Duka Berita Koran Bernando J Sujibto Berthold Damshauser BI Purwantari Binhad Nurrohmat Bobby Gunawan Bonari Nabonenar Brunel University London Budaya Budi Darma Budi P. Hatees Budiman S. Hartoyo Burhanuddin Bella Camelia Mafaza Catatan Cerbung Cerpen Chairul Akhmad Chamim Kohari Chavchay Syaifullah Cover Buku Cucuk Espe D. Zaini Ahmad D. Zawawi Imron Dadang Ari Murtono Dahta Gautama Daisuke Miyoshi Damhuri Muhammad Dami N. Toda Damiri Mahmud Danarto Daniel Paranamesa Danusantoso Dareen Tatour Darju Prasetya David Kuncara Denny Mizhar Denza Perdana Desi Sommalia Gustina Desiana Medya A.L Dewan Kesenian Lamongan (DKL) Dewi Indah Sari Dewi Susme Dian Sukarno Didik Harianto Didik Kusbiantoro Dina Jerphanion Dina Oktaviani Dinas Kebudayaan dan Pariwisata (Disbudpar) Jawa Timur Dipo Handoko Diyah Errita Damayanti Djoko Pitono Djoko Saryono Doddy Wisnu Pribadi Dody Kristianto Dody Yan Masfa Donny Anggoro Donny Syofyan Dorothea Rosa Herliany Dr Junaidi SS MHum Dwi Cipta Dwi Fitria Dwi Pranoto Dwi Wiyana Dyah Ratna Meta Novia Dyah Sulistyorini Ecep Heryadi Eddy Pranata PNP Edeng Syamsul Ma’arif Eep Saefulloh Fatah EH Kartanegara Eka Budianta Eka Kurniawan Eko Hendrawan Sofyan Eko Hendri Saiful Eko Windarto Elnisya Mahendra Elva Lestary Emha Ainun Nadjib Emil WE Endah Sulwesi Endo Suanda Eppril Wulaningtyas R Esai Evan Ys F. Moses F. Rahardi Fadlillah Malin Sutan Fahmi Faqih Fahrudin Nasrulloh Faisal Kamandobat Fajar Kurnianto Fanani Rahman Fanny Chotimah Fatah Anshori Fatah Yasin Noor Febby Fortinella Rusmoyo Felix K. Nesi Festival Sastra Gresik Gabriel Garcia Marquez Galang Ari P. Galuh Tulus Utama Gampang Prawoto Gandra Gupta Ganug Nugroho Adi Gerson Poyk Ghassan Kanafani Gita Nuari Gita Pratama Goenawan Mohamad Grathia Pitaloka Gunoto Saparie H.B. Jassin Habibullah Hadi Napster Hadriani Pudjiarti Halim HD Halimi Zuhdy Hamberan Syahbana Han Gagas Hanibal W. Y. Wijayanta Hardi Haris del Hakim Haris Saputra Harri Ash Shiddiqie Hartono Harimurti Hary B Kori’un Hasan Aspahani Hasan Junus Hasif Amini Hasnan Bachtiar Hasta Indriyana HE. Benyamine Hendra Junaedi Hendra Makmur Heri CS Heri Latief Heri Listianto Herman RN Herry Lamongan Heru CN Heru Nugroho Hikmat Gumelar HL Renjis Magalah Hudan Nur Hujuala Rika Ayu Huminca Sinaga IBM. Dharma Palguna Ibnu Wahyudi Ida Farida Idris Pasaribu Ignas Kleden Ignatius Haryanto Iksan Basoeky Ilham Khoiri Imam Cahyono Imam Muhtarom Imam Nawawi Imamuddin SA Iman Budhi Santosa Imron Rosyid Imron Tohari Indiar Manggara Indra Intisa Indra Tjahyadi Indra Tranggono Indrian Koto Ira Puspitaningsih Irfan Budiman Isbedy Stiawan Z.S. Iskandar Noe Iskandar Zulkarnain Ismail Marzuki Iva Titin Shovia Iwan Kurniawan Jabbar Abdullah Jafar Fakhrurozi Jalan Raya Simo Sungelebak Jamal D. Rahman Jamal T. Suryanata Javed Paul Syatha Jayaning S.A JILFest 2008 Jody Setiawan Johan Edy Raharjo Johannes Sugianto Joko Pinurbo Joko Sandur Joni Ariadinata Jual Buku Jual Buku Paket Hemat Juan Kromen Julika Hasanah Jurnalisme Sastrawi Jusuf AN Juwairiyah Mawardy Ka’bati Karanggeneng Karya Lukisan: Andry Deblenk Kasnadi Keith Foulcher Kemah Budaya Panturan (KBP) Khansa Arifah Adila Khoirul Inayah Khoirul Rosyadi Khudori Husnan Ki Ompong Sudarsono Kirana Kejora Komplek Gor Kamantren Paciran Lamongan Komunitas Deo Gratias Komunitas Sastra Ilalang Indonesia Korrie Layun Rampan Kostela Kritik Sastra Kukuh S Wibowo Kurnia Effendi Kurniawan Kuswaidi Syafi'ie L.N. Idayanie Laili Rahmawati Lamongan Lan Fang Langgeng Widodo Lathifa Akmaliyah Leila S. Chudori Lely Yuana Lembaga Pengembangan Pembelajaran dan Penjaminan Mutu (LP3M) Universitas Jember Liestyo Ambarwati Khohar Lina Kelana Linda Sarmili Liza Wahyuninto Lucia Idayanie Lukman A Sya Lutfiah Lynglieastrid Isabellita M Arman AZ M Ismail M Thobroni M. Afifuddin M. Arwan Hamidi M. Lukluk Atsmara Anjaina M. Lutfi M. Luthfi Aziz M. Nurdin M. Yoesoef M.D. Atmaja M.S. Nugroho Mahendra Cipta Mahmud Jauhari Ali Mahmud Syaltut Usfa Mahmudi Arif Dahlan Malam Apresiasi Seni Tanahmerah Ponorogo Malkan Junaidi Maman S. Mahayana Mardi Luhung Marhalim Zaini Martin Aleida Maruli Tobing Mas Ruscita Mashuri Masuki M. Astro Matroni Matroni Muserang Media: Crayon on Paper Membongkar Mitos Kesusastraan Indonesia MG. Sungatno Mh Zaelani Tammaka Mia Arista Mia El Zahra Mikael Johani Misbahus Surur Misran Mohamad Ali Hisyam Mohammad Eri Irawan Much. Khoiri Muh. Muhlisin Muhammad Al-Fayyadl Muhammad Amin Muhammad Aris Muhammad Muhibbuddin Muhammad Rain Muhammad Taufiqurrohman Muhammad Yasir Muhammad Zuriat Fadil Muhammadun Muhammadun AS Muhidin M Dahlan Mujtahid Mujtahidin Billah Mukti Sutarman Espe Mulyadi SA Mulyosari Banyuurip Ujungpangkah Gresik Munawir Aziz Musfarayani Musfi Efrizal Nafisatul Husniah Nandang Darana Naskah Teater Nelson Alwi Ni Made Purnamasari Nikmatus Sholikhah Nina Herlina Lubis Nina Susilo Ning Elia Noor H. Dee Noval Jubbek Novel-novel berbahasa Jawa Novelet Nunuy Nurhayati Nur Azizah Nur Hamzah Nur Kholiq Nurdin Kalim Nurel Javissyarqi Nurul Aini Nurul Anam Nurul Komariyah Nuryana Asmaudi SA Nyoman Tusthi Eddy Obrolan Okty Budiati Orasi Budaya Akhir Tahun 2018 Otto Sukatno CR Oyos Saroso H.N. Pagan Press Pagelaran Musim Tandur Palupi Panca Astuti Parimono V / 40 Plandi Jombang Pawang Surya Kencana PDS H.B. Jassin Petrus Nandi Politik Politik Sastra Pradana Boy ZTF Pramoedya Ananta Toer Pramono Pringadi AS Prof Dr Fabiola D. Kurnia Prosa Puisi Puji Santosa Puji Tyasari Puput Amiranti N Purnawan Andra Purnawan Kristanto Pusat Dokumentasi Sastra H.B. Jassin Pustaka Ilalang Group PUstaka puJAngga Putu Wijaya Qaris Tajudin R. Ng. Ronggowarsito Rachmad Djoko Pradopo Radhar Panca Dahana Rahmat Kemat Hidayatullah Rahmat Sularso Nh Rakai Lukman Rakhmat Giryadi Rasanrasan Boengaketji Raudal Tanjung Banua Redland Movie Reiny Dwinanda Resensi Rialita Fithra Asmara Ribut Wijoto Riki Dhamparan Putra Riki Utomi Ririe Rengganis Risang Anom Pujayanto Riyon Fidwar Robin Al Kautsar Robin Dos Santos Soares Rodli TL Rofiqi Hasan Roso Titi Sarkoro Rozi Kembara Rukardi Rumah Budaya Pantura (RBP) Rusmanadi S Yoga S. Jai S.W. Teofani Sabrank Suparno Sahaya Santayana Saiful Amin Ghofur Saiful Anam Sainul Hermawan Sajak Salamet Wahedi Salman S. Yoga Samsudin Adlawi Samsul Anam Sanggar Lukis Alam Sanggar Pasir Sanggar Rumah Ilalang KSII Santi Puji Rahayu Sapardi Djoko Damono Saroni Asikin Sartika Dian Nuraini Sastra dan Kuasa Simbolik Sastra Jawa Timur Satmoko Budi Santoso Saut Situmorang Sayyid Fahmi Alathas SelaSastra #24 di Boenga Ketjil Jombang SelaSastra Boenga Ketjil SelaSastra Boenga Ketjil #33 Seno Gumira Ajidarma Seno Joko Suyono Sergi Sutanto Setia Naka Andrian Shiny.ane el’poesya Sholihul Huda Sigit Susanto Sihar Ramses Simatupang Sinopsis Siti Khoeriyah Siti Muyassarotul Hafidzoh Siti Sa’adah Siwi Dwi Saputra Siwi Dwi Saputro Sjifa Amori Slamet Rahardjo Rais Soegiharto Sofyan RH. Zaid Soni Farid Maulana Sony Prasetyotomo Sosiawan Leak Spectrum Center Press Sri Weni Sri Wintala Achmad Suci Ayu Latifah Sucipto Hadi Purnomo Sudirman Sugi Lanus Sukron Ma’mun Sulaiman Djaya Sunaryono Basuki Ks Sungatno Sungging Raga Sunlie Thomas Alexander Sunu Wasono Supriyadi Surya Lesmana Suryanto Sastroatmodjo Susianna Sutardji Calzoum Bachri Sutejo Suyanto Syaf Anton Wr Syaifuddin Gani Syaiful Amin Syarif Wadja Bae Sylvianita Widyawati TanahmeraH ArtSpace Tarmuzie (1961-2019) Taufiq Ismail Taufiq Wr. Hidayat Teguh Presetyo Teguh Setiawan Teguh Winarsho AS Temu Penyair Timur Jawa Tengsoe Tjahjono Tia Setiadi Tirto Suwondo Tita Tjindarbumi Tjahjono Widarmanto Tjahjono Widijanto Toko Buku Murah PUstaka puJAngga Lamongan Tosa Poetra Tri Nurdianingsih Triyanto Triwikromo TS Pinang Tu-ngang Iskandar Tulus S Ulul Azmiyati Umar Fauzi Umar Fauzi Ballah Umar Kayam Umbu Landu Paranggi Universitas Indonesia Universitas Jember Usman Arrumy Utari Tri Prestianti Viddy AD Daery Virdika Rizky Utama W Haryanto W.S. Rendra Wahyu Prasetya Wan Anwar Wawan Eko Yulianto Wawancara Wina Bojonegoro Wita Lestari Wong Wing King Wowok Hesti Prabowo Xu Xi (Sussy Komala) Y. Thendra BP Y. Wibowo Yanusa Nugroho Yasraf Amir Piliang Yayat R. Cipasang Yohanes Sehandi Yona Primadesi Yopi Setia Umbara Yudhi Herwibowo Yudi Latif Yusri Fajar Yusuf Ariel Hakim Yuval Noah Harari Zacky Khairul Uman Zainuddin Sugendal Zamakhsyari Abrar Zawawi Se Zed Abidien Zehan Zareez Zhaenal Fanani Zubaidi Khan Zuniest