Sabtu, 28 Februari 2009

Kristal-Kristal Kesunyian

Indra Tranggono
http://www.jawapos.com/

Ya, kesunyian telah lama mengkristal di kota kami. Kesunyian telah memadat, nyaris tanpa celah, tanpa rongga atau sekadar pori-pori. Kesunyian telah menjelma serupa dinding kaca. Bening. Bercahaya. Namun tak teraba. Kami, yang tinggal di dalamnya, hanya bisa melambai-lambaikan tangan sebagai uluk salam bagi sahabat, kawan, dan handai taulan yang selalu datang dan menghilang.

Dinding-dinding yang melingkupi kehidupan kami, luas tanpa batas, pipih tanpa tepi. Dinding-dinding itu telah menyublim, namun tetap meruang dan membentuk jarak. Sekeras apa pun engkau berteriak di seberang sana, kami tidak akan pernah mendengar. Yang tertangkap hanya gerak bibirmu seperti bibir orang bisu. Jika hujan tiba, kami tak pernah basah meski tanpa atap. Hanya pahatan-pahatan jarum hujan yang kami lihat. Jangan salah paham, kawan. Ruang kota kami bukan seperti ruang interogasi yang sering kalian lihat dalam film luar negeri di bioskop atau layar televisi. Itu pengandaian yang terlalu sederhana bahkan konyol. Ruang di kota kami jauh lebih luas dan lebih memberikan kebebasan daripada ruang interogasi.

Kami juga hidup wajar. Kami berhubungan dengan orang di luar kota kami. Jika Pak Pos datang -yang mengantarkan surat dari negeri seberang--maka Pak Pos tinggal memberikan isyarat lambaian tangan. Dan kami pun -dari balik dinding-- tinggal memberikan isyarat ketukan. Maka surat itu akan terurai menjadi partikel-partikel yang mahalembut dan diisap oleh dinding kami. Di dalam dinding, partikel-partikel itu menyatu dan memadat membentuk sepucuk surat kembali.

Itulah sebabnya, kami tidak sedang mengasingkan diri. Siapa pun dari kalian bisa mengunjungi ruang kami. Tapi, kalian harus berani menjadi benda yang terurai membentuk partikel-partikel agar bisa diisap dinding kota kami. Jika nasib kalian baik, tubuh kalian yang semula terurai itu akan kembali memadat dan membentuk sosok. Ini pengalaman yang sangat menegangkan. Bahkan menakutkan. Kebanyakan orang tidak berani menempuh prosedur standar seperti itu. Memang pernah terjadi peristiwa yang kami catat sebagai kecelakaan. Lima tahun lalu, ketika kesunyian di kota kami telah mengkristal, ada kawan lama yang mengunjungi kami. Namun, ia tak pernah kami temukan setelah tubuhnya terurai. Sejak peristiwa itu, banyak orang yang takut memasuki ruang kami.

Berbeda dengan hidup kalian yang punya waktu 24 jam, kami memiliki jumlah waktu lebih banyak: 36 jam. Jadi, hidup kami jauh lebih panjang dari kalian. Dengan kelebihan 12 jam setiap hari itu, kami lebih mungkin mewujudkan mimpi-mimpi kami. Seperti menciptakan makanan tak berbentuk, melainkan hanya berupa sinyal cahaya. Begitu merasa lapar, kami memencet salah satu tombol di tubuh kami dan melesatlah sinyal cahaya itu. Dalam sekejap, kami pun merasa kenyang. Berak? Ah, ada saja pertanyaan kalian. Kami juga berak, namun yang keluar bukan benda melainkan cahaya. Begitu pula ketika kami kencing, maka akan muncul seleret cahaya dari kemaluan kami. Dahsyat? Ah, biasa.

Seperti juga kalian, kami pun memiliki gairah bercinta. Namun persetubuhan kami tidak secara wadag, melainkan lewat pertemuan sinyal yang memunculkan peletikan cahaya, seperti kabel listrik plus-minus yang bergesekan. Meski hanya beberapa detik, kami mampu meraih kenikmatan yang luar biasa. Jika terjadi kehamilan, maka anak-anak kami yang lahir pada mulanya berbentuk cahaya yang perlahan memadat dan berbentuk manusia, sebelum akhirnya menangis.

Anak-anak kami tumbuh sehat, montok, dan lucu. Senyum mereka selalu terpahat di gigi susu. Mereka tak perlu diawasi karena bisa menjaga diri; bermain di bawah pancuran air, mencari ikan di sungai, atau bermain di taman penuh bunga-bunga yang terbuat dari cahaya. Mereka begitu cepat tumbuh menjadi orang-orang muda cerdas dan perkasa, juga bisa jenaka; setidaknya jenaka dalam menertawai diri sendiri, suatu sikap yang di luar sana mungkin makin langka: begitu banyak orang gampang tersinggung hanya karena punya kekuasaan dan uang; mereka pun gemar memborong kebenaran.

Di kota kami kebenaran tidak pernah tunggal, tapi lahir dari banyak kepala, dari banyak hati, dari banyak suara. Kami menamainya kebenaran bunga-bunga: di taman setiap bunga berhak tumbuh, berkembang dan menyatakan dirinya lewat warna dan aroma. Begitu ada tanaman bunga yang ingin menguasai taman, kami pun bersama-sama melawan. Tapi itu tidak berarti kami lantas anti kepadanya. Kami hanya ingin dia tidak jumawa, rakus, dan berkuasa.

O ya, sekarang kami sedang menulis cerita perjalanan hidup kami dan kelahiran kota kami: Glabatt. Kami tak berani menyebutnya sebagai sejarah. Itu terlalu besar dan jumawa.

Pada mulanya, kota kami tak beda dengan kota-kota lain di negeri Couroptick: padat penduduk, kumuh, kumal, lamban, dan banyak orang yang memelihara hobi mencuri. Para pemimpin hanya terampil ngomong, sok tahu dan ulet di dalam memburu keuntungan, terutama buat dirinya. Kami memang punya wakil di parlemen, tapi mereka sudah lama melupakan kami. Kami tak lebih dari gerombolan makhluk yang hanya bisa diperas suara dan dukungannya menjelang pemilihan wakil rakyat, presiden atau pimpinan daerah. Mereka sangat menyedihkan: merasa sebagai politisi tapi sesungguhnya tak lebih dari pialang. Mereka menjadikan parlemen tak lebih dari pasar hewan.

Tapi, entah kenapa kami selalu memaafkan mereka, ya setidaknya terpaksa melupakan pengkhianatan-pengkhianatan mereka. Buktinya, setiap menjelang pemilihan pemimpin atau wakil rakyat tiba, kami tetap saja menjadi keledai-keledai dungu yang tak pernah melawan digiring ke bilik-bilik suara. Mereka sangat piawai membakar semangat kami. Seolah-olah, masa depan bangsa dipertaruhkan di bilik suara. Dan, celakanya, kami begitu mudah terkesima. Padahal sesungguhnya yang dipertaruhkan dalam setiap pemilihan hanyalah kepentingan mereka sendiri.

Untunglah gempa bumi itu datang, memporak-porandakan kota kami. Kami mensyukurinya, karena kami mengira Tuhan akan segera mengambil kami. Bagi kami itu lebih baik, daripada menderita dijajah bangsa sendiri.

Tapi ajaib, sesudah rumah-rumah kami porak-poranda dan harta kami lenyap, muncul peristiwa yang sangat menakjubkan. Pelan-pelan kota kami tenggelam. Bumi merekah, membuka jalan bagi kami untuk memasuki ceruk bumi. Waktu itu, kami merasa hidup kami sudah selesai. Tapi Tuhan punya rencana lain. Kota kami terus bergerak ke bawah dan ke bawah. Semua serbagelap. Hitam. Sunyi. Semua jeritan kami telah menyublim menjadi kesunyian.

Tak lama sesudah kami dikuasai kegelapan, kami pun mendadak disergap cahaya yang terang-benderang. Cahaya itu memaksa kami membuka kelopak mata kami. Dan Tuhan Maha Besar: di hadapan kami terhampar ruang yang penuh cahaya. Hamparan ruang itu pelan-pelan naik ke permukaan bumi, dan akhirnya menjelma kota cahaya seperti yang kalian lihat sekarang ini. Kami menganggap semua perjalanan yang sangat menakutkan dan menegangkan itu lebih mirip dongeng. Tapi, bagi kami, dongeng tidak selalu bisa dianggap isapan jempol.

Dunia sangat takjub kepada kota kami. Mereka tak habis pikir, kenapa sebuah kota yang semula tenggelam bisa muncul kembali ke permukaan dan berubah bentuk menjadi kota cahaya. Mereka menganggap kota kami lebih fantastis dari Candi Borobudur, Tembok Cina, Air Terjun Niagara, dan Tajmahal. Setiap hari mereka datang. Mereka menonton kami bak ikan dalam akuarium raksasa. Mereka memotret kami atau merekam kegiatan kami dengan kamera video. Semula kami sangat tersinggung. Tapi, akhirnya kami pun maklum.

Pemerintah pusat, lewat Presiden Grobadoor mengklaim kota kami sebagai asetnya. Pernyataan ini juga diulang-ulang oleh juru bicara presiden Dhoboz Trevor. Ia katakan, kota kami merupakan rahmat yang terindah dari bencana alam. ''Blessing in disguise, kata yang paling tepat bagi munculnya kembali Kota Glabatt yang fantastis itu!'' tukasnya di depan para wartawan.

Kami tertawa mendengar ucapan-ucapan yang lebih mirip ceracau orang mabuk itu. Bagaimana mereka bisa dengan tidak malu mengakui kota kami ini milik mereka? Bukankah ketika gempa itu tiba, pemerintah pusat tidak pernah peduli kepada nasib kami? Kami dibiarkan digasak bumi yang merekah. Kami dibiarkan lapar, kedingingan, sakit, dan bahkan mati. Sementara itu, kini mereka dengan tanpa rasa bersalah dan rasa malu tega menuai gemerincing dolar. Ternyata watak licik dan rakus masih diidap mereka.

Kami akhirnya memutuskan untuk melepaskan diri dari negeri Couroptick. Lewat sejumlah diplomasi, kami membentuk Glabatt menjadi negara. Tapi ini pun tidak mudah. Negeri Couroptick mengerahkan ratusan ribu tentara untuk menyerbu Glabatt. Mereka menggunakan senjata-senjata berat dan ultra modern (konon ini didapat lewat hutang pada negara adidaya Gabricanmos yang presidennya, Clebuzz, memang suka melakukan agresi militer di berbagai negara). Setiap hari ribuan bom jatuh, jutaan peluru berhambur di negeri kami. Tapi ajaib. Negeri kami tak luka sedikit pun. Dinding-dinding kesunyian yang menjelma kristal yang tak teraba itu mampu membentengi kami. Presiden Grobadoor mencak-mencak. Kabar terakhir, dia akan menenggelamkan negeri kami lewat gempa buatan berskala 35 richter! Konon, Presiden Clebuzz telah menyanggupi untuk membantu. Dia telah menjediakan dana jutaan dolar Gabricanmos guna mendanai penghancuran negeri itu.

Ternyata ancaman itu bukan gertak sambal. Mereka benar-benar menghancurkan dan menenggelamkan negeri kami. Tapi, Tuhan Mahaagung, begitu dinamit itu diledakkan, kota kami pun terurai menjadi partikel-partikel dan dalam waktu sekejap memadat kembali, membentuk wujudnya yang semula. Kota kami pun melesat ke angkasa, untuk kembali pada posisinya awal. Keajaiban itu terjadi berulang-ulang. Mereka pun akhirnya menyerah karena putus asa. Kami tertawa, melihat ketololan mereka melawan dinding-dinding kesunyian kami yang telah mengkristal dan menjelma cahaya. (*)

Jogjakarta Agustus 2006.

Tidak ada komentar:

A Rodhi Murtadho A. Ginandjar Wiludjeng A. Junianto A. Kurnia A. Qorib Hidayatullah A. Yusrianto Elga A.S Laksana A’yat Khalili Aang Fatihul Islam Abdul Azis Sukarno Abdul Aziz Rasjid Abdul Hadi WM Abdul Kadir Ibrahim Abdul Malik Abdul Razak Abdul Rosyid Abdul Wahab Abdurrahman Wahid Abu Salman Acep Iwan Saidi Acep Zamzam Noor Adam Chiefni Ade P. Nasution Adhitia Armitriant Adi Prasetyo Adrizas AF. Tuasikal Afriza Hanifa Afrizal Malna Agama Para Bajingan Agnes Rita Sulistyawaty Aguk Irawan M.N. Agus B. Harianto Agus Buchori Agus R. Sarjono Agus R. Subagyo Agus Sulton Agus Sunyoto Ahda Imran Ahid Hidayat Ahmad Baso Ahmad Faishal Ahmad Fatoni Ahmad Hasan MS Ahmad Kekal Hamdani Ahmad Khotim Muzakka Ahmad Muchlish Amrin Ahmad Naufel Ahmad Rofiq Ahmad S. Zahari Ahmad Syauqi Sumbawi Ahmad Yulden Erwin Ahmad Zaini Ahmadun Yosi Herfanda Ahsanu Nadia Aini Aviena Violeta Ainul Fiah Ajip Rosidi Akhiriyati Sundari Akhmad Muhaimin Azzet Akhmad Sekhu Akhmad Sofyan Hadi Akhmad Taufiq Akhudiat Akmal Nasery Basral Alam Terkembang Alang Khoiruddin Alex R. Nainggolan Alfian Dippahatang Ali Audah Ali Mahmudi CH Ali Rif’an Almania Rohmah Ami Herman Amien Wangsitalaja Aminah Aminullah HA.Noor Amir Sutaarga Anam Rahus Anata Siregar Andari Karina Anom Andina Dwifatma Andong Buku #3 Andre Mediansyah Andri Awan Anett Tapai Anggie Melianna Anindita S Thayf Anis Ceha Anjrah Lelono Broto Anton Bae Anton Kurnia Anton Wahyudi Anwar Nuris Ardi Bramantyo Ardus M Sawega Arie MP Tamba Arie Yani Arief Joko Wicaksono Arief Junianto Ariera Arif Bagus Prasetyo Aris Kurniawan Arman A.Z. Arswendo Atmowiloto Arti Bumi Intaran AS Sumbawi Asarpin Asep Sambodja Asmaul Fauziyah Asti Musman Atafras Awalludin GD Mualif Ayu Wulan Sari Aziz Abdul Gofar Azizah Hefni Bagus Takwin Bahrul Ulum A. Malik Balada Bale Aksara Balok Sf Bambang Kempling Bamby Cahyadi Bandung Mawardi Beni Setia Benny Arnas Benny Benke Beno Siang Pamungkas Bentara Budaya Yogyakarta Berita Berita Duka Berita Koran Bernando J Sujibto Berthold Damshauser BI Purwantari Binhad Nurrohmat Bobby Gunawan Bonari Nabonenar Brunel University London Budaya Budi Darma Budi P. Hatees Budiman S. Hartoyo Burhanuddin Bella Camelia Mafaza Catatan Cerbung Cerpen Chairul Akhmad Chamim Kohari Chavchay Syaifullah Cover Buku Cucuk Espe D. Zaini Ahmad D. Zawawi Imron Dadang Ari Murtono Dahta Gautama Daisuke Miyoshi Damhuri Muhammad Dami N. Toda Damiri Mahmud Danarto Daniel Paranamesa Danusantoso Dareen Tatour Darju Prasetya David Kuncara Denny Mizhar Denza Perdana Desi Sommalia Gustina Desiana Medya A.L Dewan Kesenian Lamongan (DKL) Dewi Indah Sari Dewi Susme Dian Sukarno Didik Harianto Didik Kusbiantoro Dina Jerphanion Dina Oktaviani Dinas Kebudayaan dan Pariwisata (Disbudpar) Jawa Timur Dipo Handoko Diyah Errita Damayanti Djoko Pitono Djoko Saryono Doddy Wisnu Pribadi Dody Kristianto Dody Yan Masfa Donny Anggoro Donny Syofyan Dorothea Rosa Herliany Dr Junaidi SS MHum Dwi Cipta Dwi Fitria Dwi Pranoto Dwi Wiyana Dyah Ratna Meta Novia Dyah Sulistyorini Ecep Heryadi Eddy Pranata PNP Edeng Syamsul Ma’arif Eep Saefulloh Fatah EH Kartanegara Eka Budianta Eka Kurniawan Eko Hendrawan Sofyan Eko Hendri Saiful Eko Windarto Elnisya Mahendra Elva Lestary Emha Ainun Nadjib Emil WE Endah Sulwesi Endo Suanda Eppril Wulaningtyas R Esai Evan Ys F. Moses F. Rahardi Fadlillah Malin Sutan Fahmi Faqih Fahrudin Nasrulloh Faisal Kamandobat Fajar Kurnianto Fanani Rahman Fanny Chotimah Fatah Anshori Fatah Yasin Noor Febby Fortinella Rusmoyo Felix K. Nesi Festival Sastra Gresik Gabriel Garcia Marquez Galang Ari P. Galuh Tulus Utama Gampang Prawoto Gandra Gupta Ganug Nugroho Adi Gerson Poyk Ghassan Kanafani Gita Nuari Gita Pratama Goenawan Mohamad Grathia Pitaloka Gunoto Saparie H.B. Jassin Habibullah Hadi Napster Hadriani Pudjiarti Halim HD Halimi Zuhdy Hamberan Syahbana Han Gagas Hanibal W. Y. Wijayanta Hardi Haris del Hakim Haris Saputra Harri Ash Shiddiqie Hartono Harimurti Hary B Kori’un Hasan Aspahani Hasan Junus Hasif Amini Hasnan Bachtiar Hasta Indriyana HE. Benyamine Hendra Junaedi Hendra Makmur Heri CS Heri Latief Heri Listianto Herman RN Herry Lamongan Heru CN Heru Nugroho Hikmat Gumelar HL Renjis Magalah Hudan Nur Hujuala Rika Ayu Huminca Sinaga IBM. Dharma Palguna Ibnu Wahyudi Ida Farida Idris Pasaribu Ignas Kleden Ignatius Haryanto Iksan Basoeky Ilham Khoiri Imam Cahyono Imam Muhtarom Imam Nawawi Imamuddin SA Iman Budhi Santosa Imron Rosyid Imron Tohari Indiar Manggara Indra Intisa Indra Tjahyadi Indra Tranggono Indrian Koto Ira Puspitaningsih Irfan Budiman Isbedy Stiawan Z.S. Iskandar Noe Iskandar Zulkarnain Ismail Marzuki Iva Titin Shovia Iwan Kurniawan Jabbar Abdullah Jafar Fakhrurozi Jalan Raya Simo Sungelebak Jamal D. Rahman Jamal T. Suryanata Javed Paul Syatha Jayaning S.A JILFest 2008 Jody Setiawan Johan Edy Raharjo Johannes Sugianto Joko Pinurbo Joko Sandur Joni Ariadinata Jual Buku Jual Buku Paket Hemat Juan Kromen Julika Hasanah Jurnalisme Sastrawi Jusuf AN Juwairiyah Mawardy Ka’bati Karanggeneng Karya Lukisan: Andry Deblenk Kasnadi Keith Foulcher Kemah Budaya Panturan (KBP) Khansa Arifah Adila Khoirul Inayah Khoirul Rosyadi Khudori Husnan Ki Ompong Sudarsono Kirana Kejora Komplek Gor Kamantren Paciran Lamongan Komunitas Deo Gratias Komunitas Sastra Ilalang Indonesia Korrie Layun Rampan Kostela Kritik Sastra Kukuh S Wibowo Kurnia Effendi Kurniawan Kuswaidi Syafi'ie L.N. Idayanie Laili Rahmawati Lamongan Lan Fang Langgeng Widodo Lathifa Akmaliyah Leila S. Chudori Lely Yuana Lembaga Pengembangan Pembelajaran dan Penjaminan Mutu (LP3M) Universitas Jember Liestyo Ambarwati Khohar Lina Kelana Linda Sarmili Liza Wahyuninto Lucia Idayanie Lukman A Sya Lutfiah Lynglieastrid Isabellita M Arman AZ M Ismail M Thobroni M. Afifuddin M. Arwan Hamidi M. Lukluk Atsmara Anjaina M. Lutfi M. Luthfi Aziz M. Nurdin M. Yoesoef M.D. Atmaja M.S. Nugroho Mahendra Cipta Mahmud Jauhari Ali Mahmud Syaltut Usfa Mahmudi Arif Dahlan Malam Apresiasi Seni Tanahmerah Ponorogo Malkan Junaidi Maman S. Mahayana Mardi Luhung Marhalim Zaini Martin Aleida Maruli Tobing Mas Ruscita Mashuri Masuki M. Astro Matroni Matroni Muserang Media: Crayon on Paper Membongkar Mitos Kesusastraan Indonesia MG. Sungatno Mh Zaelani Tammaka Mia Arista Mia El Zahra Mikael Johani Misbahus Surur Misran Mohamad Ali Hisyam Mohammad Eri Irawan Much. Khoiri Muh. Muhlisin Muhammad Al-Fayyadl Muhammad Amin Muhammad Aris Muhammad Muhibbuddin Muhammad Rain Muhammad Taufiqurrohman Muhammad Yasir Muhammad Zuriat Fadil Muhammadun Muhammadun AS Muhidin M Dahlan Mujtahid Mujtahidin Billah Mukti Sutarman Espe Mulyadi SA Mulyosari Banyuurip Ujungpangkah Gresik Munawir Aziz Musfarayani Musfi Efrizal Nafisatul Husniah Nandang Darana Naskah Teater Nelson Alwi Ni Made Purnamasari Nikmatus Sholikhah Nina Herlina Lubis Nina Susilo Ning Elia Noor H. Dee Noval Jubbek Novel-novel berbahasa Jawa Novelet Nunuy Nurhayati Nur Azizah Nur Hamzah Nur Kholiq Nurdin Kalim Nurel Javissyarqi Nurul Aini Nurul Anam Nurul Komariyah Nuryana Asmaudi SA Nyoman Tusthi Eddy Obrolan Okty Budiati Orasi Budaya Akhir Tahun 2018 Otto Sukatno CR Oyos Saroso H.N. Pagan Press Pagelaran Musim Tandur Palupi Panca Astuti Parimono V / 40 Plandi Jombang Pawang Surya Kencana PDS H.B. Jassin Petrus Nandi Politik Politik Sastra Pradana Boy ZTF Pramoedya Ananta Toer Pramono Pringadi AS Prof Dr Fabiola D. Kurnia Prosa Puisi Puji Santosa Puji Tyasari Puput Amiranti N Purnawan Andra Purnawan Kristanto Pusat Dokumentasi Sastra H.B. Jassin Pustaka Ilalang Group PUstaka puJAngga Putu Wijaya Qaris Tajudin R. Ng. Ronggowarsito Rachmad Djoko Pradopo Radhar Panca Dahana Rahmat Kemat Hidayatullah Rahmat Sularso Nh Rakai Lukman Rakhmat Giryadi Rasanrasan Boengaketji Raudal Tanjung Banua Redland Movie Reiny Dwinanda Resensi Rialita Fithra Asmara Ribut Wijoto Riki Dhamparan Putra Riki Utomi Ririe Rengganis Risang Anom Pujayanto Riyon Fidwar Robin Al Kautsar Robin Dos Santos Soares Rodli TL Rofiqi Hasan Roso Titi Sarkoro Rozi Kembara Rukardi Rumah Budaya Pantura (RBP) Rusmanadi S Yoga S. Jai S.W. Teofani Sabrank Suparno Sahaya Santayana Saiful Amin Ghofur Saiful Anam Sainul Hermawan Sajak Salamet Wahedi Salman S. Yoga Samsudin Adlawi Samsul Anam Sanggar Lukis Alam Sanggar Pasir Sanggar Rumah Ilalang KSII Santi Puji Rahayu Sapardi Djoko Damono Saroni Asikin Sartika Dian Nuraini Sastra dan Kuasa Simbolik Sastra Jawa Timur Satmoko Budi Santoso Saut Situmorang Sayyid Fahmi Alathas SelaSastra #24 di Boenga Ketjil Jombang SelaSastra Boenga Ketjil SelaSastra Boenga Ketjil #33 Seno Gumira Ajidarma Seno Joko Suyono Sergi Sutanto Setia Naka Andrian Shiny.ane el’poesya Sholihul Huda Sigit Susanto Sihar Ramses Simatupang Sinopsis Siti Khoeriyah Siti Muyassarotul Hafidzoh Siti Sa’adah Siwi Dwi Saputra Siwi Dwi Saputro Sjifa Amori Slamet Rahardjo Rais Soegiharto Sofyan RH. Zaid Soni Farid Maulana Sony Prasetyotomo Sosiawan Leak Spectrum Center Press Sri Weni Sri Wintala Achmad Suci Ayu Latifah Sucipto Hadi Purnomo Sudirman Sugi Lanus Sukron Ma’mun Sulaiman Djaya Sunaryono Basuki Ks Sungatno Sungging Raga Sunlie Thomas Alexander Sunu Wasono Supriyadi Surya Lesmana Suryanto Sastroatmodjo Susianna Sutardji Calzoum Bachri Sutejo Suyanto Syaf Anton Wr Syaifuddin Gani Syaiful Amin Syarif Wadja Bae Sylvianita Widyawati TanahmeraH ArtSpace Tarmuzie (1961-2019) Taufiq Ismail Taufiq Wr. Hidayat Teguh Presetyo Teguh Setiawan Teguh Winarsho AS Temu Penyair Timur Jawa Tengsoe Tjahjono Tia Setiadi Tirto Suwondo Tita Tjindarbumi Tjahjono Widarmanto Tjahjono Widijanto Toko Buku Murah PUstaka puJAngga Lamongan Tosa Poetra Tri Nurdianingsih Triyanto Triwikromo TS Pinang Tu-ngang Iskandar Tulus S Ulul Azmiyati Umar Fauzi Umar Fauzi Ballah Umar Kayam Umbu Landu Paranggi Universitas Indonesia Universitas Jember Usman Arrumy Utari Tri Prestianti Viddy AD Daery Virdika Rizky Utama W Haryanto W.S. Rendra Wahyu Prasetya Wan Anwar Wawan Eko Yulianto Wawancara Wina Bojonegoro Wita Lestari Wong Wing King Wowok Hesti Prabowo Xu Xi (Sussy Komala) Y. Thendra BP Y. Wibowo Yanusa Nugroho Yasraf Amir Piliang Yayat R. Cipasang Yohanes Sehandi Yona Primadesi Yopi Setia Umbara Yudhi Herwibowo Yudi Latif Yusri Fajar Yusuf Ariel Hakim Yuval Noah Harari Zacky Khairul Uman Zainuddin Sugendal Zamakhsyari Abrar Zawawi Se Zed Abidien Zehan Zareez Zhaenal Fanani Zubaidi Khan Zuniest