Indra Tranggono
http://www.jawapos.com/
Ya, kesunyian telah lama mengkristal di kota kami. Kesunyian telah memadat, nyaris tanpa celah, tanpa rongga atau sekadar pori-pori. Kesunyian telah menjelma serupa dinding kaca. Bening. Bercahaya. Namun tak teraba. Kami, yang tinggal di dalamnya, hanya bisa melambai-lambaikan tangan sebagai uluk salam bagi sahabat, kawan, dan handai taulan yang selalu datang dan menghilang.
Dinding-dinding yang melingkupi kehidupan kami, luas tanpa batas, pipih tanpa tepi. Dinding-dinding itu telah menyublim, namun tetap meruang dan membentuk jarak. Sekeras apa pun engkau berteriak di seberang sana, kami tidak akan pernah mendengar. Yang tertangkap hanya gerak bibirmu seperti bibir orang bisu. Jika hujan tiba, kami tak pernah basah meski tanpa atap. Hanya pahatan-pahatan jarum hujan yang kami lihat. Jangan salah paham, kawan. Ruang kota kami bukan seperti ruang interogasi yang sering kalian lihat dalam film luar negeri di bioskop atau layar televisi. Itu pengandaian yang terlalu sederhana bahkan konyol. Ruang di kota kami jauh lebih luas dan lebih memberikan kebebasan daripada ruang interogasi.
Kami juga hidup wajar. Kami berhubungan dengan orang di luar kota kami. Jika Pak Pos datang -yang mengantarkan surat dari negeri seberang--maka Pak Pos tinggal memberikan isyarat lambaian tangan. Dan kami pun -dari balik dinding-- tinggal memberikan isyarat ketukan. Maka surat itu akan terurai menjadi partikel-partikel yang mahalembut dan diisap oleh dinding kami. Di dalam dinding, partikel-partikel itu menyatu dan memadat membentuk sepucuk surat kembali.
Itulah sebabnya, kami tidak sedang mengasingkan diri. Siapa pun dari kalian bisa mengunjungi ruang kami. Tapi, kalian harus berani menjadi benda yang terurai membentuk partikel-partikel agar bisa diisap dinding kota kami. Jika nasib kalian baik, tubuh kalian yang semula terurai itu akan kembali memadat dan membentuk sosok. Ini pengalaman yang sangat menegangkan. Bahkan menakutkan. Kebanyakan orang tidak berani menempuh prosedur standar seperti itu. Memang pernah terjadi peristiwa yang kami catat sebagai kecelakaan. Lima tahun lalu, ketika kesunyian di kota kami telah mengkristal, ada kawan lama yang mengunjungi kami. Namun, ia tak pernah kami temukan setelah tubuhnya terurai. Sejak peristiwa itu, banyak orang yang takut memasuki ruang kami.
Berbeda dengan hidup kalian yang punya waktu 24 jam, kami memiliki jumlah waktu lebih banyak: 36 jam. Jadi, hidup kami jauh lebih panjang dari kalian. Dengan kelebihan 12 jam setiap hari itu, kami lebih mungkin mewujudkan mimpi-mimpi kami. Seperti menciptakan makanan tak berbentuk, melainkan hanya berupa sinyal cahaya. Begitu merasa lapar, kami memencet salah satu tombol di tubuh kami dan melesatlah sinyal cahaya itu. Dalam sekejap, kami pun merasa kenyang. Berak? Ah, ada saja pertanyaan kalian. Kami juga berak, namun yang keluar bukan benda melainkan cahaya. Begitu pula ketika kami kencing, maka akan muncul seleret cahaya dari kemaluan kami. Dahsyat? Ah, biasa.
Seperti juga kalian, kami pun memiliki gairah bercinta. Namun persetubuhan kami tidak secara wadag, melainkan lewat pertemuan sinyal yang memunculkan peletikan cahaya, seperti kabel listrik plus-minus yang bergesekan. Meski hanya beberapa detik, kami mampu meraih kenikmatan yang luar biasa. Jika terjadi kehamilan, maka anak-anak kami yang lahir pada mulanya berbentuk cahaya yang perlahan memadat dan berbentuk manusia, sebelum akhirnya menangis.
Anak-anak kami tumbuh sehat, montok, dan lucu. Senyum mereka selalu terpahat di gigi susu. Mereka tak perlu diawasi karena bisa menjaga diri; bermain di bawah pancuran air, mencari ikan di sungai, atau bermain di taman penuh bunga-bunga yang terbuat dari cahaya. Mereka begitu cepat tumbuh menjadi orang-orang muda cerdas dan perkasa, juga bisa jenaka; setidaknya jenaka dalam menertawai diri sendiri, suatu sikap yang di luar sana mungkin makin langka: begitu banyak orang gampang tersinggung hanya karena punya kekuasaan dan uang; mereka pun gemar memborong kebenaran.
Di kota kami kebenaran tidak pernah tunggal, tapi lahir dari banyak kepala, dari banyak hati, dari banyak suara. Kami menamainya kebenaran bunga-bunga: di taman setiap bunga berhak tumbuh, berkembang dan menyatakan dirinya lewat warna dan aroma. Begitu ada tanaman bunga yang ingin menguasai taman, kami pun bersama-sama melawan. Tapi itu tidak berarti kami lantas anti kepadanya. Kami hanya ingin dia tidak jumawa, rakus, dan berkuasa.
O ya, sekarang kami sedang menulis cerita perjalanan hidup kami dan kelahiran kota kami: Glabatt. Kami tak berani menyebutnya sebagai sejarah. Itu terlalu besar dan jumawa.
Pada mulanya, kota kami tak beda dengan kota-kota lain di negeri Couroptick: padat penduduk, kumuh, kumal, lamban, dan banyak orang yang memelihara hobi mencuri. Para pemimpin hanya terampil ngomong, sok tahu dan ulet di dalam memburu keuntungan, terutama buat dirinya. Kami memang punya wakil di parlemen, tapi mereka sudah lama melupakan kami. Kami tak lebih dari gerombolan makhluk yang hanya bisa diperas suara dan dukungannya menjelang pemilihan wakil rakyat, presiden atau pimpinan daerah. Mereka sangat menyedihkan: merasa sebagai politisi tapi sesungguhnya tak lebih dari pialang. Mereka menjadikan parlemen tak lebih dari pasar hewan.
Tapi, entah kenapa kami selalu memaafkan mereka, ya setidaknya terpaksa melupakan pengkhianatan-pengkhianatan mereka. Buktinya, setiap menjelang pemilihan pemimpin atau wakil rakyat tiba, kami tetap saja menjadi keledai-keledai dungu yang tak pernah melawan digiring ke bilik-bilik suara. Mereka sangat piawai membakar semangat kami. Seolah-olah, masa depan bangsa dipertaruhkan di bilik suara. Dan, celakanya, kami begitu mudah terkesima. Padahal sesungguhnya yang dipertaruhkan dalam setiap pemilihan hanyalah kepentingan mereka sendiri.
Untunglah gempa bumi itu datang, memporak-porandakan kota kami. Kami mensyukurinya, karena kami mengira Tuhan akan segera mengambil kami. Bagi kami itu lebih baik, daripada menderita dijajah bangsa sendiri.
Tapi ajaib, sesudah rumah-rumah kami porak-poranda dan harta kami lenyap, muncul peristiwa yang sangat menakjubkan. Pelan-pelan kota kami tenggelam. Bumi merekah, membuka jalan bagi kami untuk memasuki ceruk bumi. Waktu itu, kami merasa hidup kami sudah selesai. Tapi Tuhan punya rencana lain. Kota kami terus bergerak ke bawah dan ke bawah. Semua serbagelap. Hitam. Sunyi. Semua jeritan kami telah menyublim menjadi kesunyian.
Tak lama sesudah kami dikuasai kegelapan, kami pun mendadak disergap cahaya yang terang-benderang. Cahaya itu memaksa kami membuka kelopak mata kami. Dan Tuhan Maha Besar: di hadapan kami terhampar ruang yang penuh cahaya. Hamparan ruang itu pelan-pelan naik ke permukaan bumi, dan akhirnya menjelma kota cahaya seperti yang kalian lihat sekarang ini. Kami menganggap semua perjalanan yang sangat menakutkan dan menegangkan itu lebih mirip dongeng. Tapi, bagi kami, dongeng tidak selalu bisa dianggap isapan jempol.
Dunia sangat takjub kepada kota kami. Mereka tak habis pikir, kenapa sebuah kota yang semula tenggelam bisa muncul kembali ke permukaan dan berubah bentuk menjadi kota cahaya. Mereka menganggap kota kami lebih fantastis dari Candi Borobudur, Tembok Cina, Air Terjun Niagara, dan Tajmahal. Setiap hari mereka datang. Mereka menonton kami bak ikan dalam akuarium raksasa. Mereka memotret kami atau merekam kegiatan kami dengan kamera video. Semula kami sangat tersinggung. Tapi, akhirnya kami pun maklum.
Pemerintah pusat, lewat Presiden Grobadoor mengklaim kota kami sebagai asetnya. Pernyataan ini juga diulang-ulang oleh juru bicara presiden Dhoboz Trevor. Ia katakan, kota kami merupakan rahmat yang terindah dari bencana alam. ''Blessing in disguise, kata yang paling tepat bagi munculnya kembali Kota Glabatt yang fantastis itu!'' tukasnya di depan para wartawan.
Kami tertawa mendengar ucapan-ucapan yang lebih mirip ceracau orang mabuk itu. Bagaimana mereka bisa dengan tidak malu mengakui kota kami ini milik mereka? Bukankah ketika gempa itu tiba, pemerintah pusat tidak pernah peduli kepada nasib kami? Kami dibiarkan digasak bumi yang merekah. Kami dibiarkan lapar, kedingingan, sakit, dan bahkan mati. Sementara itu, kini mereka dengan tanpa rasa bersalah dan rasa malu tega menuai gemerincing dolar. Ternyata watak licik dan rakus masih diidap mereka.
Kami akhirnya memutuskan untuk melepaskan diri dari negeri Couroptick. Lewat sejumlah diplomasi, kami membentuk Glabatt menjadi negara. Tapi ini pun tidak mudah. Negeri Couroptick mengerahkan ratusan ribu tentara untuk menyerbu Glabatt. Mereka menggunakan senjata-senjata berat dan ultra modern (konon ini didapat lewat hutang pada negara adidaya Gabricanmos yang presidennya, Clebuzz, memang suka melakukan agresi militer di berbagai negara). Setiap hari ribuan bom jatuh, jutaan peluru berhambur di negeri kami. Tapi ajaib. Negeri kami tak luka sedikit pun. Dinding-dinding kesunyian yang menjelma kristal yang tak teraba itu mampu membentengi kami. Presiden Grobadoor mencak-mencak. Kabar terakhir, dia akan menenggelamkan negeri kami lewat gempa buatan berskala 35 richter! Konon, Presiden Clebuzz telah menyanggupi untuk membantu. Dia telah menjediakan dana jutaan dolar Gabricanmos guna mendanai penghancuran negeri itu.
Ternyata ancaman itu bukan gertak sambal. Mereka benar-benar menghancurkan dan menenggelamkan negeri kami. Tapi, Tuhan Mahaagung, begitu dinamit itu diledakkan, kota kami pun terurai menjadi partikel-partikel dan dalam waktu sekejap memadat kembali, membentuk wujudnya yang semula. Kota kami pun melesat ke angkasa, untuk kembali pada posisinya awal. Keajaiban itu terjadi berulang-ulang. Mereka pun akhirnya menyerah karena putus asa. Kami tertawa, melihat ketololan mereka melawan dinding-dinding kesunyian kami yang telah mengkristal dan menjelma cahaya. (*)
Jogjakarta Agustus 2006.
Wahyaning wahyu tumelung, tulus tan kena tinegor (wirid hidayat jati, R.Ng. Ronggowarsito)
Langganan:
Posting Komentar (Atom)
A Rodhi Murtadho
A. Ginandjar Wiludjeng
A. Junianto
A. Kurnia
A. Qorib Hidayatullah
A. Yusrianto Elga
A.S Laksana
A’yat Khalili
Aang Fatihul Islam
Abdul Azis Sukarno
Abdul Aziz Rasjid
Abdul Hadi WM
Abdul Kadir Ibrahim
Abdul Malik
Abdul Razak
Abdul Rosyid
Abdul Wahab
Abdurrahman Wahid
Abu Salman
Acep Iwan Saidi
Acep Zamzam Noor
Adam Chiefni
Ade P. Nasution
Adhitia Armitriant
Adi Prasetyo
Adrizas
AF. Tuasikal
Afriza Hanifa
Afrizal Malna
Agama Para Bajingan
Agnes Rita Sulistyawaty
Aguk Irawan M.N.
Agus B. Harianto
Agus Buchori
Agus R. Sarjono
Agus R. Subagyo
Agus Sulton
Agus Sunyoto
Ahda Imran
Ahid Hidayat
Ahmad Baso
Ahmad Faishal
Ahmad Fatoni
Ahmad Hasan MS
Ahmad Kekal Hamdani
Ahmad Khotim Muzakka
Ahmad Muchlish Amrin
Ahmad Naufel
Ahmad Rofiq
Ahmad S. Zahari
Ahmad Syauqi Sumbawi
Ahmad Yulden Erwin
Ahmad Zaini
Ahmadun Yosi Herfanda
Ahsanu Nadia
Aini Aviena Violeta
Ainul Fiah
Ajip Rosidi
Akhiriyati Sundari
Akhmad Muhaimin Azzet
Akhmad Sekhu
Akhmad Sofyan Hadi
Akhmad Taufiq
Akhudiat
Akmal Nasery Basral
Alam Terkembang
Alang Khoiruddin
Alex R. Nainggolan
Alfian Dippahatang
Ali Audah
Ali Mahmudi CH
Ali Rif’an
Almania Rohmah
Ami Herman
Amien Wangsitalaja
Aminah
Aminullah HA.Noor
Amir Sutaarga
Anam Rahus
Anata Siregar
Andari Karina Anom
Andina Dwifatma
Andong Buku #3
Andre Mediansyah
Andri Awan
Anett Tapai
Anggie Melianna
Anindita S Thayf
Anis Ceha
Anjrah Lelono Broto
Anton Bae
Anton Kurnia
Anton Wahyudi
Anwar Nuris
Ardi Bramantyo
Ardus M Sawega
Arie MP Tamba
Arie Yani
Arief Joko Wicaksono
Arief Junianto
Ariera
Arif Bagus Prasetyo
Aris Kurniawan
Arman A.Z.
Arswendo Atmowiloto
Arti Bumi Intaran
AS Sumbawi
Asarpin
Asep Sambodja
Asmaul Fauziyah
Asti Musman
Atafras
Awalludin GD Mualif
Ayu Wulan Sari
Aziz Abdul Gofar
Azizah Hefni
Bagus Takwin
Bahrul Ulum A. Malik
Balada
Bale Aksara
Balok Sf
Bambang Kempling
Bamby Cahyadi
Bandung Mawardi
Beni Setia
Benny Arnas
Benny Benke
Beno Siang Pamungkas
Bentara Budaya Yogyakarta
Berita
Berita Duka
Berita Koran
Bernando J Sujibto
Berthold Damshauser
BI Purwantari
Binhad Nurrohmat
Bobby Gunawan
Bonari Nabonenar
Brunel University London
Budaya
Budi Darma
Budi P. Hatees
Budiman S. Hartoyo
Burhanuddin Bella
Camelia Mafaza
Catatan
Cerbung
Cerpen
Chairul Akhmad
Chamim Kohari
Chavchay Syaifullah
Cover Buku
Cucuk Espe
D. Zaini Ahmad
D. Zawawi Imron
Dadang Ari Murtono
Dahta Gautama
Daisuke Miyoshi
Damhuri Muhammad
Dami N. Toda
Damiri Mahmud
Danarto
Daniel Paranamesa
Danusantoso
Dareen Tatour
Darju Prasetya
David Kuncara
Denny Mizhar
Denza Perdana
Desi Sommalia Gustina
Desiana Medya A.L
Dewan Kesenian Lamongan (DKL)
Dewi Indah Sari
Dewi Susme
Dian Sukarno
Didik Harianto
Didik Kusbiantoro
Dina Jerphanion
Dina Oktaviani
Dinas Kebudayaan dan Pariwisata (Disbudpar) Jawa Timur
Dipo Handoko
Diyah Errita Damayanti
Djoko Pitono
Djoko Saryono
Doddy Wisnu Pribadi
Dody Kristianto
Dody Yan Masfa
Donny Anggoro
Donny Syofyan
Dorothea Rosa Herliany
Dr Junaidi SS MHum
Dwi Cipta
Dwi Fitria
Dwi Pranoto
Dwi Wiyana
Dyah Ratna Meta Novia
Dyah Sulistyorini
Ecep Heryadi
Eddy Pranata PNP
Edeng Syamsul Ma’arif
Eep Saefulloh Fatah
EH Kartanegara
Eka Budianta
Eka Kurniawan
Eko Hendrawan Sofyan
Eko Hendri Saiful
Eko Windarto
Elnisya Mahendra
Elva Lestary
Emha Ainun Nadjib
Emil WE
Endah Sulwesi
Endo Suanda
Eppril Wulaningtyas R
Esai
Evan Ys
F. Moses
F. Rahardi
Fadlillah Malin Sutan
Fahmi Faqih
Fahrudin Nasrulloh
Faisal Kamandobat
Fajar Kurnianto
Fanani Rahman
Fanny Chotimah
Fatah Anshori
Fatah Yasin Noor
Febby Fortinella Rusmoyo
Felix K. Nesi
Festival Sastra Gresik
Gabriel Garcia Marquez
Galang Ari P.
Galuh Tulus Utama
Gampang Prawoto
Gandra Gupta
Ganug Nugroho Adi
Gerson Poyk
Ghassan Kanafani
Gita Nuari
Gita Pratama
Goenawan Mohamad
Grathia Pitaloka
Gunoto Saparie
H.B. Jassin
Habibullah
Hadi Napster
Hadriani Pudjiarti
Halim HD
Halimi Zuhdy
Hamberan Syahbana
Han Gagas
Hanibal W. Y. Wijayanta
Hardi
Haris del Hakim
Haris Saputra
Harri Ash Shiddiqie
Hartono Harimurti
Hary B Kori’un
Hasan Aspahani
Hasan Junus
Hasif Amini
Hasnan Bachtiar
Hasta Indriyana
HE. Benyamine
Hendra Junaedi
Hendra Makmur
Heri CS
Heri Latief
Heri Listianto
Herman RN
Herry Lamongan
Heru CN
Heru Nugroho
Hikmat Gumelar
HL Renjis Magalah
Hudan Nur
Hujuala Rika Ayu
Huminca Sinaga
IBM. Dharma Palguna
Ibnu Wahyudi
Ida Farida
Idris Pasaribu
Ignas Kleden
Ignatius Haryanto
Iksan Basoeky
Ilham Khoiri
Imam Cahyono
Imam Muhtarom
Imam Nawawi
Imamuddin SA
Iman Budhi Santosa
Imron Rosyid
Imron Tohari
Indiar Manggara
Indra Intisa
Indra Tjahyadi
Indra Tranggono
Indrian Koto
Ira Puspitaningsih
Irfan Budiman
Isbedy Stiawan Z.S.
Iskandar Noe
Iskandar Zulkarnain
Ismail Marzuki
Iva Titin Shovia
Iwan Kurniawan
Jabbar Abdullah
Jafar Fakhrurozi
Jalan Raya Simo Sungelebak
Jamal D. Rahman
Jamal T. Suryanata
Javed Paul Syatha
Jayaning S.A
JILFest 2008
Jody Setiawan
Johan Edy Raharjo
Johannes Sugianto
Joko Pinurbo
Joko Sandur
Joni Ariadinata
Jual Buku
Jual Buku Paket Hemat
Juan Kromen
Julika Hasanah
Jurnalisme Sastrawi
Jusuf AN
Juwairiyah Mawardy
Ka’bati
Karanggeneng
Karya Lukisan: Andry Deblenk
Kasnadi
Keith Foulcher
Kemah Budaya Panturan (KBP)
Khansa Arifah Adila
Khoirul Inayah
Khoirul Rosyadi
Khudori Husnan
Ki Ompong Sudarsono
Kirana Kejora
Komplek Gor Kamantren Paciran Lamongan
Komunitas Deo Gratias
Komunitas Sastra Ilalang Indonesia
Korrie Layun Rampan
Kostela
Kritik Sastra
Kukuh S Wibowo
Kurnia Effendi
Kurniawan
Kuswaidi Syafi'ie
L.N. Idayanie
Laili Rahmawati
Lamongan
Lan Fang
Langgeng Widodo
Lathifa Akmaliyah
Leila S. Chudori
Lely Yuana
Lembaga Pengembangan Pembelajaran dan Penjaminan Mutu (LP3M) Universitas Jember
Liestyo Ambarwati Khohar
Lina Kelana
Linda Sarmili
Liza Wahyuninto
Lucia Idayanie
Lukman A Sya
Lutfiah
Lynglieastrid Isabellita
M Arman AZ
M Ismail
M Thobroni
M. Afifuddin
M. Arwan Hamidi
M. Lukluk Atsmara Anjaina
M. Lutfi
M. Luthfi Aziz
M. Nurdin
M. Yoesoef
M.D. Atmaja
M.S. Nugroho
Mahendra Cipta
Mahmud Jauhari Ali
Mahmud Syaltut Usfa
Mahmudi Arif Dahlan
Malam Apresiasi Seni Tanahmerah Ponorogo
Malkan Junaidi
Maman S. Mahayana
Mardi Luhung
Marhalim Zaini
Martin Aleida
Maruli Tobing
Mas Ruscita
Mashuri
Masuki M. Astro
Matroni
Matroni Muserang
Media: Crayon on Paper
Membongkar Mitos Kesusastraan Indonesia
MG. Sungatno
Mh Zaelani Tammaka
Mia Arista
Mia El Zahra
Mikael Johani
Misbahus Surur
Misran
Mohamad Ali Hisyam
Mohammad Eri Irawan
Much. Khoiri
Muh. Muhlisin
Muhammad Al-Fayyadl
Muhammad Amin
Muhammad Aris
Muhammad Muhibbuddin
Muhammad Rain
Muhammad Taufiqurrohman
Muhammad Yasir
Muhammad Zuriat Fadil
Muhammadun
Muhammadun AS
Muhidin M Dahlan
Mujtahid
Mujtahidin Billah
Mukti Sutarman Espe
Mulyadi SA
Mulyosari Banyuurip Ujungpangkah Gresik
Munawir Aziz
Musfarayani
Musfi Efrizal
Nafisatul Husniah
Nandang Darana
Naskah Teater
Nelson Alwi
Ni Made Purnamasari
Nikmatus Sholikhah
Nina Herlina Lubis
Nina Susilo
Ning Elia
Noor H. Dee
Noval Jubbek
Novel-novel berbahasa Jawa
Novelet
Nunuy Nurhayati
Nur Azizah
Nur Hamzah
Nur Kholiq
Nurdin Kalim
Nurel Javissyarqi
Nurul Aini
Nurul Anam
Nurul Komariyah
Nuryana Asmaudi SA
Nyoman Tusthi Eddy
Obrolan
Okty Budiati
Orasi Budaya Akhir Tahun 2018
Otto Sukatno CR
Oyos Saroso H.N.
Pagan Press
Pagelaran Musim Tandur
Palupi Panca Astuti
Parimono V / 40 Plandi Jombang
Pawang Surya Kencana
PDS H.B. Jassin
Petrus Nandi
Politik
Politik Sastra
Pradana Boy ZTF
Pramoedya Ananta Toer
Pramono
Pringadi AS
Prof Dr Fabiola D. Kurnia
Prosa
Puisi
Puji Santosa
Puji Tyasari
Puput Amiranti N
Purnawan Andra
Purnawan Kristanto
Pusat Dokumentasi Sastra H.B. Jassin
Pustaka Ilalang Group
PUstaka puJAngga
Putu Wijaya
Qaris Tajudin
R. Ng. Ronggowarsito
Rachmad Djoko Pradopo
Radhar Panca Dahana
Rahmat Kemat Hidayatullah
Rahmat Sularso Nh
Rakai Lukman
Rakhmat Giryadi
Rasanrasan Boengaketji
Raudal Tanjung Banua
Redland Movie
Reiny Dwinanda
Resensi
Rialita Fithra Asmara
Ribut Wijoto
Riki Dhamparan Putra
Riki Utomi
Ririe Rengganis
Risang Anom Pujayanto
Riyon Fidwar
Robin Al Kautsar
Robin Dos Santos Soares
Rodli TL
Rofiqi Hasan
Roso Titi Sarkoro
Rozi Kembara
Rukardi
Rumah Budaya Pantura (RBP)
Rusmanadi
S Yoga
S. Jai
S.W. Teofani
Sabrank Suparno
Sahaya Santayana
Saiful Amin Ghofur
Saiful Anam
Sainul Hermawan
Sajak
Salamet Wahedi
Salman S. Yoga
Samsudin Adlawi
Samsul Anam
Sanggar Lukis Alam
Sanggar Pasir
Sanggar Rumah Ilalang KSII
Santi Puji Rahayu
Sapardi Djoko Damono
Saroni Asikin
Sartika Dian Nuraini
Sastra dan Kuasa Simbolik
Sastra Jawa Timur
Satmoko Budi Santoso
Saut Situmorang
Sayyid Fahmi Alathas
SelaSastra #24 di Boenga Ketjil Jombang
SelaSastra Boenga Ketjil
SelaSastra Boenga Ketjil #33
Seno Gumira Ajidarma
Seno Joko Suyono
Sergi Sutanto
Setia Naka Andrian
Shiny.ane el’poesya
Sholihul Huda
Sigit Susanto
Sihar Ramses Simatupang
Sinopsis
Siti Khoeriyah
Siti Muyassarotul Hafidzoh
Siti Sa’adah
Siwi Dwi Saputra
Siwi Dwi Saputro
Sjifa Amori
Slamet Rahardjo Rais
Soegiharto
Sofyan RH. Zaid
Soni Farid Maulana
Sony Prasetyotomo
Sosiawan Leak
Spectrum Center Press
Sri Weni
Sri Wintala Achmad
Suci Ayu Latifah
Sucipto Hadi Purnomo
Sudirman
Sugi Lanus
Sukron Ma’mun
Sulaiman Djaya
Sunaryono Basuki Ks
Sungatno
Sungging Raga
Sunlie Thomas Alexander
Sunu Wasono
Supriyadi
Surya Lesmana
Suryanto Sastroatmodjo
Susianna
Sutardji Calzoum Bachri
Sutejo
Suyanto
Syaf Anton Wr
Syaifuddin Gani
Syaiful Amin
Syarif Wadja Bae
Sylvianita Widyawati
TanahmeraH ArtSpace
Tarmuzie (1961-2019)
Taufiq Ismail
Taufiq Wr. Hidayat
Teguh Presetyo
Teguh Setiawan
Teguh Winarsho AS
Temu Penyair Timur Jawa
Tengsoe Tjahjono
Tia Setiadi
Tirto Suwondo
Tita Tjindarbumi
Tjahjono Widarmanto
Tjahjono Widijanto
Toko Buku Murah PUstaka puJAngga Lamongan
Tosa Poetra
Tri Nurdianingsih
Triyanto Triwikromo
TS Pinang
Tu-ngang Iskandar
Tulus S
Ulul Azmiyati
Umar Fauzi
Umar Fauzi Ballah
Umar Kayam
Umbu Landu Paranggi
Universitas Indonesia
Universitas Jember
Usman Arrumy
Utari Tri Prestianti
Viddy AD Daery
Virdika Rizky Utama
W Haryanto
W.S. Rendra
Wahyu Prasetya
Wan Anwar
Wawan Eko Yulianto
Wawancara
Wina Bojonegoro
Wita Lestari
Wong Wing King
Wowok Hesti Prabowo
Xu Xi (Sussy Komala)
Y. Thendra BP
Y. Wibowo
Yanusa Nugroho
Yasraf Amir Piliang
Yayat R. Cipasang
Yohanes Sehandi
Yona Primadesi
Yopi Setia Umbara
Yudhi Herwibowo
Yudi Latif
Yusri Fajar
Yusuf Ariel Hakim
Yuval Noah Harari
Zacky Khairul Uman
Zainuddin Sugendal
Zamakhsyari Abrar
Zawawi Se
Zed Abidien
Zehan Zareez
Zhaenal Fanani
Zubaidi Khan
Zuniest
Tidak ada komentar:
Posting Komentar