Sabtu, 28 Februari 2009

Kristal-Kristal Kesunyian

Indra Tranggono
http://www.jawapos.com/

Ya, kesunyian telah lama mengkristal di kota kami. Kesunyian telah memadat, nyaris tanpa celah, tanpa rongga atau sekadar pori-pori. Kesunyian telah menjelma serupa dinding kaca. Bening. Bercahaya. Namun tak teraba. Kami, yang tinggal di dalamnya, hanya bisa melambai-lambaikan tangan sebagai uluk salam bagi sahabat, kawan, dan handai taulan yang selalu datang dan menghilang.

Dinding-dinding yang melingkupi kehidupan kami, luas tanpa batas, pipih tanpa tepi. Dinding-dinding itu telah menyublim, namun tetap meruang dan membentuk jarak. Sekeras apa pun engkau berteriak di seberang sana, kami tidak akan pernah mendengar. Yang tertangkap hanya gerak bibirmu seperti bibir orang bisu. Jika hujan tiba, kami tak pernah basah meski tanpa atap. Hanya pahatan-pahatan jarum hujan yang kami lihat. Jangan salah paham, kawan. Ruang kota kami bukan seperti ruang interogasi yang sering kalian lihat dalam film luar negeri di bioskop atau layar televisi. Itu pengandaian yang terlalu sederhana bahkan konyol. Ruang di kota kami jauh lebih luas dan lebih memberikan kebebasan daripada ruang interogasi.

Kami juga hidup wajar. Kami berhubungan dengan orang di luar kota kami. Jika Pak Pos datang -yang mengantarkan surat dari negeri seberang--maka Pak Pos tinggal memberikan isyarat lambaian tangan. Dan kami pun -dari balik dinding-- tinggal memberikan isyarat ketukan. Maka surat itu akan terurai menjadi partikel-partikel yang mahalembut dan diisap oleh dinding kami. Di dalam dinding, partikel-partikel itu menyatu dan memadat membentuk sepucuk surat kembali.

Itulah sebabnya, kami tidak sedang mengasingkan diri. Siapa pun dari kalian bisa mengunjungi ruang kami. Tapi, kalian harus berani menjadi benda yang terurai membentuk partikel-partikel agar bisa diisap dinding kota kami. Jika nasib kalian baik, tubuh kalian yang semula terurai itu akan kembali memadat dan membentuk sosok. Ini pengalaman yang sangat menegangkan. Bahkan menakutkan. Kebanyakan orang tidak berani menempuh prosedur standar seperti itu. Memang pernah terjadi peristiwa yang kami catat sebagai kecelakaan. Lima tahun lalu, ketika kesunyian di kota kami telah mengkristal, ada kawan lama yang mengunjungi kami. Namun, ia tak pernah kami temukan setelah tubuhnya terurai. Sejak peristiwa itu, banyak orang yang takut memasuki ruang kami.

Berbeda dengan hidup kalian yang punya waktu 24 jam, kami memiliki jumlah waktu lebih banyak: 36 jam. Jadi, hidup kami jauh lebih panjang dari kalian. Dengan kelebihan 12 jam setiap hari itu, kami lebih mungkin mewujudkan mimpi-mimpi kami. Seperti menciptakan makanan tak berbentuk, melainkan hanya berupa sinyal cahaya. Begitu merasa lapar, kami memencet salah satu tombol di tubuh kami dan melesatlah sinyal cahaya itu. Dalam sekejap, kami pun merasa kenyang. Berak? Ah, ada saja pertanyaan kalian. Kami juga berak, namun yang keluar bukan benda melainkan cahaya. Begitu pula ketika kami kencing, maka akan muncul seleret cahaya dari kemaluan kami. Dahsyat? Ah, biasa.

Seperti juga kalian, kami pun memiliki gairah bercinta. Namun persetubuhan kami tidak secara wadag, melainkan lewat pertemuan sinyal yang memunculkan peletikan cahaya, seperti kabel listrik plus-minus yang bergesekan. Meski hanya beberapa detik, kami mampu meraih kenikmatan yang luar biasa. Jika terjadi kehamilan, maka anak-anak kami yang lahir pada mulanya berbentuk cahaya yang perlahan memadat dan berbentuk manusia, sebelum akhirnya menangis.

Anak-anak kami tumbuh sehat, montok, dan lucu. Senyum mereka selalu terpahat di gigi susu. Mereka tak perlu diawasi karena bisa menjaga diri; bermain di bawah pancuran air, mencari ikan di sungai, atau bermain di taman penuh bunga-bunga yang terbuat dari cahaya. Mereka begitu cepat tumbuh menjadi orang-orang muda cerdas dan perkasa, juga bisa jenaka; setidaknya jenaka dalam menertawai diri sendiri, suatu sikap yang di luar sana mungkin makin langka: begitu banyak orang gampang tersinggung hanya karena punya kekuasaan dan uang; mereka pun gemar memborong kebenaran.

Di kota kami kebenaran tidak pernah tunggal, tapi lahir dari banyak kepala, dari banyak hati, dari banyak suara. Kami menamainya kebenaran bunga-bunga: di taman setiap bunga berhak tumbuh, berkembang dan menyatakan dirinya lewat warna dan aroma. Begitu ada tanaman bunga yang ingin menguasai taman, kami pun bersama-sama melawan. Tapi itu tidak berarti kami lantas anti kepadanya. Kami hanya ingin dia tidak jumawa, rakus, dan berkuasa.

O ya, sekarang kami sedang menulis cerita perjalanan hidup kami dan kelahiran kota kami: Glabatt. Kami tak berani menyebutnya sebagai sejarah. Itu terlalu besar dan jumawa.

Pada mulanya, kota kami tak beda dengan kota-kota lain di negeri Couroptick: padat penduduk, kumuh, kumal, lamban, dan banyak orang yang memelihara hobi mencuri. Para pemimpin hanya terampil ngomong, sok tahu dan ulet di dalam memburu keuntungan, terutama buat dirinya. Kami memang punya wakil di parlemen, tapi mereka sudah lama melupakan kami. Kami tak lebih dari gerombolan makhluk yang hanya bisa diperas suara dan dukungannya menjelang pemilihan wakil rakyat, presiden atau pimpinan daerah. Mereka sangat menyedihkan: merasa sebagai politisi tapi sesungguhnya tak lebih dari pialang. Mereka menjadikan parlemen tak lebih dari pasar hewan.

Tapi, entah kenapa kami selalu memaafkan mereka, ya setidaknya terpaksa melupakan pengkhianatan-pengkhianatan mereka. Buktinya, setiap menjelang pemilihan pemimpin atau wakil rakyat tiba, kami tetap saja menjadi keledai-keledai dungu yang tak pernah melawan digiring ke bilik-bilik suara. Mereka sangat piawai membakar semangat kami. Seolah-olah, masa depan bangsa dipertaruhkan di bilik suara. Dan, celakanya, kami begitu mudah terkesima. Padahal sesungguhnya yang dipertaruhkan dalam setiap pemilihan hanyalah kepentingan mereka sendiri.

Untunglah gempa bumi itu datang, memporak-porandakan kota kami. Kami mensyukurinya, karena kami mengira Tuhan akan segera mengambil kami. Bagi kami itu lebih baik, daripada menderita dijajah bangsa sendiri.

Tapi ajaib, sesudah rumah-rumah kami porak-poranda dan harta kami lenyap, muncul peristiwa yang sangat menakjubkan. Pelan-pelan kota kami tenggelam. Bumi merekah, membuka jalan bagi kami untuk memasuki ceruk bumi. Waktu itu, kami merasa hidup kami sudah selesai. Tapi Tuhan punya rencana lain. Kota kami terus bergerak ke bawah dan ke bawah. Semua serbagelap. Hitam. Sunyi. Semua jeritan kami telah menyublim menjadi kesunyian.

Tak lama sesudah kami dikuasai kegelapan, kami pun mendadak disergap cahaya yang terang-benderang. Cahaya itu memaksa kami membuka kelopak mata kami. Dan Tuhan Maha Besar: di hadapan kami terhampar ruang yang penuh cahaya. Hamparan ruang itu pelan-pelan naik ke permukaan bumi, dan akhirnya menjelma kota cahaya seperti yang kalian lihat sekarang ini. Kami menganggap semua perjalanan yang sangat menakutkan dan menegangkan itu lebih mirip dongeng. Tapi, bagi kami, dongeng tidak selalu bisa dianggap isapan jempol.

Dunia sangat takjub kepada kota kami. Mereka tak habis pikir, kenapa sebuah kota yang semula tenggelam bisa muncul kembali ke permukaan dan berubah bentuk menjadi kota cahaya. Mereka menganggap kota kami lebih fantastis dari Candi Borobudur, Tembok Cina, Air Terjun Niagara, dan Tajmahal. Setiap hari mereka datang. Mereka menonton kami bak ikan dalam akuarium raksasa. Mereka memotret kami atau merekam kegiatan kami dengan kamera video. Semula kami sangat tersinggung. Tapi, akhirnya kami pun maklum.

Pemerintah pusat, lewat Presiden Grobadoor mengklaim kota kami sebagai asetnya. Pernyataan ini juga diulang-ulang oleh juru bicara presiden Dhoboz Trevor. Ia katakan, kota kami merupakan rahmat yang terindah dari bencana alam. ''Blessing in disguise, kata yang paling tepat bagi munculnya kembali Kota Glabatt yang fantastis itu!'' tukasnya di depan para wartawan.

Kami tertawa mendengar ucapan-ucapan yang lebih mirip ceracau orang mabuk itu. Bagaimana mereka bisa dengan tidak malu mengakui kota kami ini milik mereka? Bukankah ketika gempa itu tiba, pemerintah pusat tidak pernah peduli kepada nasib kami? Kami dibiarkan digasak bumi yang merekah. Kami dibiarkan lapar, kedingingan, sakit, dan bahkan mati. Sementara itu, kini mereka dengan tanpa rasa bersalah dan rasa malu tega menuai gemerincing dolar. Ternyata watak licik dan rakus masih diidap mereka.

Kami akhirnya memutuskan untuk melepaskan diri dari negeri Couroptick. Lewat sejumlah diplomasi, kami membentuk Glabatt menjadi negara. Tapi ini pun tidak mudah. Negeri Couroptick mengerahkan ratusan ribu tentara untuk menyerbu Glabatt. Mereka menggunakan senjata-senjata berat dan ultra modern (konon ini didapat lewat hutang pada negara adidaya Gabricanmos yang presidennya, Clebuzz, memang suka melakukan agresi militer di berbagai negara). Setiap hari ribuan bom jatuh, jutaan peluru berhambur di negeri kami. Tapi ajaib. Negeri kami tak luka sedikit pun. Dinding-dinding kesunyian yang menjelma kristal yang tak teraba itu mampu membentengi kami. Presiden Grobadoor mencak-mencak. Kabar terakhir, dia akan menenggelamkan negeri kami lewat gempa buatan berskala 35 richter! Konon, Presiden Clebuzz telah menyanggupi untuk membantu. Dia telah menjediakan dana jutaan dolar Gabricanmos guna mendanai penghancuran negeri itu.

Ternyata ancaman itu bukan gertak sambal. Mereka benar-benar menghancurkan dan menenggelamkan negeri kami. Tapi, Tuhan Mahaagung, begitu dinamit itu diledakkan, kota kami pun terurai menjadi partikel-partikel dan dalam waktu sekejap memadat kembali, membentuk wujudnya yang semula. Kota kami pun melesat ke angkasa, untuk kembali pada posisinya awal. Keajaiban itu terjadi berulang-ulang. Mereka pun akhirnya menyerah karena putus asa. Kami tertawa, melihat ketololan mereka melawan dinding-dinding kesunyian kami yang telah mengkristal dan menjelma cahaya. (*)

Jogjakarta Agustus 2006.

Senin, 23 Februari 2009

RELIGIUSITAS SANG BINATANG JALANG

Imamuddin SA
http://forum-sastra-lamongan.blogspot.com/

Chairil Anwar merupakan seorang maestro dalam perpuisian Indonesia mutakhir. Dialah pendobrak stile puitis dari gaya ortodok kepada gaya yang lebih moderen dan terkesan tidak kaku. Karya-karyanya merupakan cermin eksprisi yang begitu tinggi akan kebebasan jiwa, entah itu dari kekangan penjajajah maupun dari tradisi lama perpuisian Indonesia. Ia membawa gaya dan visi baru dalam puisinya. Puisinya tengah keluar dari aturan puitis yang serba mengikat. Atas dasar hal itulah ia membentuk genetika baru dalam kanca perpuisian Indonesia. Ia telah membentuk angkatan baru yaitu angkatan 45 dengan gaya puisi yang lebih familier. Lebih dari itu, ada yang menyatakan bahwa dengan gaya puisi yang ditawarkan Chairil Anwar, sebenarnya sastra Indonesia baru terlahir.

Chairil Anwar lahir di Medan tanggal 22 Juli 1922. Ia tidak tamat sekolah di tingkat SMP sajaknya yang terkenal berjudul AKU. Sajak ini menggambarkan semangat hidupnya yang membersit-bersit dan eksistensialisme pribadinya. Dalam sajak itu ia menyebut dirinya sebagai Binatang Jalang yang kemudian menjadikannya terkenal.

Dalam pandangan pandangan secara umum, yang dinamakan Binatang Jalang memiliki konotasi makna yang negatif, rendah, bahkan hina. Pernyataan itu Chairil seolah mengeklaim diri sebagai sesosok manusia yang liar dan tak memiliki aturan. Hal itu jika ditilik daei sudut pandang puisi AKU. Di luar hal itu, pada dasarnya Chairil memiliki aturan yang begitu kuat. Aturan itu bertumpu pada nilai religiusitas. Lihat saja pada puisinya yang berjudul DOA.

DOA
kepada pemeluk teguh

Tuhanku
Dalam termangu
Aku masih menyebut namaMu

Biar susah sungguh
menginat Kau penuh seluruh

cayaMu panas suci
tinggal kerdip lilin di kelam sunyi

Tuhanku

aku hilang bentuk
remuk

Tuhanku

Aku mengembara di negeri asing

Tuhanku
di pintuMu aku mengetuk
aku tidak bisa berpaling

Puisi ini tampaknya diperuntukkan untuk mereka yang meyakini akan adanya tuhan, terutama bagi mereka yang memiliki keyakinan kuat akan keberadaan tuhan dalam hidupnya. Puisi ini memiliki religiusitas yang sangat kental. Chairil pada dasarnya dalam puisi ini mengungkapkan akan betapa kuatnya eksistensi tuhan kepada manusia. Ia menyarankan lewat diri pribadinya bahwasanya ketika seseorang dalam suasana kalut dan bingung seyogyanya ia mengingat dan meyebut nama tuhan yang agung.

Tuhanku // Dalam termangu // Aku masih menyebut namaMu (bait 1)

Saat dalam kondisi kalut dan bingung semacam itu, Chairil masih berdzikir kepada tuhan. Ia ingat akan keagungan tuhan. Dialah yang kuasa atas segala yang ada. Ia menguasai langit dan bumi serta segala urusan yang berkaitan dengan manusia. Dialah yang memberi pertolongan bagi setiap manusia yang dalam kesusahpayahan serta membutuhkan perlindungan. Dan Allah lebih mengetahui (dari pada kamu) tentang musuh-musuhmu. Dan cukuplah Allah menjadi Pelindung (bagimu). Dan cukuplah Allah menjadi Penolong (bagimu) (An-Nisa:45).

Biar susah sungguh // mengingat Kau penuh seluruh (bait 2)

Ungkapan di atas tampaknya merupakan sebuah penegasan dari ungkapan yang sebelumnya. Dalam bait kedua tersebut pernyataan Chairil lebih diperjelas akan kondisi pribadinya. Ia sungguh dalam kesusahpayahan saat itu. Saat suasana batin semakin bertambah kalut, justru ia malah semakin mengingat akan eksistensi tuhan dalam realitas kehidupan ini. Ia merasakan betul bahwa tuhan benar-benar melungkupi alam ini. Seluruhnya dipenuhi dengan kebesaran dan keagungan tuhan sehingga tiada yang patut disebut dan dilantunkan kecuali nama tuhan. Dialah yang bakal memberi pertolongan dan jalan keluar terhadap semua permasalahan yang melingkupi dirinya saat itu.

Chairil dalam sajak ini tergambarkan sebagai sesosok yang meyakini bahwa hanya tuhanlah yang sanggup memberi petunjuk dan menunjukkan jalan keluar dari permasalahan yang sedang ia hadapi. Ia begitu bingung dan kalut sebab terhimpit beban derita hidupnya.

cayaMu panas suci // tinggal kerdip lilin di kelam sunyi (bait 3)

Kata cayaMu panas suci memiliki arti bahwa nur ketuhananlah memberikan kehidupan bagi setiap makhluk yang ada. Nur itu pulalah yang mengandung unsur kesucian. Ungkapan utu dirunut dari eksistensi panas yang tengah memberikan kehidupan bagi tumbuh-tumbuhan untuk melangsungkan pembuatan makanannya sendiri dengan jalan fotosintesis. Adapun kata tinggal kerdip lilin di kelam sunyi memiliki makna konotatif bahwa nur ketuhanan itulah yang menjadi penunjuk jalan manusia saat ia berada dalam kegelapan, saat ia dalam permasalahan dan sat dalam penderitaan. Nur itulah yang bakal menuntun ke jalan yang terang dan penuh dengan kebahagiaan.

Dalam kondisi kesusahpayahan yang dialami saat itu, Chairil benar-benar memasrahkan dirinya secara penuh kepada Tuhan Yang Maha Kuasa. Ia meyakini bahwa tak ada daya dan upaya yang sanggup dilakukan oleh dirinya kecuali atas izin dan kuasa dari Tuhan. Segala ketentuan nasib yang bakal menimpa dirinya disandarkan kepada-Nya.
Tuhanku // aku hilang bentuk // remuk (bait 4 dan 5)

Chairil saat itu benar-benar merasakan dalam kondisi terpuruk. Entah itu dari sisi kesehatan atau dari sisi permasalahan-permasalahan yang lain. Yang jelas ia tergambarkan dalam keadaan yang tidak berdaya. Saat itu ia berada di negeri asing. Ia tidak tinggal di tanah airnya. Ia tidak ada di Indonesia.

Tuhanku // Aku mengembara di negeri asing (bait 6 dan 7).

Setelah Chairil mengeluhkan diri kepada tuhan akan keberadaannya di negeri orang yang dalam kesusahpayahan, ia di akhir sajaknya terlukis melakukan pertaubatan. Ia seolah menyesali atas segala perbuatan yang telah dilakukannya. Ia berharap agar tuhan berkenan mengampuni segala dosa yang telah diukirnya dan berkenan memberi pertolongan kepadanya. Sungguh, saat itu ia tak sanggup berpaling dari-Nya.

Tuhanku // di pintuMu aku mengetuk // aku tidak bisa berpaling (bait 8)

Fenomena di atas merupakan realitas gemuruh batin Chairil Anwar yang terjadi saat itu. Ia benar-benar dalam kondisi yang tidak berdaya di negeri orang. Ia berada dalam kesusahpayahan yang begitu mencekam. Sungguh, segala yang tecermin merupakan sebuah nilai religiusitas seroang Chairil Anwar yang begitu tinggi. Nilai yang patut dijadikan teladan akan hakekat ketuhanan dalam hidup dan kehidupan ini.

Minggu, 22 Februari 2009

Riak Tanpa Gelombang Penerbitan Sastra Jawa

Sucipto Hadi Purnomo
http://kejawen.suaramerdeka.com/

SETIAP kali hasil penjurian Hadiah Rancage disampaikan, setiap itu pula muncul rasa haru. Haru karena sejauh ini masih saja ada yang berkarya dan mendedikasikan diri di jalur sastra daerah. Haru karena dari tahun ke tahun jumlah karya yang muncul tetap segitu-segitu saja. Haru karena justru yang memberikan hadiah buat sastra(wan) Jawa bukan ”wong Jawa”!

Hadiah Sastra Rancage 2009, yang hasil penjuriannya dirilis akhir bulan lalu, adalah yang ke-21 kalinya diberikan kepada para sastrawan yang menulis dalam bahasa ibu. Kali pertama tahun 1989, hadiah ini diberikan hanya kepada sastrawan yang menulis dalam bahasa Sunda. Maklumlah, Ajip Rosidi yang duduk sebagai Ketua Dewan Pembina Yayasan Kebudayaan Rancage, adalah urang Sunda deles.

Namun sejak 1994, para sastrawan yang menulis dalam bahasa Jawa juga mendapat hadiah ini. Sebuah upaya yang sejauh ini, terutama dalam dua dekade terakhir, tak pernah dilakukan oleh wong Jawa. Ya, hadiah paling bergengsi untuk karya sastra dan tokoh yang berjasa terhadap sastra Jawa justru diberikan oleh orang Sunda! Aneh memang, apalagi jika dibandingkan —misalnya— dengan kesanggupan untuk membiayai kongres bahasa Jawa yang sudah berlangsung empat kali itu hingga miliaran rupiah.

Kembali pada Hadiah Rancage 2009, berdasarkan rilis tersebut, untuk kategori karya, penghargaan dimenangi oleh S Danusubroto dengan buku roman berjudul Trah terbitan Narasi Yogyakarta. Adapun hadiah untuk kategori tokoh yang dianggap berjasa besar terhadap sastra Jawa diterima Sunarko Budiman, penulis dan pengelola Sanggar Sastra Jawa Triwida.

Dibandingkan dengan 2007, dalam 2008 jauh lebih sedikit karya sastra Jawa yang terbit. Hanya empat judul. Di samping Trah, hanya ada Lintang Biru: Antologi Geguritan Bengkel Sastra Jawa 2008, Dongane Maling karya Yohanes Siyamta yang berupa kumpulan karya berupa guritan, cerkak, obrolan dan pengalaman penulisnya, dan Singkar roman karya Siti Aminah yang diterbitkan oleh Organisasi Pengarang Sastra Jawa dan Penerbit Griya Jawi Jurusan Bahasa dan Sastra Jawa Unnes Semarang.

Pada 2007, terbit 24 judul buku sastra Jawa, berupa 4 kumpulan sajak dan 20 fiksi. Di antara fiksi ada 15 judul berupa kumpulan dongeng dari berbagai daerah di Jawa Timur. Adapun yang lima lagi adalah Gumregete Ati Wadon kumpulan cerpen karya Sirikit Syah, Kidung Megatruh kumpulan bersama, Intan Ora Mlebu kumpulan roman secuwil karya Ary Murdiana, kumpulan satir Dongeng Sanepa Banaran Bolosukerta karya Ki Nir Puspata, dan roman Tegal Bledugan karya Lanang Setyawan.

Empat buku kumpulan sajak yang terbit sepanjang 2007 adalah Banyuwangi Rinengga ing Gurit karya bersama, Tembang Kapang, Tembang Bebrayan karya Effendi Kadarisman, Bledheg Segara Kidul karya Turiyo Ragilputra, dan Saka Kupat Sawalan Tumekan Kupatan Maneh karya Suyanto alias Yanto Garuda.

Sebagai Motivator

Diakui atau tidak, kehadiran Rancage bagi jagat kesusastraan Jawa merupakan sumber motivasi. Setelah anugerah itu diberikan satu setengah dasawarsa lalu kepada karya sastra Jawa dan tokoh yang berjasa, tampak kegairahan untuk menerbitkan karya dalam bentuk buku tumbuh kembali. Tampak ada riak-riak meski belum sebesar gelombang.

Sebelumnya, selama hampir tiga dasawarsa, kehidupan sastra Jawa sepi dari penerbitan. Lebih-lebih ketika Balai Pustaka sudah tidak lagi menerbitkan buku-buku sastra Jawa semenjak 80-an.

Selama kurun waktu itu, yang ada dan menjadi ladang penyemaian kreativitas pengarang Jawa hanyalah majalah Jawa. Maklumlah jika almarhum Prof Dr Suripan Sadi Hutomo menyebut periode itu sebagai periode sastra majalah. Itu pun jumlah majalah berbahasa Jawa tak seberapa dengan oplah yang hanya pada kisaran puluhan ribu. Sungguh tak sebanding dengan puluhan juta penutur bahasa Jawa yang notabene (semestinya) menjadi penyangga utama kehidupan sastra daerah ini.

Sekalipun hanya berharap dari majalah, dari waktu ke waktu bermunculan karya dan para pengarang baru. Yang lama berusaha menunjukkan kematangannya dalam berolah sastra, sedangkan yang tergolong pendatang baru berupaya menampakkan eksistensinya dalam berkreasi. Tapi ya itu, baru sebatas di majalah.

Padahal, sebagaimana sering didengungkan oleh sastrawan sepuh Jawa Suparto Brata, sastra Jawa jangan berhenti sebagai sastra majalah. Sastrawan Jawa harus menjadi sastra buku. Hanya dengan menjadi buku, sastra Jawa bisa menjadi terhormat bahkan bukan tidak mungkin menjadi sastra (kelas) dunia. Alasan lain, buku relatif lebih abadi ketimbang majalah. Tak berhenti menyeru, Suparto telah menunjukkan langkah nyata dengan mbandhani sejumlah buku sastra Jawanya.

Sampai pada titik ini sebenarnya jelas persoalan yang sangat krusial bagi kehidupan sastra Jawa. Ketika para pengarang masih terus berkarya, tatkala kreasi-kreasi itu bermunculan, jelas yang dibutuhkan adalah wadah. Ketika wadah yang berupa majalah dianggap tidak memadai maka penerbitan berupa bukulah jawabannya. Di samping itu, ketika kehadiran pemberian anugerah semacam Rancage jelas-jelas bisa merangsang kreativitas dan penerbitan buku, kenapa prakarsa serupa tak pernah dilakukan oleh wong Jawa?

Sebenarnya kalau tulisan ini pun hendak menyerukan kepada orang Jawa yang sudah ”dadi wong” dan secara institusional kepada para pemangku kewenangan sastra-budaya Jawa untuk melakukan hal seperti yang dikhtiarkan oleh Ajip Rosidi, juga perlunya menjadi Sinterklas bagi penerbitan buku sastra Jawa, jelas bukan seruan baru. Meski demikian, seruan semacam ini perlu terus-menerus didengungkan hingga mereka menjadi risi dan mengambil langkah konkret. Itu jika tak mau ironi itu berjalan terus-menerus.

Sebenarnya sekarang bisa dikatakan ”mumpung padhang rembulane, mumpung jembar kalangane”. Betapa tidak, di sekolah saja, kini bahasa-sastra Jawa diajarkan mulai dari jenjang SD sampai SMA/SMK. Itu artinya, secara formal, pembinaan terhadap sastra lebih baik daripada sebelumnya. Imbasnya, jumlah peminat dan kuota calon guru bahasa-sastra Jawa meningkat berlipat-lipat. Itu artinya pembaca potensial buku sastra Jawa (semestinya) juga berlipat ganda. Kenapa potensi riil semacam ini tak segera diambil oleh penerbit atau siapa pun yang selama ini masih ragu ketika akan menerbitkan sastra Jawa?

Perbandingan Cerpen "Kiamat Kecil di Sempadan Pulau" dan "Cinta Ibu"

Dr Junaidi SS MHum
http://www.riaupos.com/

Ketika saya membaca cerpen yang terhimpun dalam buku Pipa Air Mata Cerpen Pilihan Riau Pos 2008, terbitan Yayasan Sagang tahun 2008, saya menemukan dua cerpen yang menarik untuk dibandingkan. Cerpen pertama berjudul “Kiamat Kecil di Sempadan Pulau” karya Fakhrunnas MA Jabbar dan yang kedua berjudul “Cinta Ibu” karya Hary B Kori’un. Cerpen lain yang terdapat dalam buku ini sebenarnya sangat menarik juga untuk dibincangkan. Namun demikian, tulisan singkat ini hanya akan membahas kedua cerpen tersebut. Common ground atau azas utama yang dijadikan dasar untuk membandingkan kedua cerpen ini adalah kedua cerpen menyampaikan gagasan kemunduran nilai-nilai kemanusian yang menyebabkan bencana dan duka mendalam bagi manusia itu sendiri. Berikut disampaikan beberapa gagasan yang dapat dibandingkan setelah membaca kedua cerpen tersebut.

Pertama, keserakahan manusia. Dalam “Kiamat Kecil di Sempadan Pulau” sifat serakah manusia terlihat dari aktivitas penambangan pasir laut dan darat secara besar-besaran oleh kaum pendatang. Eksploitasi alam secara berlebihan telah menyebabkan ketidakseimbangan lingkungan dan pada akhirnya keserakahan itu menyebabkan bencana alam yang sangat dahsyat seperti tsunami. Masyarakat dan pulau itu benar-benar luluh-lantak oleh kekuatan alam yang tidak lagi bersahabat dengan manusia. Alam telah murka kepada manusia karena manusia tidak lagi menjaga keseimbangan alam. Tindakan serakah juga ditunjukkan oleh aktivitas penjualan pasir ke Singapura dan Johor. Secara metaforik, penjualan pasir itu bermakna penggadaian harga diri orang Melayu Riau. Pasir itu sama dengan tanah. Tanah itu adalah warisan yang ditinggalkan oleh generasi sebelumnya sehingga kita menyebut kampung kita itu dengan tanah air. Dengan demikian, menjual pasir atau tanah sama seperti menjual tanah air sendiri kepada orang lain. Bila tanah air telah dijual, tiada lagi harga diri, tiada lagi identitas, dan tiada lagi eksistensi. Tersebab penggadaian tanah air itu pula lah pulau itu mendapat murka dari alam. Kekuatan moral dan agama yang disampaikan oleh tokoh Sayed Sobri tiada kuasa untuk merubah perbuatan serakah yang dilakukan oleh para pendatang dan penduduk tempatan. Kekuatan moral dan agama telah dikalahkan oleh keserakahan umat manusia.

Dalam “Cinta Ibu” keserakahan manusia terlihat dari aktivitas pengalihfungsian lahan penduduk dan pemakaman umum menjadi ladang sawit. Penduduk sebenarnya tidak setuju dengan program itu. Tetapi para pengusaha kaya dengan dibantu oleh aparat pemerintah memaksa penduduk untuk melepaskan tanah mereka. Para pengusaha tidak peduli terhadap penolakan yang dilakukan oleh penduduk. Secara metaforik, perebutan tanah penduduk Tongar bermakna tiada lagi warisan yang dimiliki oleh penduduk sebab tanah kelahiran mereka telah dirampas oleh nafsu serakah para pengusaha kaya. Tindakan serakah yang dilakukan oleh para pengusaha kaya dan aparat pemerintah telah menyebabkan penderitaan yang sangat mendalam bagi tokoh “Cah Bagus” alias “Aku” sebab kuburan ibunya telah diratakan oleh para pengusaha kaya untuk dijadikan ladang sawit.

Kedua, eksploitasi alam. Dalam kedua cerita terdapat tindakan ekploitasi yang dilakukan oleh umat manusia. Dalam “Kiamat Kecil di Sempadan Pulau” ekploitasi dilakukan oleh kaum pendatang dengan cara mengambil pasir laut dan darat yang terdapat di pulau. Pengambilan pasir itu dilakukan secara besar-besaran dengan mengunakan alat berat. Bila dilakukan secara tradisional oleh masyarakat tempatan tentu saja tidak akan merusak alam. Manusia boleh saja mengambil manfaat dari alam. Tetapi manusia harus memperhatikan aspek keseimbanan dalam mengolah alam. Alam itu perlu dijaga. Bila alam tidak dijaga, maka ia dapat mendatangkan bencana seperti bencana yang menimpa pulau itu. Manusia mesti bersahabat denga alam, jika tidak alam akan menunjukkan kemurkaannya kepada manusia dengan mendatangkan bencana.

Dalam cerita ini masyarakat tempatan hanya menjadi korban akibat eksploitasi alam oleh kaum pendatang. Kaum tempatan memang lebih cenderung peduli terhadap tanah airnya sendiri sebab itu adalah tanah kelahiran mereka yang diwariskan secara sah oleh leluhur mereka. Sedangkan para pendatang cenderung untuk mengabaikan alam sebab mereka merasa tanah itu bukan milik mereka. Mereka hanya tinggal sementara di situ untuk mengumpulkan kekayaan. Setelah mereka kaya dan alam itu telah hancur mereka pun akan meninggal tempat dan kembali ke kampung mereka sendiri. Kerusakannya akan dirasakan oleh masyarakat tempatan.

Dalam “Cinta Ibu” ekploitasi alam tergambar dari tindakan membabat lahan masyarakat tempatan dan digantikan dengan kebun sawit. Perusahaan besar secara paksa merampas tanah masyarakat untuk dijadikan perkebunan sawit. Bahkan pemakaman umum pun mereka ratakan untuk dijadikan perkebunan sawit. Pembabatan lahan penduduk secara paksa menunjukkan bahwa para pengusaha kaya tidak mempertimbangkan kondisi alam yang telah akrab dengan penduduk tempatan. Perbuatan pengingkaran terhadap alam lebih ditunjukkan oleh pengalihfungsian tanah pemakaman umum menjadi ladang sawit. Arwah orang yang telah meninggal juga mempunyai hak untuk tidur dengan tenang bersama alam. Tetapi dalam cerita ini perbuatan pengusaha kaya telah mengusir arwah penduduk tempatan termasuk arwah ibu Cah Bagus dari alam ini. Para pengusaha kaya tampaknya mempunyai pandangan bahwa orang yang telah meninggal tidak mempunyai hak untuk tinggal di alam ini.

Dalam “Kiamat Kecil di Sempadan Pulau”, eksploitasi alam telah menyebabkan bencana alam yang sangat dahsyat sehingga telah menghancurkan pulau dan membinasahkan masyarakat yang tinggal dipulau itu. Bencana itu diibaratkan kiamat kecil yang melanda kehidupan manusia. Kiamat kecil itu memberikan makna bahwa ekploitasi dalam telah menyebabkan petaka bagi umat manusia itu sendiri. Dengan demikian, pesan yang ingin disampaikan adalah manusia harus menjaga keseimbangan dengan alam.

Meskipun dalam “Cinta Ibu” akibat ekploitasi alam tidak ditampilkan dalam bentuk bencana alam, eksploitasi alam telah menyebabkan kemarahan yang sangat mendalam bagi tokoh Cah Bagus. Cah Bagus sangat dan sedih ketika ia menyaksikan tanah kuburan ibunya telah hilang digantikan dengan ladang sawit. Cah Bagus sangat terpukul oleh tindakan pengusaha kaya. Sebenarnya, bagi Cah Bagus sendiri dan masyarakat di Tongar perampasan tanah mereka juga merupakan kiamat sebab mereka tidak mempunyai tanah lagi di negeri mereka sendiri. Perasaan Cah Bagus sama seperti perasaan yang dirasakan tokoh Sayed Sobri ketika bencana alam melanda pulau itu.

Makna cinta ibu dalam cerpen kedua ini tidak hanya merujuk pada cinta seorang anak kepada ibu kandungnya sendiri tetapi secara metaforik dapat diartikan sebagai cinta seorang anak manusia terhadap tanah airnya sendiri. Untuk menjelaskan tanah air kita sering menggunakan kata “ibu pertiwi”. Dengan kata lain, dalam cerita ini cinta ibu dapat bermakna cinta kepada seorang ibu dan dapat juga bermakna cinta terhadap ibu pertiwi atau kampung halaman sebagai alam diberikan Tuhan untuk tempat manusia hidup. Setiap orang mempunyai fitrah untuk mencintai tanah airnya sendiri sehingga bila ada orang yang menzalimi alam atau tanah airnya maka ia akan marah. Persoalan itulah sebenarnya dihadapi tokoh Cah Bagus dalam cerita ini.

Ketiga, kepentingan ekonomi. Faktor kepentingan ekonomi menjadi dasar terjadinya kezaliman manusia dalam kedua cerpen. Dalam “Kiamat Kecil di Sempadan Pulau” eksploitasi dan penjualan pasir ke negeri tetangga tentu saja bermotifkan kepentingan ekonomi. Pendirian karaoke, diskotek, tempat hiburan dan perjudian semuanya dilakukan untuk kepentingan ekonomi. Kepentingan ekonomi telah mengalahkan sistem moral dan agama yang selalu diperjuangkan oleh tokoh Sayed Sobri terdapat dipulau itu. Orang telah melupakan aspek moral dan agama untuk mendapatkan kekayaan. Uang jauh lebih penting dan realistis bagi masyarakat di pulau itu dibandingkan moral dan agama.

Dalam “Cinta Ibu”, pengalihfungsian lahan pemakaman umum menjadi ladang sawit juga dilakukan atas dasar kepentingan ekonomi. Keberadaan kuburan dianggap tidak penting lagi sebab tidak mendatangkan nilai ekonomi. Tetapi bila ladang sawit yang dibangun akan mendatang uang yang banyak. Meskipun tindakan yang dilakukan dalam kedua cerita itu dapat memberikan keuntungan ekonomi, keuntungan itu bukan untuk masyarakat tempatan tetapi hanya untuk kaum pendatang. Kaum pendatanglah mendapatkan keuntungan ekonomi. Sebaliknya kaum tempatan hanya menjadi korban dari kepentingan kaum pendatang.
Keempat, dehumanisasi. Dalam kedua cerpen ini terlihat adanya fenomena dehumanisasi atau penghilangan harkat dan martabat manusia. Manusia digambarkan tidak lagi mempunyai sifat-sifat kemanusian. Bila manusia tidak lagi mempunyai sifat kemanusian, apakah mereka masih bisa disebut manusia? Manusia memakan manusia. Bahkan manusia telah berubah seperti dogs eat dogs. Atau dalam bahasa orang Kampar disebut “ikan bocek makan ikan bocek”. Degradasi moral benar-benar telah terjadi sehingga manusia tidak lagi dipandang sebagai manusia yang memiliki sifat-sifat kemanusian dan manusia telah tercerabut dari hakekat kebudayaannya.

Dalam “Kiamat Kecil di Sempadan Pulau” terlihat adanya perbuatan amoral sehingga manusia berbuat dengan semaunya tanpa mempertimbangkan aspek moral dan agama. Perkembangan dan persaingan ekonomi telah menghancurkan sistem sosial dalam masyarakat dipulau itu. Ajaran moral yang dikembangkan Syed Sobri telah terkalahkan oleh gaya kehidupan modern yang mengedepan nilai uang dalam setiap tindakan manusia. Dalam Cinta Ibu dehumanisasi terlihat dari tindakan perampasan pemakaman umum untuk dijadikan kebun sawit. Bahkan kuburan yang terdapat ditanah itu tidak dipindahkan. Meskipun itu hanya kuburan, itu mesti dihormati sebab di situlah leluhur, orang tua, keluarga dan masyarakat lainnya di kubur.

Kelima, makna cinta. Meskipun kedua cerita yang bincangkan dalam tulisan ini tidak termasuk dalam kategori cerita cinta kasih sepasang kekasih, kedua cerita ini menyampaikan makna cinta yang perlu kita renungkan. Dalam “Kiamat Kecil di Sempadan Pulau”, makna cinta disampaikan dalam bentuk ketidaksetian istri kepada suami. Pendek kata, cinta dapat dibeli dengan uang. Ini terlihat dari tindakan yang dilakukan Ah Cun yang merayu istri keempat Sayed Sobri. Ah Cun berhasil memperdaya istri Sayed Sobri untuk meninggalkan Sayed Sobri dan membawanya lari ke negeri jiran. Padahal Sayed Sobri adalah seorang ulama dan tokoh masyarakat. Tetapi mengapa istrinya bisa berpaling dari dirinya? Ini menunjukkan bahwa cinta itu ternyata bisa dibeli dengan uang. Kesetian dan pengabdian istri kepada suami dapat sirna oleh kekuatan uang.

Berbeda dengan cerita pertama, “Cinta Ibu” benar-benar menampilkan kesetian seorang istri kepada suaminya. Meskipun suaminya tidak pulang-pulang setelah sekian lama pergi, sang istri (Ibu Cah Bagus) tetap setia untuk menunggu sang suami. Sang istri tidak mau kawin lagi dengan lelaki lain karena ia sangat yakin dengan cintanya kepada sang suami. Bahkan sampai akhir hayatnya pun sang istri tetap setia menunggu sang suami meskipun suaminya tak pernah datang.

Kedua cerpen di atas telah memotret sepengal kondisi kehidupan yang dialami manusia di dunia ini. Manusia digambarkan berkembang tidak menuju progressive (kemajuan) melainkan menunju regressive (kemunduran) sebab manusia telah semakin serakah, tidak menjaga keseimbangan alam, semakin materialistis dan semakin dehumanisasi. Ternyata perkembangan manusia terbalik. Arah perkembangan manusia menuju kemunduran bukan kemajuan. Apakah ini yang disebut sebagai hasil dari peradaban manusia modern? Sulit untuk menjawabnya.***

*) Adalah Dekan Fakultas Ilmu Budaya Universitas Lancang Kuning Pekanbaru.

Lelaki dan Televisi

Riki Utomi
http://www.riaupos.com/

Setiap bangun tidur, dia lantas krasak-krusuk setelah itu pasti menghidupkan televisi. Kehidupannya terus begitu. Dia tak bisa lepas dari televisi. Sepertinya televisi sudah menjadi makanannya. Entah bagaimana kalau seandainya di rumah itu tidak ada televisi, mungkin dia bakal mati.

Seorang tak dikenal datang kepadanya. Wajah orang itu memandang wajah Bilton yang sedang serius mengikuti rangkaian acara di televisi. Tapi Biston cuek saja, dia menganggap lelaki tua yang datang kepadanya adalah orang gila yang mengganggu kesenangannya.

“Mengapa hidupmu kau habiskan di depan televisi, Ton!”

Pertanyaan itu membuat Biston terkejut. Tapi ia tetap berusaha tak ambil peduli dan masa bodoh. Menurutnya hidup adalah bebas. Bebas menurutnya adalah lepas dari segala aturan. Mau apa saja terserah, tiada berhak orang melarang. Apalagi kini saat-saat di mana dia sedang asyik menikmati tontonan televisi.

“Aku telah menemukan orang gila model baru,” lanjut lelaki tua misterius itu. Tapi Biston tetap cuek sambil terus geletak santai dengan tangan menopang kepala.
“Kau banyak menyia-nyikan hidupmu hanya untuk televisi. Setiap hari kau duduk di depan televisi. Televisi bukan segala-galanya dalam hidup, Ton! Apa kau tega umurmu hanya kau sia-siakan dengan hanya berleha-leha di depan televisi. Aku sebenarnya cukup prihatin dengan keadaanmu. Kau sudah genap berumur empat puluh. Sudah pantas untuk berkeluarga dan sudah pantas untuk mandiri. Ternyata kau tidak sayang pada dirimu sendiri, padahal umurmu tidak lagi muda. Jangan kau menyangka hidupmu ke depan akan senang kalau kau sampai sekarang tetap saja seperti itu. Sehari-hari hanya duduk di depan televisi. Sadar Ton! Hidupmu jangan kau gantung pada televisi! Televisi bukan penjamin hidup!!” geram lelaki tua misterius itu, kemudian ia menghilang entah ke mana.
Suara azan Zuhur mengumandang.

Biston tersadar. Ia memandang ke arah tempat lelaki tua itu. Ia segera mematikan televisi dan segera masuk kamar mandi, kencing. Lalu menimba sumur untuk mengambil air wudhu. Setelah itu cepat masuk kamar untuk salat.

Setelah salat ditelinganya masih terngiang-ngiang ucapan lelaki tua misterius tadi. Sejenak ia berpikir ucapan-ucapan itu, lalu mengingat lelaki tua itu. Apakah lelaki itu nyata atau tidak. Aneh… lelaki tua misterius itu keberadaannya antara ada dan tiada disaat-saat ia sedang menonton terlevisi tadi. Aneh… pikir Biston termenung seorang diri dalam kamar.

Dia lantas menuju dapur. Di lemari telah tersedia lauk-pauk makan siang. Biston pun makan tanpa merasa beban. Ia merasa hidup seperti ini adalah nikmat yang tidak ingin ia lepaskan. Makan tinggal makan, tidur tinggal tidur, nonton tinggal nonton. Tapi sayang… ia tidak ada kerja.

Selesai makan ia kembali ke ruang tengah. Tapi kali ini ia cukup waspada kalau-kalau lelaki tua misterius itu datang kembali. Tapi cepat ia menepis pikiran itu kalau lelaki tua misterius itu hanyalah angan-angannya saja, halusinasinya saja. Tidak masalah.
Jeklik! Bunyi tombol televisi yang ditekannya. Dia menonton televisi lagi dengan santai.

“Mengapa kau tidak puas-puasnya menonton televisi Biston!” ujar si lelaki tua misterius itu. Aneh, mengapa wujud itu tidak ada. Biston kembali menonton dengan santai dengan gaya terlentangnya yang khas seperti bule berjemur di pantai.

“Kau benar-benar gila Ton!” kata suara itu lagi. Biston berusaha cuek.

“Kau benar-benar keterlaluan! Manusia macam apa kau ini! Dari pagi kau hanya di depan televisi, sekarang kau masih juga di depan televisi. Aku ingatkan kau tidak pantas begini lagi. Jangan hidupmu kau sia-siakan hanya dengan menonton televisi. Kau harus bekerja, mencari nafkah, kau itu harus jadi orang! Kau laki-laki jangan hanya ngurung diri dalam rumah terus! Nanti jadi telek! Yang tahunya hanya nyuruk dan melempem dalam rumah. Kau laki-laki yang seharusnya menjadi tulang punggung kelurga. Apa kau tidak kasihan kini bapakmu telah tua renta. Kau harus punya pikiran untuk dapat mengubah sikap hidupmu, jangan hanya begini-begini saja Ton! Sadar Ton! Kau harus kerja cari duit!!” teriak lelaki tua misterius itu dengan geram.

Biston lantas mematikan televisi. Ia gelar tikar, geletak. Acara televisi saat-saat siang tidak menarik. Tapi suara lelaki tua misterius itu terus terngiang-ngiang di telinganya. Siapa gerangan lelaki tua itu? Apa munya? Bisik batin Biston. Ia merasakan baru saat ini seorang telah berkata begitu kepadanya. Ucapan-ucapan itu begitu pedas dan menyakitkan membuat ia terteror. Kini perasaannya menjadi galau, ia tak tahu mengapa. Jantungnya berdebar tak tentu arah. Ia mencoba memejamkan mata. Tapi sia-sia.

“Apa maumu lelaki tua!” teriak Biston dalam kesendiriannya. “Mengapa kau berkata begitu kepadaku. Apa salahku, ha?”

Sepi. Di sekitarnya tidak ada siapa-siapa yang muncul. Biston tidak puas. Ia terus berkoar-koar bagai ayam betina bertelur. Dia belum capek. Dia ingin tahu lelaki tua misterius itu. siapa gerangan dia yang sejak tadi terus menerornya sehingga menjadi beban pikirannya. Biston penat. Akhirnya ia diam. Matanya mulai mengantuk. Angin sepoi-sepoi masuk dari jendela mengantarkanya tidur.

Dalam mimpinya, lelaki tua misterius itu datang. Biston ketakutan menghdapi lelaki tua yang memiliki wajah mengerikan itu. Apa maunya? Pikir Biston. Akhirnya ia memberanikan diri bertanya.

“Apa maumu lelaki tua? Sejak tadi kau terus menerorku tidak boleh menonton televisi,” tanya Biston dengan gugup.

Lelaki tua misterius itu malah menatapnya dengan mata nyalang kemudian berubah menertawai Biston dengan tawa yang melengking mirip kuntilanak.
“Mengapa kau menanyakan hal yang bodoh itu Ton. Seharusnya kau tahu sendiri tanpa bertanya kepadaku. Jadi kau memang belum sadar. Dasar sableng! Gendeng kowe Ton! Aku mengharapkan kau sadar pada ucapan-ucapanku tadi. Televisi yang kau tonton itu bukan jaminan hidupmu. Barang itu tidak akan bisa menjadi penopang hidupmu. Kau harus memperbaiki hidupmu, berubah dari cara hidupmu yang sekarang. Kau harus sadar pada umurmu yang sudah kepala empat. Kau jangan menyia-nyiakan umurmu, kau harus bekerja, cari nafkah, cari jodoh, lalu mendirikan rumah tangga. Kau harus bisa! Apa kau mau terus-terus jadi bujangan seperti ini. Lihat lingkunganmu, semua temanmu sudah sukses jadi orang, sudah banyak yang kawin dan punya anak, sudah bikin keluarga besar. Sedangkan dirimu, hanya begini-begini saja, kau tidak mau tahu dengan dirimu sendiri. Kau apatis! Asosial! Seharusnya kau dapat menyikapi hidupmu secara dewasa. Ingat masa mudamu hampir habis Ton!” kata lelaki tua yang buruk rupa itu setengah modar. Lagi-lagi berkata begitu kepada Biston. Membuat Biston lunglai. Biston mencoba sadar tapi tidak bisa. Menurutnya ia masih susah merubah cara hidupnya yang sudah bergantung pada televisi. Ia merasa tak bisa lepas dari televisi.

“Apa menurutmu aku mesti berubah Pak tua?”

Lelaki tua itu tertawa lepas. Kemudian mengangguk.

“Apa menurutmu aku mesti cari duit? Cari jodoh? Bikin keluarga dan punya anak?” Tanyanya lagi.

“Jangan bodoh Ton. Itu memang mesti kau lakukan. Kau memang harus berubah. Hidupmu jangan terus-terusan seperti ini. Kau harus malu pada dirimu sendiri. Kau harus lakukan itu semua, karena itu baik dan itu adalah jalan hidup yang sebenarnya, karena hidup adalah seperti roda berputar.”

Biston menunduk mencoba merenung. Apa benar ia mesti melakukan itu semua. Punya pekerjaan, istri, anak, dan duit banyak. Dia mulai mencerna semua itu, ia menyadari memang kalau umurnya sudah tidak muda lagi. Ia juga belum berniat mencari jodoh, apalagi ingin punya anak. Bagaimana mau begitu sedang mendekati perempuan saja tidak pernah. Tapi ia merasa sudah terlanjur untuk menikmati hidup seperti ini. Ia menganggap selama ini kehidupannya telah cukup. Jadi ia bisa terus setiap hari menikmati televisi tanpa mau peduli dengan semua itu, dengan begitu tidak menjadikannya bosan. Tapi semenjak kedatangan lelaki tua misterius itu ia merasa terus terteror dan mulai stres. Apakah ia harus menuruti nasihat-nasihat itu?

Tiba-tiba Biston merasa kepalanya basah kuyup. Ia mendadak bangun.

“Bangun! Dasar pemalas! Kerjamu dari dulu hanya makan, tidur, dan nonton televisi! Kau harus kerja! Kerja! Kau laki-laki jangan melempem di rumah saja! Cari bini sana dan bikin anak baru kau tahu merasakan hidup!” umpat tantenya. Biston mencak-mencak dan menggerutu. Ia melihat jam, rupanya sudah Magrib.
Azan Margib mengumandang.

Seperti biasa, ia kembali melakukan aktivitasnya: pergi ke kamar mandi, kencing. Lalu menuju kamar tidur untuk salat. terus makan malam, kemudian kembali ke ruang tengah siap-siap menonton televisi lagi. Aneh, kali ini saat ia sudah sampai di ruang tengah untuk siap-siap menonton televisi rupanya telah ada seseorang yang telah duluan duduk. Ia heran siapa orang itu. Ia mencoba mengamat-amati. Lama-lama ia menjadi merinding. Biston berang, ia berniat mengusir orang itu.
Tapi sebelum mendekat ia telah duluan didamprat orang itu.

“Kau keterlaluan Ton!”

“Siapa kau? Apa maumu?” tanya Biston dengan berani.

Orang itu bangkit. Lalu membalikkan diri menghadap Biston. Betapa terkejutnya Biston. Rupanya orang yang ada di hadapannya ini adalah lelaki tua misterius yang ada dalam mimpi dan angan-angannya. Kini ia siap-siap akan mencekiknya, mungkin sampai mampus. ****

Jumat, 20 Februari 2009

Sajak-Sajak Mukti Sutarman Espe

http://www2.kompas.com/
Suatu Pagi: Puisi

sesekali pagi
burung-burung merebut angin dari dedaun
udara menyusut dan koma
terpelanting dari segala reranting

kemudian ada yang berharap
jendela
menyajikan teduh horizon jauh
sebagai puisi yang terkirim
ke sebuah sampai

kemudian berpasang cinta pun lena
sedalam batas impian pun kematian
anak-anak manis lelap dan mengigau
sedalam batas kembanggula pun matapisau

pagi ini namun
burung-burung merebut angin dari dedaun
tembang apa yang tak sumbang sampai
ke hatimu?

cintaku, pada pagi murung begini
mari bercermin pada bening air
mengosongkan jiwa dari kepalsuan
keruh keinginan sekejap
berkejap-kejap
bahkan.

kudus 2000.



Memasuki Bermacam Mawar

sebuah luar
-asing dan mengasyikkan-
menarikku dari kesetiaan dunia
kamar

di suatu mabuk
lalu kumasuki pukau mawar
bermacam pada taman
pada bianglala

begitulah,
maka sesegala pun membuka
menipiskan makna dinding
langit sebatas langit-langit

maka menghitamlah kamar
ruang paling terjaga
tak sesekali bercela

sebuah luar
-asing dan mengasyikkan-
membawaku ke sebenarnya hidup
penuh
berupa-rupa
berwarna-warna.

kudus 2000.

Sajak-Sajak Lukman A Sya

http://www2.kompas.com/
Nafas Malam

Mungkin inilah yang disebut nafas malam
sunyi mendesah menggantikan angin
dalam kegaibannya. Cakrawala menyimpan
serpihan beling dalam ketabahan senyummu
semesta perjalanan bagi orang resah
menanti kilat cahaya, mengutuk malam.
Padahal setiap orang tak pantas mengabdi kepada bulan
dan bintang apalagi matahari.
Bagi jiwa yang terang malam adalah sahabat
dan sunyi adalah waktu
menyempurnakan kutuk cinta

Nafas malam merembes ke dalam sanubariku
kesendirianku menjadi pesona yang karib
dengan kata-katamu
O. Kata yang maha kekal
inilah aku yang liar minta kau
tandatangani jiwaku dengan jemari cahaya.
Nafas malam hampir berakhir
sementara aku tak hafal huruf-huruf kuasanya

Indonesia, 2000



Atas Nama Garis

Sekadar meluangkan waktu menulis sajak di dadamu
bukanlah garis yang membatasi
antara kesunyianku dan kesendirianmu
Cobalah kau terka apa yang tak pasti dari
kata-kataku.
Biarkanlah angin memenjarakan sunyi malam
kita akan mereguk kebebasan kabut
dan menyebut-nyebut cinta sebagai jiwa yang
tak pernah bersedih.

Atas nama garis, aku membuat sungai di pahamu yang jelas
dan aku mewiridkan perahu sajak di sana
berlayar ke negeri-negeri puisi

Indonesia, 2000



Tangisan Rinduku
-wan (anwar) ajizah

Aku merindukanmu seperti langit yang terbiasa
merindukan penghuni-penghuni bumi. Tetapi aku tidak sempat mengerti
kepengecutan-kepengecutanku ini
Apakah waktu telah begitu lama memenjarakanku
sehingga setiap kali aku ingin berpaling dari rasa pengecut
dan memilih kebebasan, dusta tumbuh
di dalam mimpiku. Bahwa aku tidak melampaui burung
yang bisa terbang sesuka hati. Barangkali mengitari dua bukitmu
yang dibelah sungai mengajari matahari lewat bahasa meditasi
yang sesungguhnya. Aku semakin menjadi cemas saat hantu ketakutan
mentertawakan nasibku yang naas. Sungai kotorkah darahku?
hingga untuk berpaling dari duka derita, aku harus memanggil sajak
sambil memekik dan membantingkan tubuhku

Tapi sesungguhnya kini aku tidak sesakit yang begitu tersiksa
Aku masih bisa menangis dengan kedua tanganku. Aku masih bisa
bercerita lewat tatapan mataku. Dan aku tidak akan pernah memotong
kedua telingaku. Karena
musik hidupku masih penting ketimbang belajar tuli
Rinduku yang mewasiatkan agar aku bangkit meskipun
harus menjadi ular

Indonesia, 2000

Puisi, Ekspresi dan Kesadaran Kolektif Personal

Indra Tjahyadi*)
http://www.suarakarya-online.com

Dapat dikatakan, bahwa puisi merupakan sebentuk ekspresi, yang meskipun teramat sangat bersifat individual, acapkali, entah sifatnya mengkritisi atau mempertegas, masih saja terikat dengan solidaritas kesadaran kolektif personal. Hal ini seperti yang dapat dilihat pada puisi-puisi yang terkumpul dalam kumpulan puisi "Duka Atjeh Duka Bersama" (Dewan Kesenian Jawa Timur & Logung Pustaka, 2005), seperti contohnya pada puisi karya Bonari Nabonenar yang berjudul

"Tragedi Bangsa Pemabuk":

dan layaknya pemabuk
dengan gagah kita berkata
kita adalah para pecinta
tetapi siapakah yang sejak
berpuluh tahun lalu
mengembangkan layar dengan serakah
dan mengebarkan bendera dengan
pongah
(2005: 15).

Atau juga pada puisi karya Adi Setijowati yang berjudul

"Tragedi I":

Kita sama-sama terasing
di tengah semburatnya
hiruk pikuk yang menyumbat otak
menjadi robot manusia baru
(2005: 1).

Pun hal yang sama juga dapat ditemui dalam baris-baris puisi karya Isbedy Stiawan SZ yang berjudul

"Suatu Hari Kuingat Aceh":

Nuh telah pergi, saudaraku
perahunya sudah terdampar
tiada lagi pohon di kota ini
karena terlanjur hanyut
tiada tempat singgah
sebab gedung-gedung luluh
(2005: 28).

Puisi, meskipun terikat dengan solidaritas kesadaran kolektif personal, ia bukanlah kesadaran kolektif personal itu sendiri. Bentuk sifatnya yang lebih merupakan ekspesi individual menjadikan sebuah puisi lebih merupakan manifestasi ungkapan rasa haru biru manusia sebagai seseorang yang, entah mau atau tidak, sadar atau tidak, juga merupakan bagian dari dunia. Yang terus menerus, tanpa letih dan penuh kesabaran, berusaha diwujudkan melalui kata-kata.

Meskipun demikian, kata-kata tersebut bukanlah hanya sekedar kata-kata bersifat biasa seperti yang acapkali dapat ditemukan dalam interaksi sosial kehidupan sehari-hari. Melainkan, bersepakat dengan pemikiran Sutan Takdir Alisjahbana mengenai puisi, kata-kata yang mesra. Dalam pemahaman, bahwa pada kata-kata dalam sebuah puisi adalah kata-kata yang hadir dengan segenap enerji dan geliat-gelubat batin seorang penyair, dalam usahanya untuk mengakomodir rasa kepekaannya atas segala sesuatu yang terjadi di dunia, dengan tanpa pernah meninggalkan rasa kekagumannya atas hidup dan keberadaannya. Seperti contohnya yang terlihat pada puisi karya Aming Aminoedhin yang berjudul "Serambi Mekah II":

kota indah serambi mekah
tak hanya murung tak hanya muram
kota sepi seperti mati
hujan airmata tiada henti
hujan airmata itu sampai kepada kita
hujan airmata itu sampai ke ujung dunia
(2005: 9).

Atau juga pada puisi karya Binhad Nurrohmat yang berjudul

"13":

dengan apa bisa kuseka petaka
petaka bisa kuseka dengan apa
dengan apa bisa kuseka derita
derita bisa kuseka dengan apa
(2005: 13).

Dari kutipan puisi Aming Aminoedhin dan Binhad Nurrohmat dapatlah dilihat betapa mereka masih saja, dengan segala kemampuan artistik dan kepekaannya, berusaha menghadirkan puisi-puisinya dengan segala kekuatan estetik kata-kata yang puitis. Dan hal tersebut dapatlah dilihat dari bagaimana keduanya masih senantiasa menjaga harmonisasi bunyi kata, meskipun secara tematik puisi-puisi mereka tersebut terikat dengan solidaritas kesadaran kolektif personal mereka sebagai bagian dari dunia dan masyarakat. Seperti juga pada puisi karya Muhammad Aris yang berjudul "Bunga Disebar Sesaji Dilayar" (2005: 35-36), atau puisi karya Herry Lamongan "Wilayah Mati Tanpa Pemakaman" (2005: 22).

Bencana alam, atau mungkin lebih tepatnya malapetaka alam, yang terjadi di Aceh, sebuah geografi yang ada di salah satu bagian negri ini, telah menimbulkan banyak sensifitas kepekaan rasa kebersamaan bagi banyak individu yang tinggal di negri ini. Pun juga, terlebih lagi, bagi para penyair di negri ini. Bagi para penyair tersebut, bencana ataupun malapetaka alam yang menimpa Aceh tersebut seakan-akan mengasah enerji artistik penyair dan kemampuan renjananya sebagai seorang manusia. Tengok saja larik-larik puisi "Kota Mati Gentayangan" karya W. Haryanto:

kuziarahi namamu. DIRI; juga peristiwa
saat matahari mencair dan terbelah
kurangkam ajal kota-kota
(2005: 59).

Sebagai seorang penyair yang karya-karyanya banyak bergelut dengan tema-tema seputar maut dan kematian, apa yang terjadi pada Aceh telah menimbulkan semacam enerji inspirasi bagi W. Haryanto. Akan tetapi, hal ini berbeda dengan yang terjadi pada Ida N. Chazanah. Bagi Ida, apa yang menimpa Aceh telah menimbulkan semacam rasa prihatin dan belasungkawannya, hal ini pada akhirnya membawa dirinya sampai pada kritisisasi keberadaan Tuhan, dunia dan dirinya sebagai manusia di dunia. Seperti yang dapat dilihat pada larik-larik puisinya yang berjudul "Renungan Bencana Tsunami":

Ya Allah...
tanda-tanda apakah ini?
semua kau hancurkan
luluh lantak tak berkeping!
Kecuali Masjid-Mu!
(2005: 26).

Semangat yang sama juga dapat dilihat pada puisi "Divine Tragedy" karya Mashuri. Dalam puisinya tersebut, begitu terbaca betapa Mashuri melalui aku-lirik larik puisinya, berusaha untuk melakukan kritisisasi atas keberadaan Tuhan, dunia dan manusia. Dan dalam konteks ini kritisisasi tersebut muncul mula-awalnya disebabkan oleh bencana ataupun malapetaka yang terjadi di Aceh. Seperti yang terlihat pada larik-larik puisinya tersebut:

2
bumi tak pernah bulat tuk dipahami
karena kaki
tak pernah berjejak
di sini

3
ah, mungkinkah tuhan alpa mencatat
(2005: 33).

Demikianlah, meskipun sebuah puisi merupakan sebentuk ekspresi individual, akan tetapi ia, bisa jadi, masih saja terikat dengan solidaritas kesadaran kolektif personal penciptanya sebagai bagian dari dunia. Dan apa yang muncul dan menimpa Aceh, sedikit banyak, telah ikut serta menumbuh-kembangkan serta menajamkan enerji artistik dan pengetahuan seorang penyair dalam kepekaannya terhadap diri, dunia dan Tuhan. ***

*) Penulis adalah penyair, esais, staf pengajar di Fakultas Sastra & Filsafat Universitas Panca Marga, Probolinggo.

Sajak-Sajak W Haryanto

http://www2.kompas.com/
Lukisan Pengantin
-buat Linang Dian

Sebuah lukisan tentang masa lalu adalah angin yang
Menggeraikan rambutmu. Tapi makna kesangsianku tak terpahat
Dan aku bermimpi dalam kabut; cahaya memercik dari senyummu
Menjadi kelepak kelelawar. Masih aku bermimpi tentangmu
Pada segala yang hendak kuartikan dari mawar hitam
Ketika dunia kini hanya bersisa abu.

Pada sepenggal musik sengau, pikiranku memudar
Menjelma kepulan asap. Dan matahari terbunuh di sudut
Matamu yang menyala-malam tak terkisahkan, di mana tawa hantu
Hanyalah auman di balik lukisan. Kupikirkan duniamu
Tanpa isyarat. Tatapanku lepas menjadi petikan puisi
Merubah auman hujan menjadi musik yang tak bertepi
Melebihi prahara di puncak malam.

Pucuk-pucuk hening saling bertemu. Tapi isyarat ini
Tak tersampaikan: menjadi masa lalu dalam masa lalu
Isakku terkubur di balik dinding, kesangsianku mengakhiri
Kepergianku dalam waktu. Tak ada yang mesti bersisa
Selain abu dalam lukisan-bisikmu memanggil angin
Agar pikiranku terdampar di sebuah pantai yang penuh
Dengan retakan. Menghukumku dalam keramik yang tua.

(2000)



Bagi Hidup Luka Telah Mati di Bulan

Mulut menganga penuh kotoran anjing, bukankah pekik
Penyair turut mewarnai nadi malam. Menjadi keajaiban
Setelah pengetahuan hancur, tinggal pedih-
Kau menangis di air tawar; pedih ini, Dian, akan melebihi
Tusukan tombak. Luka yang memudar di bawah lampu
Luka yang melihat bayangannya: tubuh kayu yang tinggal
Arang di hutan, setelah gerimis menipis. Bahkan puisi
Tak mungkin terbaca lagi.

Luka ini menebas batas, berpendar pada bulan
Kesurupan yang menyala menjelma nyeri lolongan
Bagi hidup ini, aku kehilangan kupu-kupu; dimana luka
Bertunas dalam abu. Malam menjadi tanpa musik, hanya isak
Yang tertahan di alir sungai-isak yang membasahi bajumu
Masa lalu sekarat di pantai. Waktu terlepas ke pusat cakrawala
Mengapung-apung. Matamu memejam oleh teluh bisikmu, Dian
Tapi bukankah api berlidah dan menangkas sepi. Tapi kuragukan
Semua ini.

Malam telah tua. Maut memekik dalam penyesalanku
Pikiranku terbakar oleh mimpi buruk yang hendak meledak
Dari payudaramu-seperti mimpi; aku bernafas di pantai
Kekosongan dan hanyut dalam cahaya menuju hutan perlambang
Kulihat lukaku mati di bulan. Nyeri itu tak berbatas pada
Bayangan pohon, nyeri yang mengental. Kelak makna luka ini
Lahir di kebutaannya. Dian, ziarahilah tubuhmu, biar sepi
Tak terasa gelap-meski kau bukan pelayat yang melagukan
Cahaya; setelah auman hujan menggulungmu, membuat pikiranmu
Tinggal serpihan-serpihan di udara.

(2000)



Djati Bening, 1270
-buat Deni Tri Aryanti

Kesunyianku adalah sebuah jalan: aku belajar
Untuk mencair seperti cahaya, atau bayangan dengan
Baju musim semi dari kulit kerang. Duniaku alir dengan
Penggal ketiadaan yang meniup seruling.

Kutangkap selarik musik dari burung camar, musik yang
Menyeberangkan matahari. Luka memar telah membelah
Jadi bayangan dengan bentuk paruhnya pada bening gelas
Tapi apakah yang bersisa di mimpi ini?

Isak daun memercik. Dan hutan jati jadi nyata memerangkap
Penglihatanku. Keterpesonaanku pada sunyi mirip musik lebah
Dan memberi nyawa bagi pohon jati. Ingatanku bangkit
Untuk memulai hari, menghirup rasa pahit yang tak selamanya
Kekal oleh kata. Juga doaku membatu di kerongkongan.

Aku mencari jiwa dalam baju musim semi. Sunyi menyanyikan
Musik riangnya. Tapi dimanakah jalan-jalan ini mesti
Berakhir, jadi perlambang, dimana aku mengingat-ingat
Kembali bagaimana dunia ini pada akhirnya: yang bersisa
Hanyalah angin, dan ingatan, setelah musik sunyi perlahan
Memudar di tepi danau.

(studio teater Gapus, 1999)

Kamis, 19 Februari 2009

Sajak-Sajak Muhammad Aris

http://www.lampungpost.com/
Tertimbun Seribu Lumpur

"bila hati hilang api
pikiranpun tak penting lagi!"
ketika hujan tinggal gemuruh
seperti derap bayang-bayang
dari semak-semak yang jauh
mungkin ruang yang berdenting
dengan warna kecapi
melarung masa lalu, barisan waktu
tanggal di antara debu dan tanah-tanah ungu
retak dengan jejak
tak lagi nampak
aku kupas pikiranku lewat sayap serangga
di hening angin
saat malam mencambuk kelamin
di kertas-kertas buram; puisi mabuk!
lihatlah, O! aku gerakkan jari-jari hingga gelombang
tenang. menjahit daun-daun kering yang terbang
di bau-bau bangkai, mayat tanpa tubuh juga nama
tertimbun seribu lumpur dan terlempar
jadi puing-puing. asing.
O! dalam mata terkapar aku lontarkan mimpi
sejarah hitam seperti tetes embun
memecah jalan-jalan elan. dan aku
bekukan darahku melukis asap-angin
hingga aku tahu
seribu malaikat pelan mendekat
dan mati

Lamongan, 2005



Musik Dendam Musik Kambang

sebab gelengan kepalaku adalah musik yang membakar
dendam ruh-ruh purba hadir dan berteriak
melaknat para khianat: kaum telanjang
pemuja pantat dan selangkang
ya widi ya tragedi
inilah sejarah tulang, musik yang kambang
batu-batu perburuan terukir di gua
asing. juga warna lumut paling maut
berputar di kepala seperti nasib di tengah manuskrib
api di dalam kutang yang menantang
ah! seperti itulah irama
semisal kutuk atas tubuh tanpa ampun
tanggal. luruh di tanah terkalang jadi sampah
dan diantara deretan makam
ada yang terloncat, mencelat
susuri lagu-lagu masa lalu
masa penuh peluru yang menghalau
gegap silau. matahari yang hijau
membentuk ruang dan salju-salju neraka
ya widi ya bir-birahi
simak segala aib di kutub-guruh senggama; senja
cekik jantung lewat pusat-pusaran gelombang
ah! tangis hentikan gerimis
dan O! segala lentik-petikan jari-jari
hilang. hilangkan hari-hari sunyi; wujud langit
waktu yang berhenti dan segera
gegas bunuh diri

Lamongan, 2005



Batu Dingin di Dalam Api

ombak pun meleleh
menggelegak!
dan tubuhku terhunjam
seribu tombak
kitapun harus pulang susuri tanah-tanah retak
persemaian pertama saat matahari merah
dan hujan penggal luka
duka yang masih basah
datang dan terus berdentang sepanjang musim
airmata
hingga jauh membentuk lubang
kubang sumur yang gembur
kita tanggalkan mata dalam mimpi
terjaga seperti batu dingin di dalam api
meluncur dan berputaran di kepala kita
terbang-tembus tubuh
lelap
gemerlap cabik-cucuki gunung
batu-karang
semua tiba-tiba menelan hari penuh elan
ombak pecah, garang meloncat di atap rumah
dan nyawa begitu gundah
seperti kita dengan jantung lepas
berdegup menghitung warna detik di telinga
ah, kitapun membuat asap dari debu
dari keringat di setiap bangkai
penuh dan bergemuruh oleh gempa
atas laut yang gelegar
selangut lagu-lagu kalut
lalu tangan seperti juga kulit tipis dalam gerimis
kita letakkan di rami-rami jerami
menghapus setiap nafas-nafas sunyi
dan pelan-pelan
memungut maut hingga impas
dan balik ke tanpa sungut

Lamongan, 2005



Mayat yang Pulang

"adakah duka ngalir pada airmata
saat angin sembur bau bangkai
mayat yang pulang, berseragam
dan ketuk pintu
ibu?"
malam bakar suara, erangan
seribu sajadah berarak lewat tetes air
dalam mimpi ngukir luka
seribu sihir dengan tubuh
berkubang darah
dari denting gerimis
aku saksikan jalan-jalan mekar
nggergaji setiap puisi, tubuh
terpenggal dan menjalar jadi aksara-aksara
mursal bergerak di antara sakal
matahari seperti taifun, tahun-tahun
kembali meledak sekaligus diam
mematung-pancari pusara-pusara panjang
berlumut dengan ilalang ditumbuhi sperma
"adakah duka?"
mungkin api
berdentam dengan janggut putih
meremas nafas bayi-bayi yang tumbuh
dan mati dengan derap
para pencuri kitab; sang keris
pukul-patahkan kaki pengelana
di padang paling gilap
rumput-rumput meranggas
tanah-tanah meluncur dari kuncup payudara
gunung berapi yang hunjam gung dan gaung
lalu kampung
menghisap gagap-gelagap irama asap
dan segala
lenyap-melesap di batas
batang-batang padi dan aku
gasak-santap penuh gegap
"mayat yang pulang, berseragam
ketuk pintu
ibu?"

Lamongan, 2005



Hujan pun Langut

hujan pun langut
angin berkibar-kobar penuh sikut
lalu diam
seperti batu apung
tenggelam
waktu kembali menetes
teriaki lubang-lubang jalan
jalan bermuara dengan serakan puing
dan bau obat yang sangat pesing
pelan-pelan cerita dimulai
menetes dari kilau lembab gua
jadi warna airmata; sebotol keringat
urung dilempar sebab terlanjur memar
semua tertikam di garis-garis ritmis
laut dan gelombang seperti rindu
gagap berlari dalam lagu lindu
gegap dan melontar tubuh lebih gemuruh
dari segala guruh dan peluru
ah, ruang hanya hitam
bayang-bayang selalu tampak saat merah
racun di sisik panah berloncatan
dan putihkan usia
seperti maut selalu luput
selalu bergelut

Lamongan, 2005

Sajak-Sajak Mashuri

http://www.lampungpost.com/
Estri Mustakaweni

seperti musim, angin selalu berkutat antara pantat
dan khianat
lalu cuaca berkejaran di reranting, seperti kutilang
mengekalkan gigil dalam kicauan
lalu menepikan segala dusta
dengan kaca
menjelma montase luka
di gereja
tubuh mungkin tersalib
tapi siapa bisa mengintip, di jendela
di antara dua daun
sebuah mata tak berkedip
lalu jubah turun satu-satu, menanting darah
seperti gembala turun ke padang
tandus, dengan tongkat terhunus
: kembalilah!
jalan kudus tak pernah berhenti
tuk satu janji
meski maut merenggut, bagai domba pada rumput
dolorosa, dolorosa!
kesakitan memanggul beban
tubuh dipaku
dan keheningan memuncak di abu
hingga luka kembali luka
dada merobek dada
mungkin tak ada yang kembali
kerna sungai telah menyuci jalan-jalan
peruntungan
di sini, biri-biri dikebiri, buntung hati
di sana, purnama terluka
kerna gerhana menjelma malam
yang tiada habisnya
lalu lumut memberi saksi
pada pembaptisan dini hari
bahwa dusta, dosa dan ihwal lelara
hanya ikan-ikan, sisik yang bakal tanggal
dan sebuah waktu terkubur debu
tapi
kerinduan 'lah terpenggal di udara
suara burung nyanyikan lara
requiem terus berkumandang
perkabungan jelma nisan
kubah-kubah tua, lonceng katedral,
susu kental
menggumpal di cakrawala
seperti darah beku
hitam, kekal, membatu

Surabaya, 2003



Pupu

tak ada yang lebih indah dari hampa
seperti jam yang terus berputar
berputar, dan tak tahu kapan
makam menguburnya
dan memberi nisan dan nama
dan tuhan terjelma dari kerling perawan
surga? mungkin
angka-angka mengaburkan pandangan
hingga sebuah hitungan mundur
dalam dengus tak beraturan
dengan jejak-jejak kabur
nol nol
seseorang telah menyematkan tuah
di sprei
saat pagi, dilihatnya darah, dilihatnya luka
lalu ia bertanya:
kapan seseorang pergi, kapan
mata itu menjelma lubang
hitam
nol nol
tak ada yang sempurna
kecuali hampa
di pembaringan, seseorang bisa membaringkan
kekosongan
mengenali lekuk terdalam
lalu berbisik perlahan
: mungkin aku sudah tak perawan!

Surabaya, 2003



Bunga di Langit-Langit Kamar

kenapa kau tanam bunga di langit
langit kamar
adakah mawar bakal mekar saat kau tertidur
dan igauanmu membangunkan matahri
agar ia menerjemahkan mimpi
dalam sebuah perjumpaan pagi
mungkin hanya payung hitam
seperti kelelawar yang tiba-tiba datang, mencakar
dan mengabarkan suara
suara lembah
bahwa malam telah mengheningkan cipta
kerna matahari berbiak demikian banyak
tak ada mimpi abadi
di kamarmu
kerna suara nafasmu selalu membangkitkan
nafsu
dan bunga-bunga itu akan tumbuh
di batu
turun ke keningmu
dan mengguratkan sebait kalimat
perpisahan
dalam tidurmu
dan
dari langit-langit kamarmu
bunga akan terus luruh
seperti musim gugur
yang memenggal mimpimu

Surabaya, 2003



Desir Pesisir

saat kita bercinta, kulihat punggungmu rekah
kuingat batu gamping dimasukkan air
aromanya menuntunku pada pasir
pasir pantai, uap garam
dan desir pesisir
hangat berlendir
kutuntun nujumku pada haribaanmu
seperti perahu melaju
di atas gelombang pasang
angin memberi seribu tawaran
dan layar-layar terbentang
nelayan bakal berangkat
menebar jala
di sela karang, sambil bermadah
puji puja
kutangkup dadamu
seperti kutangkap ikan
berlompatan di antara riak ombak
lalu sampan bergerak perlahan
jala-jala terbentang
beberapa perangkap
menjebak
haluan tegak
subuh turun
kulihat tubuhmu turun
dan jala-jala diangkut ke dermaga
ikan-ikan berjejal di tempayan
tak lagi terdengar perlawanan
perahu bersandar, layar dirapikan
dengan berbantal lengan, kubersandar
tubuhmu
sepertinya gamping telah dingin
mungkin aku harus mengambil kuas
menyapu dinding bambu dengan apu
agar rumah kita putih
seputih kulitmu

Surabaya, 2003



Istriku
--tuk sebuah nama

rembulan masih mengambang, saat kunyalakan lilin
di malam sunyi, dingin
bayang-bayang wajahmu maujud dalam mimpi
kusemaikan bunga di altar, kubaca doa
kupanggil namamu dengan derita
saat kutatap wajahmu, kukenal cintamu
dari kalung yang melingkar
seperti butir gandum, seperti rantai
atau bulir-bulir marmar
dan sebuah sapa liar:
"Inikah yang kau cari, Pejantan"
kau tersenyum dengan kepahitan
menapak jalan yang harus kau tapak
meski jejak 'lah retak
istriku, tuk mencapai ranjangmu
ku harus melampaui beribu kematian
berperang dengan diri, memenggal alur langit
nistakan kehendak, puja kampak
tuk hasrat yang merebak
di hati, seperti air laut dinihari
saat fajar, hanya bayang-bayang samar
matahri
tubuhmu kembali berarak
bersama awan
kutunggu saat petang
saat gelombang pasang
terjang karang
karang hati
kunanti kau di sini
seperti pesakitan yang harus terus
menulis kerinduan di pasir pantai
setiap hari

Surabaya, 2003

Menyoal Sastra Satu Kamar

Bonari Nabonenar
http://www.jawapos.com/

Penghargaan seniman Jawa Timur 2008 sudah diserahkan 30 Juni lalu. Padahal, penghargaan kali ke-11 itu biasanya dilangsungkan seminggu menjelang Lebaran Idul Fitri saban tahunnya. Hal ini berkaitan dengan posisi ''sang pemilik tradisi'', Gubernur Imam Utomo, yang Agustus ini sudah harus mengakhiri masa jabatan keduanya.

''Tentu para seniman dag-dig-dug, karena Pak Imam tidak lama lagi akan meninggalkan jabatan ini, apakah ada pemberian penghargaan yang ke-12?'' ujar Dahlan Iskan saat diminta memberi sambutan pada acara yang diadakan di Gedung Grahadi itu. Para penerima penghargaan, panitia, bahkan Imam Utomo sendiri bertepuk tangan.

Harus diakui bahwa dari tahun ke tahun pelaksanaan penghargaan seniman Jawa Timur semakin baik, dan bahkan sepertinya kini tidak ada lagi suara-suara miring seperti di awal 2000-an. Meski begitu, saya masih menilai ada persoalan yang tampaknya sepele, tetapi cukup mengganjal dan mestinya dirasakan sebagai ganjalan yang signifikan oleh para pemerhati dan penggiat sastra etnik (untuk menyebut sastra yang memakai media bahasa daerah/dialek di Jawa Timur). Tahun ini para sastrawan yang mendapatkan penghargaan ialah M. Shoim Anwar (Surabaya), Mashuri (Sidoarjo), dan F.C. Pamuji (pengarang sastra Jawa, Nganjuk). Soal kecil pertama, mengapa panitia menyebut ''seniman bahasa Indonesia'' sebagai ''sastrawan'' dan menggunakan kata ''pengarang'' untuk F.C. Pamuji yang menulis dengan bahasa Jawa?

Soal kecil kedua, sastrawan yang memakai media bahasa daerah/dialek yang ada di Jawa Timur diletakkan ''satu kamar'' dengan sastrawan yang memakai media bahasa Indonesia. Jika kita baca profil di buku panduan yang diterbitkan panitia, kita akan menangkap kesan bahwa F.C. Pamuji dinyatakan berhak atas penghargaan seniman Jawa Timur 2008 dengan pertimbangan masa dan kualitas dedikasi serta kualitas karyanya di dua bidang: seni karawitan dan seni bahasa Jawa. M. Shoim Anwar sudah jelas bahwa selama ini ia dikenal sebagai sastrawan yang hanya memakai media bahasa Indonesia. Sedangkan Mashuri, selain sebagai penyair andal yang juga telah menyabet gelar juara I Lomba Cipta Novel Dewan Kesenian Jakarta 2007 dengan Hubbu-nya, laki-laki asal Lamongan ini juga dikenal sebagai penggurit di ranah sastra Jawa. Dengan kata lain, dari tiga sastrawan yang mendapatkan penghargaan seniman Jatim 2008 ini, dua di antaranya adalah sastrawan Jawa. Tetapi, jika benar bahwa F.C. Pamuji mendapat penghargaan lebih karena ia adalah seorang pengrawit dan Mashuri lebih karena ia adalah sastrawan yang sukses bersama Hubbu-nya, itu belumlah kabar baik bagi sastra etnik di Jawa Timur.

Kita boleh bilang, sastra adalah sastra, dan bahasa hanyalah persoalan media atau alat penyampai. Dari sisi ini pulalah tampaknya panitia/juri penghargaan seniman Jatim 2008 memandang. Hal demikian terasa meleset, justru dari pikiran seorang Imam Utomo, ''penggagas'' tradisi penganugerahan penghargaan seniman ini, yang, seperti dalam sambutannya menekankan betapa pentingnya memelihara nilai-nilai tradisi sambil menerima --ataupun mengawinkannya dengan-- anasir asing yang ''bagus''.

Menempatkan kreator sastra etnik dan sastra Indonesia dalam ''satu kamar'' dalam konteks pemberian penghargaan, seperti mengadu dua petinju yang berbeda kelas/berat badan. Seperti mengadu Chris John dengan Mike Tyson. Ini perbandingan kasarnya: sastrawan Jawa macam Djayus Pete atau Sumono Sandy Asmoro bisa menjual sebuah crita cekak (cerpen) karya mereka ke penerbit/media cetak seharga Rp 100 ribu. Untuk karya yang sama (cerpen) yang ditulis dengan bahasa Indonesia, Lan Fang atau Wina Bojonegoro, bisa menjualnya dengan harga antara Rp 500 ribu hingga Rp 1 juta. Njomplang banget, kan? Memang, siapa yang menyuruh Djayus Pete atau Sumono Sandy Asmoro menekuni sastra Jawa? Mengapa tidak mengikuti jejak Suparto Brata yang hebat di kedua-duanya, sastra Indonesia dan sastra etnik (Jawa)? Itu kan pilihan mereka? Jika Anda bertanya seperti itu, maka, izinkanlah saya ajak Anda untuk memberi sedikit penghargaan kepada orang-orang yang memilih ''lahan kering'' itu. Atau Anda setuju untuk menyeru agar para seniman bahasa Jawa itu eksodus ke wilayah sastra Indonesia yang jelas-jelas lebih menjanjikan secara ekonomi?

Masyarakat Jawa Timur adalah masyarakat multikultur. Jika kita setuju keanekaragaman itu adalah kekayaan, dan kita setuju pula untuk menjaga dengan baik dan bahkan mengembangkan potensi-potensi keanekaragaman itu, jika kelak masih ada acara penganugerahan penghargaan seperti yang sudah 11 kali dilakukan di Jawa Timur ini, alangkah baiknya jika sastra etnik dan sastra Indonesia tidak diletakkan di ''kamar'' yang sama. Maka, kita bisa membayangkan, kelak, setiap tahun akan ada wajah-wajah dari wilayah subkultur: Madura, Osing, Surabaya, dll., yang menulis dengan bahasa ibu mereka di barisan sastrawan penerima penghargaan seniman Jawa Timur itu.

Bagaimana pendapat Anda? Apakah saya terlalu nyinyir? (*)

*) Ketua Paguyuban Pengarang Sastra Jawa.

Selasa, 17 Februari 2009

Hak Berimajinasi dan Berwawasan

Sjifa Amori
http://jurnalnasional.com/

Sastra memberi peluang berimajinasi dan keluar dari kebiasaan berpikir instan.

Prosa Peter Pan versi J. M Barrie (seorang penulis naskah asal Skotlandia) adalah kisah tentang kepahlawanan dari dunia fantasi yang bernama Neverland. Secara keseluruhan, karangan tentang Peter Pan dijadikan simbol "pelarian" seorang anak maupun dewasa dari kehidupan nyata. Sebut saja kemujuran Peter Pan yang hidup abadi dalam kemudaan. Ini jelas merepresentasikan setiap mimpi manusia dewasa yang umumnya enggan beranjak tua. Hal ini diungkapkan dalam Literature for Children: Contemporary Critism yang ditulis oleh kritikus sastra sekaligus peneliti novel Victorian dan sastra anak Sarah Gilead.

Menurut Gilead, Peter Pan merepresentasikan pandangan romantis orang dewasa mengenai masa kanak-kanak sebagai kebebasan berimajinasi. Mrs. Darling dreams ‘that the Neverland had come too near and that a strange boy had broken through from it...(S)he thought she had seen him before in the faces of many women who have no children' (Barrie 1985:9). Gilead melihat bahwa penekanan di sini mengenai wajah-wajah yang merindukan anak maksudnya adalah wajah-wajah yang sebenarnya juga mengangankan masa kanak-kanak di mana fantasi dan imajinasi mendapat porsi besar dalam menjalaninya.

"Coba Anda bercerita pada seorang keponakan. Setelah selesai, dia pasti akan bertanya ini-itu dan akhirnya membuat cerita versinya sendiri," kata Boen S. Oemardjati saat dihubungi Jurnal Nasional. Menurut kritikus sastra ini, keberadaan televisi yang menggantikan buku berkontribusi pada pengungkungan daya imajinasi anak kini. Karenanya, sekolah menjadi "jalur" yang memungkinkan anak mendapatkan kembali kebebasannya berimajinasi. Khususnya lewat kurikulum sastra.

Menurut seniman teater tradisi Aceh Agus Nur Amal PM Toh, imajinasi membantu anak bangsa melihat persoalan dengan pikiran terbuka. "Dengan imajinasi, banyak alternatif solusi untuk menyelesaikan masalah. Termasuk masalah bangsa sehingga kita tidak berputar-putar dan mentok dalam menghadapi persoalan," ujar jebolan jurusan Teater IKJ yang menyatakan bahwa membaca adalah harga mati untuk siapa yang mau berkesenian.

Konferensi Internasional Kesusastraan XIX/HISKI tahun lalu menghasilkan empat rekomendasi yang dihasilkan terkait kurikulum sastra. Satu di antaranya adalah apresiasi sastra. "Apresiasi sastra ini untuk membedakan dengan tukang sastra. Dalam apresiasi, kita harus menikmati. Dan untuk bisa menikmati, kita harus akrab dulu. Bagaimana membuat siswa akrab dengan sastra? Harus diusahakan agar dialog di dalam kelas bisa dua arah. Masalahnya, bagaimana mungkin guru yang tidak berbekal bisa menanggapi 'kejahilan' anak-anak yang kaya imajinasi."

Melatih Membaca

Mestinya ini bukan masalah asalkan guru mau membaca lebih banyak buku daripada siswanya dan kemudian mendiskusikannya bersama-sama dengan terbuka. Namun membaca pun tak mudah buat guru. Bisa jadi keengganan mereka adalah karena sastra dibebani anggapan sebagai pembentuk pribadi dengan watak dan akhlak yang baik. "Jangan menempatkan sastra sebagai sesuatu yang sakral. Sastra itu harus diajarkan karena itu adalah bahasa. Bukan karena untuk membentuk manusia beradab. Yang baca karya sastra tapi biadab juga banyak kok," kata Guru Besar Fakultas Ilmu Pengetahuan Budaya Universitas Indonesia (FIPB UI) Prof. Dr. Sapardi Djoko Damono.

Pola pikir yang mengagungkan sastra inilah yang justru membuatnya tidak popular dalam mata pelajaran dunia pendidikan. "Anak-anak yang sukanya Harry Potter dibebani keharusan baca Siti Nurbaya, ya kelenger. Memang Siti Nurbaya penting, tapi untuk anak-anak diberi dulu cerita sesuai umurnya. Jangan Harry Potter saja, cerita lokal juga banyak yang bagus. Meskipun buku anak terjemahan juga penting sebagai perbandingan, karena sastra kan bukan hanya milik Indonesia."

Untuk itu, Sapardi menganjurkan adanya perpustakaan yang menyediakan bacaan tersebut. "Tidak harus menambah jam pelajaran. Cukup menugaskan siswa untuk menyelesaikan sebuah buku di rumah. Kalau sudah selesai minta satu atau dua orang maju ke depan membuat laporan untuk didiskusikan bersama."

Menurut Sapardi, wajib hukumnya guru untuk membaca lebih banyak. "Nggak masalah kalau gurunya lebih kenal karya satra lama seperti Chairil, tapi dia harus membaca lebih banyak lagi. Karena murid kan tahunya bahasa Indonesia sekarang. Kalau tiba-tiba dicekoki bahasa Indonesia era 30-an seperti karya Sanusi Pane, ya mereka eneg. Tapi kalau gurunya juga baca, mereka bisa pilih. Misalnya beberapa karya Rendra kan bisa dibaca dan dipahami anak kelas 5 SD. Atau juga karya saya. Kalau dari kecil dibiasakan, tentu ketika siswa dewasa bacaan sastra nggak akan jadi berat."

Sebenarnya memang tak ada keharusan membaca buku-buku sastra yang seringnya dibilang bikin mumet. Bagi Sapardi, ini bukan permasalahan sastra atau bukan, melainkan tuntutan bagi seseorang yang berbahasa.

"Orang kan harus berbahasa. Dan bahasa itu ada bahasa iklan atau bahasa sastra. Kalau mendirikan sekolah, berarti harus memperkenalkan segala jenis bahasa. Jangan teorinya saja. Mereka membaca berbagai bahasa dalam bentuk apa saja, lalu lalu dimulai juga menulis laporan atau membuat iklan dan cerpen. Itu aja. Nggak usah yang susah dulu. Kalau ini berlangsung selama 12 tahun, tentu anak Indonesia kaya akan pengetahuan bahasa. Jadi mereka nggak bisa dibohongi iklan, sinetron, dan pidatonya politikus. Nggak kayak sekarang, mahasiswa baca editorial koran saja udah bingung. Apalagi baca puisi atau esai level Goenawan Mohamad. Setelah tahu, nanti terserah mereka apakah lebih senang bahasa iklan atau bahasa puisi."

Respons Budaya dan Emosi

Pada akhirnya, menggemari sastra adalah sebuah pilihan. Namun mengakrabi sastra sejak kecil di sekolah sampai ke perguruan tinggi akan menanamkan pola kebiasaan untuk mencari tahu dengan proses yang melatih akal. Apalagi kalau pembelajaran sastra diikuti dengan telaten.

"Banyak sastra yang bersifat deskriptif. Salah satu contohnya, fragmen-fragmen dalam novel Pulang karya Toha Mochtar dan karyanya Nh Dini Sebuah Lorong di Kotaku itu dipakai Jurusan Arsitektur sebagai panduan membuat replika suasana alam. Karena menjelaskan di mana gunung, di mana bukit, di mana sungai dengan deskripsi yang sangat baik. Presisinya bagus sampai bisa diterjemahkan dalam tugas lapangan dan praktikum arsitektur. Jadi melalui sastra, kita bisa mengerti mengenai liku-liku kehidupan, dari mulai pispot dan sastra kelamin juga bisa. Yang kita cari bukan nafsu binatangnya, tapi pembelajarannya," kata Boen yang masih menyayangkan bahwa dalam dunia pendidikan masih besar anggapan bahwa sastra tak bisa menjawab persoalan riil dalam kehidupan sosial.

"Sarjana sastra itu biasanya menjadi editor dan uangnya banyak, lho. Kebanyakan juga ke jurnalistik dan yang paling gampang adalah sebagai penerjemah annual report di bank. Walaupun kosakatanya itu-itu saja, tapi tiap satu kata dihargai sekitar 6 sen dolar," kata Boen lagi.

Keraguan peran sastra juga dialami masyarakat luas. Ketika menjabat sebagai dekan, pertemuan tahunan sering dimanfaatkan orangtua mahasiswa untuk mengangkat persoalan keraguan mengenai peran sarjana sastra dalam kehidupan sosial. "Jadi orang yang menelaah karya sastra bukan harus jadi sastrawan. Sastrawan lulusan fakultas sastra kan cuma saya. Itu juga kecelakaan. Umar Kayam itu kan sosiolog, Taufik Ismail dan Asrul Sani itu Dokter Hewan. Sastrawan nggak pakai teori sastra. Saya saja sudah jadi sastrawan sejak SMA. Kalau mau belajar ilmunya baru masuk ke jurusan sastra. Di situlah dia harus berteori," kata Sapardi.

Tentu saja pada jurusan ilmu sastra, membaca buku menjadi wajib agar teori yang diajarkan tidak sekadar numpang lewat. Tapi sebenarnya dalam jurusan apa pun, kalau latar belakang mahasiswanya selama di sekolah sering membaca, akan lebih membantu proses belajar di perguruan tinggi. "Kalau dia sudah membaca selama 12 tahun di sekolah, berarti dia sudah baca puluhan novel dan sastra. Saya akan gampang ngajarnya. Tapi sekarang lihat, S2 pun nggak baca."

Boen sendiri mengakui bahwa sebagai seorang ahli biologi, pengetahuannya dalam sastralah yang membawanya keliling dunia. Dengan sastra, siswa mendapat manfaat yang ditekankan untuk pendidikan dasar menengah. Yaitu memperkaya respons budaya dan emosi tanpa mengambil risiko seperti yang digambarkan dalam buku. Dan dari pendekatan lain, sastra juga bisa dilihat sebagai bentuk ekspresi diri. "Sastra membuka jendela pengetahuan dan respons budaya yang luar biasa. Apalagi sebagai bangsa yang ber-Bhineka Tunggal Ika, mendapat pengajaran sastra akan membuat kita sangat kaya."

Rabu, 11 Februari 2009

Mengambil Telur Tuhan

Hasan Aspahani
http://batampos.co.id

MARI bicara lagi tentang sajak. Kali ini kita bicarakan sajak presiden penyair Indonesia: Sutardji Calzoum Bachri. Konon, gelar presiden itu ditabalkan oleh sahabatnya Abdul Hadi WM. Di Taman Ismail Marzuki, keduanya mabuk. Sambil berangkulan Abdul Hadi bilang, ”Dji, malam ini kau kuangkat jadi presiden, dan aku wakilnya…”Esoknya koran-koran menulis: Sutardji jadi Presiden Penyair Indonesia. Sejak itu gelar presiden penyair seakan menempel padanya. Tapi, gelar wakil presiden penyair bagi Abdul Hadi sama sekali terlupakan. Ah, memang, jadi wakil presiden itu tidak enak rupanya. Gampang dilupakan.

Baiklah, kita bicarakan saja sajaknya. Sajak dari buku ”Atau Ngit Cari Agar” (2008). Saya kira kita beruntung punya Sutardji Calzoum Bachri (SCB) yang menulis sajak dalam rentang waktu yang panjang. Kita catat dulu, ia lahir tahun 1941. Tahun ini 68 umurnya. Nah, mari kita manfaatkan keberuntungan kita itu dengan membandingkan dua petikan sajak. Dua sajak berjarak 30 tahun! Sajak pertama dia tulis ketika dia berusia 35 tahun. Sajak kedua dia tulis pada usia 64 tahun.

Petikan I: sepasang burung darah / sepasang burung gairah / terbang / ke langit diri / membuat telur teduh / yang tenang / yang tuhan / dalam sarang / di langit diri // maka / seorang tarji / calzoum / bachri / terbang / mengambil / telur tuhan / mencoba / menetaskannya / diri // (Sarang, 1976)

Petikan sajak pertama ini terbit dalam buku Atau Ngit Cari Agar. Sajak itu ditulis pada periode Kapak, yaitu 25 sajak yang ia tulis dalam selang waktu 1976-1979.

Kenapa SCB tidak memasukkan sajak ini dalam kumpulan Kapak sehingga jadi 26? Apa salah sajak ini? Sebentar, masih ada lima sajak lain di buku Atau… yang juga bertahun dalam selang itu, tapi juga tidak di-kapak-kan.

Kenapa dia tidak menyusulkan saja sajak itu kemudian, bukankah buku kumpulan O Amuk Kapak dicetak pada tahun 1981? Lalu kenapa juga masih ada dua sajak bertahun 1975 yang juga tidak digabungkan ke kumpulan O (sajak-sajak 1973-1976).

Dugaan saya ini bukan karena SCB menganggap sajak itu buruk. Toh, akhirnya sajak itu tiga puluh tahun kemudian dibukukan juga. Saya menduga perkaranya adalah kesatuan tema. Dalam pengantar Kapak, SCB menulis: Tidak seperti sajak-sajak saya yang terdahulu yang banyak dengan pencarian ketuhanan, dalam sajak-sajak selanjutnya maut lebih mempesona saya. Nah, sajak yang kita petik tadi temanya adalah pencarian ketuhanan itu.

Saya kira dengan sajak-sajak itu dia hendak menyiapkan sesuatu, menyiapkan puncak lain, sehingga sajak-sajak itu ia simpan saja dahulu. Atau bisa jadi dia sudah sangat puas dengan O Amuk Kapak, kumpulan yang ia sebut sebagai tiga puncak kepenyairannya, lalu ia gamang bila lompatan berikutnya tidak mencapai puncak lain yang lebih tinggi dari tiga puncak itu, sehingga sajak-sajak itu akhirnya hanya tersimpan lama.

Sekarang mari kita simak petikan sajak kedua: retak / katakata tumbang / runtuh / porak poranda / koyak moyak kamus / makna hapus // dalam banyak tenda / para korban keruntuhan kata / menjerit tanpa kata // negara asing tak sanggup bantu / mustahil selamatkan korban / lewat asing kata / bahkan terjemahan / pun / tak // (Gempa Kata, 2005)

Apa yang terasa setelah menyanding dan membandingkan kedua sajak itu? Pertama saya setuju dengan sahabatnya Abdul Hadi, wakil presiden penyair yang terlupakan itu. Ia menilai kecenderungan sufistik pada Sutadji ada sejak sajak-sajak awalnya. Tetapi kecenderungan itu terhalang oleh skeptisisme dan nihilisme yang begitu kuat menggoda perasaan penyair.

Ya, ada usia 35 tahun, Tardji sepertinya masih berada dalam pencarian, ia merindukan Tuhan, ia menuju Tuhan, tetapi pada saat yang sama ia menolak cara-cara bertemu dan berhubungan dengan Tuhan yang telah diajarkan padanya. Ia ingin menemukan caranya sendiri. Ia sebut itu sebagai tindakan mengambil telur Tuhan dan menetaskannya sendiri. Menetaskan telur Tuhan baginya adalah menetaskan diri sendiri. Bila dirinya telah menetas, bila ia telah menemukan dirinya sendiri, dia berharap dari diri sendiri itu dia bertemu Tuhan yang ia rindukan.

Lihatlah, betapa Sutardji bahkan menghadirkan diri sendiri dalam sajak dengan menyebut lengkap namanya: Sutardji, Calzoum, Bachri. Tak banyak penyair yang melakukan itu, tidak pada Goenawan, tidak pada Sapardi, tidak pada Joko Pinurbo. Chairil Anwar melakukan itu – dengan modus penyebutan yang amat berbeda – pada sajak Mirat Muda, Chairil Muda. Empat kali dia sebut Chairil, antara lain dalam bait Ketawa diadukannya giginya pada mulut Chairil. Rendra pun tak seberani itu, dalam satu sajak ia menyebut dirinya sebagai Willy, nama panggilannya. Penyair yang lebih kini yang melakukan hal itu sepembacaan saya adalah Sitok Srengenge.

Kita kembali ke Sutardji. Kondisi kejiwaan dan kerohanian yang sudah amat berbeda tampak pada periode setelah tahun 2000-an, seperti terwakili dengan petikan sajak kedua itu.

Ia sepertinya telah menuntaskan pencariannya. Ia yang sudah berumur 64 tahun mulai memalingkan perhatian pada kehidupan orang banyak, ia mulai prihatin pada nasib bangsa. Sepanjang usianya ia telah melihat, menghayati, menjadi saksi perjalanan sebuah bangsa, dan ia tidak bisa untuk tidak memberi komentar, nasihat, atau peringatan pada orang banyak atas kondisi itu.

Demikianlah, seorang penyair besar dengan karya-karyanya, terus berproses, menggali tema, memperluas perhatian, menuntaskan pencarian, bertahan pada intensitas yang tak tertandingi, dan itu adalah pelajaran penting bagi kita.

Makna sajak-sajaknya sendiri adalah karya yang amat pantas menjadi renungan. Tengoklah petikan kedua sajak yang kita bicarakan di sini. Ia sedang menghantam kehidupan kita kini yang semakin lama semakin mudah jatuh pada pemujaan pada yang permukaan, tanpa kedalaman.

Hidup kehilangan makna, tanpa tujuan. Ibarat kata-kata yang retak, tumbang, runtuh, porak-poranda. Kamus – barangkali itu bisa kita anggap sebagai metafora dari kitab rujukan moral – tak lagi diindahkan. Kita pun lantas hidup tanpa tujuan, hidup tak lagi bermakna. Siapa yang bisa menyelamatkan kita dari kehancuran ini? Bukan orang lain. Tapi kita sendiri, bahasa kita sendiri, bukan nilai-nilai orang lain yang asing, meskipun itu telah disuai-suaikan ke dalam bahasa kita sendiri. Negara asing tak sanggup bantu. Mustahil selamatkan korban lewat asing kata. ***

*) Pemimpin Redaksi Batam Pos.

Jurus Menulis Esai

Bandung Mawardi*
http://www.suaramerdeka.com/

TRADISI menulis esai di Indonesia memiliki jejak panjang sejak tahun 1930-an. Majalah Pujangga Baru memiliki ruang besar untuk tradisi penulisan esai dengan pelbagai fokus: bahasa, sastra, seni, kebudayaan, pendidikan, sosial, dan filsafat. Esai pada saat itu adalah tulisan bebas dengan acuan pengamatan, pembacaan, penafsiran, penilaian sesuai pandangan pengarang yang cenderung subjektif.

Penulis-penulis esai di Indonesia memiliki karakter, keunikan, dan ciri pluralistik. Penulis-penulis esai mumpuni di Indonesia antara lain Sutan takdir Alisjahbana, Iwan Simatupang, HB Jassin, Wiratmo Soekito, Goenawan Mohamad, Ariel Heryanto, Sapardi Djoko Damono, Abdul Hadi WM, Arief Budiman, Ignas Kleden, Afrizal Malna, dan lain-lain. Esai-esai para penulis ini memiliki kekuatan dalam sisi-sisi tertentu untuk membuat pembaca merasa takjub, tersihir, tergoda, atau terlena.

Menulis esai adalah menulis dengan gairah dan pertaruhan ekspresi. Esai merupakan komposisi kata, ide, penalaran, asumsi, argumentasi, imajinasi, fakta, subjektivitas, objektivitas. Menulis esai membutuhkan kelihaian dalam mengungkapkan sesuatu dengan desain dan pembabakkan tertentu sesuai selera penulis. Esai mengandung tegangan antara tanda tanya dan tanda seru di awal dan akhir.

Esai itu fleksibel karena tidak memiliki konvensi-konvensi ketat. Menulis esai adalah menulis risiko dalam mempersoalkan sesuatu. Risiko paling kentara adalah penilaian atau pandangan dalam ambang batas objektivitas-subjektivitas dan fakta-fiksi. Esai memang tidak harus tunduk dengan struktur tulisan ilmiah seperti artikel atau makalah. Esai mengandung kemungkinan untuk kolaborasi atau kombinasi dalam mengoperasikan pelbagai struktur dan pola tulisan.

Esai tidak mutlak harus mengusung teori-teori secara baku atau formal. Teori dimungkinkan hadir dengan pengolahan dan penempatan sesuai dengan kebutuhan. Teori tidak harus memiliki peran pusat atau dominan. Teori mungkin sekadar jadi legitimasi atau pengungkapan dengan perspektif relasional. Ciri itu kentara dalam tradisi penulisan esai.

Esai mumpuni perlu memperhatikan jurus pengungkapan ide: konvergensi dan divergensi. Konvergensi adalah pemusatan ide dalam esai dengan penguatan argumentasi. Divergensi adalah sebaran ide dalam esai dengan pemunculan impresi-impresi sesuai kadar dan parameter tertentu. Jurus pengungkapan ide itu membutuhkan kekuatan penalaran untuk membangun komunikasi dan interaksi dengan pembaca dalam iklim keintiman dan ketegangan.

Menulis esai dengan tendensi intensitas pembacaan dan penilaian membutuhkan jurus ”mekanisme berpikir referensial.” Jurus ini adalah operasionalisasi pengetahuan penulis sesuai dengan penguasaan terhadap pelbagai sumber referensi. Penguasaan itu digerakkan dengan hukum-hukum relasional dan konstruksi tulisan dalam batas esoteris dan eksoteris. Mekanisme berpikir referensial mengandung misteri atau implisitas dan transparasi atau eksplisitas. Begitu.

*) Peneliti Kabut Institut dan Redaktur Buletin PAWON (Solo). Tulisan ini berasal dari bahan diskusi dalam Pesantren Sastra Kilat (20 Desember 2008) oleh Komunitas Hysteria Semarang.

Sajak-Sajak Faisal Kamandobat

http://www2.kompas.com/
Tatahan Laut

anak bumi tatahan laut
kalap lagu menembus
gerbang petang langit hangus
bulan mengapung dalam kalbu
riang puja menyentuh
lidah dalam impian pelarian
tersiksa melawan kenikmatan
dalam bayangan
angin menghening perlahan
bibir pantai mengilhami
mencari laut dalam sendiri
mengusir berhala dari hati
piala kemerdekaan abadi
di alun-alun nyanyi
di ubun-ubun sunyi
kata-kata saling menggilai
mengelak tersesat dalam lari
mimpi sia-sia dicari
pasir pantai menghapus jejak-kaki
tak ada jalan kembali
rumah abadi hati sendiri
tinggal di sana dikerumuni ilusi
memberi dan merobohkan arti

2001



Malam Berputar

terang bulan cahaya pinjaman
surya di seberang kelam
lelap dunia menyimpan nama-nama
katup pintu-jendela merogoh iba
gemintang lagu jalanan lampu
pusat-pusat kenangan pancarkan rindu
angin menebar nafsu di kalbu
ladang penghidupan musim tanaman
serapah puja menggenang diam
kegelapan dinding ratapan
luka nasib diperingan impian
sungai medan ikan-ikan bersebadan
air bumi melayarkan generasi
terdampar di gerbang pagi
embun berat memecahkan kandungan
semua seakan kembali dilahirkan
mempersolek diri dengan harapan
bertebaran merayu keganasan siang

2001

Minggu, 08 Februari 2009

Pertengahan November yang Menikam-nikam1)

Ghassan Kanafani2)
Alih Bahasa Oleh Misran3)
http://www.riaupos.com/

Duhai Ibrahim...!

Entah kepada siapa pesan ini harus kutujukan. Aku tak tahu. Padamu sudah kujanjikan, tiap pertengahan November akan membawakan karangan bunga tanda kasih ke makammu, untuk kutebarkan. Sekarang sudah pertengahan November pula, dan belum satu karangan bunga pun kudapatkan. Sekiranya kudapat, bagaimanakah aku dapat sampai ke makammu dan memberikannya padamu? Padahal sudah dua belas tahun berlalu.

Kuyakin, saat ini kamu jauh dari apapun. Sebagaimana jauh terhunjamnya kamu ke perut bumi dan terurai, sedalam itu pula kamu kian menghunjam dalam ingatan kami dan terurai. Raut mukamu ikut terurai. Bahkan aku tak dapat lagi mengingat raut mukamu itu dengan baik. Suaramu memang menjadi agak sulit kukenali, bahkan kerlingan matamu pun tak dapat lagi kuingat. Aku pun menjadi sulit membayangkan bagaimana anggota tubuhmu melakukan gerak-gerik. Kini, di benakku tinggal jasad kaku, dengan telapak tangan terlipat di dada dan secarik kain penuh darah yang melintang dari bagian telinga ke bibir.

Namun, kali ini jelas sekali, aku dapat mengingat bagaimana mereka memanggulmu, dan membiarkanmu terhenyak dalam lahatmu, dengan pakaian yang masih utuh. Lalu mereka menimbunmu dengan tanah. Sesaat kemudian teman-temanmu yang terpaku tersentak mendengar suara rintihan seseorang yang terluka, yang semakin lama semakin kuat, lalu berhenti.

Pertanyaannya sekarang, untuk apa kutulis pesan ini padamu? Bukankah lebih pantas, setelah gagal membawakan karangan bunga ke makammu, aku tetap melanjutkan dua belas tahun bungkamku? Tapi, tampaknya, mustahil aku terus-terusan bungkam. Pertengahan November terus menekanku bagai takdir gila. Takdir yang pernah salah pilih: mestinya aku yang dibunuhnya, bukan kamu.

Benang cerita ini mulai mengurai di kepalaku. Percayakah kamu, aku takut melupakannya? Sungguh aku takut melupakannya! Barangkali kamu pun telah lupa. Duhai, apa lagi gunanya cerita itu sekarang? Tapi aku ingin membantumu, dan membantu diriku untuk menjalinnya kembali.

Banyak cerita yang tidak punya awal, tetapi anehnya cerita kita berdua punya awal yang jelas. Bahkan saking jelasnya, aku hampir bersumpah, awal cerita itu bisa kamu anggap sebagai bagian terpisah dari seluruh kisah hidup kita:

Waktu itu menjelang Ashar. Kita –aku dan kamu– sudah siap di samping sebuah batu besar yang dijadikan tempat duduk, di depan rumah kakekmu. Kita sama-sama baru belajar mengokang senjata. Hingga saat itu, sasaran tembak kita masih kaleng-kaleng bekas yang kosong, tempat minyak jelantah. Jika tidak salah, bisa kukatakan kita pernah memakai kaleng merek “Cahaya Kaz” sebagai sasaran tembak, dua atau tiga kali.

Waktu itu sedang Ashar. Ya, kembali kuberi tekanan pada kata Ashar karena potret cerita kita tidaklah lengkap kecuali setelah disorot matahari Ashar. Kita sudah berdiri di samping batu besar itu, kemudian kudengar kamu bertanya:

“Katanya kamu mau balas dendam?”

Pertanyaanmu itu kusambut dengan tawa pendek. Giliranku kemudian yang bertanya: “Pada apa?”

Kamu lalu memberi isyarat pada tembok di seberang sana. Tanganmu menunjuk suatu makhluk. Kemudian ujarmu dengan senyum yang masih mengembang: “Kucing garong, yang mencuri sepasang merpati dari sangkarnya...!”

Kini berganti, aku yang tertawa. Aku ingat bagaimana kucing brengsek itu bisa sampai di atap dan menjangkau sangkar merpati di taman, dua malam berturut-turut. Ia berhasil melarikan sepasang merpati yang sudah susah-payah kami pelihara bersama kakek. Sebelum sempat kuberikan suatu keputusan, kamu sudah lebih dulu memotong: “Aku yang akan menjagalnya jika kamu tidak berani...”

Kamu sandangkan senapanmu ke bahu, langsung melepaskan satu tembakan. Dari sela asap yang tidak sedap baunya itu, kita menyaksikan kucing malang itu melompat ke belakang karena takut. Kemudian ia biarkan kakinya melompat ke pagar taman sebelah. Di atas pagar itu ia berhenti, mengamati bekas bidikanmu dengan mata kaget. Aku tidak tahu, setan apa yang membuatku berujar: “Kamu meleset. Giliranku sekarang mencoba.”

Aku ingat bagaimana tembakanku tepat mengenai kepalanya. Ketika melihat kucing itu dari teropong di ujung senapan, aku merasa tubuh ini menggigil. Sasaran tembakku seketika menjadi goyang. Mata kucing itu –masih saja– ketakutan menatap sekeliling, sedangkan ekornya ia kibas-kibaskan ke tanah. Namun, kedua telinganya ia tegakkan, berusaha mencium bahaya yang akan datang. Pada detik berikutnya, aku sudah melihatnya berada tepat di tengah-tengah teropong. Pelatuk kutarik dan peluru melumatnya persis di muka. Kucing itu terpental; kakinya menggapai-gapai di udara, bergerak-gerak. Sebelum akhirnya jatuh ke samping. Darah pun mengalir perlahan.

Lalu kamu menggiringku untuk melihatnya. Kamu bolak-balikkan bangkainya dengan ujung senapan lalu berbisik padaku: “Bidikan bagus... tepat di kepala. Kamu sudah memutus jaringan otaknya.”

Tapi kemudian aku muntah-muntah. Aku pun terbaring lemas di kasur sampai lebih dari dua minggu.

Kamu bertanya beberapa waktu kemudian ketika datang menjengukku, menertawaiku: “Hah. Kucing garong yang tertembak itu membuatmu sampai seperti ini? Lucu nian! Bukankah kamu pernah berjanji akan berperang melawan pria dewasa, tidak dengan kucing?”

Aku malu sekali mendengarnya. Entah bagaimana aku bisa berbohong padamu waktu itu: “Kucing? Gila kamu. Waktu kecil aku membunuh banyak kucing pakai batu. Semua ini gara-gara bahu senapan yang terangkat ke atas habis ditembakkan dan menyikut tenggorokanku. Itulah yang menyebabkanku muntah-muntah. Lagi pula, sebelumnya aku juga sudah sakit.”

“Kamu mau bohong ya? Baru kali ini aku tahu kamu bohong.”

Tapi yang membuatku merasa tenang waktu itu, kamu kembali datang pada sorenya. Kamu berbisik di telingaku, supaya aku mau berjanji ikut denganmu dalam sebuah ‘serangan’... dua hari lagi.

Di atas mobil yang membawa kita ke pemukiman Yahudi di desa tetangga, kamu bernyanyi riang seperti biasa. Sementara aku, masih belum pulih dari sakit akibat kejadian kemarin. Tiba-tiba kamu mencolekku untuk melihat kebun-kebun di kanan-kiri jalan. Bulan November telah memberinya warna baru: oh, bunga-bunga hanun. Waktu itu kita bahkan sempat mencari kupu-kupu mungil warna-warni. Demi seekor kupu-kupu kita bahkan tega menjatuhkan ribuan bunga hanun yang merah, dari tangkainya. Alangkah indahnya.

“Aku kan bahagia bila kamu berjanji mau membawakan seikat bunga hanun tiap November ke makamku. Kamu mau kan?”

“Kamu ini ada-ada saja. Tapi jika janjiku bisa menghentikan bualanmu, aku mau saja!”

Tawa gugur dari kedua bibirku. Kamu lalu mendekapkan senjata ke dada. Dengan suara yang lembut, tapi dalam, kamu berbisik: “Makasih...”

Kita sampai di kebun milik pemukim Yahudi itu pada waktu Zuhur. Rencana yang kita buat cukup berani, tapi mungkin dilakukan: menduduki rumah-rumah di pinggir pemukiman lalu menggempurnya. Baru kemudian kembali ke kampung kita.

Namun, yang terjadi setelah itu justru berbeda dari rencana semula. Kita tertangkap tangan oleh beberapa pria Yahudi ketika sedang berada di kebun mereka. Pertempuran pun tak terelakkan. Aku di sampingmu, memberondongkan senapan membabi-buta. Tak satu pun mengenai musuh. Waktu itu, kita lari terbirit-birit menginjak duri dan tanaman. Apakah hari itu kamu merasa kecut, tak dapat lagi kuingat pasti. Tiba-tiba, seorang Yahudi sudah menghadang kita di depan sehingga membuat pikiranku kacau. Tangannya yang mengenggam sebuah granat tangan melemparkannya pada kita. Masih sempat kudengar teriakanmu saat asap hampir membuat mata kita tak mampu melihat apa-apa: “Bunuh dia. Dia memegang sebuah ranjau...”

Asap pun berkurang. Namun, Yahudi itu masih berdiri di tempat tadi, menggenggam granat tangan yang kedua. Ia mencari-cari kita di antara tanaman yang ada. Melalui teropong senapan aku dapat melihatnya berdiri di sana, dengan mata ketakutan. Beberapa saat berlalu, namun jemariku belum juga bisa menarik pelatuk. Badanku menggigil. Sasaran tembak masih berdiri di tempatnya. Aku dapat melihatnya dari teropong senapan. Lalu dari teropong yang sama aku melihatnya menemukanmu. Ia lalu melemparkan granat tangannya yang kedua dan kabur.

Akhirnya, kami memanggulmu pulang dan membawamu ke kampung kita. Tempat kamu dikubur masih dengan pakaian lengkap sebagaimana layaknya para syuhada. Di belakang teman-temanmu, ibumu menangis sendirian. Sementara itu dengan ditindih oleh rasa malu, aku mengais-ngais tanah yang masih basah dan menanam karangan bunga hanun, yang kita petik di jalan kita pulang, di makammu.

Sudah dua belas tahun berlalu semenjak hari itu. Rasa malu itu tak pernah bisa kuhindari. Tiap November tiba, ia menyesaki dadaku tak kenal ampun layaknya sebuah mimpi buruk.

Pertanyaan yang senantiasa menggema di kepalaku: Mengapa saat ini aku kembali mengingatmu, dan menulis pesan ini? Tidakkah sebaiknya aku tetap dalam bungkamku?

Takkan! Aku takkan sanggup. Hari-hari terus berlalu, sedang kamu kian jauh terkubur di dalam sana. Aku takut lupa padamu. Betapa pun tersiksanya aku karena mengingatmu, namun tak kan kubiarkan hal itu terjadi. Mungkin, suatu hari nanti, rasa tersiksa ini dapat membuatku merasa betapa sangat perlunya aku datang kembali ke makammu, lalu menyerakkan beberapa kuntum bunga hanun di atasnya. Aku tidak tahu, sudah seberapa beraninya aku sekarang. Sanggupkah aku membunuh seorang saja pria Yahudi tanpa gemetar? Aku sudah dewasa kini. Lagi pula, tinggal di pemukiman pengungsi telah membantuku berubah menjadi lebih keras.

Namun, semua itu belum mampu membuatku cukup yakin. Satu hal yang kuyakini secara pasti, rasa malu ini betul-betul telah membuatku terpojok...hingga ke tulang sumsum. Apakah malu saja cukup? Kukira, cukup. Sebab, aku membunuh kucing itu hanya gara-gara kesalahannya menerkam sepasang merpati. Tentu, karena ia sangat lapar. Padahal, yang saat ini sedang kubela adalah orang-orang dengan jumlah ribuan yang didera rasa lapar, baik laki-laki maupun perempuan. Aku ikut berbaris di tengah-tengah mereka menghadapi para pencuri yang telah merampas segalanya dari kami. Inikah alasannya sehingga aku bangkit dari bungkamku, yakni agar aku semakin mengakrabimu?

Pengakuan ini niscaya akan memberiku maaf.

Aku sadar, sebagaimana seharusnya juga kamu sadari sejak lama, terkadang segelintir orang harus merelakan diri mereka mati, agar yang lain dapat terus hidup, ungkap sebuah kata bijak. Namun yang terpenting dari semua itu, sekarang, aku sedang hidup di dalamnya.***

------------------
1)Diterjemahkan dari cerpen yang berjudul Muntashaf Ayar.

2)Sastrawan yang bernama lengkap Ghassan Fayiz Kanafani ini dilahirkan di Yafa (Palestina) pada 9 April 1936. Di samping sebagai sastrawan ia juga dikenal sebagai jurnalis. Semenjak pendudukan Israel atas tanah kelahirannya, hidupnya banyak ia habiskan di pengungsian hingga meninggal secara tragis karena ledakan bom yang dipasang orang tak di kenal di mobilnya, pada 8 Juli 1973, di depan rumahnya di Beirut. Ia meninggal dalam usia 36 tahun.

3)Misran adalah penggemar sastra. Sarjana sastra sastra lulusan Al-Azhar, Mesir.

A Rodhi Murtadho A. Ginandjar Wiludjeng A. Junianto A. Kurnia A. Qorib Hidayatullah A. Yusrianto Elga A.S Laksana A’yat Khalili Aang Fatihul Islam Abdul Azis Sukarno Abdul Aziz Rasjid Abdul Hadi WM Abdul Kadir Ibrahim Abdul Malik Abdul Razak Abdul Rosyid Abdul Wahab Abdurrahman Wahid Abu Salman Acep Iwan Saidi Acep Zamzam Noor Adam Chiefni Ade P. Nasution Adhitia Armitriant Adi Prasetyo Adrizas AF. Tuasikal Afriza Hanifa Afrizal Malna Agama Para Bajingan Agnes Rita Sulistyawaty Aguk Irawan M.N. Agus B. Harianto Agus Buchori Agus R. Sarjono Agus R. Subagyo Agus Sulton Agus Sunyoto Ahda Imran Ahid Hidayat Ahmad Baso Ahmad Faishal Ahmad Fatoni Ahmad Hasan MS Ahmad Kekal Hamdani Ahmad Khotim Muzakka Ahmad Muchlish Amrin Ahmad Naufel Ahmad Rofiq Ahmad S. Zahari Ahmad Syauqi Sumbawi Ahmad Yulden Erwin Ahmad Zaini Ahmadun Yosi Herfanda Ahsanu Nadia Aini Aviena Violeta Ainul Fiah Ajip Rosidi Akhiriyati Sundari Akhmad Muhaimin Azzet Akhmad Sekhu Akhmad Sofyan Hadi Akhmad Taufiq Akhudiat Akmal Nasery Basral Alam Terkembang Alang Khoiruddin Alex R. Nainggolan Alfian Dippahatang Ali Audah Ali Mahmudi CH Ali Rif’an Almania Rohmah Ami Herman Amien Wangsitalaja Aminah Aminullah HA.Noor Amir Sutaarga Anam Rahus Anata Siregar Andari Karina Anom Andina Dwifatma Andong Buku #3 Andre Mediansyah Andri Awan Anett Tapai Anggie Melianna Anindita S Thayf Anis Ceha Anjrah Lelono Broto Anton Bae Anton Kurnia Anton Wahyudi Anwar Nuris Ardi Bramantyo Ardus M Sawega Arie MP Tamba Arie Yani Arief Joko Wicaksono Arief Junianto Ariera Arif Bagus Prasetyo Aris Kurniawan Arman A.Z. Arswendo Atmowiloto Arti Bumi Intaran AS Sumbawi Asarpin Asep Sambodja Asmaul Fauziyah Asti Musman Atafras Awalludin GD Mualif Ayu Wulan Sari Aziz Abdul Gofar Azizah Hefni Bagus Takwin Bahrul Ulum A. Malik Balada Bale Aksara Balok Sf Bambang Kempling Bamby Cahyadi Bandung Mawardi Beni Setia Benny Arnas Benny Benke Beno Siang Pamungkas Bentara Budaya Yogyakarta Berita Berita Duka Berita Koran Bernando J Sujibto Berthold Damshauser BI Purwantari Binhad Nurrohmat Bobby Gunawan Bonari Nabonenar Brunel University London Budaya Budi Darma Budi P. Hatees Budiman S. Hartoyo Burhanuddin Bella Camelia Mafaza Catatan Cerbung Cerpen Chairul Akhmad Chamim Kohari Chavchay Syaifullah Cover Buku Cucuk Espe D. Zaini Ahmad D. Zawawi Imron Dadang Ari Murtono Dahta Gautama Daisuke Miyoshi Damhuri Muhammad Dami N. Toda Damiri Mahmud Danarto Daniel Paranamesa Danusantoso Dareen Tatour Darju Prasetya David Kuncara Denny Mizhar Denza Perdana Desi Sommalia Gustina Desiana Medya A.L Dewan Kesenian Lamongan (DKL) Dewi Indah Sari Dewi Susme Dian Sukarno Didik Harianto Didik Kusbiantoro Dina Jerphanion Dina Oktaviani Dinas Kebudayaan dan Pariwisata (Disbudpar) Jawa Timur Dipo Handoko Diyah Errita Damayanti Djoko Pitono Djoko Saryono Doddy Wisnu Pribadi Dody Kristianto Dody Yan Masfa Donny Anggoro Donny Syofyan Dorothea Rosa Herliany Dr Junaidi SS MHum Dwi Cipta Dwi Fitria Dwi Pranoto Dwi Wiyana Dyah Ratna Meta Novia Dyah Sulistyorini Ecep Heryadi Eddy Pranata PNP Edeng Syamsul Ma’arif Eep Saefulloh Fatah EH Kartanegara Eka Budianta Eka Kurniawan Eko Hendrawan Sofyan Eko Hendri Saiful Eko Windarto Elnisya Mahendra Elva Lestary Emha Ainun Nadjib Emil WE Endah Sulwesi Endo Suanda Eppril Wulaningtyas R Esai Evan Ys F. Moses F. Rahardi Fadlillah Malin Sutan Fahmi Faqih Fahrudin Nasrulloh Faisal Kamandobat Fajar Kurnianto Fanani Rahman Fanny Chotimah Fatah Anshori Fatah Yasin Noor Febby Fortinella Rusmoyo Felix K. Nesi Festival Sastra Gresik Gabriel Garcia Marquez Galang Ari P. Galuh Tulus Utama Gampang Prawoto Gandra Gupta Ganug Nugroho Adi Gerson Poyk Ghassan Kanafani Gita Nuari Gita Pratama Goenawan Mohamad Grathia Pitaloka Gunoto Saparie H.B. Jassin Habibullah Hadi Napster Hadriani Pudjiarti Halim HD Halimi Zuhdy Hamberan Syahbana Han Gagas Hanibal W. Y. Wijayanta Hardi Haris del Hakim Haris Saputra Harri Ash Shiddiqie Hartono Harimurti Hary B Kori’un Hasan Aspahani Hasan Junus Hasif Amini Hasnan Bachtiar Hasta Indriyana HE. Benyamine Hendra Junaedi Hendra Makmur Heri CS Heri Latief Heri Listianto Herman RN Herry Lamongan Heru CN Heru Nugroho Hikmat Gumelar HL Renjis Magalah Hudan Nur Hujuala Rika Ayu Huminca Sinaga IBM. Dharma Palguna Ibnu Wahyudi Ida Farida Idris Pasaribu Ignas Kleden Ignatius Haryanto Iksan Basoeky Ilham Khoiri Imam Cahyono Imam Muhtarom Imam Nawawi Imamuddin SA Iman Budhi Santosa Imron Rosyid Imron Tohari Indiar Manggara Indra Intisa Indra Tjahyadi Indra Tranggono Indrian Koto Ira Puspitaningsih Irfan Budiman Isbedy Stiawan Z.S. Iskandar Noe Iskandar Zulkarnain Ismail Marzuki Iva Titin Shovia Iwan Kurniawan Jabbar Abdullah Jafar Fakhrurozi Jalan Raya Simo Sungelebak Jamal D. Rahman Jamal T. Suryanata Javed Paul Syatha Jayaning S.A JILFest 2008 Jody Setiawan Johan Edy Raharjo Johannes Sugianto Joko Pinurbo Joko Sandur Joni Ariadinata Jual Buku Jual Buku Paket Hemat Juan Kromen Julika Hasanah Jurnalisme Sastrawi Jusuf AN Juwairiyah Mawardy Ka’bati Karanggeneng Karya Lukisan: Andry Deblenk Kasnadi Keith Foulcher Kemah Budaya Panturan (KBP) Khansa Arifah Adila Khoirul Inayah Khoirul Rosyadi Khudori Husnan Ki Ompong Sudarsono Kirana Kejora Komplek Gor Kamantren Paciran Lamongan Komunitas Deo Gratias Komunitas Sastra Ilalang Indonesia Korrie Layun Rampan Kostela Kritik Sastra Kukuh S Wibowo Kurnia Effendi Kurniawan Kuswaidi Syafi'ie L.N. Idayanie Laili Rahmawati Lamongan Lan Fang Langgeng Widodo Lathifa Akmaliyah Leila S. Chudori Lely Yuana Lembaga Pengembangan Pembelajaran dan Penjaminan Mutu (LP3M) Universitas Jember Liestyo Ambarwati Khohar Lina Kelana Linda Sarmili Liza Wahyuninto Lucia Idayanie Lukman A Sya Lutfiah Lynglieastrid Isabellita M Arman AZ M Ismail M Thobroni M. Afifuddin M. Arwan Hamidi M. Lukluk Atsmara Anjaina M. Lutfi M. Luthfi Aziz M. Nurdin M. Yoesoef M.D. Atmaja M.S. Nugroho Mahendra Cipta Mahmud Jauhari Ali Mahmud Syaltut Usfa Mahmudi Arif Dahlan Malam Apresiasi Seni Tanahmerah Ponorogo Malkan Junaidi Maman S. Mahayana Mardi Luhung Marhalim Zaini Martin Aleida Maruli Tobing Mas Ruscita Mashuri Masuki M. Astro Matroni Matroni Muserang Media: Crayon on Paper Membongkar Mitos Kesusastraan Indonesia MG. Sungatno Mh Zaelani Tammaka Mia Arista Mia El Zahra Mikael Johani Misbahus Surur Misran Mohamad Ali Hisyam Mohammad Eri Irawan Much. Khoiri Muh. Muhlisin Muhammad Al-Fayyadl Muhammad Amin Muhammad Aris Muhammad Muhibbuddin Muhammad Rain Muhammad Taufiqurrohman Muhammad Yasir Muhammad Zuriat Fadil Muhammadun Muhammadun AS Muhidin M Dahlan Mujtahid Mujtahidin Billah Mukti Sutarman Espe Mulyadi SA Mulyosari Banyuurip Ujungpangkah Gresik Munawir Aziz Musfarayani Musfi Efrizal Nafisatul Husniah Nandang Darana Naskah Teater Nelson Alwi Ni Made Purnamasari Nikmatus Sholikhah Nina Herlina Lubis Nina Susilo Ning Elia Noor H. Dee Noval Jubbek Novel-novel berbahasa Jawa Novelet Nunuy Nurhayati Nur Azizah Nur Hamzah Nur Kholiq Nurdin Kalim Nurel Javissyarqi Nurul Aini Nurul Anam Nurul Komariyah Nuryana Asmaudi SA Nyoman Tusthi Eddy Obrolan Okty Budiati Orasi Budaya Akhir Tahun 2018 Otto Sukatno CR Oyos Saroso H.N. Pagan Press Pagelaran Musim Tandur Palupi Panca Astuti Parimono V / 40 Plandi Jombang Pawang Surya Kencana PDS H.B. Jassin Petrus Nandi Politik Politik Sastra Pradana Boy ZTF Pramoedya Ananta Toer Pramono Pringadi AS Prof Dr Fabiola D. Kurnia Prosa Puisi Puji Santosa Puji Tyasari Puput Amiranti N Purnawan Andra Purnawan Kristanto Pusat Dokumentasi Sastra H.B. Jassin Pustaka Ilalang Group PUstaka puJAngga Putu Wijaya Qaris Tajudin R. Ng. Ronggowarsito Rachmad Djoko Pradopo Radhar Panca Dahana Rahmat Kemat Hidayatullah Rahmat Sularso Nh Rakai Lukman Rakhmat Giryadi Rasanrasan Boengaketji Raudal Tanjung Banua Redland Movie Reiny Dwinanda Resensi Rialita Fithra Asmara Ribut Wijoto Riki Dhamparan Putra Riki Utomi Ririe Rengganis Risang Anom Pujayanto Riyon Fidwar Robin Al Kautsar Robin Dos Santos Soares Rodli TL Rofiqi Hasan Roso Titi Sarkoro Rozi Kembara Rukardi Rumah Budaya Pantura (RBP) Rusmanadi S Yoga S. Jai S.W. Teofani Sabrank Suparno Sahaya Santayana Saiful Amin Ghofur Saiful Anam Sainul Hermawan Sajak Salamet Wahedi Salman S. Yoga Samsudin Adlawi Samsul Anam Sanggar Lukis Alam Sanggar Pasir Sanggar Rumah Ilalang KSII Santi Puji Rahayu Sapardi Djoko Damono Saroni Asikin Sartika Dian Nuraini Sastra dan Kuasa Simbolik Sastra Jawa Timur Satmoko Budi Santoso Saut Situmorang Sayyid Fahmi Alathas SelaSastra #24 di Boenga Ketjil Jombang SelaSastra Boenga Ketjil SelaSastra Boenga Ketjil #33 Seno Gumira Ajidarma Seno Joko Suyono Sergi Sutanto Setia Naka Andrian Shiny.ane el’poesya Sholihul Huda Sigit Susanto Sihar Ramses Simatupang Sinopsis Siti Khoeriyah Siti Muyassarotul Hafidzoh Siti Sa’adah Siwi Dwi Saputra Siwi Dwi Saputro Sjifa Amori Slamet Rahardjo Rais Soegiharto Sofyan RH. Zaid Soni Farid Maulana Sony Prasetyotomo Sosiawan Leak Spectrum Center Press Sri Weni Sri Wintala Achmad Suci Ayu Latifah Sucipto Hadi Purnomo Sudirman Sugi Lanus Sukron Ma’mun Sulaiman Djaya Sunaryono Basuki Ks Sungatno Sungging Raga Sunlie Thomas Alexander Sunu Wasono Supriyadi Surya Lesmana Suryanto Sastroatmodjo Susianna Sutardji Calzoum Bachri Sutejo Suyanto Syaf Anton Wr Syaifuddin Gani Syaiful Amin Syarif Wadja Bae Sylvianita Widyawati TanahmeraH ArtSpace Tarmuzie (1961-2019) Taufiq Ismail Taufiq Wr. Hidayat Teguh Presetyo Teguh Setiawan Teguh Winarsho AS Temu Penyair Timur Jawa Tengsoe Tjahjono Tia Setiadi Tirto Suwondo Tita Tjindarbumi Tjahjono Widarmanto Tjahjono Widijanto Toko Buku Murah PUstaka puJAngga Lamongan Tosa Poetra Tri Nurdianingsih Triyanto Triwikromo TS Pinang Tu-ngang Iskandar Tulus S Ulul Azmiyati Umar Fauzi Umar Fauzi Ballah Umar Kayam Umbu Landu Paranggi Universitas Indonesia Universitas Jember Usman Arrumy Utari Tri Prestianti Viddy AD Daery Virdika Rizky Utama W Haryanto W.S. Rendra Wahyu Prasetya Wan Anwar Wawan Eko Yulianto Wawancara Wina Bojonegoro Wita Lestari Wong Wing King Wowok Hesti Prabowo Xu Xi (Sussy Komala) Y. Thendra BP Y. Wibowo Yanusa Nugroho Yasraf Amir Piliang Yayat R. Cipasang Yohanes Sehandi Yona Primadesi Yopi Setia Umbara Yudhi Herwibowo Yudi Latif Yusri Fajar Yusuf Ariel Hakim Yuval Noah Harari Zacky Khairul Uman Zainuddin Sugendal Zamakhsyari Abrar Zawawi Se Zed Abidien Zehan Zareez Zhaenal Fanani Zubaidi Khan Zuniest