Kamis, 18 Desember 2008

Pemberdayaan Sastra Indonesia

Putu Wijaya
http://putuwijaya.wordpress.com/

Sastra dalam pelajaran kesusastraan ketika saya masih belajar di sekolah menengah, didefiniskan lewat padan katanya. Karena sastra berarti tulisan, maka kesusatraan adalah segala tulisan yang indah. Yang kemudian langsung menjadi khazanah sastra adalah buku-buku karya fiksi dan puisi.

Tetapi sampai kepada istilah sastra lisan, pengertian tersebut menjadi sedikit bingung. Secara harfiah, sastra lisan berarti tulisan yang diucapkan. Mesti ada wujud tulisannya dulu, agar bisa diucapkan. Namun pada prakteknya sastra lisan sejak lahir sudah merupakan tutur yang bukan perpanjangan dari tulisan. Kemudian memang tutur itu ditranskripsikan ketika mulai diposisikan sebagai kekayaan budaya. Namun ketika ekspresi lisan itu dibekukan dalam bentuk tulisan, kenikmatannya berbeda. Ia tak menjangkau seluruh eksistensinya ketika masih lisan.

Sebagai seorang penulis, saya tak memandang sastra sebagai hanya tulisan, tetapi sebagai pengertian, sehingga ia bisa disampaikan dengan tulisan maupun lisan. Tetapi juga bukan pengertian tok. Ia memiliki satu kelayakan yang membedakannya dengan pengertian yang bukan sastra. Sastra mengandung pemikiran dan perasaan kemanusiaan yang erat kaitannya dengan bahasa.

Semua ekspresi yang memakai bahasa sebagai basis kekuatannya bagi saya adalah sastra. Kalau ada pengertian yang lebih bagus dari itu, setiap saat saya bersedia mengkhianati pengertian yang sudah saya anut selama ini.

Karena upaya untuk terus-menerus menyempurnakan penggerebekan ke arah yang lebih sempurna, adalah bagian dari cita-cita sastra. Karena itulah dalam alam pikiran saya, sastra tak mengenal kontrak mati dengan satu isme atau idiologi, apalagi sikap politik. Kalau toh ada aliran dan idiologi sastra, itu adalah kebimbangan dan pengkhianatan kepada kesimpulan yang salah.

Melalui pemahaman tersebut, saya akan mencoba bicara tentang pemberdayaan sastra Indonesia.

Pengertian Indonesia Baru, bagi generasi 28, ketika Sumpah Pemuda (1928) dicetuskan, pasti sesuatu yang asing. Karena pengertian Indonesia sendiri sudah berarti baru. Pengertian itu mengandung cita-cita politik yang merupakan lompatan besar, mengubah teritorial Nusantara menjadi sebuah negara yang merdeka.

Pengertian “baru” dicantelkan kepada Indonesia, sesudah gerakan reformasi pada 1998. Ketika pengertian Indonesia menjadi terkontaminasi oleh kepemimpinan yang membawa Indonesia masuk ke dalam jurang penindasan hak-hak azasi manusia. Pengertian Indonesia baru sebenarnya sama saja dengan pengertian Indonesia dari generasi 28 –hanya saja dulu targetnya merdeka dari kolonialisme, kini merdeka dari penindasan rezim dari dalam sendiri. Pengertian baru mengandung makna scanning ulang, defragmentasi, reinstal dan format ulang terhadap hard disk Indonesia yang sudah eror.

Sastra memiliki kepentingan besar dalam kerepotan yang langsung menyangkut pemulihan terhadap hak-hak azasi manusia tersebut. Dan bagi sastra sendiri, sekaligus juga berarti pemulihan terhadap hak-hak azasinya sendiri. Karena dalam beberapa dekade gelap sebelum reformasi, sastra juga termasuk yang sudah diinjak-injak di bawah kepentingan politik dan ekonomi sekelompok penguasa.

Tak bedanya dengan keadilan dan kebenaran, sastra pun –sebagai bentuk pengucapan pikiran dan perasaan yang memakai bahasa -sudah dihajar habis-habisan. Karena bahasa merupakan bagian dari alat kontrol sosial yang sangat efektif di samping senjata. Bahasa telah menjadi balatentara rezim yang dengan ganasnya mendera rakyat.

Akibatnya sastra pun menjadi bukan saja mandul tetapi terutama sekali: berbalik sesat. Sastra yang indah itu berubah menjadi binatang buas yang mengunyah-ngunyah kemanusiaan itu sendiri.

Dalam keadaan yang terbalik itu, bahasa bukan lagi jembatan untuk mengucapkan pikir dan rasa antara manusia yang merdeka, tetapi polisi-polisi dan mesin virus yang menyebarkan ketakutan dan teror sehingga massa membeku. Ucapan tak bisa lagi dipercaya.

Kalimat bersiponggang dan memekakkan tetapi kosong. Khususnya pidato-pidato para pejabat. Kata-kata dan ungkapan rezim menjadi “safe deposite” yang menyembunyikan kejahatan-kejahatan. Sastra menjadi bromocorah. Sastra adalah bandit yang menguasai alam pikiran.

Karya sastra yang masih menyuarakan ekspresi yang jujur dan dulu dipelajari sebagai kesusastraan, atas nama kelangenan yang membuat orang malas, lantas dimasukkan ke bak sampah. Dianggap perangkat yang kedaluwarsa di tengah dunia yang sudah berteknologi tinggi.

Para pelajar ditipu mentah-mentah untuk lebih percaya kepada angka-angka yang kemudian dengan lihaynya disulap di dalam “dagang” yang membuat pelajar kebingungan. Teknologi pun kotor, karena hanya berisi khayalan, tetapi disembah seakan-akan itulah dewa penyelamat tyang akan membawa bangsa ke mimpi gemah-ripah-loh-jinawi.

Para ilmuwan melarikan diri dan bersembunyi di gua pertapaannya. Para sastrawan juga ikut ngacir berserakan ke sana-ke mari karena merasa hina dan berdosa terus menjadi pabrik tak berguna.

Mereka mengubah seragamnya menjadi politikus, pejabat, wartawan atau amtenar yang terasa lebih konkrit memikirkan realita dan kepentingan rakyat serta masa depan negara. Yang masih setia menjadi sastrawan hidupnya kumuh dan tak dapat tempat, kecuali bila berhasil menjadi “maling-maling” besar, sebagaimana Rendra. Tetapi banyak sekali di antaranya justru “menikmati” keadaan tak berdaya tersebut karena bisa menyembunyikan kemalasan dan ketidakmampuannya.

Sambil pura-pura berteriak kesakitan, sastrawan bersangkutan tidur dan melakukan masturbasi. Mereka mengaum mengaku sudah dipasung rezim yang berkuasa, tetapi setelah reformasi di mana semua orang boleh ngapain saja, mereka juga tetap tak berbuat apa-apa karena memang “dari sononya” sudah tak berdaya.

Kenyataan yang juga harus diakui, adalah di masa jayanya sensor, keberanian saja cukup membuat orang menjadi sastrawan. Dan sastra secara rahasia berubah artinya sebagai seni memaki, seni menghujat, seni menista, seni mencuri. Tak peduli nilai karyanya, asal nampak bersikap menyakiti dan mengganggu penguasa, terasa sebagai karya yang berdarah dan besar.

Sastra yang semestinya punya potensi untuk membangun manusia (baca:bangsa) dari dalam jiwanya, jadi bangkrut. Yang tinggal adalah sastra sebagai barang komoditi. Sastra menyediakan diri sebagai paket-paket hiburan untuk mengeloco anggota masyarakat yang impoten karena kekuasaan sudah mengontrol masyarakat sampai daerah-daerah pribadinya di atas tempat tidur.

Sebagai barang komoditi sastra ternyata cukup berhasil. Jumlah buku, presentasi membaca, serta para penulis, bertambah jumlahnya. Penerbit-penerbit menjamur, sebagian menjadi raksasa yang menghasilkan duit besar. Setiap hari ada saja buku baru yang terbit. Media massa berkembang pesat, sehingga para konglomerat mulai ikut malang melintas di usaha para kuli tinta itu. Jumlah majalah dan koran nasional dan lokal, apalagi sesudah reformasi membludak.

Eskspresi komersial yang mempergunakan bahasa sebagai kekuatannya berkembang pesat. “Sastra” terpacu secara kwantitas. Dalam soal kualitas pun bukan tidak ada karya hebat yang lahir. Banyak sastrawan baru lahir yang tak kalah pamornya dengan sastrawan tua.

Sementara sastrawan senior pun terus produktif. Pramudya masih menulis di samping Rendra, Goenawan Mohammad, Budi Dharma, Umat Khayam, Sutarji C Bachri, Taufiq ismail (sekedar menyebut beberapa nama), ditambah lapisan baru seperti Afrisal Malna, Seno Gumira Aji Darmo, Ayu Utami dan sebagainya.

Memang secara perorangan sastra Indonesia dalam keadaan keos masih normal-normal saja. Artinya di ruang hidupnya yang kecil masih ada satu dua kutu busuk yang terus bekerja dengan setia. Dan hasilnya bagus. Tetapi sebagai potensi kultural, sastra Indonesia sangat tidak berkekuatan.

Jangan mengukur kekuatan dari analisa seorang kritikus yang meskipun berhasil menerbitkan pikirannya ke dalam buku, karena buku itu tidak ada yang membaca. (Rata-rata satu judul buku sastra yang dicetak 1000-3000 eksemplar, tidak habis dalam 5 tahun. Meskipun memang buku Ayu Utami, belum lagi satu tahun sudah mengalami cetak ulang berkali-kali).

Sastra sebagai sebuah batalyon kekuatan, sudah memble, karena dari 200 juta lebih bangsa Indonesia, yang membaca dan memanfaatkan sastra sangat sedikit, nyaris memalukan. Dalam satu usaha informal dan pribadi, penyair Taufiq Ismail, melakukan wawancara pada kelompok pelajar dari seluruh dunia.

Ia menghasilkan tabel yang sangat mengejutkan. Ternyata antara 20 s/d 30 buku yang dibaca oleh setiap pelajar di berbagai dunia selama periodenya sebagai pelajar, pelajar Indonesia mencatat 0 buku.

Tak heran kalau banyak mahasiswa sebagai perpanjangan dari pelajar Indonesia, tak mampu mempergunakan bahasa. Sebagai akibatnya, skripsi sebagai karya akhir di perguruan tinggi juga tidak ada gunanya, karena memang tidak bisa ditulis oleh mereka yang tidak punya pengalaman mengolah bahasa. Karena kalau dipaksakan pun akan menjadi dagelan, sudah banyak kasus terungkap skripsi ditulis oleh para penyedia jasa skripsi.

Taufiq kemudian membuat lobby pada mereka yang berwenang di Bapenas. Dari hasil diskusi tersebut, didapat kesepakatan bahwa kekeliruan besar yang sangat mendasar sudah terjadi bertahun-tahun. Sastra tak mungkin hanya sastra. Sastra adalah perangkat yang berhubungan langsung dengan semua kegiatan. Kalau itu lumpuh, secara tidak langsung akan cacad pula sektor-sktor lain.

Dari peristiwa itulah kemudian mengucur biaya untuk membuat acara temu sastra dengan guru-guru sekolah. Dengan amat entusias para guru bahasa dari berbagai sekolah bertemu langsung dengan para sastrawan, mendengarkan, berdiskusi tentang sastra. Mereka nampak begitu rindu, banyak yang terkejut, melihat sastra begitu dekat dengan berbagai persoalan sehari-hari. Sastra sangat relevan dengan kegiatan mereka dal;am rangka pembelajaran anak-anak bangsa.

Kegiatan temu sastrawan itu semula hanya dilakukan di Jakarta itu kemudian meluas ke kegiatan se-Jawa Barat-jawa Tengah dan diharapkan kelak akan menjadi kegiatan di seluruh Indonesia. Kegiatan tersebut kemudian disambung dengan kegiatan sastrawan masuk sekolah yang mendapat dukungan dari Ford Foundation.

Saya tidak mengatakan bahwa itulah cara yang terbaik untuk mengatasi ketidakberdayaan sastra. Namun itulah salah satu contoh bahwa ketidakberdayaan di samping dibicarakan, harus segera diatasi dengan tindakan. Dan bentuknya bisa bermacam-macam. Mulai dari yang memerlukan biaya sampai yang tidak memerlukan apa-apa bahkan bisa mendatangkan duit.

Dalam pemahaman saya, yang harus menjadi agenda sastra dalam menyongsong Indonesia Baru adalah pemberdayaan sastra. Menjadikan Indonesia –dalam pengertian sastra -kembali memposisikan sastra sebagai alat yang setara dengan peralatan kehidupan lain seperti teknologi, ekonomi, politik dan sebagainya.

Sastra adalah sebuah profesi dengan para sastrawan profesional sebagai kawulanya. Pemberdayaan sastra adalah bagian bagian dari pemberdayaan seluruh sumber daya/potensi Indonesia. Dengan mobilisasi seluruh potensi itu kita mencoba untuk menggarap target besar yang selama ini sudah diformulasikan oleh ucapan: gemah ripah-loh jinawi lewat sektor dan tanggungjawab para profesional.

Pemberdayaan sastra boleh jadi sudah merupakan isyu sangat klise sekarang. Karena itu dengan mudah kemudian bisa ditafsirkan kepada kesempatan untuk menuntut pemerintah memberikan perlindungan berupa subsidi dan penghapusan sensor yang tak lebih dari sedekah atas dasar belas kasihan dan seringkali lebih banyak menguntungkan satu dua individu sastrawan –bukan pada sastra-nya.

Pemberdayaan sastra adalah termasuk upaya membebaskan sastra dari dominasi satu pribadi. Baik dia bernama Rendra, Pramudya, Goenawan, Sutardji, Chairil dan sebagainya. Pemberdayaan sastra ada usaha membebaskan sastra dari berbagai bentuk penindasan dan pengemisan. Sastra bukan saja untuk seluruh sastrawan, bukan saja untuk sastra, tetapi juga untuk seluruh manusia.

Sastra tak mungkin, tak sanggup dan tak akan sudi berdiri sendiri. Sastra tak memerlukan isolasi. Bahkan sastra yang terisolir pun selalu mencoba menerobos untuk memecahkan kerangkengnya. Sastra memiliki kepentingan mutlak untuk bekerjasama dengan seluruh sektor kehidupan dan perangkat negara karena dia ingoin berbicara kepada setiap manusia/warganegara tanpa mengenal batas tingkat sosial, kecerdasan dan kepangkatan.

Bentuk kerjasama itu adalah kerjasama profesional, atas dasar kegunaaan kegunaan timbal-balik, bukan pemerasan atau pencekokan.

Upaya pemberdayaaan sastra dengan demikian adalah upaya menempatkan sastra pada posisi yang tepat dalam simponi kehidupan, sehingga sastra sebagai “sembako batin” jelas garisnya. Sebagai kebutuhan batin hubungan antara sastra dengan masyarakat tidak lagi menjadi ketegangan dan kucing-kucingan tetapi saling membantu, saling mempergunakan dan saling menyempurnakan.

Pemberdayaan sastra, dalam jalan pikiran saya sama sekali bukan pemberantasan potensi sastra sebagai barang komoditi. Karena potensi sastra sebagai apa pun, harusnya tetap dipupuk sebagai bagian dari kekuatan sastra.

Pemberdayaan di sini harus diartikan sebagai upaya penyeimbangan dari berbagai kekuatan sastra tersebut, sehingga ia bisa hadir utuh dalam dalam kehidupan serta berkembang sehingga selalu dapat menjawab tantangan zaman. Dan itu tak perlu disimpulkan sebagai penentangan kepada “penguasa” –selama kekuasaan adalah alat yang menjalankan kedaulatan rakyat.

Pemberdayaan sastra yang dalam benak saya, mau tak mau adalah pemberdayaan sastrawan, untuk sementara. Dengan satrawan yang tak berdaya tak akan mungkin ada sastra yang berdaya. Tanpa keberdayaan sastrawan Indonesia, sastra yang tak berdaya tak akan bisa dibuat berdaya dengan suntikan dan doping macam mana pun. Karena kita tidak berpikir tentang pemberdayaan semu, sebagai slogan atau etalase dalam sebuah pameran. Peberdayaan yang saya maksud adalah bagaimana sastra menjadi hidup dan berkesinambungan.

Dengan sastrawan yang berdaya, tak akan mungkin sastra menjadi lumpuh. Zaman sastra sebagai hasil orang ngelamun sudah lewat. Sastra bukan lagi nina bobok atau ekstasi untuk membuat orang teler. Sastra adalah hasil pikiran yang tak kurang pentingnya dari berbagai percobaan fisika di laboratorium, tak kurang pentingnya dari ekploarasi pencarian sumber-sumber kekayaan bumi di lepas pantai. Tak kurang pentingnya dari disertasi dan seminar-seminar ilmiah tentang bermacam pokok masalah secara mendalam.

Di dalam sebuah pertemuan antara sastrawan Indonesia dan sastrawan Perancis yang diprakarasai oleh Lembaga Kebudayaan Perancis di Bentara Budaya pada tahun 1990-an, terucap perbedaan posisi sastra di Perancis dan Indonesia. Di Perancis kata mereka, sastra sama kedudukannya dengan ilmu pengetahuan. Dengan sendirinra para sastrawan juga setara harkatnya dengan para ilmuwan.

Kedudukan tersebut tentu bukan status sosial. Tetapi status sosial tersebut hanya kesimpulan dari apa adanya sastra dan para sastrawan. Sebagai akibatnya maka satrawan pun memikul tanggungjawab ilmu pengetahuan atas profesinya.

Sastrawan sebagai pabrik sastra, mesti lebih dulu berdaya. Dan itu tak bisa dicapai hanya dengan slogan, teriakan, yel-yel atau demo. Mustahil terjadi dengan surat sakti, besluit atau tekanan satu kekuatan raksasa. Itu harus terjadi dan mulai dari hati pemerdayaan sastrawannya sendiri, sehingga masyarakat memperoleh bukti yang nyata bahwa sastra memang berdaya.

Mobilisasi sastra adalah pemberdayaan sastrawan untuk merebut kepercayaan masyarakat, bahwa sastra adalah penyampung lidah nasib mereka. Dan itu bukan sesuatu yang mustahil, karena kita memiliki tradisi sastra yang tidak memalukan. Kita memiliki Mpu Walmiki, Mpu Kanwa, Prapanca, Ronggowarsito, Hamzah Fansuri, Abdullah bin Abdulkadir Munsyi, Raja Ali Aji, Ida Pedande Dau Rauh dan sebagainya.

Tidak ada komentar:

A Rodhi Murtadho A. Ginandjar Wiludjeng A. Junianto A. Kurnia A. Qorib Hidayatullah A. Yusrianto Elga A.S Laksana A’yat Khalili Aang Fatihul Islam Abdul Azis Sukarno Abdul Aziz Rasjid Abdul Hadi WM Abdul Kadir Ibrahim Abdul Malik Abdul Razak Abdul Rosyid Abdul Wahab Abdurrahman Wahid Abu Salman Acep Iwan Saidi Acep Zamzam Noor Adam Chiefni Ade P. Nasution Adhitia Armitriant Adi Prasetyo Adrizas AF. Tuasikal Afriza Hanifa Afrizal Malna Agama Para Bajingan Agnes Rita Sulistyawaty Aguk Irawan M.N. Agus B. Harianto Agus Buchori Agus R. Sarjono Agus R. Subagyo Agus Sulton Agus Sunyoto Ahda Imran Ahid Hidayat Ahmad Baso Ahmad Faishal Ahmad Fatoni Ahmad Hasan MS Ahmad Kekal Hamdani Ahmad Khotim Muzakka Ahmad Muchlish Amrin Ahmad Naufel Ahmad Rofiq Ahmad S. Zahari Ahmad Syauqi Sumbawi Ahmad Yulden Erwin Ahmad Zaini Ahmadun Yosi Herfanda Ahsanu Nadia Aini Aviena Violeta Ainul Fiah Ajip Rosidi Akhiriyati Sundari Akhmad Muhaimin Azzet Akhmad Sekhu Akhmad Sofyan Hadi Akhmad Taufiq Akhudiat Akmal Nasery Basral Alam Terkembang Alang Khoiruddin Alex R. Nainggolan Alfian Dippahatang Ali Audah Ali Mahmudi CH Ali Rif’an Almania Rohmah Ami Herman Amien Wangsitalaja Aminah Aminullah HA.Noor Amir Sutaarga Anam Rahus Anata Siregar Andari Karina Anom Andina Dwifatma Andong Buku #3 Andre Mediansyah Andri Awan Anett Tapai Anggie Melianna Anindita S Thayf Anis Ceha Anjrah Lelono Broto Anton Bae Anton Kurnia Anton Wahyudi Anwar Nuris Ardi Bramantyo Ardus M Sawega Arie MP Tamba Arie Yani Arief Joko Wicaksono Arief Junianto Ariera Arif Bagus Prasetyo Aris Kurniawan Arman A.Z. Arswendo Atmowiloto Arti Bumi Intaran AS Sumbawi Asarpin Asep Sambodja Asmaul Fauziyah Asti Musman Atafras Awalludin GD Mualif Ayu Wulan Sari Aziz Abdul Gofar Azizah Hefni Bagus Takwin Bahrul Ulum A. Malik Balada Bale Aksara Balok Sf Bambang Kempling Bamby Cahyadi Bandung Mawardi Beni Setia Benny Arnas Benny Benke Beno Siang Pamungkas Bentara Budaya Yogyakarta Berita Berita Duka Berita Koran Bernando J Sujibto Berthold Damshauser BI Purwantari Binhad Nurrohmat Bobby Gunawan Bonari Nabonenar Brunel University London Budaya Budi Darma Budi P. Hatees Budiman S. Hartoyo Burhanuddin Bella Camelia Mafaza Catatan Cerbung Cerpen Chairul Akhmad Chamim Kohari Chavchay Syaifullah Cover Buku Cucuk Espe D. Zaini Ahmad D. Zawawi Imron Dadang Ari Murtono Dahta Gautama Daisuke Miyoshi Damhuri Muhammad Dami N. Toda Damiri Mahmud Danarto Daniel Paranamesa Danusantoso Dareen Tatour Darju Prasetya David Kuncara Denny Mizhar Denza Perdana Desi Sommalia Gustina Desiana Medya A.L Dewan Kesenian Lamongan (DKL) Dewi Indah Sari Dewi Susme Dian Sukarno Didik Harianto Didik Kusbiantoro Dina Jerphanion Dina Oktaviani Dinas Kebudayaan dan Pariwisata (Disbudpar) Jawa Timur Dipo Handoko Diyah Errita Damayanti Djoko Pitono Djoko Saryono Doddy Wisnu Pribadi Dody Kristianto Dody Yan Masfa Donny Anggoro Donny Syofyan Dorothea Rosa Herliany Dr Junaidi SS MHum Dwi Cipta Dwi Fitria Dwi Pranoto Dwi Wiyana Dyah Ratna Meta Novia Dyah Sulistyorini Ecep Heryadi Eddy Pranata PNP Edeng Syamsul Ma’arif Eep Saefulloh Fatah EH Kartanegara Eka Budianta Eka Kurniawan Eko Hendrawan Sofyan Eko Hendri Saiful Eko Windarto Elnisya Mahendra Elva Lestary Emha Ainun Nadjib Emil WE Endah Sulwesi Endo Suanda Eppril Wulaningtyas R Esai Evan Ys F. Moses F. Rahardi Fadlillah Malin Sutan Fahmi Faqih Fahrudin Nasrulloh Faisal Kamandobat Fajar Kurnianto Fanani Rahman Fanny Chotimah Fatah Anshori Fatah Yasin Noor Febby Fortinella Rusmoyo Felix K. Nesi Festival Sastra Gresik Gabriel Garcia Marquez Galang Ari P. Galuh Tulus Utama Gampang Prawoto Gandra Gupta Ganug Nugroho Adi Gerson Poyk Ghassan Kanafani Gita Nuari Gita Pratama Goenawan Mohamad Grathia Pitaloka Gunoto Saparie H.B. Jassin Habibullah Hadi Napster Hadriani Pudjiarti Halim HD Halimi Zuhdy Hamberan Syahbana Han Gagas Hanibal W. Y. Wijayanta Hardi Haris del Hakim Haris Saputra Harri Ash Shiddiqie Hartono Harimurti Hary B Kori’un Hasan Aspahani Hasan Junus Hasif Amini Hasnan Bachtiar Hasta Indriyana HE. Benyamine Hendra Junaedi Hendra Makmur Heri CS Heri Latief Heri Listianto Herman RN Herry Lamongan Heru CN Heru Nugroho Hikmat Gumelar HL Renjis Magalah Hudan Nur Hujuala Rika Ayu Huminca Sinaga IBM. Dharma Palguna Ibnu Wahyudi Ida Farida Idris Pasaribu Ignas Kleden Ignatius Haryanto Iksan Basoeky Ilham Khoiri Imam Cahyono Imam Muhtarom Imam Nawawi Imamuddin SA Iman Budhi Santosa Imron Rosyid Imron Tohari Indiar Manggara Indra Intisa Indra Tjahyadi Indra Tranggono Indrian Koto Ira Puspitaningsih Irfan Budiman Isbedy Stiawan Z.S. Iskandar Noe Iskandar Zulkarnain Ismail Marzuki Iva Titin Shovia Iwan Kurniawan Jabbar Abdullah Jafar Fakhrurozi Jalan Raya Simo Sungelebak Jamal D. Rahman Jamal T. Suryanata Javed Paul Syatha Jayaning S.A JILFest 2008 Jody Setiawan Johan Edy Raharjo Johannes Sugianto Joko Pinurbo Joko Sandur Joni Ariadinata Jual Buku Jual Buku Paket Hemat Juan Kromen Julika Hasanah Jurnalisme Sastrawi Jusuf AN Juwairiyah Mawardy Ka’bati Karanggeneng Karya Lukisan: Andry Deblenk Kasnadi Keith Foulcher Kemah Budaya Panturan (KBP) Khansa Arifah Adila Khoirul Inayah Khoirul Rosyadi Khudori Husnan Ki Ompong Sudarsono Kirana Kejora Komplek Gor Kamantren Paciran Lamongan Komunitas Deo Gratias Komunitas Sastra Ilalang Indonesia Korrie Layun Rampan Kostela Kritik Sastra Kukuh S Wibowo Kurnia Effendi Kurniawan Kuswaidi Syafi'ie L.N. Idayanie Laili Rahmawati Lamongan Lan Fang Langgeng Widodo Lathifa Akmaliyah Leila S. Chudori Lely Yuana Lembaga Pengembangan Pembelajaran dan Penjaminan Mutu (LP3M) Universitas Jember Liestyo Ambarwati Khohar Lina Kelana Linda Sarmili Liza Wahyuninto Lucia Idayanie Lukman A Sya Lutfiah Lynglieastrid Isabellita M Arman AZ M Ismail M Thobroni M. Afifuddin M. Arwan Hamidi M. Lukluk Atsmara Anjaina M. Lutfi M. Luthfi Aziz M. Nurdin M. Yoesoef M.D. Atmaja M.S. Nugroho Mahendra Cipta Mahmud Jauhari Ali Mahmud Syaltut Usfa Mahmudi Arif Dahlan Malam Apresiasi Seni Tanahmerah Ponorogo Malkan Junaidi Maman S. Mahayana Mardi Luhung Marhalim Zaini Martin Aleida Maruli Tobing Mas Ruscita Mashuri Masuki M. Astro Matroni Matroni Muserang Media: Crayon on Paper Membongkar Mitos Kesusastraan Indonesia MG. Sungatno Mh Zaelani Tammaka Mia Arista Mia El Zahra Mikael Johani Misbahus Surur Misran Mohamad Ali Hisyam Mohammad Eri Irawan Much. Khoiri Muh. Muhlisin Muhammad Al-Fayyadl Muhammad Amin Muhammad Aris Muhammad Muhibbuddin Muhammad Rain Muhammad Taufiqurrohman Muhammad Yasir Muhammad Zuriat Fadil Muhammadun Muhammadun AS Muhidin M Dahlan Mujtahid Mujtahidin Billah Mukti Sutarman Espe Mulyadi SA Mulyosari Banyuurip Ujungpangkah Gresik Munawir Aziz Musfarayani Musfi Efrizal Nafisatul Husniah Nandang Darana Naskah Teater Nelson Alwi Ni Made Purnamasari Nikmatus Sholikhah Nina Herlina Lubis Nina Susilo Ning Elia Noor H. Dee Noval Jubbek Novel-novel berbahasa Jawa Novelet Nunuy Nurhayati Nur Azizah Nur Hamzah Nur Kholiq Nurdin Kalim Nurel Javissyarqi Nurul Aini Nurul Anam Nurul Komariyah Nuryana Asmaudi SA Nyoman Tusthi Eddy Obrolan Okty Budiati Orasi Budaya Akhir Tahun 2018 Otto Sukatno CR Oyos Saroso H.N. Pagan Press Pagelaran Musim Tandur Palupi Panca Astuti Parimono V / 40 Plandi Jombang Pawang Surya Kencana PDS H.B. Jassin Petrus Nandi Politik Politik Sastra Pradana Boy ZTF Pramoedya Ananta Toer Pramono Pringadi AS Prof Dr Fabiola D. Kurnia Prosa Puisi Puji Santosa Puji Tyasari Puput Amiranti N Purnawan Andra Purnawan Kristanto Pusat Dokumentasi Sastra H.B. Jassin Pustaka Ilalang Group PUstaka puJAngga Putu Wijaya Qaris Tajudin R. Ng. Ronggowarsito Rachmad Djoko Pradopo Radhar Panca Dahana Rahmat Kemat Hidayatullah Rahmat Sularso Nh Rakai Lukman Rakhmat Giryadi Rasanrasan Boengaketji Raudal Tanjung Banua Redland Movie Reiny Dwinanda Resensi Rialita Fithra Asmara Ribut Wijoto Riki Dhamparan Putra Riki Utomi Ririe Rengganis Risang Anom Pujayanto Riyon Fidwar Robin Al Kautsar Robin Dos Santos Soares Rodli TL Rofiqi Hasan Roso Titi Sarkoro Rozi Kembara Rukardi Rumah Budaya Pantura (RBP) Rusmanadi S Yoga S. Jai S.W. Teofani Sabrank Suparno Sahaya Santayana Saiful Amin Ghofur Saiful Anam Sainul Hermawan Sajak Salamet Wahedi Salman S. Yoga Samsudin Adlawi Samsul Anam Sanggar Lukis Alam Sanggar Pasir Sanggar Rumah Ilalang KSII Santi Puji Rahayu Sapardi Djoko Damono Saroni Asikin Sartika Dian Nuraini Sastra dan Kuasa Simbolik Sastra Jawa Timur Satmoko Budi Santoso Saut Situmorang Sayyid Fahmi Alathas SelaSastra #24 di Boenga Ketjil Jombang SelaSastra Boenga Ketjil SelaSastra Boenga Ketjil #33 Seno Gumira Ajidarma Seno Joko Suyono Sergi Sutanto Setia Naka Andrian Shiny.ane el’poesya Sholihul Huda Sigit Susanto Sihar Ramses Simatupang Sinopsis Siti Khoeriyah Siti Muyassarotul Hafidzoh Siti Sa’adah Siwi Dwi Saputra Siwi Dwi Saputro Sjifa Amori Slamet Rahardjo Rais Soegiharto Sofyan RH. Zaid Soni Farid Maulana Sony Prasetyotomo Sosiawan Leak Spectrum Center Press Sri Weni Sri Wintala Achmad Suci Ayu Latifah Sucipto Hadi Purnomo Sudirman Sugi Lanus Sukron Ma’mun Sulaiman Djaya Sunaryono Basuki Ks Sungatno Sungging Raga Sunlie Thomas Alexander Sunu Wasono Supriyadi Surya Lesmana Suryanto Sastroatmodjo Susianna Sutardji Calzoum Bachri Sutejo Suyanto Syaf Anton Wr Syaifuddin Gani Syaiful Amin Syarif Wadja Bae Sylvianita Widyawati TanahmeraH ArtSpace Tarmuzie (1961-2019) Taufiq Ismail Taufiq Wr. Hidayat Teguh Presetyo Teguh Setiawan Teguh Winarsho AS Temu Penyair Timur Jawa Tengsoe Tjahjono Tia Setiadi Tirto Suwondo Tita Tjindarbumi Tjahjono Widarmanto Tjahjono Widijanto Toko Buku Murah PUstaka puJAngga Lamongan Tosa Poetra Tri Nurdianingsih Triyanto Triwikromo TS Pinang Tu-ngang Iskandar Tulus S Ulul Azmiyati Umar Fauzi Umar Fauzi Ballah Umar Kayam Umbu Landu Paranggi Universitas Indonesia Universitas Jember Usman Arrumy Utari Tri Prestianti Viddy AD Daery Virdika Rizky Utama W Haryanto W.S. Rendra Wahyu Prasetya Wan Anwar Wawan Eko Yulianto Wawancara Wina Bojonegoro Wita Lestari Wong Wing King Wowok Hesti Prabowo Xu Xi (Sussy Komala) Y. Thendra BP Y. Wibowo Yanusa Nugroho Yasraf Amir Piliang Yayat R. Cipasang Yohanes Sehandi Yona Primadesi Yopi Setia Umbara Yudhi Herwibowo Yudi Latif Yusri Fajar Yusuf Ariel Hakim Yuval Noah Harari Zacky Khairul Uman Zainuddin Sugendal Zamakhsyari Abrar Zawawi Se Zed Abidien Zehan Zareez Zhaenal Fanani Zubaidi Khan Zuniest