Jumat, 26 Desember 2008

CERPEN INDONESIA KONTEMPORER

Maman S. Mahayana
http://mahayana-mahadewa.com/

Dalam perjalanan sastra Indonesia, periode pasca-reformasi merupakan masa paling semarak dan luar biasa. Kini, karya-karya sastra terbit seperti berdesakan dengan tema dan pengucapan yang beraneka ragam. Faktor utama yang memungkinkan sastra Indonesia berkembang seperti itu, tentu saja disebabkan oleh perubahan yang sangat mendasar dalam sistem pemerintahan. Kehidupan pers yang terkesan serbabebas-serbaboleh ikut mendorong terjadinya perkembangan itu. Maka, kehidupan sastra Indonesia seperti berada dalam pentas terbuka. Di sana, para pemainnya seolah-olah boleh berbuat dan melakukan apa saja.

Dibandingkan puisi, novel, dan drama, cerpen Indonesia pada paroh pertama pasca-reformasi mengalami booming. Cerpen telah sampai pada jatidirinya. Ia tak lagi sebagai selingan di hari Minggu. Kini, cerpenis dipandang sebagai profesi yang tak lebih rendah dari novelis atau penyair. Cerpenis tak diperlakukan sebagai orang yang sedang belajar menulis novel. Kondisi ini dimungkinkan oleh beberapa faktor berikut:

Pertama, kesemarakan media massa –suratkabar dan majalah—telah membuka ruang yang makin luas bagi para cerpenis untuk mengirimkan karyanya. Di sana, rubrik cerpen mendapat tempat yang khas. Cerpen ditempatkan sama pentingnya dengan rubrik lain. Bahkan, di surat-surat kabar minggu, ia seperti sebuah keharusan. Di situlah tempat cerpen bertengger dan menyapa para pembacanya. Maka, hari Minggu adalah hari cerpen.

Bayangkanlah, setiap minggu kita dihadapkan pada ratusan cerpen yang mengisi lembaran koran Minggu. Di pelosok kota di Indonesia, cerpen masuk ke ruang publik dengan bebasnya. Pembaca disuguhi beragam pilihan. Dalam kondisi overproduksi itu, menyeruak pula sejumlah antologi cerpen. Ketika kita sedang menimang-nimang isi kocek dan tuntutan kebutuhan lain, muncul lagi antologi cerpen yang lain. Mereka datang susul-menyusul. Penerbitan buku antologi cerpen, seperti berlomba dengan penerbitan novel dan buku lain.

Kedua, adanya kegiatan lomba menulis cerpen, memungkinkan cerpen tak hanya berada di hari Minggu, tetapi juga pada event atau peristiwa tertentu. Majalah Horison setiap tahun menyelenggarakan lomba penulisan cerpen. Begitupun Diknas, Pusat Bahasa atau lembaga lain yang juga melakukan kegiatan serupa. Sejak 1992, harian Kompas memulai tradisi baru dengan memilih cerpen terbaik dan memberi penghargaan khusus untuk penulisnya. Kegiatan ini mengangkat kedudukan cerpen dalam posisi yang istimewa.

Ketiga, terbitnya Jurnal Cerpen yang diasuh Joni Ariadinata, dkk. serta adanya Kongres Cerpen yang diselenggarakan berkala dalam dua tahun sekali –di Yogyakarta (1999), Bali (2001), Lampung (2003), dan kongres mendatang di Pekanbaru (November 2005), berhasil mengangkat citra cerpen secara lebih terhormat. Kegiatan itu sekaligus untuk menyosialisasikan keberadaan cerpen sebagai bagian dari kegiatan sastra. Bersamaan dengan itu, usaha sejumlah penerbit melakukan semacam perburuan naskah cerpen untuk diterbitkan, memberi harga dan martabat cerpen tampak lebih baik dibandingkan keadaan sebelumnya.

Meskipun posisi cerpen berada dalam keadaan yang begitu semarak dan memperoleh tempat istimewa, dalam hal regenerasi boleh dikatakan belum cukup signifikan. Masalahnya, secara substansial sejumlah cerpenis muda yang muncul belakangan, harus diakui, belum menunjukkan usahanya mengusung sebuah gerakan estetik yang kemudian menjadi sebuah mainstream. Arus besar cerpen Indonesia pascareformasi masih tetap didominasi nama-nama lama yang memang telah menjadi ikon cerpen Indonesia kontemporer. Cerpen Indonesia mutakhir masih tetap tak dapat menenggelamkan sejumlah nama yang muncul justru sebelum terjadi reformasi, seperti Budi Darma, Hamsad Rangkuti, Kuntowijoyo, Danarto, dan sederet panjang nama lain yang tergolong pemain lama. Mereka masih tetap menjadi bagian penting dalam peta cerpen Indonesia pascareformasi. Jadi, cerpenis lama dan baru, kini bertumpukan, semua ikut menyemarakkan peta cerpen Indonesia.
***

Bagaimana dengan kemunculan cerpenis baru dalam peta cerpen Indonesia? Memang ada geliat yang tak dapat diabaikan. Martin Aleida misalnya, mengangkat tema korban politik bagi mereka yang terlibat PKI. Tetapi Martin termasuk pemain lama. Setidaknya ia sudah matang sebelum terjadi reformasi. Maka, ketika terbit Leontin Dewangga (2003), kita terkejut bukan karena ia sebagai pendatang baru, melainkan pada hasratnya mengangkat tema yang tak mungkin muncul pada zaman Orde Baru. Dari sudut itu, ia telah memperkaya tema cerpen Indonesia. Kasus Martin Aleida tentu berbeda dengan Linda Christanty yang juga sebenarnya termasuk pemain lama. Antologinya, Kuda Terbang Maria Pinto (2004) seolah-olah memperlihatkan ketergodaannya pada model dan style yang sedang semarak pada saat itu. Pengabaian latar tempat dengan permainan pikiran malah seperti sengaja membuyarkan unsur lain –yang dalam kerangka strukturalisme justru menempati posisi yang sama penting. Style itu memang pilihannya, dan Linda telah memilih cara itu.

Pendatang baru yang cukup menjanjikan muncul atas nama Eka Kurniawan. Karya pertamanya, antologi cerpen Corat-Coret di Toilet (2000) mula hadir kurang meyakinkan. Tetapi ketika novelnya Cantik itu Luka (2002) terbit yang ternyata mengundang kontroversi, namanya mulai diperhitungkan. Setelah itu terbit pula novel kedua, Lelaki Harimau (2004) yang memamerkan kepiawaian melakukan eksperimen. Dalam antologi cerpen yang terbit belakangan, Cinta tak Ada Mati (2005), Eka belum kehilangan semangat eksperimentasinya. Cerpen yang berjudul “Bau Busuk” menunjukkan kesungguhan Eka melakukan eksperimen.

Azhari, cerpenis kelahiran Aceh adalah pendatang baru yang lain lagi. Cerpennya, “Yang Dibalut Lumut” yang menjadi Juara Pertama Lomba Penulisan Cerpen Festival Kreativitas Pemuda, Depdiknas—Creative Writing Institute memperlihatkan kekuatannya dalam mengungkap kepedihan rakyat Aceh yang terjepit dalam konflik bersenjata antara aparat keamanan (: TNI) dan Gerakan Aceh Merdeka. Ia juga berhasil menyajikan sebuah potret kultural dan tradisi rakyat Aceh yang tidak dapat dipisahkan dari kehidupan keseharian masyarakat di sana. Antologi cerpen pertamanya, Perempuan Pala (2004) memperlihatkan sosok Azhari yang matang dalam memandang persoalan Aceh dalam tarik-menarik sejarah dan kebudayaannya yang agung dengan kondisi sosial dan politik yang menimpa rakyat Aceh yang justru menebarkan luka dan kepedihan. Boleh jadi antologi ini merupakan potret yang merepresentasikan kegelisahan masyarakat Aceh dalam tarik-menarik itu.

Dengan kekuatan narasi yang hampir sama, Raudal Tanjung Banua hadir meyakinkan. Antologi cerpennya, Pulau Cinta di Peta Buta (2003), Ziarah bagi yang Hidup (2004), dan Parang tak Berulu (2005) menunjukkan perkembangan kepengarangannya yang makin kuat. Lihat saja, cerpennya ““Cerobong Tua Terus Mendera” terpilih sebagai penerima Anugerah Sastra Horison 2004. Cerpen yang lain, “Tali Rabab” termasuk 15 cerpen terbaik dalam sayembara itu. Salah satu kekuatan Raudal adalah narasinya yang sanggup menciptakan suasana peristiwa begitu intens, metaforis, dan asosiatif. Pembaca dibawa masuk ke dunia entah-berantah. Lalu, tiba-tiba merasa ikut menjadi saksi peristiwa yang diangkat cerpen itu.

Sejumlah nama cerpenis lain yang kelak menjadi sastrawan penting Indonesia, dapat disebutkan beberapa di antaranya: Teguh Winarsho (Bidadari BersayapBelati, 2002), Hudan Hidayat (Orang Sakit, 2001; Keluarga Gila, 2003) Maroeli Simbolon (Bara Negeri Dongeng, 2002; Cinta Tai Kucing, 2003), Satmoko Budi Santoso (Jangan Membunuh di Hari Sabtu, 2003), Mustofa W Hasyim (Api Meliuk di Atas Batu Apung, 2004), Kurnia Effendi (Senapan Cinta, 2004; Bercinta di Bawah Bulan, 2004), Moh. Wan Anwar (Sepasang Maut, 2004), Yusrizal KW (Kembali ke Pangkal Jalan, 2004), Isbedy Stiawan (Perempuan Sunyi, 2004; Dawai Kembali Berdenting, 2004), Triyanto Triwikromo (Anak-Anak Mengasah Pisau, 2003), Damhuri Muhammad (Laras, Tubuhku bukan Milikku, 2005). Keseluruhan antologi itu menunujukkan kekuatan narasi yang lancar mengalir dan kedalaman tema yang diangkatnya. Dalam lima tahun ke depan, mereka akan ikut menentukan perkembangan sastra Indonesia.

Selain nama-nama itu, cerpenis wanita yang muncul dalam lima tahun terakhir ini, juga tidak dapat diabaikan kontribusinya. Selain Linda Christanty, masih ada deretan cerpenis wanita yang sebenarnya lebih kuat dan matang. Oka Rusmini (Sagra, 2002), Djenar Maesa Ayu (Mereka Bilang Saya Monyet, 2002; Jangan Main-Main (dengan Kelaminmu, 2004), Maya Wulan (Membaca Perempuanku, 2002), Intan Paramadhita (Sihir Perempuan, 2005), Nukila Amal (Laluba, 2005), Weka Gunawan (Merpati di Trafalgar Square, 2004), Labibah Zain (Addicted to Weblog: Kisah Perempuan Maya, 2005), Ucu Agustin (Kanakar, 2005), Evi Idawati (Malam Perkawinan, 2005). Mereka berpeluang mengikuti jejak seniornya, Nh Dini, Titis Basino, Leila S. Chudori, Ratna Indrswari Ibrahim atau Abidah el-Khalieqy.

Yang menarik dari karya cerpenis perempuan ini adalah semangatnya melakukan gugatan. Tokoh-tokoh perempuan yang dalam banyak karya para penulis laki-laki kerap menjadi korban dan tersisih, dalam karya para penulis perempuan itu, justru cenderung berada dalam posisi yang sebaliknya. Tokoh laki-laki kerap digambarkan tersisih dan kalah sebagai pecundang di bawah kekuasaan perempuan. Selain itu, mereka juga begitu berani mengangkat perkara seks untuk membungkus pesan ideologi jendernya.
***

Deretan panjang nama-nama lain yang kerap muncul di hari Minggu, patut pula mendapat perhatian. Tentu dengan melihat daya tahan dan konsistensinya mempertahankan kualitas dan kontribusi mereka bagi pemerkayaan khazanah cerpen Indonesia mutakhir. Akhirnya, seperti sinyalemen Budi Darma, dalam keadaan overproduksi, pengamatan cerpen Indonesia mutakhir dengan analisis yang mendalam, tak mungkin dapat dilakukan dalam rentang waktu yang pendek. Kita sekarang ini seperti sedang berhadapan dengan air bah yang bernama cerpen Indonesia kontemporer dan kita hanyut terseret dalam gelombang besar deras arusnya.

*) Pengajar Fakultas Ilmu Pengetahuan Budaya, UI, Depok.

Tidak ada komentar:

A Rodhi Murtadho A. Ginandjar Wiludjeng A. Junianto A. Kurnia A. Qorib Hidayatullah A. Yusrianto Elga A.S Laksana A’yat Khalili Aang Fatihul Islam Abdul Azis Sukarno Abdul Aziz Rasjid Abdul Hadi WM Abdul Kadir Ibrahim Abdul Malik Abdul Razak Abdul Rosyid Abdul Wahab Abdurrahman Wahid Abu Salman Acep Iwan Saidi Acep Zamzam Noor Adam Chiefni Ade P. Nasution Adhitia Armitriant Adi Prasetyo Adrizas AF. Tuasikal Afriza Hanifa Afrizal Malna Agama Para Bajingan Agnes Rita Sulistyawaty Aguk Irawan M.N. Agus B. Harianto Agus Buchori Agus R. Sarjono Agus R. Subagyo Agus Sulton Agus Sunyoto Ahda Imran Ahid Hidayat Ahmad Baso Ahmad Faishal Ahmad Fatoni Ahmad Hasan MS Ahmad Kekal Hamdani Ahmad Khotim Muzakka Ahmad Muchlish Amrin Ahmad Naufel Ahmad Rofiq Ahmad S. Zahari Ahmad Syauqi Sumbawi Ahmad Yulden Erwin Ahmad Zaini Ahmadun Yosi Herfanda Ahsanu Nadia Aini Aviena Violeta Ainul Fiah Ajip Rosidi Akhiriyati Sundari Akhmad Muhaimin Azzet Akhmad Sekhu Akhmad Sofyan Hadi Akhmad Taufiq Akhudiat Akmal Nasery Basral Alam Terkembang Alang Khoiruddin Alex R. Nainggolan Alfian Dippahatang Ali Audah Ali Mahmudi CH Ali Rif’an Almania Rohmah Ami Herman Amien Wangsitalaja Aminah Aminullah HA.Noor Amir Sutaarga Anam Rahus Anata Siregar Andari Karina Anom Andina Dwifatma Andong Buku #3 Andre Mediansyah Andri Awan Anett Tapai Anggie Melianna Anindita S Thayf Anis Ceha Anjrah Lelono Broto Anton Bae Anton Kurnia Anton Wahyudi Anwar Nuris Ardi Bramantyo Ardus M Sawega Arie MP Tamba Arie Yani Arief Joko Wicaksono Arief Junianto Ariera Arif Bagus Prasetyo Aris Kurniawan Arman A.Z. Arswendo Atmowiloto Arti Bumi Intaran AS Sumbawi Asarpin Asep Sambodja Asmaul Fauziyah Asti Musman Atafras Awalludin GD Mualif Ayu Wulan Sari Aziz Abdul Gofar Azizah Hefni Bagus Takwin Bahrul Ulum A. Malik Balada Bale Aksara Balok Sf Bambang Kempling Bamby Cahyadi Bandung Mawardi Beni Setia Benny Arnas Benny Benke Beno Siang Pamungkas Bentara Budaya Yogyakarta Berita Berita Duka Berita Koran Bernando J Sujibto Berthold Damshauser BI Purwantari Binhad Nurrohmat Bobby Gunawan Bonari Nabonenar Brunel University London Budaya Budi Darma Budi P. Hatees Budiman S. Hartoyo Burhanuddin Bella Camelia Mafaza Catatan Cerbung Cerpen Chairul Akhmad Chamim Kohari Chavchay Syaifullah Cover Buku Cucuk Espe D. Zaini Ahmad D. Zawawi Imron Dadang Ari Murtono Dahta Gautama Daisuke Miyoshi Damhuri Muhammad Dami N. Toda Damiri Mahmud Danarto Daniel Paranamesa Danusantoso Dareen Tatour Darju Prasetya David Kuncara Denny Mizhar Denza Perdana Desi Sommalia Gustina Desiana Medya A.L Dewan Kesenian Lamongan (DKL) Dewi Indah Sari Dewi Susme Dian Sukarno Didik Harianto Didik Kusbiantoro Dina Jerphanion Dina Oktaviani Dinas Kebudayaan dan Pariwisata (Disbudpar) Jawa Timur Dipo Handoko Diyah Errita Damayanti Djoko Pitono Djoko Saryono Doddy Wisnu Pribadi Dody Kristianto Dody Yan Masfa Donny Anggoro Donny Syofyan Dorothea Rosa Herliany Dr Junaidi SS MHum Dwi Cipta Dwi Fitria Dwi Pranoto Dwi Wiyana Dyah Ratna Meta Novia Dyah Sulistyorini Ecep Heryadi Eddy Pranata PNP Edeng Syamsul Ma’arif Eep Saefulloh Fatah EH Kartanegara Eka Budianta Eka Kurniawan Eko Hendrawan Sofyan Eko Hendri Saiful Eko Windarto Elnisya Mahendra Elva Lestary Emha Ainun Nadjib Emil WE Endah Sulwesi Endo Suanda Eppril Wulaningtyas R Esai Evan Ys F. Moses F. Rahardi Fadlillah Malin Sutan Fahmi Faqih Fahrudin Nasrulloh Faisal Kamandobat Fajar Kurnianto Fanani Rahman Fanny Chotimah Fatah Anshori Fatah Yasin Noor Febby Fortinella Rusmoyo Felix K. Nesi Festival Sastra Gresik Gabriel Garcia Marquez Galang Ari P. Galuh Tulus Utama Gampang Prawoto Gandra Gupta Ganug Nugroho Adi Gerson Poyk Ghassan Kanafani Gita Nuari Gita Pratama Goenawan Mohamad Grathia Pitaloka Gunoto Saparie H.B. Jassin Habibullah Hadi Napster Hadriani Pudjiarti Halim HD Halimi Zuhdy Hamberan Syahbana Han Gagas Hanibal W. Y. Wijayanta Hardi Haris del Hakim Haris Saputra Harri Ash Shiddiqie Hartono Harimurti Hary B Kori’un Hasan Aspahani Hasan Junus Hasif Amini Hasnan Bachtiar Hasta Indriyana HE. Benyamine Hendra Junaedi Hendra Makmur Heri CS Heri Latief Heri Listianto Herman RN Herry Lamongan Heru CN Heru Nugroho Hikmat Gumelar HL Renjis Magalah Hudan Nur Hujuala Rika Ayu Huminca Sinaga IBM. Dharma Palguna Ibnu Wahyudi Ida Farida Idris Pasaribu Ignas Kleden Ignatius Haryanto Iksan Basoeky Ilham Khoiri Imam Cahyono Imam Muhtarom Imam Nawawi Imamuddin SA Iman Budhi Santosa Imron Rosyid Imron Tohari Indiar Manggara Indra Intisa Indra Tjahyadi Indra Tranggono Indrian Koto Ira Puspitaningsih Irfan Budiman Isbedy Stiawan Z.S. Iskandar Noe Iskandar Zulkarnain Ismail Marzuki Iva Titin Shovia Iwan Kurniawan Jabbar Abdullah Jafar Fakhrurozi Jalan Raya Simo Sungelebak Jamal D. Rahman Jamal T. Suryanata Javed Paul Syatha Jayaning S.A JILFest 2008 Jody Setiawan Johan Edy Raharjo Johannes Sugianto Joko Pinurbo Joko Sandur Joni Ariadinata Jual Buku Jual Buku Paket Hemat Juan Kromen Julika Hasanah Jurnalisme Sastrawi Jusuf AN Juwairiyah Mawardy Ka’bati Karanggeneng Karya Lukisan: Andry Deblenk Kasnadi Keith Foulcher Kemah Budaya Panturan (KBP) Khansa Arifah Adila Khoirul Inayah Khoirul Rosyadi Khudori Husnan Ki Ompong Sudarsono Kirana Kejora Komplek Gor Kamantren Paciran Lamongan Komunitas Deo Gratias Komunitas Sastra Ilalang Indonesia Korrie Layun Rampan Kostela Kritik Sastra Kukuh S Wibowo Kurnia Effendi Kurniawan Kuswaidi Syafi'ie L.N. Idayanie Laili Rahmawati Lamongan Lan Fang Langgeng Widodo Lathifa Akmaliyah Leila S. Chudori Lely Yuana Lembaga Pengembangan Pembelajaran dan Penjaminan Mutu (LP3M) Universitas Jember Liestyo Ambarwati Khohar Lina Kelana Linda Sarmili Liza Wahyuninto Lucia Idayanie Lukman A Sya Lutfiah Lynglieastrid Isabellita M Arman AZ M Ismail M Thobroni M. Afifuddin M. Arwan Hamidi M. Lukluk Atsmara Anjaina M. Lutfi M. Luthfi Aziz M. Nurdin M. Yoesoef M.D. Atmaja M.S. Nugroho Mahendra Cipta Mahmud Jauhari Ali Mahmud Syaltut Usfa Mahmudi Arif Dahlan Malam Apresiasi Seni Tanahmerah Ponorogo Malkan Junaidi Maman S. Mahayana Mardi Luhung Marhalim Zaini Martin Aleida Maruli Tobing Mas Ruscita Mashuri Masuki M. Astro Matroni Matroni Muserang Media: Crayon on Paper Membongkar Mitos Kesusastraan Indonesia MG. Sungatno Mh Zaelani Tammaka Mia Arista Mia El Zahra Mikael Johani Misbahus Surur Misran Mohamad Ali Hisyam Mohammad Eri Irawan Much. Khoiri Muh. Muhlisin Muhammad Al-Fayyadl Muhammad Amin Muhammad Aris Muhammad Muhibbuddin Muhammad Rain Muhammad Taufiqurrohman Muhammad Yasir Muhammad Zuriat Fadil Muhammadun Muhammadun AS Muhidin M Dahlan Mujtahid Mujtahidin Billah Mukti Sutarman Espe Mulyadi SA Mulyosari Banyuurip Ujungpangkah Gresik Munawir Aziz Musfarayani Musfi Efrizal Nafisatul Husniah Nandang Darana Naskah Teater Nelson Alwi Ni Made Purnamasari Nikmatus Sholikhah Nina Herlina Lubis Nina Susilo Ning Elia Noor H. Dee Noval Jubbek Novel-novel berbahasa Jawa Novelet Nunuy Nurhayati Nur Azizah Nur Hamzah Nur Kholiq Nurdin Kalim Nurel Javissyarqi Nurul Aini Nurul Anam Nurul Komariyah Nuryana Asmaudi SA Nyoman Tusthi Eddy Obrolan Okty Budiati Orasi Budaya Akhir Tahun 2018 Otto Sukatno CR Oyos Saroso H.N. Pagan Press Pagelaran Musim Tandur Palupi Panca Astuti Parimono V / 40 Plandi Jombang Pawang Surya Kencana PDS H.B. Jassin Petrus Nandi Politik Politik Sastra Pradana Boy ZTF Pramoedya Ananta Toer Pramono Pringadi AS Prof Dr Fabiola D. Kurnia Prosa Puisi Puji Santosa Puji Tyasari Puput Amiranti N Purnawan Andra Purnawan Kristanto Pusat Dokumentasi Sastra H.B. Jassin Pustaka Ilalang Group PUstaka puJAngga Putu Wijaya Qaris Tajudin R. Ng. Ronggowarsito Rachmad Djoko Pradopo Radhar Panca Dahana Rahmat Kemat Hidayatullah Rahmat Sularso Nh Rakai Lukman Rakhmat Giryadi Rasanrasan Boengaketji Raudal Tanjung Banua Redland Movie Reiny Dwinanda Resensi Rialita Fithra Asmara Ribut Wijoto Riki Dhamparan Putra Riki Utomi Ririe Rengganis Risang Anom Pujayanto Riyon Fidwar Robin Al Kautsar Robin Dos Santos Soares Rodli TL Rofiqi Hasan Roso Titi Sarkoro Rozi Kembara Rukardi Rumah Budaya Pantura (RBP) Rusmanadi S Yoga S. Jai S.W. Teofani Sabrank Suparno Sahaya Santayana Saiful Amin Ghofur Saiful Anam Sainul Hermawan Sajak Salamet Wahedi Salman S. Yoga Samsudin Adlawi Samsul Anam Sanggar Lukis Alam Sanggar Pasir Sanggar Rumah Ilalang KSII Santi Puji Rahayu Sapardi Djoko Damono Saroni Asikin Sartika Dian Nuraini Sastra dan Kuasa Simbolik Sastra Jawa Timur Satmoko Budi Santoso Saut Situmorang Sayyid Fahmi Alathas SelaSastra #24 di Boenga Ketjil Jombang SelaSastra Boenga Ketjil SelaSastra Boenga Ketjil #33 Seno Gumira Ajidarma Seno Joko Suyono Sergi Sutanto Setia Naka Andrian Shiny.ane el’poesya Sholihul Huda Sigit Susanto Sihar Ramses Simatupang Sinopsis Siti Khoeriyah Siti Muyassarotul Hafidzoh Siti Sa’adah Siwi Dwi Saputra Siwi Dwi Saputro Sjifa Amori Slamet Rahardjo Rais Soegiharto Sofyan RH. Zaid Soni Farid Maulana Sony Prasetyotomo Sosiawan Leak Spectrum Center Press Sri Weni Sri Wintala Achmad Suci Ayu Latifah Sucipto Hadi Purnomo Sudirman Sugi Lanus Sukron Ma’mun Sulaiman Djaya Sunaryono Basuki Ks Sungatno Sungging Raga Sunlie Thomas Alexander Sunu Wasono Supriyadi Surya Lesmana Suryanto Sastroatmodjo Susianna Sutardji Calzoum Bachri Sutejo Suyanto Syaf Anton Wr Syaifuddin Gani Syaiful Amin Syarif Wadja Bae Sylvianita Widyawati TanahmeraH ArtSpace Tarmuzie (1961-2019) Taufiq Ismail Taufiq Wr. Hidayat Teguh Presetyo Teguh Setiawan Teguh Winarsho AS Temu Penyair Timur Jawa Tengsoe Tjahjono Tia Setiadi Tirto Suwondo Tita Tjindarbumi Tjahjono Widarmanto Tjahjono Widijanto Toko Buku Murah PUstaka puJAngga Lamongan Tosa Poetra Tri Nurdianingsih Triyanto Triwikromo TS Pinang Tu-ngang Iskandar Tulus S Ulul Azmiyati Umar Fauzi Umar Fauzi Ballah Umar Kayam Umbu Landu Paranggi Universitas Indonesia Universitas Jember Usman Arrumy Utari Tri Prestianti Viddy AD Daery Virdika Rizky Utama W Haryanto W.S. Rendra Wahyu Prasetya Wan Anwar Wawan Eko Yulianto Wawancara Wina Bojonegoro Wita Lestari Wong Wing King Wowok Hesti Prabowo Xu Xi (Sussy Komala) Y. Thendra BP Y. Wibowo Yanusa Nugroho Yasraf Amir Piliang Yayat R. Cipasang Yohanes Sehandi Yona Primadesi Yopi Setia Umbara Yudhi Herwibowo Yudi Latif Yusri Fajar Yusuf Ariel Hakim Yuval Noah Harari Zacky Khairul Uman Zainuddin Sugendal Zamakhsyari Abrar Zawawi Se Zed Abidien Zehan Zareez Zhaenal Fanani Zubaidi Khan Zuniest