Jumat, 26 Desember 2008

Air

A Rodhi Murtadho
http://rodhi-murtadho.blogspot.com/

Air tergeletak di jalanan. Mengalirkan diri mencari pori tanah. Namun struktur pemukiman mempermainkan. Air hanya mengalir di pinggir-pinggir jalan. Mengisi lubang-lubang beraspal. Atau tergenang di tempat busuk tanpa bisa menghindar. Got-got beralas semen tak terstruktur menurun. Rata. Hanya memenuhi program tata pemukiman.

Air menanti matahari. Ingin segera menguapkan diri. Terkatung-katung tak diperhatikan kadang memuakkan. Apalagi diinjak-injak penuh kotoran. Jiwa ion positif dalam dirinya marah. Keperkasaan telah sirna. Menjadi barang buangan tak bisa menemukan kekasih, jiwa ion negatif. Turun ke bumi. Ingin segera melengkapkan diri bersama kekasih di sela-sela perut bumi.

“Air, aku kehausan!” kataku.

“Minumlah aku. Memang aku tercipta untukmu,” Air membuka mulut. Unjuk bicara. Ramah. Sopan mempersilahkan.

“Bagaimana aku bisa meminummu? Kau tampak kotor dan menjijikkan.”

“Terimalah aku apa adanya. Aku seperti ini juga ulah kalian, manusia. Perlakuan yang seenaknya dari kalian membuatku sakit hati. Aku tak bisa pergi ke tanah menemui kekasihku ion negatif. Tak bisa bercumbu rayu dan membersihkan diri. Tentu, aku merana di pemukiman ini.”

Air berusaha mengendapkan kotoran-kotoran dalam dirinya. Menyediakan diri sebersih mungkin. Tugas dijalani dengan ikhlas tanpa pamrih. Namun kotoran-kotoran seperti telah menyatu. Hanya matahari yang bisa membantu. Penguapan.

Langit masih tampak sayu. Matahari tak begitu mencolok. Keredupan tak melancarkan penguapan air. Tersendat-sendat. Setiap akan merangsek naik, terhalang oleh udara dingin yang menyapu. Mengembun dan turun lagi.

“Tindakan apa dari kami yang membuatmu sakit hati? Bahkan sampai-sampai kau merana? Sepertinya kami wajar-wajar saja memperlakukanmu.”

“Wajar, katamu! Kau bilang kalau mencemariku itu tindakan wajar? Menata pemukiman dengan daerah tanpa kemiringan? Aku bingung mau mengalir ke mana selain menggenang. Bahkan tindakan kalian membuat aku merana. Aku tak bisa bertemu kekasih. Kalian tutup daerah resapan dengan dalih pembangunan. Proyek-proyek ramah lingkungan. Hanya pada tulisan saja. Padahal tak mengindahkan tanah sebagai tujuan resapan. Jalan menemui kekasih.”

Aku bingung dengan penjabaran air yang begitu lengkap. Perbuatan yang tak pernah aku rencanakan. Memang setahuku, tindakan itu dengan dalih pembangunan. Demi kemaslahatan bersama kata para kontraktor. Memang juga sejauh aku berjalan, aku jarang menemukan tanah asli. Semua tertutup aspal atau cor-coran. Jika pun aku temukan dan kubandingkan akan memiliki perbandingan lima banding sembilan puluh lima.

“Iya, kami memang tak pernah memperhatikan itu. Padahal kami memperoleh banyak pertolongan darimu. Sementara kami tak pernah sekalipun memikirkan bagaimana memperlakukanmu layak. Mungkin kami lalai. Maafkan kami.”

“Lalai katamu! Apa hanya itu dalih penutup salah kalian. Siapa yang tak bisa mengatakan itu. Semut pun bisa. Kalau perilaku dan alasanmu seperti itu, aku akan balas dendam pada kalian.”

“Balas dendam!??”

“Ya, aku akan balas dendam. Tentu aku tak akan disalahkan. Yang disalahkan tentu kau yang mengatakan lalai itu sendiri.”

“Apa yang akan kau lakukan pada kami?”

“Aku dalam sekejab bisa memberi kalian wabah. Aku bisa mengundang kuman-kuman untuk melarut dalam diriku. Menularkan penyakit pada tubuh-tubuh manusia. Tentu akan menjadi mudah bagiku. Tubuh kalian sebagian besar tersusun dari diriku.”

“Sebegitu marahkah kau, air? Tak bisakah kau memaafkan kami. Akan aku umumkan di setiap kuping manusia untuk menjagamu. Jangan beri kami wabah yang berat. Untuk hidup saja kami merasa sudah susah.”

Kecipuk air memainkan lidahnya. Tangannya ditepuk-tepukkan ke kepalanya. Mata nyalang merah membangkit gairah dan emosi. Kaki sudah mendagur, mengoyak, dan memuncratkan dirinya. Bogem mentah disiapkan.

Ada air lain yang merembes keluar dari tanah. Pelan tak begitu deras. Namun kontinyu mengalir dari sela aspal yang sedikit berpori. Meluap mendekati air di kubangan yang mengamuk.

“Kekasihku sudah datang. Kau tahu, dia adalah ion negatif. Aku ion positif. Apapun bisa kami lakukan selama kami bersama.”

Tak ada cerucuk kata terlempar dari mulut-mulut kaku. Hanya pemandangan yang akrab. Air bertemu air dan menyatu. Aku lihat mereka bergumul. Menandaskan hasrat kangen yang menderu dalam. Menyatukan kandungan ion dalam tubuh mereka yang memang saling melengkapi. Cumbu rayu dimulai. Keringat deras makin memperbesar volume diri mereka. Kecupan dan tandas kasih mengobral panas meluberkan air kenikmatan.

“Apa yang kalian lakukan? Jangan memberikan pandangan yang bisa membuat aku iri. Aku juga memiliki kekasih namun tak bisa menyalakan api kasih dalam diri kami. Banyak bentangan yang sulit dilewati. Aku benar-benar iri. Hentikanlah.”

“Dengarlah baik-baik. Aku sudah muak dengan janji dan tipu daya manusia. Camkan itu! Aku tidak hanya akan memberikan wabah. Akan lebih dari itu. Camkan!”

“Kau akan melakukan apa lagi? Kau sudah bertemu dengan kekasihmu. Mestinya kau bahagia. Bukan malah mewujudkan dendam dalam dirimu kepada kami.”

“Dendam ini bukan hanya ada dalam diriku. Tetapi ada juga dalam diri kekasihku. Dan kami sudah sepakat akan melancarkan gerakan yang tak terduga bagi kalian, manusia. Tunggulah saatnya nanti.”

Matahari sudah membelalakkan mata. Meradiasi tuntunan sinar panas. Udara juga mempertemukannya kepada air. Hawa yang dibawa radiasi matahari, panas menyala. Seketika, sedikit demi sedikit air melayang bersama udara. Merangsek naik dalam tuturan uap air.

“Kami akan segera kembali. Tunggu saja.”

Ucapan perpisahan dari air semakin menggetarkan. Seluruh rona bulu kuduk berdiri. Ancaman yang belum terbukti namun begitu tandas terasa di depan kenyataan.

Langit hitam, mengetuk kilatan guntur dan sambaran petir. Kutukan air aku rasakan akan menjadi kenyataan. Aku mengumumkan ancaman air. Serius. Dan saling mengumumkan ancaman air sesama manusia. Namun juga saling tak mempercayai. Mereka lebih percaya pada tata ruang pemukiman. Bencana yang dijanjikan air hanya menjadi obrolan ringan di warung. Tata ruang pemukiman akan mengatasi dan menampik bencana yang dijanjikan air.

“Coba kalian dengarkan,” serius, “aku baru saja diberitahu orang yang ada di seberang itu. Katanya, kalau kita diancam air dan akan menurunkan wabah di negeri ini. Kalian tahu, hanya segenang air di trotoar yang mengatakannya ketika kutanya dia. Bukankan itu lucu. Katanya juga, kita telah membuat sengsara air. Menggunakan seenaknya tanpa memperhatikan kelestarian dan siklus air,” kata seseorang.

“Kau ini pandai bercanda, ya! Bagaimana mungkin. Air takkan bisa membunuh kita. Kalau kita memasak dan membuatnya kopi, itu enak. Wong air itu dicipta untuk kita. Terserah kita memperlakukannya seperti apa. Wong ada air kok bisa protes,” sahut seseorang di sebelahnya yang sedang menyerubut kopi di warung pinggir jalan.

Langit semakin gelap. Namun tak segera turun hujan. Angin sudah membias dingin. Ranum di balik hitam mendung. Matahari sudah tak menampakkan sinar lagi. Pagi dan malam tak ada beda. Hanya jam-jam digital menjadi penentu waktu. Patokan pagi, siang, dan malam.

Pohon-pohon menjadi layu. Tak bisa melakukan fotosintesis. Hanya kebutuhan air yang terpenuhi. Tak ada glukosa yang dihasilkan. Respirasi mereka terus saja mengeluarkan karbondioksida. Berebut oksigen dengan manusia-manusia. Lemas membuat manusia enggan bekerja. Lemas kekurangan oksigen. Bahkan sudah ada yang harus opname hanya untuk sekadar mendapat oksigen.

Langit tak menyibakkan mendung kelam. Terus melingkup. Panas matahari benar-benar tak terasa. Wabah kedinginan membuat bakteri-bakteri mencair dalam tubuh manusia. Penyakit-penyakit terus mewabah. Flu, batuk, pilek, demam, dan segala penyakit kambuhan terus meradang. Mengancam.

“Sudah sepuluh hari mendung namun tak turun hujan. Benarkah ini wabah yang dijanjikan air,” gumamku.

Doa-doa mulai disajikan. Kerukunan dijalin manusia. Tak peduli agama. Tak peduli ras. Golongan. Ataupun apapun. Perbedaan disingkirkan. Hanya ada harapan yang sama. Langit mau membukakan dirinya. Menampakkan kembali matahari.

Hari ketiga belas, langit semakin kasar memainkan petir. Rintik hujan mulai turun. Mengguyur seluruh permukaan bumi. Rasa syukur diucap bersama dalam hati, pikiran, dan ucapan. Merasa Tuhan telah mengabulkan permintaan mereka. Masih memihak dan mempercayai manusia untuk menjejakkan kaki di bumi.

Hujan mengguyur berhari-hari. Sudah tak ada yang pergi bekerja. Tak ada aktifitas berarti selain menutup genting-genting yang bocor. Membuat saluran-saluran air dadakan. Volume air terus bertambah. Hujan tak berhenti.

Khawatir kembali dirasa dalam hati, pikiran, dan ucapan. Umpatan-umpatan liar meracau di setiap telinga. Ada beberapa yang tetap melantunkan doa. Namun semua dirasa sia-sia. Volume air terus bertambah. Air mulai memasuki rumah-rumah tanpa permisi. Menggenang dan meluber di kamar-kamar peristirahatan. Tampak keruh dan kotor membawa lumpur dan sampah.

Wabah semakin menjulang tinggi jika digambar dalam grafik. Pernafasan dan kulit sudah terjangkit penyakit. Manusia-manusia sibuk mencari perlindungan dan penampungan. Bertengger di lantai-lantai atas rumah mereka. Bahkan di genting-genting. Untuk makan dan minum sangat susah. Meski air melimpah namun tak sanggup untuk menyantapnya dalam keadaan keruh dan penuh lumpur.

“Hei kau, manusia! Kau sudah tahu kekuatanku sekarang. Aku memenuhi ancamanku padamu. Sekarang apa yang hendak kau katakan padaku. Apa aku disalahkan. Tentu tidak, bukan. Banjir ini adalah ulah manusia, begitu kabar yang tersiar.”

“Ampuni kami, Air. Kami sudah tak tahan dengan berhari-hari kau tutupi matahari dengan dirimu yang menjelma menjadi awan. Kami sudah sakit. Sekarang kau beri kami banjir. Kami tambah sakit. Wabah menyerang kami dan tak tahu apa yang hendak kami lakukan terhadapmu dan diri kami sendiri.”

“Oh, ini belum seberapa. Kau lihat saja. Aku tak pernah main-main dengan ucapanku. Wabah dan derita ini akan kami tambahkan padamu. Seperti dulu kalian tak memperdulikanku ketika aku kesakitan dan menahan rindu yang teramat dalam.”

“Sudah banyak dari kami yang sakit dan meninggal dunia. Kelaparan merajalela. Kehausan di tengah air yang melimpah. Kami mohon, ampuni kami. Kehormatan dan pengakuan atas dirimu dan kekuatanmu senantiasa akan kami sanjung selalu. Kami akan melestarikan dan menjagamu.”

“Sudah terlambat. Aku sudah terlalu marah dan jengkel melihat ulah kalian.”

Air hanyut tak mengeluarkan omongan lagi. Hanya gemericik dan kecipuk air menderu. Mengalir. Menyatu dengan yang lain. Membuat pusara-pusara tak bertuan. Menjebak manusia yang melewatinya. Memutar dan memelantingkan jatuh. Membanting-banting sampai mati.

Segala yang berharga dari manusia dihanyutkan dan dihancurkan. Rumah-rumah dirobohkan dengan arus deras. Panel-panel listrik dikonsletkan. Saluran telepon dirusak. Tak ada yang disisakan utuh untuk manusia. Lumpur-lumpur diangkat dari sungai menggenangi rumah. Stok makanan dari sawah pun diludeskan tak bersisa. Hanya ada bingung di benak-benak manusia.

Bukit-bukit mulai dirambah air. Dilumerkan dan dilongsorkan. Menguburkan rumah sekaligus penghuninya. Tak ada sumber air jernih sama sekali. Darah-darah dari mayat bercucuran bersama air selain kuman dari sampah yang ditumpuk manusia. Tanggul-tanggul dijebol.

Air sepertinya tak memberi ampunan. Banyak manusia yang diuraikan kembali pada air. Dipukul dan ditendang dengan bogem raksasa. Melucuti kulit manusia sampai keluar seluruh kandungan air dalam diri manusia. Sisanya diserahkan pada binatang tanah.

“Air, bicaralah padaku. Aku mohon. Kami sudah tak sanggup lagi menerima derita yang kau ciptakan. Kami kalah. Apapun boleh kau lakukan.”

“Aku ingin membunuh orang-orang yang terlibat dalam merencanakan dan membangun tata ruang pemukiman yang tak karuan ini. Apa kau sanggup?”

“Aku termasuk menjadi salah satu pembangun tata ruang pemukiman ini yang telah direncanakan para pejabat. Bunuhlah aku yang menyebabkan derita manusia lainnya. Aku sendiri juga sudah tak tahan lagi menanggung derita ini. Lebih baik mati rasanya daripada hidup berkalang derita.”

“Kau mengakui kekalahanmu. Baiklah, aku hanya akan merobek-robek tata ruang pemukiman untuk daerah resapanku. Dan hendaknya kau kabarkan pada semua manusia agar menghormatiku dan menjagaku. Aku tak sudi lagi mendengar janji palsu. Aku ingin kalian benar-benar menjagaku.”

“Baiklah, jika itu yang kau inginkan. Akan kukabarkan pada setiap telinga manusia yang ada di muka bumi ini.”

“Dan perlu kau ingat, jika ulah kalian tetap semena-mena kepadaku, aku tak segan-segan lagi menurunkan derita yang lebih dari ini.”

Pergulatan air semakin mengarus deras. Mencakar-cakar beton yang menutupi tanah. Menghancurkannya sekali putaran. Hujan reda. Banjir surut. Matahari bersinar kembali. Udara sejuk menyapa dentuman paru-paru. Lumpur masih menyisakan warna dan kotoran. Derita masih melekat di jiwa dan benak manusia.

Surabaya, 4 Mei 2007

Tidak ada komentar:

A Rodhi Murtadho A. Ginandjar Wiludjeng A. Junianto A. Kurnia A. Qorib Hidayatullah A. Yusrianto Elga A.S Laksana A’yat Khalili Aang Fatihul Islam Abdul Azis Sukarno Abdul Aziz Rasjid Abdul Hadi WM Abdul Kadir Ibrahim Abdul Malik Abdul Razak Abdul Rosyid Abdul Wahab Abdurrahman Wahid Abu Salman Acep Iwan Saidi Acep Zamzam Noor Adam Chiefni Ade P. Nasution Adhitia Armitriant Adi Prasetyo Adrizas AF. Tuasikal Afriza Hanifa Afrizal Malna Agama Para Bajingan Agnes Rita Sulistyawaty Aguk Irawan M.N. Agus B. Harianto Agus Buchori Agus R. Sarjono Agus R. Subagyo Agus Sulton Agus Sunyoto Ahda Imran Ahid Hidayat Ahmad Baso Ahmad Faishal Ahmad Fatoni Ahmad Hasan MS Ahmad Kekal Hamdani Ahmad Khotim Muzakka Ahmad Muchlish Amrin Ahmad Naufel Ahmad Rofiq Ahmad S. Zahari Ahmad Syauqi Sumbawi Ahmad Yulden Erwin Ahmad Zaini Ahmadun Yosi Herfanda Ahsanu Nadia Aini Aviena Violeta Ainul Fiah Ajip Rosidi Akhiriyati Sundari Akhmad Muhaimin Azzet Akhmad Sekhu Akhmad Sofyan Hadi Akhmad Taufiq Akhudiat Akmal Nasery Basral Alam Terkembang Alang Khoiruddin Alex R. Nainggolan Alfian Dippahatang Ali Audah Ali Mahmudi CH Ali Rif’an Almania Rohmah Ami Herman Amien Wangsitalaja Aminah Aminullah HA.Noor Amir Sutaarga Anam Rahus Anata Siregar Andari Karina Anom Andina Dwifatma Andong Buku #3 Andre Mediansyah Andri Awan Anett Tapai Anggie Melianna Anindita S Thayf Anis Ceha Anjrah Lelono Broto Anton Bae Anton Kurnia Anton Wahyudi Anwar Nuris Ardi Bramantyo Ardus M Sawega Arie MP Tamba Arie Yani Arief Joko Wicaksono Arief Junianto Ariera Arif Bagus Prasetyo Aris Kurniawan Arman A.Z. Arswendo Atmowiloto Arti Bumi Intaran AS Sumbawi Asarpin Asep Sambodja Asmaul Fauziyah Asti Musman Atafras Awalludin GD Mualif Ayu Wulan Sari Aziz Abdul Gofar Azizah Hefni Bagus Takwin Bahrul Ulum A. Malik Balada Bale Aksara Balok Sf Bambang Kempling Bamby Cahyadi Bandung Mawardi Beni Setia Benny Arnas Benny Benke Beno Siang Pamungkas Bentara Budaya Yogyakarta Berita Berita Duka Berita Koran Bernando J Sujibto Berthold Damshauser BI Purwantari Binhad Nurrohmat Bobby Gunawan Bonari Nabonenar Brunel University London Budaya Budi Darma Budi P. Hatees Budiman S. Hartoyo Burhanuddin Bella Camelia Mafaza Catatan Cerbung Cerpen Chairul Akhmad Chamim Kohari Chavchay Syaifullah Cover Buku Cucuk Espe D. Zaini Ahmad D. Zawawi Imron Dadang Ari Murtono Dahta Gautama Daisuke Miyoshi Damhuri Muhammad Dami N. Toda Damiri Mahmud Danarto Daniel Paranamesa Danusantoso Dareen Tatour Darju Prasetya David Kuncara Denny Mizhar Denza Perdana Desi Sommalia Gustina Desiana Medya A.L Dewan Kesenian Lamongan (DKL) Dewi Indah Sari Dewi Susme Dian Sukarno Didik Harianto Didik Kusbiantoro Dina Jerphanion Dina Oktaviani Dinas Kebudayaan dan Pariwisata (Disbudpar) Jawa Timur Dipo Handoko Diyah Errita Damayanti Djoko Pitono Djoko Saryono Doddy Wisnu Pribadi Dody Kristianto Dody Yan Masfa Donny Anggoro Donny Syofyan Dorothea Rosa Herliany Dr Junaidi SS MHum Dwi Cipta Dwi Fitria Dwi Pranoto Dwi Wiyana Dyah Ratna Meta Novia Dyah Sulistyorini Ecep Heryadi Eddy Pranata PNP Edeng Syamsul Ma’arif Eep Saefulloh Fatah EH Kartanegara Eka Budianta Eka Kurniawan Eko Hendrawan Sofyan Eko Hendri Saiful Eko Windarto Elnisya Mahendra Elva Lestary Emha Ainun Nadjib Emil WE Endah Sulwesi Endo Suanda Eppril Wulaningtyas R Esai Evan Ys F. Moses F. Rahardi Fadlillah Malin Sutan Fahmi Faqih Fahrudin Nasrulloh Faisal Kamandobat Fajar Kurnianto Fanani Rahman Fanny Chotimah Fatah Anshori Fatah Yasin Noor Febby Fortinella Rusmoyo Felix K. Nesi Festival Sastra Gresik Gabriel Garcia Marquez Galang Ari P. Galuh Tulus Utama Gampang Prawoto Gandra Gupta Ganug Nugroho Adi Gerson Poyk Ghassan Kanafani Gita Nuari Gita Pratama Goenawan Mohamad Grathia Pitaloka Gunoto Saparie H.B. Jassin Habibullah Hadi Napster Hadriani Pudjiarti Halim HD Halimi Zuhdy Hamberan Syahbana Han Gagas Hanibal W. Y. Wijayanta Hardi Haris del Hakim Haris Saputra Harri Ash Shiddiqie Hartono Harimurti Hary B Kori’un Hasan Aspahani Hasan Junus Hasif Amini Hasnan Bachtiar Hasta Indriyana HE. Benyamine Hendra Junaedi Hendra Makmur Heri CS Heri Latief Heri Listianto Herman RN Herry Lamongan Heru CN Heru Nugroho Hikmat Gumelar HL Renjis Magalah Hudan Nur Hujuala Rika Ayu Huminca Sinaga IBM. Dharma Palguna Ibnu Wahyudi Ida Farida Idris Pasaribu Ignas Kleden Ignatius Haryanto Iksan Basoeky Ilham Khoiri Imam Cahyono Imam Muhtarom Imam Nawawi Imamuddin SA Iman Budhi Santosa Imron Rosyid Imron Tohari Indiar Manggara Indra Intisa Indra Tjahyadi Indra Tranggono Indrian Koto Ira Puspitaningsih Irfan Budiman Isbedy Stiawan Z.S. Iskandar Noe Iskandar Zulkarnain Ismail Marzuki Iva Titin Shovia Iwan Kurniawan Jabbar Abdullah Jafar Fakhrurozi Jalan Raya Simo Sungelebak Jamal D. Rahman Jamal T. Suryanata Javed Paul Syatha Jayaning S.A JILFest 2008 Jody Setiawan Johan Edy Raharjo Johannes Sugianto Joko Pinurbo Joko Sandur Joni Ariadinata Jual Buku Jual Buku Paket Hemat Juan Kromen Julika Hasanah Jurnalisme Sastrawi Jusuf AN Juwairiyah Mawardy Ka’bati Karanggeneng Karya Lukisan: Andry Deblenk Kasnadi Keith Foulcher Kemah Budaya Panturan (KBP) Khansa Arifah Adila Khoirul Inayah Khoirul Rosyadi Khudori Husnan Ki Ompong Sudarsono Kirana Kejora Komplek Gor Kamantren Paciran Lamongan Komunitas Deo Gratias Komunitas Sastra Ilalang Indonesia Korrie Layun Rampan Kostela Kritik Sastra Kukuh S Wibowo Kurnia Effendi Kurniawan Kuswaidi Syafi'ie L.N. Idayanie Laili Rahmawati Lamongan Lan Fang Langgeng Widodo Lathifa Akmaliyah Leila S. Chudori Lely Yuana Lembaga Pengembangan Pembelajaran dan Penjaminan Mutu (LP3M) Universitas Jember Liestyo Ambarwati Khohar Lina Kelana Linda Sarmili Liza Wahyuninto Lucia Idayanie Lukman A Sya Lutfiah Lynglieastrid Isabellita M Arman AZ M Ismail M Thobroni M. Afifuddin M. Arwan Hamidi M. Lukluk Atsmara Anjaina M. Lutfi M. Luthfi Aziz M. Nurdin M. Yoesoef M.D. Atmaja M.S. Nugroho Mahendra Cipta Mahmud Jauhari Ali Mahmud Syaltut Usfa Mahmudi Arif Dahlan Malam Apresiasi Seni Tanahmerah Ponorogo Malkan Junaidi Maman S. Mahayana Mardi Luhung Marhalim Zaini Martin Aleida Maruli Tobing Mas Ruscita Mashuri Masuki M. Astro Matroni Matroni Muserang Media: Crayon on Paper Membongkar Mitos Kesusastraan Indonesia MG. Sungatno Mh Zaelani Tammaka Mia Arista Mia El Zahra Mikael Johani Misbahus Surur Misran Mohamad Ali Hisyam Mohammad Eri Irawan Much. Khoiri Muh. Muhlisin Muhammad Al-Fayyadl Muhammad Amin Muhammad Aris Muhammad Muhibbuddin Muhammad Rain Muhammad Taufiqurrohman Muhammad Yasir Muhammad Zuriat Fadil Muhammadun Muhammadun AS Muhidin M Dahlan Mujtahid Mujtahidin Billah Mukti Sutarman Espe Mulyadi SA Mulyosari Banyuurip Ujungpangkah Gresik Munawir Aziz Musfarayani Musfi Efrizal Nafisatul Husniah Nandang Darana Naskah Teater Nelson Alwi Ni Made Purnamasari Nikmatus Sholikhah Nina Herlina Lubis Nina Susilo Ning Elia Noor H. Dee Noval Jubbek Novel-novel berbahasa Jawa Novelet Nunuy Nurhayati Nur Azizah Nur Hamzah Nur Kholiq Nurdin Kalim Nurel Javissyarqi Nurul Aini Nurul Anam Nurul Komariyah Nuryana Asmaudi SA Nyoman Tusthi Eddy Obrolan Okty Budiati Orasi Budaya Akhir Tahun 2018 Otto Sukatno CR Oyos Saroso H.N. Pagan Press Pagelaran Musim Tandur Palupi Panca Astuti Parimono V / 40 Plandi Jombang Pawang Surya Kencana PDS H.B. Jassin Petrus Nandi Politik Politik Sastra Pradana Boy ZTF Pramoedya Ananta Toer Pramono Pringadi AS Prof Dr Fabiola D. Kurnia Prosa Puisi Puji Santosa Puji Tyasari Puput Amiranti N Purnawan Andra Purnawan Kristanto Pusat Dokumentasi Sastra H.B. Jassin Pustaka Ilalang Group PUstaka puJAngga Putu Wijaya Qaris Tajudin R. Ng. Ronggowarsito Rachmad Djoko Pradopo Radhar Panca Dahana Rahmat Kemat Hidayatullah Rahmat Sularso Nh Rakai Lukman Rakhmat Giryadi Rasanrasan Boengaketji Raudal Tanjung Banua Redland Movie Reiny Dwinanda Resensi Rialita Fithra Asmara Ribut Wijoto Riki Dhamparan Putra Riki Utomi Ririe Rengganis Risang Anom Pujayanto Riyon Fidwar Robin Al Kautsar Robin Dos Santos Soares Rodli TL Rofiqi Hasan Roso Titi Sarkoro Rozi Kembara Rukardi Rumah Budaya Pantura (RBP) Rusmanadi S Yoga S. Jai S.W. Teofani Sabrank Suparno Sahaya Santayana Saiful Amin Ghofur Saiful Anam Sainul Hermawan Sajak Salamet Wahedi Salman S. Yoga Samsudin Adlawi Samsul Anam Sanggar Lukis Alam Sanggar Pasir Sanggar Rumah Ilalang KSII Santi Puji Rahayu Sapardi Djoko Damono Saroni Asikin Sartika Dian Nuraini Sastra dan Kuasa Simbolik Sastra Jawa Timur Satmoko Budi Santoso Saut Situmorang Sayyid Fahmi Alathas SelaSastra #24 di Boenga Ketjil Jombang SelaSastra Boenga Ketjil SelaSastra Boenga Ketjil #33 Seno Gumira Ajidarma Seno Joko Suyono Sergi Sutanto Setia Naka Andrian Shiny.ane el’poesya Sholihul Huda Sigit Susanto Sihar Ramses Simatupang Sinopsis Siti Khoeriyah Siti Muyassarotul Hafidzoh Siti Sa’adah Siwi Dwi Saputra Siwi Dwi Saputro Sjifa Amori Slamet Rahardjo Rais Soegiharto Sofyan RH. Zaid Soni Farid Maulana Sony Prasetyotomo Sosiawan Leak Spectrum Center Press Sri Weni Sri Wintala Achmad Suci Ayu Latifah Sucipto Hadi Purnomo Sudirman Sugi Lanus Sukron Ma’mun Sulaiman Djaya Sunaryono Basuki Ks Sungatno Sungging Raga Sunlie Thomas Alexander Sunu Wasono Supriyadi Surya Lesmana Suryanto Sastroatmodjo Susianna Sutardji Calzoum Bachri Sutejo Suyanto Syaf Anton Wr Syaifuddin Gani Syaiful Amin Syarif Wadja Bae Sylvianita Widyawati TanahmeraH ArtSpace Tarmuzie (1961-2019) Taufiq Ismail Taufiq Wr. Hidayat Teguh Presetyo Teguh Setiawan Teguh Winarsho AS Temu Penyair Timur Jawa Tengsoe Tjahjono Tia Setiadi Tirto Suwondo Tita Tjindarbumi Tjahjono Widarmanto Tjahjono Widijanto Toko Buku Murah PUstaka puJAngga Lamongan Tosa Poetra Tri Nurdianingsih Triyanto Triwikromo TS Pinang Tu-ngang Iskandar Tulus S Ulul Azmiyati Umar Fauzi Umar Fauzi Ballah Umar Kayam Umbu Landu Paranggi Universitas Indonesia Universitas Jember Usman Arrumy Utari Tri Prestianti Viddy AD Daery Virdika Rizky Utama W Haryanto W.S. Rendra Wahyu Prasetya Wan Anwar Wawan Eko Yulianto Wawancara Wina Bojonegoro Wita Lestari Wong Wing King Wowok Hesti Prabowo Xu Xi (Sussy Komala) Y. Thendra BP Y. Wibowo Yanusa Nugroho Yasraf Amir Piliang Yayat R. Cipasang Yohanes Sehandi Yona Primadesi Yopi Setia Umbara Yudhi Herwibowo Yudi Latif Yusri Fajar Yusuf Ariel Hakim Yuval Noah Harari Zacky Khairul Uman Zainuddin Sugendal Zamakhsyari Abrar Zawawi Se Zed Abidien Zehan Zareez Zhaenal Fanani Zubaidi Khan Zuniest