Jumat, 26 Desember 2008

Mayat yang Hidup Kembali

Gita Nuari
http://www.suarakarya-online.com/

Aku masuk ke dalam tubuh orang yang sudah mati. Orang-orang yang sedang berkerumun mengajikan sesosok jenazah tak melihat aku masuk ke dalam tubuh yang sudah terbaring kaku itu. Kemudian aku bangkit. Orang-orang yang sedang mengaji itu sontak berdiri lalu berlarian keluar rumah.

"Bang Rojak hidup lagi! Bang Rojak hidup lagiii!" Teriak beberapa orang yang panik berlarian keluar dari rumah Bang Rojak yang baru saja meninggal. Seorang ustadz yang ada di dalam rumah itu mengurungkan niatnya untuk ikut lari keluar. Ustadz Romli justru balik badan dan menghampiri mayat Bang Rojak yang kubuat duduk bersila.

"Assalamualaikum," sapa ustadz Romli memberanikan diri.
"Walaikumsalam," sahutku dari dalam mayat itu.

Lalu kami bertatapan. Tampak ustadz Romli ada sedikit rasa takut juga saat mataku tak berkedip menatap dirinya yang duduk bersila dihadapanku.

"Alhamdulillah, Allah telah mengembalikan hidupmu kembali, Rojak. Kamu tadi telah mati suri selama beberapa jam," kata ustadz Romli.

Siapa yang mati suri? Renungku di hati. Aku nyaris tertawa. Aku tahu mayat yang kumasuki ini sudah mati beberapa jam yang lalu dan aku baru tahu kalau mayat yang kumasuki ini bernama Rojak sewaktu orang-orang berlarian keluar rumah menyebut namanya.

"Rojak, bersyukurlah kamu pada Allah karena kamu masih diberi kesempatan untuk memperbaiki cara hidupmu dan menghapus dosa-dosamu selama kamu hidup di dunia ini," lanjut ustadz Romli. Aku tak enak diam saja. Maka akhirnya aku pura-pura mengangguk.
"Sebutlah alhamdulillah, lalu istighfarlah," perintah ustadz Romli kemudian.
"Alhamdulillah Astaghfirullah," sebutku dengan agak terbata-bata.
"Subbahanallah," ustadz Romli menyambungnya.
Tanpa diperintah aku tiba-tiba berdiri. Ustadz Romli terkejut.
"Mau ke mana?" tanya ustadz Romli sambil ikut berdiri.
"mau keluar"
"Jangan dulu. Tenagamu belum fit benar."
"Saya mau keluar," sahutku agak tegas.
"baik-baik, tapi saya temani ya?"
"Tidak usah," kataku.
"Nanti orang-orang" ustadz Romli tak meneruskan ucapannya.
"Kenapa orang-orang?"
"Nanti orang-orang pada takut, Rojak!"
"Takut kenapa?"
Ustadz Romli tak menjawab.
"Justru mereka harus menerima kehadiran saya kembali, Pak ustadz," kataku berpikir seolah-olah diriku Rojak yang asli.

Aku berjalan keluar rumah dengan menggunakan tubuh Rojak yang sudah mati itu yang diikuti oleh ustadz Romli. Untuk sekali ini aku biarkan ustadz Romli mengikutiku kemana aku pergi. Orang-orang yang tadi pagi pada mengaji didepan jenazah Rojak, tampak saling himpit dibalik pintu rumah mereka yang setengah terbuka untuk melihat sosok Rojak yang hidup kembali.

Salah seorang penduduk kampung itu memberanikan diri menemui ustadz Romli yang berjalan dibelakangku.
"Pak ustadz, gimana nih, kuburannya sudah selesai digali!" Aku mendengar orang itu bicara.
"Uruk saja lagi," bisik ustadz Romli dengan menyorongkan mulutnya ke telinga si penggali kubur.
"Kain kafannya gimana juga, Pak ustadz?"
"Simpan saja untuk persiapan kalau-kalau ada warga kita yang meninggal!"

Si penggali kubur itu mengangguk. Aku mendengar perbincangan mereka selanjutnya. Dan akhirnya aku tahu kalau Rojak semasa hidupnya sering membuat onar di kampung ini. Dia pemeras, peminum dan ringan tangan. Tiada orang yang berani padanya. Aku merasa salah masuk. Bukan yang begini jasad orang mati yang ingin kumasuki. Tapi biarlah. Akan kucoba merubah pandangan orang terhadap Rojak yang selama hidupnya sangat tak disukai oleh penduduk kampung ini.

Setelah seharian aku berjalan mengitari kampung yang amat kumuh itu, aku kembali ke rumah Rojak yang kosong melompong. Konon istri Rojak telah dicerainya dan kini tinggal bersama orang tuanya di kampung sebelah. Sedang anaknya yang semata wayang itu tak pernah kembali pulang ke rumah setelah jadi petinju di ibukota.
Aku masuk ke rumah Rojak sendirian karena ustadz Romli pergi ke mushola. Untuk mengumandangkan azan maghrib.

Kampung yang kukitari tadi siang sangatlah tidak sehat. Got-got mampet, air limbah cucian mengalir ke jalan-jalan. Sampah berserakan di mana-mana. Di setiap gang, banyak pepohon yang sudah rimbun tak dipangkas. Mushola pucat karena lama tak dicat. Masih banyak lagi yang perlu pembenahan agar kampung ini dapat terlihat asri dan sehat.

Pagi hari aku mulai bergerak merapihkan saluran pembuangan air dari depan rumah Rojak sampai melewati puluhan rumah penduduk. Orang-orang yang dulunya tahu Rojak amat pemalas dan tak peduli pada lingkungan, kali ini melihatnya berubah seratus delapanpuluh derajad. Rojak yang mahal senyum, kali ini kubuat murah senyum. Dan selalu kusapa setiap orang yang kupapasi. Setelah saluran air lancar, aku pangkas pepohon yang rimbun agar tak membuat gelap pemandangan. Sampah-sampahnya kubakari. Para pemiliknya tak berani melarang karena mereka tahu sifat Rojak yang buruk jika keinginannya dihalangi. Bahkan ada yang mengira Rojak jadi sakit jiwa setelah batal mati.

Malam harinya aku cat mushola. Setelah itu aku cat juga sisi-sisi gang dengan cat putih. Kemudian aku beri penerang di setiap sudut gang. Dari pak RW, pak RT, ustadz Romli dan hampir semua penduduk kampung itu pada merasa aneh melihat Rojak yang sekarang ini dengan sosok Rojak yang dulu dikenalnya. Sampai ada yang bilang, Rojak sekarang gila pembangunan! Orang sehat saja belum tentu mau berbuat seperti itu! Bermacam komentar tentang Rojak bermunculan.

"Hai, si pemabuk itu benar-benar telah insaf setelah hidup kembali!" teriak salah seorang preman yang tak lain adalah teman Rojak semasa Rojak hidup.

"Wah, kampung kita sekarang seperti Hollywood!" balas seorang anak muda yang sudah siap-siap mengumpulkan teman-temannya untuk pesta miras di sebuah pos ronda yang telah kusulap seperti sebuah kafe mungil.
Saat mereka telah mulai minum-minum, aku datang menjambanginya.

"Wah, kita kedatangan Bang Rojak yang jago minum nih! Ayo sini Bang, bergabung bersama kami!" ajak salah seorang dari mereka. Aku turuti tawarannya. Aku ambil dua botol bir yang sudah dibuka tutupnya. "Ambil Bang. Ayo tenggak!" tawar seorang pemuda yang bernama Junet. Aku angkat dua botol bir itu tinggi-tinggi. Tepat di atas kepala mereka botol itu langsung kuremas. Botol bir yang masih berisi penuh itu pecah berkeping-keping dan isi minumannya mengguyur kepala mereka semua. Mereka terkejut. Mereka murka. "Dasar gila! Apa-apaan sih, lu?" bentak teman Junet.

"Kalianlah yang apa-apaan di pos ronda ini!" kataku sambil melempar sisa pecahan botol ke dinding pos ronda. Kelompok pemuda itu tak terima. Mereka mengeroyokku dengan berbagai senjata tajam yang selalu mereka bawa. Aku mudah saja menangkis serangan mereka yang membabi buta itu. Setelah mereka kulumpuhkan, satu demi satu kulempar ke dalam got. Golok, clurit serta obeng, aku bengkok-bengkokkan di depan mata mereka. Akhirnya mereka lari kocar-kacir.

Seminggu dari kejadian itu, kampung yang kubenahi jadi semakin heboh. Namun orang-orang yang pernah merasa dirugikan oleh Rojak cs dulu, kali ini berbalik senang dan tenang dengan keadaan Rojak yang kubuat seperti itu. Orang-orang yang kerjanya selalu pulang malam tak merasa takut lagi karena lingkungannya telah berubah jadi aman. Tenang dan damai. Mereka yang tadinya tak berani pulang malam jadi berani jika melalui jalan itu.

"Dulu kami takut jika harus pulang malam lewat jalan ini, Bang Rojak. Kami sering dijegal. Apalagi teman-teman Abang, sering kasar kalau meminta!" kata salah seorang warga.
"Itu dulu, sekarang tidak' kan?" kataku.

"Iya sudah tidak. Terima kasih, Bang Rojak" ucap warga kampung itu serempak.

Aku tinggalkan mereka kembali pulang ke rumah Rojak. Di sepanjang jalan, aku melihat anak-anak riang gembira bermain di bawah lampu jalan yang terang menderang. Para pasangan suami istri pada menggelar tikar di teras rumahnya saling bercengkerama dengan tetangga sebelahnya sambil mencicipi hidangan goreng-gorengan serta wedang jahe yang mereka buat. Mereka amat menikmati bulan purnama di halaman rumahnya masing-masing. Mushola jadi ramai dipakai mengaji setelah bada isya oleh anak-anak sampai usia remaja yang diasuh oleh ustadz Romli.

Ustadz Romli pernah bilang padaku, ia amat bersyukur atas kesadaran diriku (Rojak yang dia maksud) setelah hidup kembali dari mati suri. "Kampung ini sangat membutuhkan orang seperti kamu, Rojak. Yang terbelakang, yang tertinggal selesai kamu benahi. Semua sektor yang perlu pembenahan dan perbaikan sudah terlaksana dan terwujud. Semua warga berterima kasih padamu."

Aku hanya tersenyum mendengar ustadz Romli bicara. Ini baru mayat Rojak seorang preman yang kumasuki. Bagaimana para pejabat yang korup kumasuki jiwanya agar bertobat dan berbuat baik seratus delapanpuluh derajad? Mungkin rakyat akan makmur. Karena sudah pasti, kekayaannya akan kubagi-bagi ke seluruh penduduk yang miskin. Tunggu saja. Kalau tuhan sudah menghendaki, apapun bisa terjadi. Itu pikirku.

Menjelang subuh, sebelum ustadz Romli muncul di mushola untuk mengumandangkan azan subuh, aku lebih dulu mengumandangkannya. Selesai azan, aku duduk bersimpuh di atas sajadah. Diam-diam aku keluar dari jasad Rojak dan terbang ke atas menuju bulan purnama yang masih membulat di pagi menjelang subuh itu. Tak lama Ustadz Romli muncul. Ia terkejut Rojak sudah mengumandangkan azan subuh padahal waktu subuh kurang lima menit. Tapi tak apalah, pikir ustadz Romli.

Dikarenakan azan Rojak menggema ke mana-mana pagi itu, akhirnya para jamaah yang hendak melaksanakan shalat subuh datang lebih awal dari biasanya untuk shalat subuh berjamaah di mushola itu. Saat komat diucapkan oleh salah seorang jamaah tanda akan dimulainya shalat subuh, Rojak tetap dalam posisi sujud. Para jamaah tak berani membangunkan Rojak. Akhirnya ustadz Romli yang menghampiri Rojak. Saat tangan ustadz Romli menyentuh pundak Rojak, tiba-tiba tubuh Rojak rubuh ke lantai. Para jamaah terkejut. Ustadz Romli memeriksa jantung dan pergelangan tangan Rojak.

"Innalillahiwainnalillahi'rojiun" suara ustadz Romli pelan.
"Ada apa dengan Bang Rojak, Pak Ustadz?" tanya salah seorang jamaah.
"Rojak meninggal lagi!"
"Innalillahiwainnalillahi'rojiuun"serempak para jamaah mengucap.

Jenazah Rojak kemudian dibaringkan di lantai mushola. Ustadz Romli mengajak para jamaah untuk melaksanakan shalat subuh terlebih dahulu sebelum mengurus jenazah Rojak. Setelah selesai shalat barulah ustadz Romli memberi tugas kepada mereka yang ada di dalam mushola.

"Sebagian ambil Al Qur'an, baca didepan jenazahnya. Dan kamu, Mat. Gali lagi kuburan yang tempo hari kamu uruk. Jangan lupa juga, kain kafan yang kamu simpan bawa ke sini!"

Akhirnya warga kampung itu dibuat sibuk lagi, dibuat panik lagi. Aku melihat keheranan di mata mereka juga termasuk ustadz Romli. Sampai ia berpikir, apa bakal hidup lagi si Rojak ini? Ustadz Romli geleng-geleng di dalam hati.

Aku berumah di dalam bulan purnama. Bersila memandang ke bumi yang mulai terang. Baru aku tinggal dua tahun kampung itu, ternyata suasananya di kampung itu kembali seperti sediakala. Tak ada yang bisa merawat, tak ada yang peduli lingkungan. Kampung jadi kumuh. Kumuh lingkungan, kumuh pemikiran. Semua mementingkan diri sendiri. Hanya satu-dua orang seperti ustadz Romli, lainnya menjelma srigala. Serakah dalam urusan apa saja. Entah mayat siapa lagi yang pantas kumasuki untuk berbuat sesuatu. Bisa diteladani oleh mereka yang masih hidup. Bisa menjaga dan merawatnya setelah aku pergi? Aku tak yakin.***

@ Jakarta, September 2008

CERPEN INDONESIA KONTEMPORER

Maman S. Mahayana
http://mahayana-mahadewa.com/

Dalam perjalanan sastra Indonesia, periode pasca-reformasi merupakan masa paling semarak dan luar biasa. Kini, karya-karya sastra terbit seperti berdesakan dengan tema dan pengucapan yang beraneka ragam. Faktor utama yang memungkinkan sastra Indonesia berkembang seperti itu, tentu saja disebabkan oleh perubahan yang sangat mendasar dalam sistem pemerintahan. Kehidupan pers yang terkesan serbabebas-serbaboleh ikut mendorong terjadinya perkembangan itu. Maka, kehidupan sastra Indonesia seperti berada dalam pentas terbuka. Di sana, para pemainnya seolah-olah boleh berbuat dan melakukan apa saja.

Dibandingkan puisi, novel, dan drama, cerpen Indonesia pada paroh pertama pasca-reformasi mengalami booming. Cerpen telah sampai pada jatidirinya. Ia tak lagi sebagai selingan di hari Minggu. Kini, cerpenis dipandang sebagai profesi yang tak lebih rendah dari novelis atau penyair. Cerpenis tak diperlakukan sebagai orang yang sedang belajar menulis novel. Kondisi ini dimungkinkan oleh beberapa faktor berikut:

Pertama, kesemarakan media massa –suratkabar dan majalah—telah membuka ruang yang makin luas bagi para cerpenis untuk mengirimkan karyanya. Di sana, rubrik cerpen mendapat tempat yang khas. Cerpen ditempatkan sama pentingnya dengan rubrik lain. Bahkan, di surat-surat kabar minggu, ia seperti sebuah keharusan. Di situlah tempat cerpen bertengger dan menyapa para pembacanya. Maka, hari Minggu adalah hari cerpen.

Bayangkanlah, setiap minggu kita dihadapkan pada ratusan cerpen yang mengisi lembaran koran Minggu. Di pelosok kota di Indonesia, cerpen masuk ke ruang publik dengan bebasnya. Pembaca disuguhi beragam pilihan. Dalam kondisi overproduksi itu, menyeruak pula sejumlah antologi cerpen. Ketika kita sedang menimang-nimang isi kocek dan tuntutan kebutuhan lain, muncul lagi antologi cerpen yang lain. Mereka datang susul-menyusul. Penerbitan buku antologi cerpen, seperti berlomba dengan penerbitan novel dan buku lain.

Kedua, adanya kegiatan lomba menulis cerpen, memungkinkan cerpen tak hanya berada di hari Minggu, tetapi juga pada event atau peristiwa tertentu. Majalah Horison setiap tahun menyelenggarakan lomba penulisan cerpen. Begitupun Diknas, Pusat Bahasa atau lembaga lain yang juga melakukan kegiatan serupa. Sejak 1992, harian Kompas memulai tradisi baru dengan memilih cerpen terbaik dan memberi penghargaan khusus untuk penulisnya. Kegiatan ini mengangkat kedudukan cerpen dalam posisi yang istimewa.

Ketiga, terbitnya Jurnal Cerpen yang diasuh Joni Ariadinata, dkk. serta adanya Kongres Cerpen yang diselenggarakan berkala dalam dua tahun sekali –di Yogyakarta (1999), Bali (2001), Lampung (2003), dan kongres mendatang di Pekanbaru (November 2005), berhasil mengangkat citra cerpen secara lebih terhormat. Kegiatan itu sekaligus untuk menyosialisasikan keberadaan cerpen sebagai bagian dari kegiatan sastra. Bersamaan dengan itu, usaha sejumlah penerbit melakukan semacam perburuan naskah cerpen untuk diterbitkan, memberi harga dan martabat cerpen tampak lebih baik dibandingkan keadaan sebelumnya.

Meskipun posisi cerpen berada dalam keadaan yang begitu semarak dan memperoleh tempat istimewa, dalam hal regenerasi boleh dikatakan belum cukup signifikan. Masalahnya, secara substansial sejumlah cerpenis muda yang muncul belakangan, harus diakui, belum menunjukkan usahanya mengusung sebuah gerakan estetik yang kemudian menjadi sebuah mainstream. Arus besar cerpen Indonesia pascareformasi masih tetap didominasi nama-nama lama yang memang telah menjadi ikon cerpen Indonesia kontemporer. Cerpen Indonesia mutakhir masih tetap tak dapat menenggelamkan sejumlah nama yang muncul justru sebelum terjadi reformasi, seperti Budi Darma, Hamsad Rangkuti, Kuntowijoyo, Danarto, dan sederet panjang nama lain yang tergolong pemain lama. Mereka masih tetap menjadi bagian penting dalam peta cerpen Indonesia pascareformasi. Jadi, cerpenis lama dan baru, kini bertumpukan, semua ikut menyemarakkan peta cerpen Indonesia.
***

Bagaimana dengan kemunculan cerpenis baru dalam peta cerpen Indonesia? Memang ada geliat yang tak dapat diabaikan. Martin Aleida misalnya, mengangkat tema korban politik bagi mereka yang terlibat PKI. Tetapi Martin termasuk pemain lama. Setidaknya ia sudah matang sebelum terjadi reformasi. Maka, ketika terbit Leontin Dewangga (2003), kita terkejut bukan karena ia sebagai pendatang baru, melainkan pada hasratnya mengangkat tema yang tak mungkin muncul pada zaman Orde Baru. Dari sudut itu, ia telah memperkaya tema cerpen Indonesia. Kasus Martin Aleida tentu berbeda dengan Linda Christanty yang juga sebenarnya termasuk pemain lama. Antologinya, Kuda Terbang Maria Pinto (2004) seolah-olah memperlihatkan ketergodaannya pada model dan style yang sedang semarak pada saat itu. Pengabaian latar tempat dengan permainan pikiran malah seperti sengaja membuyarkan unsur lain –yang dalam kerangka strukturalisme justru menempati posisi yang sama penting. Style itu memang pilihannya, dan Linda telah memilih cara itu.

Pendatang baru yang cukup menjanjikan muncul atas nama Eka Kurniawan. Karya pertamanya, antologi cerpen Corat-Coret di Toilet (2000) mula hadir kurang meyakinkan. Tetapi ketika novelnya Cantik itu Luka (2002) terbit yang ternyata mengundang kontroversi, namanya mulai diperhitungkan. Setelah itu terbit pula novel kedua, Lelaki Harimau (2004) yang memamerkan kepiawaian melakukan eksperimen. Dalam antologi cerpen yang terbit belakangan, Cinta tak Ada Mati (2005), Eka belum kehilangan semangat eksperimentasinya. Cerpen yang berjudul “Bau Busuk” menunjukkan kesungguhan Eka melakukan eksperimen.

Azhari, cerpenis kelahiran Aceh adalah pendatang baru yang lain lagi. Cerpennya, “Yang Dibalut Lumut” yang menjadi Juara Pertama Lomba Penulisan Cerpen Festival Kreativitas Pemuda, Depdiknas—Creative Writing Institute memperlihatkan kekuatannya dalam mengungkap kepedihan rakyat Aceh yang terjepit dalam konflik bersenjata antara aparat keamanan (: TNI) dan Gerakan Aceh Merdeka. Ia juga berhasil menyajikan sebuah potret kultural dan tradisi rakyat Aceh yang tidak dapat dipisahkan dari kehidupan keseharian masyarakat di sana. Antologi cerpen pertamanya, Perempuan Pala (2004) memperlihatkan sosok Azhari yang matang dalam memandang persoalan Aceh dalam tarik-menarik sejarah dan kebudayaannya yang agung dengan kondisi sosial dan politik yang menimpa rakyat Aceh yang justru menebarkan luka dan kepedihan. Boleh jadi antologi ini merupakan potret yang merepresentasikan kegelisahan masyarakat Aceh dalam tarik-menarik itu.

Dengan kekuatan narasi yang hampir sama, Raudal Tanjung Banua hadir meyakinkan. Antologi cerpennya, Pulau Cinta di Peta Buta (2003), Ziarah bagi yang Hidup (2004), dan Parang tak Berulu (2005) menunjukkan perkembangan kepengarangannya yang makin kuat. Lihat saja, cerpennya ““Cerobong Tua Terus Mendera” terpilih sebagai penerima Anugerah Sastra Horison 2004. Cerpen yang lain, “Tali Rabab” termasuk 15 cerpen terbaik dalam sayembara itu. Salah satu kekuatan Raudal adalah narasinya yang sanggup menciptakan suasana peristiwa begitu intens, metaforis, dan asosiatif. Pembaca dibawa masuk ke dunia entah-berantah. Lalu, tiba-tiba merasa ikut menjadi saksi peristiwa yang diangkat cerpen itu.

Sejumlah nama cerpenis lain yang kelak menjadi sastrawan penting Indonesia, dapat disebutkan beberapa di antaranya: Teguh Winarsho (Bidadari BersayapBelati, 2002), Hudan Hidayat (Orang Sakit, 2001; Keluarga Gila, 2003) Maroeli Simbolon (Bara Negeri Dongeng, 2002; Cinta Tai Kucing, 2003), Satmoko Budi Santoso (Jangan Membunuh di Hari Sabtu, 2003), Mustofa W Hasyim (Api Meliuk di Atas Batu Apung, 2004), Kurnia Effendi (Senapan Cinta, 2004; Bercinta di Bawah Bulan, 2004), Moh. Wan Anwar (Sepasang Maut, 2004), Yusrizal KW (Kembali ke Pangkal Jalan, 2004), Isbedy Stiawan (Perempuan Sunyi, 2004; Dawai Kembali Berdenting, 2004), Triyanto Triwikromo (Anak-Anak Mengasah Pisau, 2003), Damhuri Muhammad (Laras, Tubuhku bukan Milikku, 2005). Keseluruhan antologi itu menunujukkan kekuatan narasi yang lancar mengalir dan kedalaman tema yang diangkatnya. Dalam lima tahun ke depan, mereka akan ikut menentukan perkembangan sastra Indonesia.

Selain nama-nama itu, cerpenis wanita yang muncul dalam lima tahun terakhir ini, juga tidak dapat diabaikan kontribusinya. Selain Linda Christanty, masih ada deretan cerpenis wanita yang sebenarnya lebih kuat dan matang. Oka Rusmini (Sagra, 2002), Djenar Maesa Ayu (Mereka Bilang Saya Monyet, 2002; Jangan Main-Main (dengan Kelaminmu, 2004), Maya Wulan (Membaca Perempuanku, 2002), Intan Paramadhita (Sihir Perempuan, 2005), Nukila Amal (Laluba, 2005), Weka Gunawan (Merpati di Trafalgar Square, 2004), Labibah Zain (Addicted to Weblog: Kisah Perempuan Maya, 2005), Ucu Agustin (Kanakar, 2005), Evi Idawati (Malam Perkawinan, 2005). Mereka berpeluang mengikuti jejak seniornya, Nh Dini, Titis Basino, Leila S. Chudori, Ratna Indrswari Ibrahim atau Abidah el-Khalieqy.

Yang menarik dari karya cerpenis perempuan ini adalah semangatnya melakukan gugatan. Tokoh-tokoh perempuan yang dalam banyak karya para penulis laki-laki kerap menjadi korban dan tersisih, dalam karya para penulis perempuan itu, justru cenderung berada dalam posisi yang sebaliknya. Tokoh laki-laki kerap digambarkan tersisih dan kalah sebagai pecundang di bawah kekuasaan perempuan. Selain itu, mereka juga begitu berani mengangkat perkara seks untuk membungkus pesan ideologi jendernya.
***

Deretan panjang nama-nama lain yang kerap muncul di hari Minggu, patut pula mendapat perhatian. Tentu dengan melihat daya tahan dan konsistensinya mempertahankan kualitas dan kontribusi mereka bagi pemerkayaan khazanah cerpen Indonesia mutakhir. Akhirnya, seperti sinyalemen Budi Darma, dalam keadaan overproduksi, pengamatan cerpen Indonesia mutakhir dengan analisis yang mendalam, tak mungkin dapat dilakukan dalam rentang waktu yang pendek. Kita sekarang ini seperti sedang berhadapan dengan air bah yang bernama cerpen Indonesia kontemporer dan kita hanyut terseret dalam gelombang besar deras arusnya.

*) Pengajar Fakultas Ilmu Pengetahuan Budaya, UI, Depok.

KIAT UNIK MENULIS ALA MAMAN S. MAHAYANA

Sutejo*
http://thereogpublishing.blogspot.com/

Tujuh tahun berkenalan dengan seseorang adalah waktu yang pendek jika jarak membentang, tetapi jadi waktu yang panjang kala hati tertali dalam hubungan guru-murid. Begitulah, barangkali hal menarik yang dapat penulis petik ketika mengenalnya. Ia selalu memberikan motivasi, mendorong etos untuk berbuat, dan tak jarang “memberi” pujian. Begitulah selalu. Tetapi tidak jarang, lelaki itu langsung memberikan kritik ketika ada kekurangan yang menurutnya adalah kelemahan.

Pada tanggal 11/6/08 ketika ia mengenalkan penulis dengan seorang peneliti dari Malasyia, dia langsung komentar, “Kritik ya! Kalau berhadapan dengan orang kita tak perlu takut. Semua orang sama. Mereka belum tentu lebih pinter dari kita. Tegak dan sigap, katanya.” Bagi, penulis hal itu kritik konstruktif yang saya sambut dengan lapang dada. Dua lelaki Malasyia itu adalah Prof. Datuk Abdul Latif Abu Bakar dan Prof. Abdullah Zakaria bin Ghazali (Universitas Malaya Kuala Lumpur). Hal itu, terjadi di sebuah seminar internasional di Jakarta. Dan, lelaki “sang guru” itu adalah Maman S. Mahayana (Universitas Indonesia).

Apa yang menarik dipetik dari pengalaman Maman? Lelaki ini lebih dikenal sebagai kritikus sastra yang telah begitu banyak menulis buku diantaranya 9 Jawaban Sastra (2005), Bermain-main dengan Cerpen (2006), Ekstrinsikalitas Karya Sastra (2007). Dalam menulis kritik, misalnya, hal yang sering dikatakan adalah: (a) jangan banyak menggunakan istilah asing (b) pergunakan bahasa yang sederhana tetapi bermakna, (c) jangan bombastis, dan (d) lakukan secara tajam dan argumentatif.

Empat hal ini seperti pigura yang senantiasa memberikan batas atas gagasan dalam berekspresi. Esai, yang kemudian, banyak saya tekuni –terus terang— ada kecenderungan untuk menerjemahkan pesan sang Maman. Yang oleh beberapa mahasiswa, ia sering dipanggil sang Dewa Mahayana. Hal itu paralel dengan teori fungsionalisasi yang sering disarang Budi Darma dalam penampingan kepenulisan pada para mahasiswa. Bahwa segala sesuatu dalam deret kalimat “harus” berfungsi. Karena itu, kalau bisa diungkapkan 5 kalimat mengapa harus 15 kalimat? Begitulah barangkali jika diungkapkan secara oratoris. Untuk ini, memang kejernihan dalam berbahasa merupakan sebuah kunci penting. Demikian atas teori tertentu yang dipergunakan dalam sebuah esai, misalnya, tidak boleh bombastis. Secukupnya.

Di sinilah, sesungguhnya dalam penulisan esai, memang, yang dibutuhkan adalah eksplorasi, impresi, dan investigasi yang mendalam. Gaya tentunya tidak terikat. Sebagaimana sifat esai yang pribadi, maka kekhasan tulisan yang “tidak terikat” merupakan pilihan yang tepat. Sebuah esai, karena itu, dituntut kompetensi bidang yang andal di samping kejelian dalam mengajinya. Inilah, pesan terdalam yang sering dipesankan Maman dalam penulisan ulasan berupa esai.

Selama ini, dalam berbagai pelatihan penulisan fiksi, Maman S. Mahayana mengilustrasikan kemampuan dasar yang penting dimiliki calon penulis. Kemampuan dasar itu mencakup diantaranya: (a) mendeskripsikan ruang dan tempat, (b) mendeskripsikan profil, (c) menarasikan peristiwa, (d) merangkai kejadian, (e) melatihkan gaya cerita, (f) membuat potongan kisah, (g) melukiskan karakter, dan sebagainya. Kemampuan dasar dalam penulisan fiksi seringkali merupakan faktor yang perlu dimiliki. Logikanya, hal-hal itu akan menjadi bahan penting dalam pembangunan kemampuan kreatif selanjutnya. Cerpen yang baik, misalnya, kata Maman mutlak menuntut kemampuan pembuatan seting yang menarik. Karena hal itu merupakan hal pertama. Ia mencohtohkan Ahmad Tohari, seorang novelis yang kuat dalam penulisan setting. Mau tidak mau, memang, setting akan berandil atas karakter tokoh yang dipilihnya.

Karena itu, jika Anda pengin menulis fiksi tentunya pesan-pesan ini tidak boleh diabaikan. Kekokohan totalitas cerita karena itu, mau tidak mau, ditentukan oleh kekokohan aspek-aspen pembangunnya. Baru setelah itu, kemengaliran dalam penceritaan. Ibarat alir air, sebuah cerita mampu mengantarkan aliran imajinasi seakan-akan pembaca arus dalam geraknya. Kalaupun tokoh bercakap, seakan tokoh hidup dalam pikiran yang diciptakannya. Dalam bahasa Budi Darma, dengan alat demikian, tokoh akan bisa hidup (bercahaya?) lewat pikiran dan bahasa yang digunakannya dalam dialog.

Lebih dari itu, hal lain yang penting Anda miliki adalah pentingnya kebiasaan membaca. Membaca, kata Maman, adalah ruang dialog, ruang berbagi, dan ruang pemodelan. Bagaimana akan menulis cerpen kalau tidak tahu cerpen. Di sinilah, ukuran pertama-tama setelah orang mampu membedakan karakter cerpen (termasuk yang baik dan buruk), baru akan terjadi proses transformasi pengetahuan secara tidak langsung. Cerpen yang baik, katanya, tokohnya tidak harus banyak. Tetapi inspiratif dan menggerakkan imaji pembaca.

Pada tengah Juni 2008 lalu, hal itu juga diungkapkan pada penyair Nurel Javissyarqi (asal Lamongan). Lelaki kurus yang bukan pendidik (karena alergi keberaturan pola guru) itu terus-menerus terjebak dalam ruang diskusi. Apakah kemudian karya itu baik atau tidak, tentunya akan terus bisa diperdebatkan. Hanya, yang penting dipahami adalah dalam menulis maupun memahami teks sastra ada tiga kode menarik yang perlu direnungkan: (a) kode bahasa, (b) kode budaya, dan (c) kode sastra. Penguasaan penulis dalam menulis teks sastra, tentunya mutlak menguasai ketiganya.

Kode bahasa akan menuntun pada ketepatan dan keruntuntan, termasuk kejernihan dalam berbahasa. Kode budaya akan menggiring penulis pada kemampuan membuat imajinasi pembaca lewat pilihan kata yang berbudaya, mencerminkan konteks sosial, dan lain sebagainya. Di sini, penulis merupakan bagian dari struktur budaya itu sendiri, dan karenannya pilihan bahasa itu pun dengan sendirinya merupakan simbol kebudayaan sosial masyarakatnya. Dalam menampilkan tokoh-tokohnya, misalnya, tokoh tidak boleh tercerabut dalam “koridor budaya” ini. Baik secara bahasa maupun kemungkinan simbol-simbol budaya yang melingkarinya. Sedangkan, kode sastra mengingatkan kita bahwa tulisan sastra bukanlah bahasa biasa. Tetapi bahasa indah estetik yang memberikan ruang imajinasi, ruang bayang hingga terawang angan pembaca yang terus alirkan pikiran bimbang. Artinya, teks sastra memang bukanlah menyuguhkan kebenaran mutlak. Tetapi, pemaknaan yang terus berproses dan berulang sehingga kebenaran yang ditawarkan pun bersifat implisit.

Maman, barangkali termasuk sedikit orang yang sabar dalam meberikan pengantar para penulis muda. Melalui bahasa yang kadang “bombastis” untuk menggali motivasi yang diantarkannya sesungguhnya selalu ada bahasa komunikasi penting yang menarik untuk direfleksikan. Ditawar ulang. Tugas kritikus, katanya, memberikan ruang dialog, membuka pintu, dan membukakan jendela estetis. Sejauh dan sedapat mungkin. Kritikus sastra bukanlah pembunuh kreativitas tetapi penumbuh dan penggali keestetikan yang –barangkali pula—masih terpendam.

Bagaimanapun, lanjutnya, menulis dan berkesenian membutuhkan latihan yang terus-menerus. Mengapa? Jika Anda penulis (terlebih calon penulis) berhenti berlatih adalah kemandekan. Kemandekan artinya kepuasan. Padahal dunia kepenulisan adalah dunia alir air laut yang terus bergulung dan berombak. Kepenulisan terus-menerus mengalami pendakian sesekali, tetapi mengalami penurunan pula dalam kala yang berbeda. Artinya, latihan (dan pembacaan atas teks-teks terbaik) merupakan ruang pemodelan kreatif yang menarik untuk dilatihkan. Ini sama sekali bukan berarti pemasungan kreatif, tetapi lebih dari itu, adalah ruang tinju untuk membangkitkan nyali tak henti untuk meniti. Jalan kepenulisan adalah titian hati dai satu sisi dan di sisi lain adalah titian pikir. Memadukan keduanya adalah butuh kearifan kreatif –yang seringkali—antar penulis bersifat unik.

Bagaimana dengan Anda? Meminjam bahasa motivasi, berlatih adalah saat penemuan diri, dan berlatih pula adalah kala berdoa. Pasrah atas hasil yang diungkapkan bersifat gerak menerima dan berubah. Untuk itu, berlatihlah untuk menemukan style diri, bahasa pengucapan, sehingga akan menjadi pesona pada saatnya.
***

*) Pernah dimuat di Ponorogo Pos.

Air

A Rodhi Murtadho
http://rodhi-murtadho.blogspot.com/

Air tergeletak di jalanan. Mengalirkan diri mencari pori tanah. Namun struktur pemukiman mempermainkan. Air hanya mengalir di pinggir-pinggir jalan. Mengisi lubang-lubang beraspal. Atau tergenang di tempat busuk tanpa bisa menghindar. Got-got beralas semen tak terstruktur menurun. Rata. Hanya memenuhi program tata pemukiman.

Air menanti matahari. Ingin segera menguapkan diri. Terkatung-katung tak diperhatikan kadang memuakkan. Apalagi diinjak-injak penuh kotoran. Jiwa ion positif dalam dirinya marah. Keperkasaan telah sirna. Menjadi barang buangan tak bisa menemukan kekasih, jiwa ion negatif. Turun ke bumi. Ingin segera melengkapkan diri bersama kekasih di sela-sela perut bumi.

“Air, aku kehausan!” kataku.

“Minumlah aku. Memang aku tercipta untukmu,” Air membuka mulut. Unjuk bicara. Ramah. Sopan mempersilahkan.

“Bagaimana aku bisa meminummu? Kau tampak kotor dan menjijikkan.”

“Terimalah aku apa adanya. Aku seperti ini juga ulah kalian, manusia. Perlakuan yang seenaknya dari kalian membuatku sakit hati. Aku tak bisa pergi ke tanah menemui kekasihku ion negatif. Tak bisa bercumbu rayu dan membersihkan diri. Tentu, aku merana di pemukiman ini.”

Air berusaha mengendapkan kotoran-kotoran dalam dirinya. Menyediakan diri sebersih mungkin. Tugas dijalani dengan ikhlas tanpa pamrih. Namun kotoran-kotoran seperti telah menyatu. Hanya matahari yang bisa membantu. Penguapan.

Langit masih tampak sayu. Matahari tak begitu mencolok. Keredupan tak melancarkan penguapan air. Tersendat-sendat. Setiap akan merangsek naik, terhalang oleh udara dingin yang menyapu. Mengembun dan turun lagi.

“Tindakan apa dari kami yang membuatmu sakit hati? Bahkan sampai-sampai kau merana? Sepertinya kami wajar-wajar saja memperlakukanmu.”

“Wajar, katamu! Kau bilang kalau mencemariku itu tindakan wajar? Menata pemukiman dengan daerah tanpa kemiringan? Aku bingung mau mengalir ke mana selain menggenang. Bahkan tindakan kalian membuat aku merana. Aku tak bisa bertemu kekasih. Kalian tutup daerah resapan dengan dalih pembangunan. Proyek-proyek ramah lingkungan. Hanya pada tulisan saja. Padahal tak mengindahkan tanah sebagai tujuan resapan. Jalan menemui kekasih.”

Aku bingung dengan penjabaran air yang begitu lengkap. Perbuatan yang tak pernah aku rencanakan. Memang setahuku, tindakan itu dengan dalih pembangunan. Demi kemaslahatan bersama kata para kontraktor. Memang juga sejauh aku berjalan, aku jarang menemukan tanah asli. Semua tertutup aspal atau cor-coran. Jika pun aku temukan dan kubandingkan akan memiliki perbandingan lima banding sembilan puluh lima.

“Iya, kami memang tak pernah memperhatikan itu. Padahal kami memperoleh banyak pertolongan darimu. Sementara kami tak pernah sekalipun memikirkan bagaimana memperlakukanmu layak. Mungkin kami lalai. Maafkan kami.”

“Lalai katamu! Apa hanya itu dalih penutup salah kalian. Siapa yang tak bisa mengatakan itu. Semut pun bisa. Kalau perilaku dan alasanmu seperti itu, aku akan balas dendam pada kalian.”

“Balas dendam!??”

“Ya, aku akan balas dendam. Tentu aku tak akan disalahkan. Yang disalahkan tentu kau yang mengatakan lalai itu sendiri.”

“Apa yang akan kau lakukan pada kami?”

“Aku dalam sekejab bisa memberi kalian wabah. Aku bisa mengundang kuman-kuman untuk melarut dalam diriku. Menularkan penyakit pada tubuh-tubuh manusia. Tentu akan menjadi mudah bagiku. Tubuh kalian sebagian besar tersusun dari diriku.”

“Sebegitu marahkah kau, air? Tak bisakah kau memaafkan kami. Akan aku umumkan di setiap kuping manusia untuk menjagamu. Jangan beri kami wabah yang berat. Untuk hidup saja kami merasa sudah susah.”

Kecipuk air memainkan lidahnya. Tangannya ditepuk-tepukkan ke kepalanya. Mata nyalang merah membangkit gairah dan emosi. Kaki sudah mendagur, mengoyak, dan memuncratkan dirinya. Bogem mentah disiapkan.

Ada air lain yang merembes keluar dari tanah. Pelan tak begitu deras. Namun kontinyu mengalir dari sela aspal yang sedikit berpori. Meluap mendekati air di kubangan yang mengamuk.

“Kekasihku sudah datang. Kau tahu, dia adalah ion negatif. Aku ion positif. Apapun bisa kami lakukan selama kami bersama.”

Tak ada cerucuk kata terlempar dari mulut-mulut kaku. Hanya pemandangan yang akrab. Air bertemu air dan menyatu. Aku lihat mereka bergumul. Menandaskan hasrat kangen yang menderu dalam. Menyatukan kandungan ion dalam tubuh mereka yang memang saling melengkapi. Cumbu rayu dimulai. Keringat deras makin memperbesar volume diri mereka. Kecupan dan tandas kasih mengobral panas meluberkan air kenikmatan.

“Apa yang kalian lakukan? Jangan memberikan pandangan yang bisa membuat aku iri. Aku juga memiliki kekasih namun tak bisa menyalakan api kasih dalam diri kami. Banyak bentangan yang sulit dilewati. Aku benar-benar iri. Hentikanlah.”

“Dengarlah baik-baik. Aku sudah muak dengan janji dan tipu daya manusia. Camkan itu! Aku tidak hanya akan memberikan wabah. Akan lebih dari itu. Camkan!”

“Kau akan melakukan apa lagi? Kau sudah bertemu dengan kekasihmu. Mestinya kau bahagia. Bukan malah mewujudkan dendam dalam dirimu kepada kami.”

“Dendam ini bukan hanya ada dalam diriku. Tetapi ada juga dalam diri kekasihku. Dan kami sudah sepakat akan melancarkan gerakan yang tak terduga bagi kalian, manusia. Tunggulah saatnya nanti.”

Matahari sudah membelalakkan mata. Meradiasi tuntunan sinar panas. Udara juga mempertemukannya kepada air. Hawa yang dibawa radiasi matahari, panas menyala. Seketika, sedikit demi sedikit air melayang bersama udara. Merangsek naik dalam tuturan uap air.

“Kami akan segera kembali. Tunggu saja.”

Ucapan perpisahan dari air semakin menggetarkan. Seluruh rona bulu kuduk berdiri. Ancaman yang belum terbukti namun begitu tandas terasa di depan kenyataan.

Langit hitam, mengetuk kilatan guntur dan sambaran petir. Kutukan air aku rasakan akan menjadi kenyataan. Aku mengumumkan ancaman air. Serius. Dan saling mengumumkan ancaman air sesama manusia. Namun juga saling tak mempercayai. Mereka lebih percaya pada tata ruang pemukiman. Bencana yang dijanjikan air hanya menjadi obrolan ringan di warung. Tata ruang pemukiman akan mengatasi dan menampik bencana yang dijanjikan air.

“Coba kalian dengarkan,” serius, “aku baru saja diberitahu orang yang ada di seberang itu. Katanya, kalau kita diancam air dan akan menurunkan wabah di negeri ini. Kalian tahu, hanya segenang air di trotoar yang mengatakannya ketika kutanya dia. Bukankan itu lucu. Katanya juga, kita telah membuat sengsara air. Menggunakan seenaknya tanpa memperhatikan kelestarian dan siklus air,” kata seseorang.

“Kau ini pandai bercanda, ya! Bagaimana mungkin. Air takkan bisa membunuh kita. Kalau kita memasak dan membuatnya kopi, itu enak. Wong air itu dicipta untuk kita. Terserah kita memperlakukannya seperti apa. Wong ada air kok bisa protes,” sahut seseorang di sebelahnya yang sedang menyerubut kopi di warung pinggir jalan.

Langit semakin gelap. Namun tak segera turun hujan. Angin sudah membias dingin. Ranum di balik hitam mendung. Matahari sudah tak menampakkan sinar lagi. Pagi dan malam tak ada beda. Hanya jam-jam digital menjadi penentu waktu. Patokan pagi, siang, dan malam.

Pohon-pohon menjadi layu. Tak bisa melakukan fotosintesis. Hanya kebutuhan air yang terpenuhi. Tak ada glukosa yang dihasilkan. Respirasi mereka terus saja mengeluarkan karbondioksida. Berebut oksigen dengan manusia-manusia. Lemas membuat manusia enggan bekerja. Lemas kekurangan oksigen. Bahkan sudah ada yang harus opname hanya untuk sekadar mendapat oksigen.

Langit tak menyibakkan mendung kelam. Terus melingkup. Panas matahari benar-benar tak terasa. Wabah kedinginan membuat bakteri-bakteri mencair dalam tubuh manusia. Penyakit-penyakit terus mewabah. Flu, batuk, pilek, demam, dan segala penyakit kambuhan terus meradang. Mengancam.

“Sudah sepuluh hari mendung namun tak turun hujan. Benarkah ini wabah yang dijanjikan air,” gumamku.

Doa-doa mulai disajikan. Kerukunan dijalin manusia. Tak peduli agama. Tak peduli ras. Golongan. Ataupun apapun. Perbedaan disingkirkan. Hanya ada harapan yang sama. Langit mau membukakan dirinya. Menampakkan kembali matahari.

Hari ketiga belas, langit semakin kasar memainkan petir. Rintik hujan mulai turun. Mengguyur seluruh permukaan bumi. Rasa syukur diucap bersama dalam hati, pikiran, dan ucapan. Merasa Tuhan telah mengabulkan permintaan mereka. Masih memihak dan mempercayai manusia untuk menjejakkan kaki di bumi.

Hujan mengguyur berhari-hari. Sudah tak ada yang pergi bekerja. Tak ada aktifitas berarti selain menutup genting-genting yang bocor. Membuat saluran-saluran air dadakan. Volume air terus bertambah. Hujan tak berhenti.

Khawatir kembali dirasa dalam hati, pikiran, dan ucapan. Umpatan-umpatan liar meracau di setiap telinga. Ada beberapa yang tetap melantunkan doa. Namun semua dirasa sia-sia. Volume air terus bertambah. Air mulai memasuki rumah-rumah tanpa permisi. Menggenang dan meluber di kamar-kamar peristirahatan. Tampak keruh dan kotor membawa lumpur dan sampah.

Wabah semakin menjulang tinggi jika digambar dalam grafik. Pernafasan dan kulit sudah terjangkit penyakit. Manusia-manusia sibuk mencari perlindungan dan penampungan. Bertengger di lantai-lantai atas rumah mereka. Bahkan di genting-genting. Untuk makan dan minum sangat susah. Meski air melimpah namun tak sanggup untuk menyantapnya dalam keadaan keruh dan penuh lumpur.

“Hei kau, manusia! Kau sudah tahu kekuatanku sekarang. Aku memenuhi ancamanku padamu. Sekarang apa yang hendak kau katakan padaku. Apa aku disalahkan. Tentu tidak, bukan. Banjir ini adalah ulah manusia, begitu kabar yang tersiar.”

“Ampuni kami, Air. Kami sudah tak tahan dengan berhari-hari kau tutupi matahari dengan dirimu yang menjelma menjadi awan. Kami sudah sakit. Sekarang kau beri kami banjir. Kami tambah sakit. Wabah menyerang kami dan tak tahu apa yang hendak kami lakukan terhadapmu dan diri kami sendiri.”

“Oh, ini belum seberapa. Kau lihat saja. Aku tak pernah main-main dengan ucapanku. Wabah dan derita ini akan kami tambahkan padamu. Seperti dulu kalian tak memperdulikanku ketika aku kesakitan dan menahan rindu yang teramat dalam.”

“Sudah banyak dari kami yang sakit dan meninggal dunia. Kelaparan merajalela. Kehausan di tengah air yang melimpah. Kami mohon, ampuni kami. Kehormatan dan pengakuan atas dirimu dan kekuatanmu senantiasa akan kami sanjung selalu. Kami akan melestarikan dan menjagamu.”

“Sudah terlambat. Aku sudah terlalu marah dan jengkel melihat ulah kalian.”

Air hanyut tak mengeluarkan omongan lagi. Hanya gemericik dan kecipuk air menderu. Mengalir. Menyatu dengan yang lain. Membuat pusara-pusara tak bertuan. Menjebak manusia yang melewatinya. Memutar dan memelantingkan jatuh. Membanting-banting sampai mati.

Segala yang berharga dari manusia dihanyutkan dan dihancurkan. Rumah-rumah dirobohkan dengan arus deras. Panel-panel listrik dikonsletkan. Saluran telepon dirusak. Tak ada yang disisakan utuh untuk manusia. Lumpur-lumpur diangkat dari sungai menggenangi rumah. Stok makanan dari sawah pun diludeskan tak bersisa. Hanya ada bingung di benak-benak manusia.

Bukit-bukit mulai dirambah air. Dilumerkan dan dilongsorkan. Menguburkan rumah sekaligus penghuninya. Tak ada sumber air jernih sama sekali. Darah-darah dari mayat bercucuran bersama air selain kuman dari sampah yang ditumpuk manusia. Tanggul-tanggul dijebol.

Air sepertinya tak memberi ampunan. Banyak manusia yang diuraikan kembali pada air. Dipukul dan ditendang dengan bogem raksasa. Melucuti kulit manusia sampai keluar seluruh kandungan air dalam diri manusia. Sisanya diserahkan pada binatang tanah.

“Air, bicaralah padaku. Aku mohon. Kami sudah tak sanggup lagi menerima derita yang kau ciptakan. Kami kalah. Apapun boleh kau lakukan.”

“Aku ingin membunuh orang-orang yang terlibat dalam merencanakan dan membangun tata ruang pemukiman yang tak karuan ini. Apa kau sanggup?”

“Aku termasuk menjadi salah satu pembangun tata ruang pemukiman ini yang telah direncanakan para pejabat. Bunuhlah aku yang menyebabkan derita manusia lainnya. Aku sendiri juga sudah tak tahan lagi menanggung derita ini. Lebih baik mati rasanya daripada hidup berkalang derita.”

“Kau mengakui kekalahanmu. Baiklah, aku hanya akan merobek-robek tata ruang pemukiman untuk daerah resapanku. Dan hendaknya kau kabarkan pada semua manusia agar menghormatiku dan menjagaku. Aku tak sudi lagi mendengar janji palsu. Aku ingin kalian benar-benar menjagaku.”

“Baiklah, jika itu yang kau inginkan. Akan kukabarkan pada setiap telinga manusia yang ada di muka bumi ini.”

“Dan perlu kau ingat, jika ulah kalian tetap semena-mena kepadaku, aku tak segan-segan lagi menurunkan derita yang lebih dari ini.”

Pergulatan air semakin mengarus deras. Mencakar-cakar beton yang menutupi tanah. Menghancurkannya sekali putaran. Hujan reda. Banjir surut. Matahari bersinar kembali. Udara sejuk menyapa dentuman paru-paru. Lumpur masih menyisakan warna dan kotoran. Derita masih melekat di jiwa dan benak manusia.

Surabaya, 4 Mei 2007

Minggu, 21 Desember 2008

AIDS

Putu Wijaya
http://putuwijaya.wordpress.com/

“Momok yang pernah paling ditakuti adalah AIDS,” kata Ami memberikan ceramah, di depan sejumlah ibu kampung. “Keadaan kehilangan kekebalan pada manusia itu sampai sekarang belum ada obatnya.

Disepakati dunia sebagai pembunuh kejam akibat percaulan seks bebas. Akibat berganti-ganti pasangan dan melakukan hubungan seksual yang tidak wajar, khususnya di kalangan kaum homo. Penularannya yang lewat hubungan kelamin dan darah itu, kemudian merebak ke seluruh aktivitas manusia.

Tranfusi darah, jarum suntik dan kemudian di klinik gigi antara lain, menggerus manusia yang tidak pernah melakukan kontak jasmani aneh-aneh. Bayi yang tak berdosa pun tak urung langsung terlahir mengidap AIDS.”

“Tapi sesuai dengan pepatah, alah bisa karena biasa,”lanjut Ami menyambung ceramahnya, “karena terlalu sering didengung-dengungkan, telinga kita sendiri menjadi tebal dan tuli. Bahaya itu semakin lama semakin akrab dan akhirnya sekarang sudah tidak menakutkan lagi.

Dulu siapa yang mengidap AIDS, akan dikucilkan bahkan ditembaki kalau mau berhubungan dengan masyarakat. Sekarang malah diundang berceramah, agar masyarakat sadar bahwa orangnya tidak berbahaya, kecuali berhubungan badan atau darah kita kecipratan darahnya. Yang paling ditakuti sekarang sudah ganti dengan wajah baru. Ibu-ibu tahu apa itu?”

Para ibu yang mendengarkan ceramah tidak menjawab. Ami curiga sebagian besar nampaknya tidak mendengarkan apa yang sudah ia provokasikan. Mereka sibuk memikirkan bagaimana mencicil pel penghambat ketuaan yang ditawarkan oleh seorang ibu yang gencar menawarkan produk multi level.

“Sekarang yang paling berbahaya, yang nomor satu ditakuti, yang paling mengancam kita, bukan lagi HIV, bukan lagi AIDS, bukan lagi kehilangan kekebalan tubuh tetapi kehilangan kedudukan. Semua orang Indonesia sekarang takut kehilangan kursi.

Kehilangan jabatan bukan hanya berarti kehilangan kehormatan dan kekuasaan, juga kehilangan kesejahteraan. Kedudukan sekarang sudah identik dengan uang. Tanpa kedudukan, orang akan bangkrut dan mati.

Karena itu mereka yang sedang menjabat dengan berbagai cara berusaha untuk mempertahankan kursinya. Bila perlu dengan cara melawan hukum. Moral kita sudah jatuh.

Itulah penyakit yang lebih membunuh dari kehilangan kekebalan, karena bukan hanya satu orang akan mati akibat tidak kebal, tetapi tetapi seluruh bangsa, 220 juta manusia akan lenyap karena tidak punya rasa yang bersih lagi. Terimakasih!”

Ibu-ibu bertepuk tangan gembira dan gegap gempita. Seakan-akan mendapat siraman kesejukan setelah lelah dihajar muntahan kata-kata Ami yang hampir satu jam itu.

Semuanya mengucapkan selamat. Mereka memuji-muji kepasihan Ami dalam berbicara, juga karena dadanan dan rambutnya yang menarik. Tapi setelah itu mereka merubung ibu yang membawa pel penghambat ketuaan itu.

Dengan loyo Ami pulang ke rumah.

“Kenapa keok seperti itu?” tanya Amat menyambut. “Apa ceramahmu gagal, Ami?”
” Dari awal saya tahu akan gagal. Tetapi yang paling menyakitkan adalah karena tidak seorang pun yang memprotes ketika Ami bilang bahwa AIDS itu tidak berbahaya lagi.”

Amat terkejut.

“Kamu bilang begitu?”
“Ya.”

Mata Amat semakin membelalak.

“Kenapa? Apa kamu kesleo? Kalau ucapan salah kan bisa diralat waktu itu juga?”
“Bukan kesleo! Ami mengucapkan secara sadar bahkan berapi-api!”

Amat bengong.

“Aduh. Kenapa jadi bisa begitu?”

“Karena nyatanya memang begitu! HIV, AIDS memang nomor satu sebagai pembunuh manusia. Tetapi kemerosotan akhlak yang menyebabkan seluruh bangsa kita kehilangan karakter, tidak punya harga diri, tidak punya rasa malu, tidak peduli kepada kemanusiaan, seenaknya saja melakukan pelanggaran hukum demi keuntungan diri dan golongannya, adalah pembunuh yang akan menghancurkan 220 juta manusia sekaligus. Itu lebih berbahaya seribu kali daripada AIDS!”

Amat terhenyak.

“Maksudmu bangsa kita sudah kehilangan harga diri?”
“Bukan hanya itu, tetapi kehilangan otak, karena semuanya ingin hidup enak! Itu sudah melumpuhkan kita seribu kali lebih cepat dati AIDS!”

Amat memandang tajam Ami.

“Ami!”
“Dan mereka semuanya percaya lalu bertepuk tangan memuji-muji!”
“O ya?”
“Ya! Malah ada yang menyindir, dasar anak Pak Amat! Apa nggak sakit!”

Muka Amat bersemu merah.

“Mereka bilang begitu?”
“Ya. Ami kan jadi malu!”

Amat mengangguk-ngangguk. Seperti membayangkan bagaimana para ibu kampung itu menyalami anaknya.

“Wah, itu sangat dalam Ami!”
“Apa?”

“Bagaimana mereka tidak akan memujimu, kalau dalam usia semuda kamu, yang belum menikah, cantik lagi, kamu kok menyadari penyakit apa yang sedang mengancam keselamatan kita sebagai bangsa! Kamu hebat. Bapak bangga kamu sudah mengatakan itu! Selamat!”

Amat langsung menepuk-nepuk pundak Ami. Lalu bergegas keluar, hendak menemui para ibu yang mengikuti ceramah, untuk mendengar sendiri secara langsung, pujian mereka kepada Ami.

Ami kebingungan. Ia memandangi Amat seperti melihat hantu.

“Kenapa Ami. Bapakmu ngomong apa?” tanya Bu Amat menghampiri.

Ami menggeleng-gelengkan kepalanya.

“Kenapa? Kamu sakit?”

“Ya. Ternyata benar. Semua orang sekarang sudah mengkaitkan segala-galanya dengan politik. Bukan hanya ibu-ibu itu saja, Bapak juga sama saja. Masak Bapak senang sekali waktu saya katakan bahwa AIDS dan HIV tidak lebih berbahaya dari krisis moralitas yang sedang menimpa bangsa kita sekarang.

AIDS sudah dianggap enteng, yang paling penting sekarang bagaimana mencari kedudukan, karena itu berarti duit! Bagaimana kita akan memberantas AIDS yang semakin merebak bahkan di Bali ini, kalau pikiran kita sudah dikacaukan oleh politik terus?”

Bu Amat tersenyum.

“Kalau begitu, benar juag komentar ibu-ibu itu, isi ceramahmu bagus sekali.”
“Apa?”

“Mereka umumnya menangkap apa yang ingin kamu katakan, bukan yang kamu katakan Ami. Hanya saja karena orang sederhana, mereka tak mampu mengucapkannya, atau memberi komentar seperti yang kamu inginkan, ya paling banter mereka hanya bilang kamu cantik.”

Sajak-Sajak Dahta Gautama

http://www.lampungpost.com/
MENGGAMBAR ANGIN

mari hikmati bunyi angin
yang berputar di pucuk alang-alang.
ada yang terlempar dari waktu
yang terus meranggas.
Serupa hujan dan malam
ada hantu yang tak memiliki kaki
dan engkau terlempar dirimbunan angin
waktu terus berputar
dan janji yang telah kita ucapkan
disuatu senja
menjadi cerita basi.
mari menggambar angin
ketika sesungguhnya, hidup sekadar
menelusuri jejak gerimis

Lampung, 2008



MATI

Engkau tak pernah memahami arti
bunyi angin di halaman rumahmu.
Engkau juga tak pernah bisa memahami
makna taman yang gelap tak berlampu.
kunang-kunang, kelelawar dan lengkingan
anjing tak terdengar.
Engkau tak mungkin paham
bahwa tuhan pernah tak ada.

Lampung, April 2007



BELATI DI JAKARTA

Kau torehkan belati di pipiku
sebagai kenang-kenangan bahwa kita
pernah bertemu dan bersahabat
di Tanah Abang.
Aku menjadi bromocorah
karena ibu mengutukku.
tapi aku tak pernah menjelma batu.
Sampai pada suatu malam penuh angin
kita jumpa di Bongkaran
ketika itu kita bertengkar soal Tuti
pelacur yang ketiaknya beraroma kantil.
kita tak pernah peduli, ternyata Tuti
bukan perempuan Madura
rasanya pun biasa-biasa saja.
Engkau pernah bercerita
tentang kampung. ayahmu cuma
petani kembang hias. ibumu mati, sebelum usiamu lima belas.
Kau terlalu banyak bercerita dan aku tak
bisa mengingatnya. akhirnya kita berpisah.
Kau bawa Tuti dan aku bawa bekas belati.

Lampung, April 2007



MENYUSURI GERIMIS

Bersama angin, aku menyusuri
gerimis petang.
Jam-jam berloncatan
tetapi basah ini tak pernah
sudi memahami duka-duka.
Aku menulis sajak tentang
burung gereja. yang tertembak
senapan anak-anak.
Ah. sepanjang malam aku mesti
mengurung diri di runtuhan
sisa hujan. sambil menggambar
warna gerimis, senapan dan burung gereja

Lampung, April 2007



DUNIA SUNYI (2)

Suaramu terdengar meringkih
di telingaku.
menelusup di kedalaman matamu.
Aku tahu, tak ada yang lebih
nyawa dari sekadar bertanya kepada
jejak sejarah kita yang telah hilang
di trotoar itu.
Engkau sesungguhnya telah menjadi
bangkai
dan sunyi memiliki mata
serupa pisau
dihujamkan olehmu
berkali-kali di ulu hatiku

Lampung, 2008



DUNIA SUNYI (3)

Kupu-kupu di kebun mawar
gerimis turun disepanjang malam.
aku sudah lupa
bahwa, untuk mempersuntingmu
aku mesti bersenggama dengan sunyi
yang berdesis di kelopak bibirmu.
Kita, akan merintih bersama, Savitri
sambil memangku cahaya bulan
yang bolong di kelambu kita.

Lampung, 2008

Sajak-Sajak Yopi Setia Umbara

http://www.lampungpost.com/
Surat untuk Seorang Aktris
:Utami Aditiawardani

Utami, jika kesunyian selalu menjemput
lalu menyeretmu pada ruang-ruang murung
dari keriangan panggung drama
yang membuatmu merasakan denyut kehidupan
izinkanlah aku menjagamu agar tetap riang
aku rela menyaksikanmu berperan sebagai apa pun
dalam naskah semesta yang sulit kubaca
juga rumit kumengerti ini
melihatmu menikmati hidup sebagai aktris drama
yang menjiwai rupa-rupa peran, sudah cukup bagiku
aku tak pernah menginginkan apa pun darimu
selain turut mencintai yang kau sukai
kesetiaanmu menempuh jalan drama, Utami
akan mengajariku rupa-rupa mimik, perasaan,
juga gestur segala duka bahagia manusia
begitulah, aku tak menonton rupa dan tubuhmu saja
dan jika kau kemudian pura-pura mencintaiku
sebagai penghayatan peran utama sang pecinta
aku masih tetap menyukaimu
seperti kau tahu hidup sudah sangat dramatis

2008



Seribu Bulan Malam

aku yang terhimpit ketegangan langit
mencoba memahami keheningan
dari seribu bulan yang memancar
pada sorot matamu, malam

2008



Dari Terang Ke Remang

ketika orang-orang bergegas pulang
untuk menumpahkan istirah dari terang
di mana keriuhan memburu
ke remang semua mulai bergerak perlahan
dan seakan dirancang sembunyi-sembunyi
hingga yang terdengar adalah suara samar
di kamar petang yang jadi tempat ternyaman
bagi perayaan segala gelisah paling langit

2008



Kepada Kekasih Hujan

jika tiba musimnya
hujan tak mau reda sebelum seribu tahun
memaksa sungai-sungai di tubuhku meluap
lalu menggenangi seluruh kota hatiku
yang pengap oleh rumah-rumah kenangan
dan bangunan-bangunan ingatan baru
di sana aku menggigil sedih, kekasih
melihat sajak-sajakku basah tak berdaya

2008

Sajak-Sajak Jafar Fakhrurozi

http://www.lampungpost.com/
Lelaki dengan Tubuh Cemas
: Lasya

lelaki itu, berjalan dalam mimpi
dari matanya percik-percik api mengalir
bagai sungai di musim kemarau, sepi
sebuah pagi adalah doa kekalahan
diayun langkah-langkah tipis dan cemas
di antara sajadah waktu tubuhnya debu
di dadanya menggumpal siasat
bahwa sekian abad yang hilang
bukanlah tidur kita yang panjang
maka percayalah, kelak tepi hari baik itu
di mana malam turun tanpa hujan
meminang petang terang benderang

Am, 2008



Rumah Gawir*

rumah ini, tempat kami sembunyi
dari raung mesin yang asing
di tepi gawir punclut yang resah
melesat jalan yang tajam
di sana iring-iringan pejalan
sabar mengukur sejuta tangga
orang-orang kerap terpeleset
gadis-gadis remaja yang manja
menggelar sahwat di dadanya
sepanjang wangi yang berhembus
kita tak henti-henti bermimpi
mengawininya sepanjang malam
saat malam, kami berbincang
tentang siang yang membakar
lalu kami ramalkan revolusi
sambil mengintip orang-orang
melintas pulang. lihatlah itu
tubuh-tubuh luruh ditelan subuh!

Am, 2008

*Gawir: Jurang (bahasa Sunda)



Perpisahan

walau peperangan hebat itu
masih mengiang menyergap batinku
aku masih terus terjaga usai kau pergi
menyusun malam jadi puisi untukmu
melukis pagi jadi matahari hidupmu
sebab aku tak kan pernah percaya
bila kau benar-benar pergi dariku
tapi mungkin aku harus mulai tidur
sambil mencari-cari sebab perpisahan itu

Am, 2008



Menyusun Cahaya

ada yang bermain hujan malam ini
sedang aku mengaduh di separuh subuh
menyusun cahaya di kekelaman matamu

Am, 2008



Kedai Kopi

bersama alunan musik minor
aku merasa kecil, nada-nada serupa angin
hembus diam-diam dalam tubuhku
di bangku panjang kedai ini
aku menggeliat, menangkap setiap lagu
malam-malam selalu riuh di sini
orang-orang lalu lalang di tikungan
sekadar ikut bergoyang
atau hindari ranjang yang usang
ke kedai itu ternyata,
aku tidak datang untuk secangkir kopi
aku hanya ingin menjadi saksi
betapa banyak mata yang kosong
memandang waktu yang terus berlari

Am, 2008

Kamis, 18 Desember 2008

ALUR PEMIKIRAN KRITIK SASTRA INDONESIA

Maman S. Mahayana
http://mahayana-mahadewa.com/

Tradisi ilmiah dan kehidupan intelektual di negeri ini, mesti diakui, masih centang-perenang. Para dosen dan peneliti kita terpaksa harus menggunakan kata nyambi dan cawe-cawe sekadar untuk menghidupi asap dapurnya. Meski begitu, masih banyak di antaranya yang tetap setia dan bertanggung jawab pada profesi. Mereka juga tidak melupakan peran sosialnya dengan bekerja dan berkarya. Bagaimana hasilnya, masyarakat yang kelak menilainya.

Dalam kondisi kehidupan ilmiah yang masih centang-perenang itu, sejak zaman Belanda hingga kini, kiblat dunia pendidikan kita masih saja ke Barat. Jadilah, suka tak suka, sistem pendidikannya juga berorientasi ke sana. Termasuk di dalamnya tradisi kritik sastra! Dalam lingkaran itulah, kritik sastra Indonesia ngulet, menggeliat, kemudian merangkak bangun.
***

Jika ditarik ke belakang, sesungguhnya tradisi kritik sastra Indonesia relatif belum bersejarah panjang. Meski begitu, praktiknya justru terjadi sejak awal abad ke-20, seperti dapat kita lihat di media massa yang terbit dekade itu. Periksa saja komentar Tirto Adhi Soerjo mengenai cerita-cerita yang dimuat Medan Prijaji (1907-1912) atau Poetri Hindia (1908-1911). Majalah Pandji Poestaka, bahkan menyediakan rubrik “Memadjoekan Kesoesasteraan” yang diasuh Sutan Takdir Alisjahbana. Dalam edisi 5 Juli 1932, muncul artikel berjudul “Kritik Kesoesasteraan”. Dapat dikatakan, artikel ini yang pertama secara eksplisit mencantumkan kata “kritik kesusastraan” dalam kritik sastra Indonesia. Dalam Pandji Poestaka edisi November 1932 -- Maret 1933, dimuat pula secara berturut-turut tulisan Alisjahbana, “Menoedjoe Kesoesasteraan Baroe” yang secara teoretis menolak style dan bahasa klise dalam kesusastraan tradisional sambil mengajukan ciri-ciri sastra Indonesia modern.

Dalam majalah Poedjangga Baroe (1933) berbagai tulisan tentang sastra, tidak cuma berupa ulasan ringkas dan resensi, tetapi juga uraian mengenai konsep teoretis sastra dalam kaitannya dengan estetika, seni, dan kebudayaan Indonesia. Cermati tulisan Sutan Takdir Alisjahbana “Menoedjoe Seni Baroe” (Juli, 1933) dan “Poeisi Indonesia Zaman Baroe” (I-VI: September 1934-Februari 1935), Armijn Pane “Kesoesasteraan Baroe” (I-IV: Juli-Oktober 1933), Hoesein Djajadiningrat “Arti Pantoen Melajoe jang Gaib” (I-V: November 1933-Maret 1934) dan Amir Hamzah “Kesoesasteraan” (I-IV: Juni 1933-September 1934) dan “Pantoen” (Maret 1934). Secara mendalam, mereka mencoba merumuskan konsepsi dan estetika sastra Indonesia, baik tradisional maupun modern. Ada dua arus besar pemikiran mengenai rumusan mereka: (1) konsep dan estetika sastra Indonesia menurut pemikiran Barat yang diangkat Alisjahbana, dan (2) konsep dan estetika sastra Indonesia menurut kultur Timur (termasuk Indonesia) yang dikedepankan Djajadiningrat dan Amir Hamzah.

Sebuah majalah yang terbit di Medan (1937), Pedoman Masjarakat, juga memuat ulasan dan resensi, meskipun masih dalam bentuk yang ringkas. Salah satu hal penting dari berbagai tulisan dalam majalah ini adalah munculnya semacam gerakan sastra di luar Balai Pustaka yang tidak mengikuti mainstream Poedjangga Baroe. Medan kemudian menjadi salah satu pusat penerbitan novel seperti itu. Karena formatnya begitu sederhana dengan cetakan dan kertas berkualitas rendah, harga jualnya jadi begitu murah. Dari sanalah lahir istilah roman picisan yang merujuk pada uang sepicis, sebagaimana yang diperkenalkan Dr. R. Roolvink (1952).

Pada zaman Jepang, pembicaraan mengenai konsep sastra cenderung terfokus pada fungsi sastra, tugas sastrawan, dan penolakan konsep seni untuk seni. Masalahnya berkaitan dengan kepentingan Jepang dalam perang Asia Timur Raya. Fungsi sastra dimanfaatkan untuk propaganda, dan tugas seniman memberi penyadaran akan semangat cinta tanah air, kerelaan berkorban, dan keberanian menghadapi perang. Majalah Djawa Baroe, harian Asia Raja, dan jurnal Keboedajaan Timoer --sekadar menyebut beberapa-- adalah media massa yang dijadikan corong Pemerintah Jepang waktu itu.

Awal merdeka, kita melihat perdebatan seru mengenai konsep estetik Angkatan 45 berikut gagasan humanisme universal. Surat Kepercayaan Gelanggang merupakan representasi dari elan dan semangat Angkatan itu atas gerak dan kesadaran membangun dan mengisi kebudayaan Indonesia di masa mendatang. Masalah angkatan dan konsep kesusastraan, juga menjadi polemik hangat yang menjadi wacana pemikiran intelektual Angkatan 45.

Di tengah terjadinya polemik itu, Lekra (Lembaga Kebudajaan Rakjat) lahir dan mengusung humanisme proletariat lewat realisme sosialis dan konsep seni untuk rakyat. Pada dekade itu Jassin menerbitkan sejumlah bukunya yang berisi berbagai artikel yang pernah dimuat media massa. Inilah yang mengawali buku kritik sastra Indonesia. Teeuw juga mempublikasikan buku kritiknya, Pokok dan Tokoh (1952), meski isinya lebih dekat pada sejarah sastra Indonesia. Pada dasawarsa itu, terjadi perseteruan para pendukung gagasan humanisme universal dengan Lekra. Puncaknya jatuh pada Manifes Kebudayaan, 19 Oktober 1963 yang kemudian dibekukan Presiden Soekarno, 8 Mei 1964.

Memasuki zaman Orba, masalah konsep dan operasionalisasi kritik sastra lebih tegas dirumuskan dalam Simposium Bahasa dan Kesusastraan Indonesia, 31 Oktober 1968. Lahir dua arus pemikiran yang bermuara pada Aliran Rawamangun dan metode Ganzheit. Di luar terjadinya perbedaan pandangan dua arus pemikiran itu, sejak itu kritik sastra menjadi salah satu bagian penting dalam kurikulum institusi pendidikan sastra. Mengingat penguasa Orba selalu menyeragamkan apapun, termasuk pendidikan, maka di semua institusi pendidikan sastra diberlakukan kurikulum nasional. Di dalamnya termuat telaah atau kajian sastra yang tak lain adalah kritik sastra. Itulah perjalanan kritik sastra menjadi bagian penting --seperti juga mata kuliah telaah lainnya-- dalam dunia akademik.

Tak dapat dinafikan sumbangan Aliran Rawamangun bagi institusi sastra di negeri ini. Penelitian yang dihasilkan para pendukung aliran ini, seperti M.S. Hutagalung, Boen S. Oemarjati, J.U. Nasution, atau Lukman Ali, kerapkali menjadi acuan, bagaimana operasionalisasi kritik akademis dilakukan. Bahkan, disertasi Oemarjati, “Chairil Anwar: The Poet and His Language” (Den Haag, 1972) menjadi rujukan penting bagi peneliti Barat yang hendak “memahami” Chairil Anwar.

Sampai pertengahan dasawarsa 1980-an, berbagai macam buku kritik sastra, terus bermunculan. Yang berupa kritik teoretis dapat disebutkan beberapa di antaranya, karya Rachmat Djoko Pradopo, Beberapa Gagasan dalam Bidang Kritik Sastra Indonesia Modern (1988), antologi artikel yang dihimpun Ariel Heryanto, Perdebatan Sastra Kontekstual (1985) atau kumpulan makalah yang disusun Mursal Esten, Menjelang Teori dan Kritik Susastra Indonesia yang Relevan (1988). Yang berupa kritik terapan, secara kuantitatif lebih banyak lagi. Beberapa di antaranya, Novel Baru Iwan Simatupang (1980) dan Hamba-Hamba Kebudayaan (1984) karya Dami N. Toda, Sastra dan Religiositas (1982) karya Y.B. Mangunwijaya, Dialog antara Dunia Nyata dan tidak Nyata (1989) karya Th. Sri Rahayu Prihatmi, dan Menelusuri Makna Ziarah karya Iwan Simatupang (1990) karya Okke K.S. Zaimar.

Terbitnya buku yang membincangkan kritik teoretis dan kritik terapan yang beraneka macam itu memperlihatkan betapa semarak kehidupan kritik sastra Indonesia. Lalu bagaimana sesungguhnya peta kritik sastra Indonesia, baik yang dihasilkan kaum akademis, sastrawan, maupun sastrawan yang sekaligus juga kaum akademis. Dalam hal ini, kerja keras Rachmat Djoko Pradopo merupakan tonggak penting dalam usahanya menginventarisasi, mengklasifikasi, serta memetakan panorama kritik sastra Indonesia.

Dalam disertasi Rachmat Djoko Pradopo “Kritik Sastra Indonesia Modern: Telaah dalam Bidang Kritik Teoretis dan Kritik Terapan” (1989) yang hampir setebal bantal (949 halaman) itu—kemudian diterbitkan secara utuh sebagai buku berjudul Kritik Sastra Indonesia (Gama Media, 2002), dideskripsikan dan sekalian dianalisis secara mendalam dan luas berbagai jenis kritik sastra Indonesia sejak periode Balai Pustaka sampai penolakan teori kritik sastra khas Indonesia akhir dekade tahun 1980-an. Inilah penelitian yang sangat komprehensif mengenai panorama dan berbagai alur pemikiran dalam kritik sastra Indonesia.

Memasuki dasawarsa akhir abad ke-20, penerbitan karya para peneliti masih terus berlangsung. Bahkan, belakangan ini, sejumlah penerbit melakukan semacam “perburuan” naskah hasil penelitian kaum akademis. Jadi, jika faktanya begitu, adakah alasan lain yang memaksa entah siapa untuk berkata: “Krisis kritik sastra Indonesia?”
***

Bersamaan dengan pudarnya pengaruh Aliran Rawamangun, di berbagai institusi sastra mulai gencar dipelajari macam-macam teori kritik mutakhir. Praktik kritik sastra tidak lagi terpaku pada pendekatan struktural, baik yang mengacu pada gagasan Roland Barthes, maupun Kritik Baru (New Criticism) Amerika. Kejenuhan terhadap pendekatan ini, secara langsung telah membuka peluang penerapan berbagai macam jenis kritik.. Yang kini hangat, selain psikologi dan sosilogi sastra, juga kritik feminis, kajian budaya (cultural studies), dan New Historicism: sebuah gerakan kesadaran sejarah baru --sebagai reaksi atas New Criticism-- dalam kritik sastra yang coba memanfaatkan berbagai macam aliran, mazhab, dan teori. Di luar itu, penggalian terhadap sumber-sumber kritik sastra Timur, juga terus dilakukan. Disertasi Bambang Wibawarta, “Modernisasi Jepang dalam Karya-Karya Mori Ogai” (2000) memberi cerita lain mengenai teori sastra Barat, khasnya strukturalisme dan “kematian pengarang” Barthes. Dalam sastra Jepang, “pengarang dapat dianggap sebagai sebuah teks” yang justru penting untuk melengkapi pemahaman teks yang dihasilkannya.

Karya Abdul Hadi WM, Tasauf yang Tertindas: Kajian Hermeneutik terhadap Karya-Karya Hamzah Fansuri (2001), meski tidak menafikan teori sastra Barat, juga mengangkat hermeneutik dari tradisi intelektual Islam, terutama bersumber dari gagasan Ibn Arabi dan Al-Ghazali. Dengan begitu, kritik sastra Indonesia di masa hadapan, bakal makin semarak dengan masuknya tidak hanya pengaruh Barat, tetapi juga Timur. Bahkan, boleh jadi dari kultur dan estetika sendiri, seperti yang diangkat dalam disertasi Sapardi Djoko Damono, Novel Jawa tahun 1950-an: Telaah Fungsi, Isi, dan Struktur (1989).

Dalam konteks kritik sastra Indonesia, meski diakui, teori dan kritik sastra Barat tidak dapat kita hindarkan. Namun, tidaklah berarti kita lalu menelan bulat-mentah. Jadi, mengulang pernyataan yang lalu: ia sekadar kendaraan yang dapat dimuati apa pun dan ditumpangi siapa pun, sesuai dengan kebutuhan dan arah yang menjadi tujuannya. Jika begitu, tentu saja tidak perlu pula kita memberhalakannya. Barangkali, ada benarnya juga pepatah Minang ini: “Tahimpik nak di ateh, takuruang nak di lua” (Terhimpit maunya di atas, terkurung maunya di luar).

*)Pengajar Fakultas Ilmu Pengetahuan Budaya Universitas Indonesia, Depok.

Sebuah Kota, Sajak, dan Pembangunan

Y. Wibowo
http://kebunlada.blogspot.com/

ISBEDY stiawan Z.S. menuliskan artikel fantastis sekaligus miris dalam momentum Hari Ulang Tahun ke-322 Kota Bandar Lampung, 17 Juni 2004, berjudul "Kota tanpa Ruang Kontemplatif" (Lampung Post, 19 Juni 2004). Menurut penulis, dalam merefleksikan "kenangan yang berjalan", Bang Isbedy melihat Kota Bandar Lampung adalah sebuah sajak yang terdedah karena alam dan didedahkan sistem dan kebijakan. Namun, dari sisi wajah arsitektur yang dinamik dan problematik belum terungkap.

Memang hal ini bisa saja terjadi dan dialami setiap insan atau warga yang tinggal dalam satu komunitas/masyarakat di mana pun ia berhuni. Terlebih ungkapan-ungkapan perasaan akan kenangan dalam kurun waktu dan tempat tertentu, yang sekaligus dapat mengingatkan dan menghapus jejak ingatan kita.

Dapat diamati bagaimana dinamika kota dipengaruhi perkembangan masyarakatnya. Demikian pula sebaliknya. Artinya, perkembangan masyarakat terungkap dalam perkembangan kota. Dinamika ini terjadi secara alamiah karena masyarakat selalu memiliki kecenderungan mengekspresikan kehidupan melalui perkembangannya. Dalam skala mikro, misalnya, keluarga sebagai rumah tangga selalu ingin memperbaiki dan mengembangkan rumah sesuai dengan kemampuannya, terutama jika memiliki rumah sendiri. Dalam realitasnya, hal ini sedikit berbeda seandainya rumah yang ditempati keluarga itu bukan milik sendiri.

Masalah itu muncul karena perasaan akan identitas tempatnya telah berkurang. Aspek itu juga perlu diperhatikan dalam skala makro; jika rasa memiliki di suatu kawasan tidak dipunyai masyarakat setempat, maka perasaan akan identitas terhadap suatu tempat menjadi sedikit. Sehingga, dorongan untuk mengembangkan kawasan yang baik sesuai dengan perkembangan masyarakat pun menjadi tidak cukup besar.

Perubahan wajah Kota Bandar Lampung cenderung meningkat dalam beberapa dekade. Ini sesuai dengan perkembangan zaman yang menuntut selalu adanya penyesuaian bagi setiap sektor yang akan menunjang perkembangan tersebut. Berbagai kemajuan diraih, baik dalam sektor formal maupun informal. Begitu pula fasilitas umum, terus dibenahi dengan menambah fasilitas.

Berdasarkan catatan sejarah, Kota Bandar Lampung dapat diilustrasikan secara keseluruhan tidak bersifat statis karena memiliki hubungan erat dengan kehidupan pelakunya yang dilaksanakan dalam dimensi waktu. Dari dimensi waktu, dinamika perkembangan kota ini pada prinsipnya baik dan alamiah karena perkembangan itu merupakan ekspresi perkembangan masyarakat.

Menyatunya Kota Tanjungkarang dan Telukbetung adalah konsekwensi logis dari tiga cara dasar di dalam kota. Markus Zahnd (Perancangan Kota Secara Terpadu. Kanisius-Soegriyapranata University Press, 1999) menyebutkan ada tiga istilah teknis, yaitu, pertama, perkembangan horizontal atau perkembangan yang mengarah ke luar. Artinya, daerah bertambah, sedangkan ketinggian dan kuantitas lahan terbangun (coverage) tetap sama. Perkembangan dengan cara ini sering terjadi di pinggir kota, di mana lahan masih murah dan dekat jalan raya yang mengarah ke kota (di mana banyak keramaian).

Kedua, perkembangan vertikal atau perkembangan yang mengarah ke atas. Dalam hal ini, daerah pembangunan dan kuantitas lahan terbangun tetap sama, sedangkan ketinggian bangunan bertambah. Cara ini sering terjadi di pusat kota, di mana harga lahan mahal dan di pusat-pusat perdagangan.

Ketiga, perkembangan interstisial atau perkembangan yang dilangsungkan ke dalam. Dalam hal ini, daerah dan ketinggian bangunan rata-rata tetap sama, sedangkan kuantitas lahan terbangun (coverage) bertambah. Perkembangan dengan cara ini sering terjadi di pusat kota, di mana antara pusat dan daerah pinggiran yang kawasannya dibatasi dan hanya dapat dipadatkan.

Memang perkembangan sebagaimana dijelaskan di atas tidak hanya terjadi satu per satu, melainkan bersamaan. Dewasa ini dengan dinamika yang sangat cepat, implikasi kualitas perkembangannya sering kurang baik. Sebab, Kota Bandar Lampung membutuhkan manusia yang bertindak.

Keterlibatan itu (harus) terjadi dalam dua skala atau prespektif: "dari atas" dan "bawah". Skala "dari atas" memperhatikan aktivitas ekonomis-politis (sistem keuangan, sistem kekuasaan/kebijakan, dsb.) yang bersifat agak abstrak. Sedangkan skala "dari bawah" berfokus secara konkret pada perilaku manusia (kegiatan, perbuatan, dsb.). Jadi, tak heran jika Winston Churchill mengatakan, "Manusia akan membentuk kota, kemudian kota akan membentuk manusia".

Perlu diingat bahwa kota merupakan hasil suatu karya seni sosial. Oleh sebab itu, menilik kenyataan Kota Bandar Lampung dengan adanya perbedaan kultur, agama, etnis, geografis, iklim, teknologi, ideologi, dan lain-lain, seharusnya wajah perkotaan tidak perlu persamaan, tentunya dengan adanya land mark kota. Namun, dalam perkembangannya--yang hampir tidak dapat dihindari kota-kota di Indonesia--adalah terjadinya penyeragaman pembangunan. Jelas sekali gejala penyeragaman wajah kota dengan bentuk-bentuk jiplakan, duplikasi, triplikasi, bahkan multiplikasi harus diantisipasi sedini mungkin, agar tidak terjadi keseragaman wajah kota yang pada akhirnya menimbulkan kemonotononan fasade kota.

Keseragaman wajah kota mengakibatkan tidak adanya identitas kota yang menjadi ciri khas dan kemudian akan disusul dengan menghilangnya kultur-kultur asli karena pergeseran nilai-nilai dengan apa yang disebut modernisme. Dampak yang paling serius adalah terjadinya kejenuhan dalam sikap masyarakat kota yang akhirnya akan berdampak ke masalah urbanisasi (seperti PKL yang menghiasi wajah kota) yang saat ini masih menjadi polemik untuk menentukan jalan keluarnya. Sedangkan penyeragaman di sisi lain, warga kota lazimnya bahasa kekuasaan yang diterapkan bagitu saja pada masyarakat yang kendati mayoritas, sekadar menjadi masyarakat pinggiran (objek).

Para arsitek dan perencana kota tidak boleh menyerah pada nasib dan membela diri. "Kita sekadar merancang dan merencana, tetapi keputusan akhir ditentukan penentu kebijakan, penguasa, dan pengusaha," demikian pernah dinyatakan Prof. Eko Budihardjo. Kita juga tidak boleh terjebak pada isme-isme yang melanda dan berasal dari negara adidaya, dalam menentukan arah perencanaan dan pengembangan kota.
***

Kota harus membuat betah dam mensejahterakan penduduknya, nyaman dihuni dan enak untuk dilihat. Ibarat sajak yang menyentuh dawai-dawai emosi dengan segala ungkapan-ungkapan cerminan suara hati yang dimanifestasikan dalam bentuk desain. Dapat dibayangkan, Kota Bandar Lampung yang kaya dengan sumber ilham kesenian tradisional yang apabila dapat diwujudkan dengan memadukan unsur seni dan sajak ke dalam proses perancangan dan perencanaan arsitektur.

Karena sebuah kota adalah panggung kenangan, cerminan sejarah dari masyarakatnya secara visual. Antara city dan citizen terdapat keterkaitan yang sangat dekat, saling menjalin, saling memengaruhi. Keunikan perilaku warga kota, kekhasan adapt istiadat, beragam lokasi geografis dan iklimnya dan variasi seni rupa yang diciptakan, semuanya berkontribusi terhadap penampilan dan citra kota.

Tak kenal maka tak sayang. Pepatah tersebut ternyata berlaku dalam rasa memiliki. Sebesar apa anda mengenal anatomi kota tempat anda tinggal. Makin dalam menyelami seluk beluk kota, akan memperdalam perasaan cinta dan memiliki atas kota serta Anda akan merasa bagiannya dari kehidupan seluruh masyarakatnya, dan bukan sekadar tempat tinggal dan me-nguber kebutuhan ekonomi. Lontaran Bang Isbedy tentang kebutuhan "ruang kontemplatif" muncul dalam gagasan membangun "jiwa warga kota" yang ingin terlibat dan melihat pertunjukan berbagai rumpun kesenian nampaknya perlu direspons positif. Sebab kota tanpa tanpa "jiwa" apalah artinya?!
***

Perubahan paradigma pembangunan dapat kita telusuri dari pemberlakuan Undang-Undang No. 22 Tahun 1999, yang merupakan konsep dasar otonomi daerah. Saat ini paradigma pembangunan berubah--walaupun kebiasaan lama kadang kala masih dijalankan--dari sistem yang represif sentralistik dan bersifat top down menuju pembangunan yang menekankan partisipasi aktif masyarakat menentukan kebijakan pembangunan.

Untuk menentukan arah pembangunan Kota Bandar Lampung, hal ini erat berkait dengan visi pembangunan kota. Sedangkan untuk mencapai tujuannya, diperlukan ketersediaan software maupun hardware yang relatif memadai untuk dikembangkan. Tidaklah perlu perdebatan konsep otonomi daerah karena di sana jelas termaktub bagaimana pembangunan mesti melibatkan partisipasi warga kota. Lalu mengapa masih ada ungkapan; mana cita-cita kita semua dulu yang komit dan ikrarkan bersama untuk menjadikan kota ini sebuah "kota dalam taman", mana rasa memiliki dan rasa cinta kita terhadap kota ini yang selama ini kita dengung-dengungkan? (Nurdin Muhayat, mantan Wali Kota Bandar Lampung periode 1986--1995, Lampung Post, 17 Juni 2004).

Pemikiran di atas mendorong kita mengkaji ulang relevansi berbagai teori pembangunan (ekonomi modern) dan pembangunan yang cenderung praktis-pragmatis bagi kelangsungan hidup manusia yang nyaman, damai dan tenteram. Berbagai teori ekonomi dan pembangunan yang selama ini kita kenal, lebih mendorong manusia hidup serakah dengan menguras habis sumber daya. Tujuan strategisnya hanya satu, yaitu agar manusia dalam tempo singkat bisa menikmati segala fasilitas hidup. Hal ini sering mendorong seseorang tidak lagi peduli pada situasi selanjutnya.

Sehingga, peran serta masyarakat secara aktif dalam menentukan penataan kawasan kota juga merupakan partisipasi dan wadah bersosialisasi, sebagai kontribusi atas tanggung jawab jejak sejarah dan kelestarian Kota Bandar Lampung yang menyimpan potensi besar pada sektor wisata budaya dan berbagai sektor lainnya. Pada akhirnya, Bandar Lampung dapat menjadi kawasan yang partisipatif serta dapat diakses bagi semua, selamat, dan tetaplah menggeliat kotaku!

*) Penyair, tinggal di Lampung/ LampungPost,22Juni2004

Pemberdayaan Sastra Indonesia

Putu Wijaya
http://putuwijaya.wordpress.com/

Sastra dalam pelajaran kesusastraan ketika saya masih belajar di sekolah menengah, didefiniskan lewat padan katanya. Karena sastra berarti tulisan, maka kesusatraan adalah segala tulisan yang indah. Yang kemudian langsung menjadi khazanah sastra adalah buku-buku karya fiksi dan puisi.

Tetapi sampai kepada istilah sastra lisan, pengertian tersebut menjadi sedikit bingung. Secara harfiah, sastra lisan berarti tulisan yang diucapkan. Mesti ada wujud tulisannya dulu, agar bisa diucapkan. Namun pada prakteknya sastra lisan sejak lahir sudah merupakan tutur yang bukan perpanjangan dari tulisan. Kemudian memang tutur itu ditranskripsikan ketika mulai diposisikan sebagai kekayaan budaya. Namun ketika ekspresi lisan itu dibekukan dalam bentuk tulisan, kenikmatannya berbeda. Ia tak menjangkau seluruh eksistensinya ketika masih lisan.

Sebagai seorang penulis, saya tak memandang sastra sebagai hanya tulisan, tetapi sebagai pengertian, sehingga ia bisa disampaikan dengan tulisan maupun lisan. Tetapi juga bukan pengertian tok. Ia memiliki satu kelayakan yang membedakannya dengan pengertian yang bukan sastra. Sastra mengandung pemikiran dan perasaan kemanusiaan yang erat kaitannya dengan bahasa.

Semua ekspresi yang memakai bahasa sebagai basis kekuatannya bagi saya adalah sastra. Kalau ada pengertian yang lebih bagus dari itu, setiap saat saya bersedia mengkhianati pengertian yang sudah saya anut selama ini.

Karena upaya untuk terus-menerus menyempurnakan penggerebekan ke arah yang lebih sempurna, adalah bagian dari cita-cita sastra. Karena itulah dalam alam pikiran saya, sastra tak mengenal kontrak mati dengan satu isme atau idiologi, apalagi sikap politik. Kalau toh ada aliran dan idiologi sastra, itu adalah kebimbangan dan pengkhianatan kepada kesimpulan yang salah.

Melalui pemahaman tersebut, saya akan mencoba bicara tentang pemberdayaan sastra Indonesia.

Pengertian Indonesia Baru, bagi generasi 28, ketika Sumpah Pemuda (1928) dicetuskan, pasti sesuatu yang asing. Karena pengertian Indonesia sendiri sudah berarti baru. Pengertian itu mengandung cita-cita politik yang merupakan lompatan besar, mengubah teritorial Nusantara menjadi sebuah negara yang merdeka.

Pengertian “baru” dicantelkan kepada Indonesia, sesudah gerakan reformasi pada 1998. Ketika pengertian Indonesia menjadi terkontaminasi oleh kepemimpinan yang membawa Indonesia masuk ke dalam jurang penindasan hak-hak azasi manusia. Pengertian Indonesia baru sebenarnya sama saja dengan pengertian Indonesia dari generasi 28 –hanya saja dulu targetnya merdeka dari kolonialisme, kini merdeka dari penindasan rezim dari dalam sendiri. Pengertian baru mengandung makna scanning ulang, defragmentasi, reinstal dan format ulang terhadap hard disk Indonesia yang sudah eror.

Sastra memiliki kepentingan besar dalam kerepotan yang langsung menyangkut pemulihan terhadap hak-hak azasi manusia tersebut. Dan bagi sastra sendiri, sekaligus juga berarti pemulihan terhadap hak-hak azasinya sendiri. Karena dalam beberapa dekade gelap sebelum reformasi, sastra juga termasuk yang sudah diinjak-injak di bawah kepentingan politik dan ekonomi sekelompok penguasa.

Tak bedanya dengan keadilan dan kebenaran, sastra pun –sebagai bentuk pengucapan pikiran dan perasaan yang memakai bahasa -sudah dihajar habis-habisan. Karena bahasa merupakan bagian dari alat kontrol sosial yang sangat efektif di samping senjata. Bahasa telah menjadi balatentara rezim yang dengan ganasnya mendera rakyat.

Akibatnya sastra pun menjadi bukan saja mandul tetapi terutama sekali: berbalik sesat. Sastra yang indah itu berubah menjadi binatang buas yang mengunyah-ngunyah kemanusiaan itu sendiri.

Dalam keadaan yang terbalik itu, bahasa bukan lagi jembatan untuk mengucapkan pikir dan rasa antara manusia yang merdeka, tetapi polisi-polisi dan mesin virus yang menyebarkan ketakutan dan teror sehingga massa membeku. Ucapan tak bisa lagi dipercaya.

Kalimat bersiponggang dan memekakkan tetapi kosong. Khususnya pidato-pidato para pejabat. Kata-kata dan ungkapan rezim menjadi “safe deposite” yang menyembunyikan kejahatan-kejahatan. Sastra menjadi bromocorah. Sastra adalah bandit yang menguasai alam pikiran.

Karya sastra yang masih menyuarakan ekspresi yang jujur dan dulu dipelajari sebagai kesusastraan, atas nama kelangenan yang membuat orang malas, lantas dimasukkan ke bak sampah. Dianggap perangkat yang kedaluwarsa di tengah dunia yang sudah berteknologi tinggi.

Para pelajar ditipu mentah-mentah untuk lebih percaya kepada angka-angka yang kemudian dengan lihaynya disulap di dalam “dagang” yang membuat pelajar kebingungan. Teknologi pun kotor, karena hanya berisi khayalan, tetapi disembah seakan-akan itulah dewa penyelamat tyang akan membawa bangsa ke mimpi gemah-ripah-loh-jinawi.

Para ilmuwan melarikan diri dan bersembunyi di gua pertapaannya. Para sastrawan juga ikut ngacir berserakan ke sana-ke mari karena merasa hina dan berdosa terus menjadi pabrik tak berguna.

Mereka mengubah seragamnya menjadi politikus, pejabat, wartawan atau amtenar yang terasa lebih konkrit memikirkan realita dan kepentingan rakyat serta masa depan negara. Yang masih setia menjadi sastrawan hidupnya kumuh dan tak dapat tempat, kecuali bila berhasil menjadi “maling-maling” besar, sebagaimana Rendra. Tetapi banyak sekali di antaranya justru “menikmati” keadaan tak berdaya tersebut karena bisa menyembunyikan kemalasan dan ketidakmampuannya.

Sambil pura-pura berteriak kesakitan, sastrawan bersangkutan tidur dan melakukan masturbasi. Mereka mengaum mengaku sudah dipasung rezim yang berkuasa, tetapi setelah reformasi di mana semua orang boleh ngapain saja, mereka juga tetap tak berbuat apa-apa karena memang “dari sononya” sudah tak berdaya.

Kenyataan yang juga harus diakui, adalah di masa jayanya sensor, keberanian saja cukup membuat orang menjadi sastrawan. Dan sastra secara rahasia berubah artinya sebagai seni memaki, seni menghujat, seni menista, seni mencuri. Tak peduli nilai karyanya, asal nampak bersikap menyakiti dan mengganggu penguasa, terasa sebagai karya yang berdarah dan besar.

Sastra yang semestinya punya potensi untuk membangun manusia (baca:bangsa) dari dalam jiwanya, jadi bangkrut. Yang tinggal adalah sastra sebagai barang komoditi. Sastra menyediakan diri sebagai paket-paket hiburan untuk mengeloco anggota masyarakat yang impoten karena kekuasaan sudah mengontrol masyarakat sampai daerah-daerah pribadinya di atas tempat tidur.

Sebagai barang komoditi sastra ternyata cukup berhasil. Jumlah buku, presentasi membaca, serta para penulis, bertambah jumlahnya. Penerbit-penerbit menjamur, sebagian menjadi raksasa yang menghasilkan duit besar. Setiap hari ada saja buku baru yang terbit. Media massa berkembang pesat, sehingga para konglomerat mulai ikut malang melintas di usaha para kuli tinta itu. Jumlah majalah dan koran nasional dan lokal, apalagi sesudah reformasi membludak.

Eskspresi komersial yang mempergunakan bahasa sebagai kekuatannya berkembang pesat. “Sastra” terpacu secara kwantitas. Dalam soal kualitas pun bukan tidak ada karya hebat yang lahir. Banyak sastrawan baru lahir yang tak kalah pamornya dengan sastrawan tua.

Sementara sastrawan senior pun terus produktif. Pramudya masih menulis di samping Rendra, Goenawan Mohammad, Budi Dharma, Umat Khayam, Sutarji C Bachri, Taufiq ismail (sekedar menyebut beberapa nama), ditambah lapisan baru seperti Afrisal Malna, Seno Gumira Aji Darmo, Ayu Utami dan sebagainya.

Memang secara perorangan sastra Indonesia dalam keadaan keos masih normal-normal saja. Artinya di ruang hidupnya yang kecil masih ada satu dua kutu busuk yang terus bekerja dengan setia. Dan hasilnya bagus. Tetapi sebagai potensi kultural, sastra Indonesia sangat tidak berkekuatan.

Jangan mengukur kekuatan dari analisa seorang kritikus yang meskipun berhasil menerbitkan pikirannya ke dalam buku, karena buku itu tidak ada yang membaca. (Rata-rata satu judul buku sastra yang dicetak 1000-3000 eksemplar, tidak habis dalam 5 tahun. Meskipun memang buku Ayu Utami, belum lagi satu tahun sudah mengalami cetak ulang berkali-kali).

Sastra sebagai sebuah batalyon kekuatan, sudah memble, karena dari 200 juta lebih bangsa Indonesia, yang membaca dan memanfaatkan sastra sangat sedikit, nyaris memalukan. Dalam satu usaha informal dan pribadi, penyair Taufiq Ismail, melakukan wawancara pada kelompok pelajar dari seluruh dunia.

Ia menghasilkan tabel yang sangat mengejutkan. Ternyata antara 20 s/d 30 buku yang dibaca oleh setiap pelajar di berbagai dunia selama periodenya sebagai pelajar, pelajar Indonesia mencatat 0 buku.

Tak heran kalau banyak mahasiswa sebagai perpanjangan dari pelajar Indonesia, tak mampu mempergunakan bahasa. Sebagai akibatnya, skripsi sebagai karya akhir di perguruan tinggi juga tidak ada gunanya, karena memang tidak bisa ditulis oleh mereka yang tidak punya pengalaman mengolah bahasa. Karena kalau dipaksakan pun akan menjadi dagelan, sudah banyak kasus terungkap skripsi ditulis oleh para penyedia jasa skripsi.

Taufiq kemudian membuat lobby pada mereka yang berwenang di Bapenas. Dari hasil diskusi tersebut, didapat kesepakatan bahwa kekeliruan besar yang sangat mendasar sudah terjadi bertahun-tahun. Sastra tak mungkin hanya sastra. Sastra adalah perangkat yang berhubungan langsung dengan semua kegiatan. Kalau itu lumpuh, secara tidak langsung akan cacad pula sektor-sktor lain.

Dari peristiwa itulah kemudian mengucur biaya untuk membuat acara temu sastra dengan guru-guru sekolah. Dengan amat entusias para guru bahasa dari berbagai sekolah bertemu langsung dengan para sastrawan, mendengarkan, berdiskusi tentang sastra. Mereka nampak begitu rindu, banyak yang terkejut, melihat sastra begitu dekat dengan berbagai persoalan sehari-hari. Sastra sangat relevan dengan kegiatan mereka dal;am rangka pembelajaran anak-anak bangsa.

Kegiatan temu sastrawan itu semula hanya dilakukan di Jakarta itu kemudian meluas ke kegiatan se-Jawa Barat-jawa Tengah dan diharapkan kelak akan menjadi kegiatan di seluruh Indonesia. Kegiatan tersebut kemudian disambung dengan kegiatan sastrawan masuk sekolah yang mendapat dukungan dari Ford Foundation.

Saya tidak mengatakan bahwa itulah cara yang terbaik untuk mengatasi ketidakberdayaan sastra. Namun itulah salah satu contoh bahwa ketidakberdayaan di samping dibicarakan, harus segera diatasi dengan tindakan. Dan bentuknya bisa bermacam-macam. Mulai dari yang memerlukan biaya sampai yang tidak memerlukan apa-apa bahkan bisa mendatangkan duit.

Dalam pemahaman saya, yang harus menjadi agenda sastra dalam menyongsong Indonesia Baru adalah pemberdayaan sastra. Menjadikan Indonesia –dalam pengertian sastra -kembali memposisikan sastra sebagai alat yang setara dengan peralatan kehidupan lain seperti teknologi, ekonomi, politik dan sebagainya.

Sastra adalah sebuah profesi dengan para sastrawan profesional sebagai kawulanya. Pemberdayaan sastra adalah bagian bagian dari pemberdayaan seluruh sumber daya/potensi Indonesia. Dengan mobilisasi seluruh potensi itu kita mencoba untuk menggarap target besar yang selama ini sudah diformulasikan oleh ucapan: gemah ripah-loh jinawi lewat sektor dan tanggungjawab para profesional.

Pemberdayaan sastra boleh jadi sudah merupakan isyu sangat klise sekarang. Karena itu dengan mudah kemudian bisa ditafsirkan kepada kesempatan untuk menuntut pemerintah memberikan perlindungan berupa subsidi dan penghapusan sensor yang tak lebih dari sedekah atas dasar belas kasihan dan seringkali lebih banyak menguntungkan satu dua individu sastrawan –bukan pada sastra-nya.

Pemberdayaan sastra adalah termasuk upaya membebaskan sastra dari dominasi satu pribadi. Baik dia bernama Rendra, Pramudya, Goenawan, Sutardji, Chairil dan sebagainya. Pemberdayaan sastra ada usaha membebaskan sastra dari berbagai bentuk penindasan dan pengemisan. Sastra bukan saja untuk seluruh sastrawan, bukan saja untuk sastra, tetapi juga untuk seluruh manusia.

Sastra tak mungkin, tak sanggup dan tak akan sudi berdiri sendiri. Sastra tak memerlukan isolasi. Bahkan sastra yang terisolir pun selalu mencoba menerobos untuk memecahkan kerangkengnya. Sastra memiliki kepentingan mutlak untuk bekerjasama dengan seluruh sektor kehidupan dan perangkat negara karena dia ingoin berbicara kepada setiap manusia/warganegara tanpa mengenal batas tingkat sosial, kecerdasan dan kepangkatan.

Bentuk kerjasama itu adalah kerjasama profesional, atas dasar kegunaaan kegunaan timbal-balik, bukan pemerasan atau pencekokan.

Upaya pemberdayaaan sastra dengan demikian adalah upaya menempatkan sastra pada posisi yang tepat dalam simponi kehidupan, sehingga sastra sebagai “sembako batin” jelas garisnya. Sebagai kebutuhan batin hubungan antara sastra dengan masyarakat tidak lagi menjadi ketegangan dan kucing-kucingan tetapi saling membantu, saling mempergunakan dan saling menyempurnakan.

Pemberdayaan sastra, dalam jalan pikiran saya sama sekali bukan pemberantasan potensi sastra sebagai barang komoditi. Karena potensi sastra sebagai apa pun, harusnya tetap dipupuk sebagai bagian dari kekuatan sastra.

Pemberdayaan di sini harus diartikan sebagai upaya penyeimbangan dari berbagai kekuatan sastra tersebut, sehingga ia bisa hadir utuh dalam dalam kehidupan serta berkembang sehingga selalu dapat menjawab tantangan zaman. Dan itu tak perlu disimpulkan sebagai penentangan kepada “penguasa” –selama kekuasaan adalah alat yang menjalankan kedaulatan rakyat.

Pemberdayaan sastra yang dalam benak saya, mau tak mau adalah pemberdayaan sastrawan, untuk sementara. Dengan satrawan yang tak berdaya tak akan mungkin ada sastra yang berdaya. Tanpa keberdayaan sastrawan Indonesia, sastra yang tak berdaya tak akan bisa dibuat berdaya dengan suntikan dan doping macam mana pun. Karena kita tidak berpikir tentang pemberdayaan semu, sebagai slogan atau etalase dalam sebuah pameran. Peberdayaan yang saya maksud adalah bagaimana sastra menjadi hidup dan berkesinambungan.

Dengan sastrawan yang berdaya, tak akan mungkin sastra menjadi lumpuh. Zaman sastra sebagai hasil orang ngelamun sudah lewat. Sastra bukan lagi nina bobok atau ekstasi untuk membuat orang teler. Sastra adalah hasil pikiran yang tak kurang pentingnya dari berbagai percobaan fisika di laboratorium, tak kurang pentingnya dari ekploarasi pencarian sumber-sumber kekayaan bumi di lepas pantai. Tak kurang pentingnya dari disertasi dan seminar-seminar ilmiah tentang bermacam pokok masalah secara mendalam.

Di dalam sebuah pertemuan antara sastrawan Indonesia dan sastrawan Perancis yang diprakarasai oleh Lembaga Kebudayaan Perancis di Bentara Budaya pada tahun 1990-an, terucap perbedaan posisi sastra di Perancis dan Indonesia. Di Perancis kata mereka, sastra sama kedudukannya dengan ilmu pengetahuan. Dengan sendirinra para sastrawan juga setara harkatnya dengan para ilmuwan.

Kedudukan tersebut tentu bukan status sosial. Tetapi status sosial tersebut hanya kesimpulan dari apa adanya sastra dan para sastrawan. Sebagai akibatnya maka satrawan pun memikul tanggungjawab ilmu pengetahuan atas profesinya.

Sastrawan sebagai pabrik sastra, mesti lebih dulu berdaya. Dan itu tak bisa dicapai hanya dengan slogan, teriakan, yel-yel atau demo. Mustahil terjadi dengan surat sakti, besluit atau tekanan satu kekuatan raksasa. Itu harus terjadi dan mulai dari hati pemerdayaan sastrawannya sendiri, sehingga masyarakat memperoleh bukti yang nyata bahwa sastra memang berdaya.

Mobilisasi sastra adalah pemberdayaan sastrawan untuk merebut kepercayaan masyarakat, bahwa sastra adalah penyampung lidah nasib mereka. Dan itu bukan sesuatu yang mustahil, karena kita memiliki tradisi sastra yang tidak memalukan. Kita memiliki Mpu Walmiki, Mpu Kanwa, Prapanca, Ronggowarsito, Hamzah Fansuri, Abdullah bin Abdulkadir Munsyi, Raja Ali Aji, Ida Pedande Dau Rauh dan sebagainya.

Rabu, 17 Desember 2008

AJAR KEJUJURAN MENULIS DARI NUKILA AMAL*

Sutejo
http://thereogpublishing.blogspot.com/

Dalam jurnal Prosa4 ketika diangkat tema Sastrawangi, Nukila Amal, termasuk salah seorang yang tidak setuju dengan istilah sastrawangi. Sebagaimana wawancara dia di BBC London. Karya monumentalnya, Cala Ibi oleh beberapa pihak dinobatkan sebagai puncak karya sastra mutakhir. Hal itu paling tidak dikemukakan oleh Budi Darma dalam resensinya di Tempo bulan Juni 2003 dan Bambang Sugiharto, pengajar Pascasarjana Seni Rupa ITB yang menobatkannya sebagai karya yang tidak biasa, sebagai puncak sastra mutakhir (Prosa4, 2004:219).

Perempuan Ternate ini, dilahirkan pada bulan Desember 1971, dan menamatkan sekolahnya di Sekolah Tinggi Pariwisata di Bandung. Dia sempat berprofesi di industri perhotelan dan perusahaan keuangan. Apa yang menarik dari proses kreatif Nukila Amal, berikut merupakan refleksi dari surat tertulis yang dimuat Prosa4: (a) bahwa menulis itu bukan sesuatu yang mudah, (b) soal kualitas karya merupakan otoritas pembaca, dan (c) menaruh kekaguman pada orang yang terus bergelut dalam kepenulisan.

Dari akuan pendek itu, memang tidak begitu banyak yang dapat tergali. Namun, di balik kesederhanaan prinsip kepenulisan itu memancarkan lampu kuning bagi calon penulis. Bagaimana kualitas karya Nukila Amal? Budi Darma memberikan penilaian begini, “Bahwa bahasa metafora yang digunakan Nukila Amal serba menabrak logika. Karena mimpi dipuja, realitas ditabrak, realitas digempur, sebagai konsekuensinya filsafat diusung masuk. Maka suara eksistensialisme pun masuk.” Sebuah novel eksperimentalis, aku Budi Darma. Saya sendiri, melihat bagaimana kekuatan prosa Nukila adalah faktor bahasa yang puitis dan filosofis. Sebuah perpaduan yang mengingatkan pada ungkapan lampau dunia filsafat, aforisme. Penting disimak, bahwa karya Cala Ibi ini sempat masuk 5 nominator Kathulistiwa Award.”

Belajar dari akuan Nukila ini, maka ada pesan penting memang: menulis itu tidak mudah. Penghargaan yang diberikan, dan apa pun penilaian orang tehadap suatu karya, bagi Nukila memang syah saja. Namun sebagaimana penulis lainnya, berkarya itu saja sudah luar biasa, kalau ada yang menilainya negatif, misalnya, itu memang hak pembaca. Dengan demikian, ketika generasi Nukila dinilai sebagai sastrawangi, ia pun tidak setuju karena itu merupakan penamaan yang tidak dicocokinya. Untuk inilah yang penting kita petik, menulis tidaklah gampang. Menulis itu proses. Menulis itu butuh keterampilan berbahasa. Menulis itu butuh kemampuan berpikir. Menulis itu butuh kemampuan eksplorasi. Dan menulis itu butuh seperaangkat motivasi agar ulet, rajin, dan tidak patah arang.

Menulis memang tidak mudah. Begitulah, maka jika kita ingin menulis maka dibutuhkan seperangkat hal di atas agar bagaimana ke depan ketidakmudahan itu dapat berubah menjadi mudah. Arswendo Atmowiloto, meskipun berbalik dengan pernyataan Nukila ini, yakni dengan mengatakan “menulis itu gampang” sesungguhnya itu untuk menumbuhkan motivasi saja. Hakikatnya, menulis memang seperti yang diungkapkan Nukila.

Sebagai syarat awal, misalnya, ada yang mengatakan begini penulis itu butuh: (a) ketajaman hati (empati), (b) kemampuan impresi dan refleksi, (c) kemampuan meditasi (berenung), (d) kemampuan ekspresi, (e) motivasi tinggi, (f) ulet, (g) tidak pongah dan sombong, (h) jujur, (i) taqdim dan religius, (j) kreatif, dan (k) tak pernah puas. Bayangkanlah bagaimana sulitnya? Gak usah kuatir, hal itu lebih mengoreantasikan agar kualitas dan hasil penelusuran lorong kepenulisan tidak tersesat, tidak gagal. Sudah banyak kasus para penulis yang jatuh bangun, melambung seperti balon gas setelah itu sirna. Barangkali ini sedikit metaforik dari apa yang diungkapkan Nukila Amal, bahwa menulis itu tidak mudah.

Hal kedua, bagaimanapun karya tergantung pembaca. Dalam perjalanan teori sastra Indonesia kita kenal apa yang disebut dengan teori resepsi sastra. Artinya, kebermaknaan sebuah teks sastra sangat tergantung pada kemampuan pembacanya. Wawasan kesastraannya, wawasan kebudayaannya, dan wawasan kebahasaannya akan berperan penting dalam mendorong meningkatnya kemampuan apresiasi ini. Dengan begitu, maka semakin tinggi kemampuan seorang pembaca akan semakin dimensional, semakin luas pula pemahamannya atas sebuah teks sastra. Penilaian baik buruk tidak semudah bagaimana kita melihat permukaan teks, tetapi mencoba masuk ke ruh teks dengan berbagai kemungkiinannya.

Dalam pandangan Maman S Mahayana persoalan kualitas memang terbuka. Senantiasa dapat didiskusikan. Karena itu, seorang penulis tidak boleh surut oleh komentar, kritik, dan penilaian pembaca maupun kritikus. Mereka memang punya hak dan otoritas akan tetapi hakikat teks adalah ruang terbuka yang senantiasa mengundang siapapun orang untuk datang dan menilaiannya. Gak usah kuatir. Penulis alir dalam imajinasi dan kreasi berpuncak pada gunung religi dalam beragam wajah.

Sedangkan terakhir, bagaimana sikap positif seorang penulis pada penulis lainnya dengan memberikan acungan jempol kepada yang lain. Sebagaimana pesan pertama, bahwa menulis itu sulit, maka keberhasilan seseorang dalam melahirkan karya penting untuk dinilai positif. Sebuah keinginan membangun motivasi dan memberikan apresiasi yang tinggi pada mereka yang terus bergulat meningkatkan kreativitas, nyali, dan berbagai bentuk yang mendorong produktivitas berkarya.

Kekaguman pada orang yang bergelut dunia kepenulisan tentunya menjadi ruh religius karena agama menggalakkan profesi ini. Hanya dalam kultur masyarakat yang rendah yang belum memberikan apresiasi tinggi macam Indonesia. Sebuah kemunafikan dari mentalitas masyarakat yang lebih mengideologikan prestise dan status-status lainnya.

Dengan demikian, sebagai pemantik menarik direnungkan ulang. Seorang penulis yang jujur pasti akan mengakui karya orang lain, dan memberikan apresiasi positif, sebaliknya orang yang rendah pengalaman mereka akan menganggap rendah terhadap karya tulis orang lain. Jika mengikuti pesan Nukila, maka penghormatan pada penulis menjadi hal yang semestinya perlu dilakukan. Sekalipun, sekali lagi, bahwa semuanya tergantung pada pembaca. Teks, bagaimanapun indahnya sebagaimana maksud pengarang dan penulis tetapi tetap berpulang sejauh mana ia bermakna bagi pembaca. Mudah-mudahan ke depan kita semakin terdidik menjadi pembaca yang baik, penulis yang baik, dan mediator (kritikus) teks yang baik sehingga perkembangan ilmu pengetahuan, seni budaya, teknologi informasi, politik dan hukum, sosial kemasyarakatan, akan semakin mendapatkan tempat yang jujur sehingga melahirkan manusia yang berbudaya dan berkarya.
****

*) Pernah dimuat di Ponorogo Pos.

A Rodhi Murtadho A. Ginandjar Wiludjeng A. Junianto A. Kurnia A. Qorib Hidayatullah A. Yusrianto Elga A.S Laksana A’yat Khalili Aang Fatihul Islam Abdul Azis Sukarno Abdul Aziz Rasjid Abdul Hadi WM Abdul Kadir Ibrahim Abdul Malik Abdul Razak Abdul Rosyid Abdul Wahab Abdurrahman Wahid Abu Salman Acep Iwan Saidi Acep Zamzam Noor Adam Chiefni Ade P. Nasution Adhitia Armitriant Adi Prasetyo Adrizas AF. Tuasikal Afriza Hanifa Afrizal Malna Agama Para Bajingan Agnes Rita Sulistyawaty Aguk Irawan M.N. Agus B. Harianto Agus Buchori Agus R. Sarjono Agus R. Subagyo Agus Sulton Agus Sunyoto Ahda Imran Ahid Hidayat Ahmad Baso Ahmad Faishal Ahmad Fatoni Ahmad Hasan MS Ahmad Kekal Hamdani Ahmad Khotim Muzakka Ahmad Muchlish Amrin Ahmad Naufel Ahmad Rofiq Ahmad S. Zahari Ahmad Syauqi Sumbawi Ahmad Yulden Erwin Ahmad Zaini Ahmadun Yosi Herfanda Ahsanu Nadia Aini Aviena Violeta Ainul Fiah Ajip Rosidi Akhiriyati Sundari Akhmad Muhaimin Azzet Akhmad Sekhu Akhmad Sofyan Hadi Akhmad Taufiq Akhudiat Akmal Nasery Basral Alam Terkembang Alang Khoiruddin Alex R. Nainggolan Alfian Dippahatang Ali Audah Ali Mahmudi CH Ali Rif’an Almania Rohmah Ami Herman Amien Wangsitalaja Aminah Aminullah HA.Noor Amir Sutaarga Anam Rahus Anata Siregar Andari Karina Anom Andina Dwifatma Andong Buku #3 Andre Mediansyah Andri Awan Anett Tapai Anggie Melianna Anindita S Thayf Anis Ceha Anjrah Lelono Broto Anton Bae Anton Kurnia Anton Wahyudi Anwar Nuris Ardi Bramantyo Ardus M Sawega Arie MP Tamba Arie Yani Arief Joko Wicaksono Arief Junianto Ariera Arif Bagus Prasetyo Aris Kurniawan Arman A.Z. Arswendo Atmowiloto Arti Bumi Intaran AS Sumbawi Asarpin Asep Sambodja Asmaul Fauziyah Asti Musman Atafras Awalludin GD Mualif Ayu Wulan Sari Aziz Abdul Gofar Azizah Hefni Bagus Takwin Bahrul Ulum A. Malik Balada Bale Aksara Balok Sf Bambang Kempling Bamby Cahyadi Bandung Mawardi Beni Setia Benny Arnas Benny Benke Beno Siang Pamungkas Bentara Budaya Yogyakarta Berita Berita Duka Berita Koran Bernando J Sujibto Berthold Damshauser BI Purwantari Binhad Nurrohmat Bobby Gunawan Bonari Nabonenar Brunel University London Budaya Budi Darma Budi P. Hatees Budiman S. Hartoyo Burhanuddin Bella Camelia Mafaza Catatan Cerbung Cerpen Chairul Akhmad Chamim Kohari Chavchay Syaifullah Cover Buku Cucuk Espe D. Zaini Ahmad D. Zawawi Imron Dadang Ari Murtono Dahta Gautama Daisuke Miyoshi Damhuri Muhammad Dami N. Toda Damiri Mahmud Danarto Daniel Paranamesa Danusantoso Dareen Tatour Darju Prasetya David Kuncara Denny Mizhar Denza Perdana Desi Sommalia Gustina Desiana Medya A.L Dewan Kesenian Lamongan (DKL) Dewi Indah Sari Dewi Susme Dian Sukarno Didik Harianto Didik Kusbiantoro Dina Jerphanion Dina Oktaviani Dinas Kebudayaan dan Pariwisata (Disbudpar) Jawa Timur Dipo Handoko Diyah Errita Damayanti Djoko Pitono Djoko Saryono Doddy Wisnu Pribadi Dody Kristianto Dody Yan Masfa Donny Anggoro Donny Syofyan Dorothea Rosa Herliany Dr Junaidi SS MHum Dwi Cipta Dwi Fitria Dwi Pranoto Dwi Wiyana Dyah Ratna Meta Novia Dyah Sulistyorini Ecep Heryadi Eddy Pranata PNP Edeng Syamsul Ma’arif Eep Saefulloh Fatah EH Kartanegara Eka Budianta Eka Kurniawan Eko Hendrawan Sofyan Eko Hendri Saiful Eko Windarto Elnisya Mahendra Elva Lestary Emha Ainun Nadjib Emil WE Endah Sulwesi Endo Suanda Eppril Wulaningtyas R Esai Evan Ys F. Moses F. Rahardi Fadlillah Malin Sutan Fahmi Faqih Fahrudin Nasrulloh Faisal Kamandobat Fajar Kurnianto Fanani Rahman Fanny Chotimah Fatah Anshori Fatah Yasin Noor Febby Fortinella Rusmoyo Felix K. Nesi Festival Sastra Gresik Gabriel Garcia Marquez Galang Ari P. Galuh Tulus Utama Gampang Prawoto Gandra Gupta Ganug Nugroho Adi Gerson Poyk Ghassan Kanafani Gita Nuari Gita Pratama Goenawan Mohamad Grathia Pitaloka Gunoto Saparie H.B. Jassin Habibullah Hadi Napster Hadriani Pudjiarti Halim HD Halimi Zuhdy Hamberan Syahbana Han Gagas Hanibal W. Y. Wijayanta Hardi Haris del Hakim Haris Saputra Harri Ash Shiddiqie Hartono Harimurti Hary B Kori’un Hasan Aspahani Hasan Junus Hasif Amini Hasnan Bachtiar Hasta Indriyana HE. Benyamine Hendra Junaedi Hendra Makmur Heri CS Heri Latief Heri Listianto Herman RN Herry Lamongan Heru CN Heru Nugroho Hikmat Gumelar HL Renjis Magalah Hudan Nur Hujuala Rika Ayu Huminca Sinaga IBM. Dharma Palguna Ibnu Wahyudi Ida Farida Idris Pasaribu Ignas Kleden Ignatius Haryanto Iksan Basoeky Ilham Khoiri Imam Cahyono Imam Muhtarom Imam Nawawi Imamuddin SA Iman Budhi Santosa Imron Rosyid Imron Tohari Indiar Manggara Indra Intisa Indra Tjahyadi Indra Tranggono Indrian Koto Ira Puspitaningsih Irfan Budiman Isbedy Stiawan Z.S. Iskandar Noe Iskandar Zulkarnain Ismail Marzuki Iva Titin Shovia Iwan Kurniawan Jabbar Abdullah Jafar Fakhrurozi Jalan Raya Simo Sungelebak Jamal D. Rahman Jamal T. Suryanata Javed Paul Syatha Jayaning S.A JILFest 2008 Jody Setiawan Johan Edy Raharjo Johannes Sugianto Joko Pinurbo Joko Sandur Joni Ariadinata Jual Buku Jual Buku Paket Hemat Juan Kromen Julika Hasanah Jurnalisme Sastrawi Jusuf AN Juwairiyah Mawardy Ka’bati Karanggeneng Karya Lukisan: Andry Deblenk Kasnadi Keith Foulcher Kemah Budaya Panturan (KBP) Khansa Arifah Adila Khoirul Inayah Khoirul Rosyadi Khudori Husnan Ki Ompong Sudarsono Kirana Kejora Komplek Gor Kamantren Paciran Lamongan Komunitas Deo Gratias Komunitas Sastra Ilalang Indonesia Korrie Layun Rampan Kostela Kritik Sastra Kukuh S Wibowo Kurnia Effendi Kurniawan Kuswaidi Syafi'ie L.N. Idayanie Laili Rahmawati Lamongan Lan Fang Langgeng Widodo Lathifa Akmaliyah Leila S. Chudori Lely Yuana Lembaga Pengembangan Pembelajaran dan Penjaminan Mutu (LP3M) Universitas Jember Liestyo Ambarwati Khohar Lina Kelana Linda Sarmili Liza Wahyuninto Lucia Idayanie Lukman A Sya Lutfiah Lynglieastrid Isabellita M Arman AZ M Ismail M Thobroni M. Afifuddin M. Arwan Hamidi M. Lukluk Atsmara Anjaina M. Lutfi M. Luthfi Aziz M. Nurdin M. Yoesoef M.D. Atmaja M.S. Nugroho Mahendra Cipta Mahmud Jauhari Ali Mahmud Syaltut Usfa Mahmudi Arif Dahlan Malam Apresiasi Seni Tanahmerah Ponorogo Malkan Junaidi Maman S. Mahayana Mardi Luhung Marhalim Zaini Martin Aleida Maruli Tobing Mas Ruscita Mashuri Masuki M. Astro Matroni Matroni Muserang Media: Crayon on Paper Membongkar Mitos Kesusastraan Indonesia MG. Sungatno Mh Zaelani Tammaka Mia Arista Mia El Zahra Mikael Johani Misbahus Surur Misran Mohamad Ali Hisyam Mohammad Eri Irawan Much. Khoiri Muh. Muhlisin Muhammad Al-Fayyadl Muhammad Amin Muhammad Aris Muhammad Muhibbuddin Muhammad Rain Muhammad Taufiqurrohman Muhammad Yasir Muhammad Zuriat Fadil Muhammadun Muhammadun AS Muhidin M Dahlan Mujtahid Mujtahidin Billah Mukti Sutarman Espe Mulyadi SA Mulyosari Banyuurip Ujungpangkah Gresik Munawir Aziz Musfarayani Musfi Efrizal Nafisatul Husniah Nandang Darana Naskah Teater Nelson Alwi Ni Made Purnamasari Nikmatus Sholikhah Nina Herlina Lubis Nina Susilo Ning Elia Noor H. Dee Noval Jubbek Novel-novel berbahasa Jawa Novelet Nunuy Nurhayati Nur Azizah Nur Hamzah Nur Kholiq Nurdin Kalim Nurel Javissyarqi Nurul Aini Nurul Anam Nurul Komariyah Nuryana Asmaudi SA Nyoman Tusthi Eddy Obrolan Okty Budiati Orasi Budaya Akhir Tahun 2018 Otto Sukatno CR Oyos Saroso H.N. Pagan Press Pagelaran Musim Tandur Palupi Panca Astuti Parimono V / 40 Plandi Jombang Pawang Surya Kencana PDS H.B. Jassin Petrus Nandi Politik Politik Sastra Pradana Boy ZTF Pramoedya Ananta Toer Pramono Pringadi AS Prof Dr Fabiola D. Kurnia Prosa Puisi Puji Santosa Puji Tyasari Puput Amiranti N Purnawan Andra Purnawan Kristanto Pusat Dokumentasi Sastra H.B. Jassin Pustaka Ilalang Group PUstaka puJAngga Putu Wijaya Qaris Tajudin R. Ng. Ronggowarsito Rachmad Djoko Pradopo Radhar Panca Dahana Rahmat Kemat Hidayatullah Rahmat Sularso Nh Rakai Lukman Rakhmat Giryadi Rasanrasan Boengaketji Raudal Tanjung Banua Redland Movie Reiny Dwinanda Resensi Rialita Fithra Asmara Ribut Wijoto Riki Dhamparan Putra Riki Utomi Ririe Rengganis Risang Anom Pujayanto Riyon Fidwar Robin Al Kautsar Robin Dos Santos Soares Rodli TL Rofiqi Hasan Roso Titi Sarkoro Rozi Kembara Rukardi Rumah Budaya Pantura (RBP) Rusmanadi S Yoga S. Jai S.W. Teofani Sabrank Suparno Sahaya Santayana Saiful Amin Ghofur Saiful Anam Sainul Hermawan Sajak Salamet Wahedi Salman S. Yoga Samsudin Adlawi Samsul Anam Sanggar Lukis Alam Sanggar Pasir Sanggar Rumah Ilalang KSII Santi Puji Rahayu Sapardi Djoko Damono Saroni Asikin Sartika Dian Nuraini Sastra dan Kuasa Simbolik Sastra Jawa Timur Satmoko Budi Santoso Saut Situmorang Sayyid Fahmi Alathas SelaSastra #24 di Boenga Ketjil Jombang SelaSastra Boenga Ketjil SelaSastra Boenga Ketjil #33 Seno Gumira Ajidarma Seno Joko Suyono Sergi Sutanto Setia Naka Andrian Shiny.ane el’poesya Sholihul Huda Sigit Susanto Sihar Ramses Simatupang Sinopsis Siti Khoeriyah Siti Muyassarotul Hafidzoh Siti Sa’adah Siwi Dwi Saputra Siwi Dwi Saputro Sjifa Amori Slamet Rahardjo Rais Soegiharto Sofyan RH. Zaid Soni Farid Maulana Sony Prasetyotomo Sosiawan Leak Spectrum Center Press Sri Weni Sri Wintala Achmad Suci Ayu Latifah Sucipto Hadi Purnomo Sudirman Sugi Lanus Sukron Ma’mun Sulaiman Djaya Sunaryono Basuki Ks Sungatno Sungging Raga Sunlie Thomas Alexander Sunu Wasono Supriyadi Surya Lesmana Suryanto Sastroatmodjo Susianna Sutardji Calzoum Bachri Sutejo Suyanto Syaf Anton Wr Syaifuddin Gani Syaiful Amin Syarif Wadja Bae Sylvianita Widyawati TanahmeraH ArtSpace Tarmuzie (1961-2019) Taufiq Ismail Taufiq Wr. Hidayat Teguh Presetyo Teguh Setiawan Teguh Winarsho AS Temu Penyair Timur Jawa Tengsoe Tjahjono Tia Setiadi Tirto Suwondo Tita Tjindarbumi Tjahjono Widarmanto Tjahjono Widijanto Toko Buku Murah PUstaka puJAngga Lamongan Tosa Poetra Tri Nurdianingsih Triyanto Triwikromo TS Pinang Tu-ngang Iskandar Tulus S Ulul Azmiyati Umar Fauzi Umar Fauzi Ballah Umar Kayam Umbu Landu Paranggi Universitas Indonesia Universitas Jember Usman Arrumy Utari Tri Prestianti Viddy AD Daery Virdika Rizky Utama W Haryanto W.S. Rendra Wahyu Prasetya Wan Anwar Wawan Eko Yulianto Wawancara Wina Bojonegoro Wita Lestari Wong Wing King Wowok Hesti Prabowo Xu Xi (Sussy Komala) Y. Thendra BP Y. Wibowo Yanusa Nugroho Yasraf Amir Piliang Yayat R. Cipasang Yohanes Sehandi Yona Primadesi Yopi Setia Umbara Yudhi Herwibowo Yudi Latif Yusri Fajar Yusuf Ariel Hakim Yuval Noah Harari Zacky Khairul Uman Zainuddin Sugendal Zamakhsyari Abrar Zawawi Se Zed Abidien Zehan Zareez Zhaenal Fanani Zubaidi Khan Zuniest