Senin, 24 November 2008

Din

AS Sumbawi

Perkenalanku dengan Din berlangsung kebetulan. Malam itu, aku pergi ke warung angkringan untuk mengusir kesuntukan setelah seharian duduk di hadapan komputer. Di sana, kulihat beberapa orang teman duduk melingkar di atas tikar di bawah pohonan. Mereka tampak terlibat dalam obrolan yang mengasyikkan sembari menikmati sebatang rokok dan segelas minuman. Tentu saja, aku bergabung dengan mereka setelah mendapatkan segelas wedang jahe dari si penjual. Tak lama kemudian, salah seorang teman memperkenalkan aku dengannya.

“Din,” katanya mantap dan percaya diri, kemudian meneruskan bicaranya. Sejenak aku pun tahu bahwa tema obrolan yang mengasyikkan itu tak jauh-jauh dari dunia kesenian. Sastra khususnya. Maklumlah, beberapa temanku yang ada di situ juga menulis.

Sungguh enak mendengar Din berbicara. Sistematis dan rinci. Apalagi wawasannya luas dan pemikirannya kritis. Sebenarnya, nama Din Ufriza tak asing bagiku. Karena tulisan-tulisannya kerap menghiasi rubrik sastra budaya di beberapa surat kabar. Baik puisi, cerpen, maupun esai. Dan aku terkesan olehnya. Namun, baru kali ini aku bertemu langsung dengannya.

Setelah beberapa orang temanku pergi, dan yang tinggal hanya aku, ia, dan salah seorang teman bernama Iman, Din membacakan beberapa puisinya.

Aku suka dengan gayanya membaca puisi. Selain tenang, artikulasi tiap katanya pun jelas sehingga dengan mudah aku menangkapnya. Dan setiap kali selesai membacakan puisinya, ia senantiasa berkata kepadaku: “Enak, Awik?” Aku tersenyum.

“Din, kau suka Chairil Anwar?” tebakku.
“Suka sekali. Kenapa, Awik?”
“Tidak. Aku cuma melihat puisi-puisimu berbau eksistensialisme.”
“Ya. Kau tahu kenapa? Eksistensialisme membuat orang kuat, tegar, sekaligus gelisah. Iya khan, Awik?” Aku tersenyum.

Din tampak lebih akrab denganku daripada dengan Iman. Aku menduga bahwa di samping status kami yang ‘pengangguran’, ini juga dipicu oleh beberapa teman yang melebih-lebihkan aku saat perkenalan tadi.

Tak lama kemudian, Iman membacakan salah satu puisinya.

“Bagus sekali, Iman. Tapi, hanya gayamu membaca saja yang aku suka. Sedangkan puisimu buruk sekali. Kau cocok jadi seorang aktor,” kata Din terus terang. Kulihat ada kekecewaan di wajah Iman.

Din kemudian mengatakan bahwa tidak ada sesuatu yang mendasar dengan puisi-puisi Iman. Di samping itu, diksi-diksi yang dipakai membuat tema yang akan diangkat menjadi melebar. Tidak fokus. Juga tidak padat. Din yakin jika beberapa kata dalam puisi-puisi Iman dipotong, tidak akan berpengaruh apa-apa.

Iman mencoba membela diri. Namun Din lebih menguasai pembahasan.

“Iya kan, Awik?” Aku hanya tersenyum.
“Kaubakar saja puisi-puisimu, Iman! Kemudian cobalah menulis puisi lagi. Yang temanya mendasar. Padat. Terfokus. Dan perfect,” tambahnya.

Meskipun aku sependapat dengan Din, aku kurang setuju dengan ungkapan-ungkapan Din yang keras yang barangkali bisa membunuh kemauan seseorang. Namun setelah mendengar komentar-komentarnya, aku pun menduga bahwa itu adalah gayanya.
“Sekarang giliranmu, Awik!”
*

Beberapa hari kemudian. Saat itu dini hari sekitar pukul 00.30. Din datang ke kamarku. Katanya, dia baru saja bertemu dengan teman-temanku di angkringan. Dan mereka mengatakan bahwa aku baru saja pulang dari sana.

Sebenarnya saat dia datang, aku mau pergi ke kontrakkan teman-temanku. Menurut rencana, di sana kami akan nonton film Elpostino dan No Exclip yang menceritakan tentang Pablo Neruda dan Arthur Rimbaud. Namun setelah Din mengatakan bahwa pikirannya lagi tidak karuan, aku pun membatalkannya. Sebentar kemudian, aku membuat kopi untuk menemani obrolan yang kubayangkan akan panjang.
*

Din kerap datang ke kamarku. Aku semakin akrab dengannya. Dari obrolan yang terjadi, aku pun tahu bahwa sejak SD sampai usia dua puluh empat tahun ini, ia sudah tidak tinggal di rumah. Oleh ayahnya, ia dimasukkan ke pesantren. Baru setelah lulus SMU, ia sudah tidak di pesantren lagi, tapi berkelana ke sana ke mari. Kadang tinggal di Bandung, Bali, Jogjakarta, Surabaya, Jakarta, Bali, Solo, dan sebagainya. Dan ini dikuatkan dengan ia yang sering mendapat telepon atau SMS dari beberapa seniman nasional yang tinggal di kota-kota tersebut. Katanya lagi, ia jarang pulang dan merasa enggan untuk pulang ke kampung halaman yang ada di sebuah kota kecil di Jawa. Karena rasa enggannya ini, seketika aku menduga.

“Apakah kau anak pertama?”
“Benar. Kenapa, Awik?”
“Tidak. Karena aku juga anak pertama.”

Kemudian ia menjelaskan bahwa dirinya sering cekcok dengan ayahnya. Baginya, setiap kali berbicara dengan ayahnya, perkataan ayahnya sering terasa menghakimi dirinya. Dan ini berbeda ketika ayahnya berhadapan adik perempuannya. Sementara hubungan antara dia dan ibunya lebih bersahabat. Aku lantas berkata: “aku pun demikian.”

Ketika kutanya: “Apakah kau tak ada rencana kuliah?” Dia mengatakan bahwa sebenarnya ia ingin kuliah. Tidak di Indonesia. Tapi di luar negeri. Ia kecewa dengan pendidikan yang ada di Indonesia. Dan aku masih ingat tentang nama-nama kampus yang disebutkannya, Universitas Sorbonne, Edinburg, dan Oxford.

Meskipun tidak kuliah, ia pernah mengatakan padaku bahwa ia aktif dalam kelompok diskusi mahasiswa di beberapa kampus. Ia juga pernah aktif dalam sebuah LSM. Dan seorang temanku pernah mengatakan bahwa Din sering menjadi pembicara pada seminar-seminar di kampusnya.

“Apa jadinya jika sejak kecil aku tidak menambah pelajaranku dengan membaca buku-buku kelas dunia?! Tidak lain, kualitas intelektualku hanya sebatas lulusan S1,” katanya suatu hari dengan mantap.
*

Tidak siang tidak malam, Din masih kerap datang ke kamarku. Tak jarang ketika aku pulang dari bepergian, aku menemukan ia tidur, membaca atau menulis di kamarku. Katanya, ia senang berada di kamarku. Di samping suasananya yang tenang, kamarku juga inspiratif.

Katanya lagi, kamarku benar-benar spesial. Di sini ia bisa menghasilkan banyak tulisan. Berbeda dengan yang lainnya. Baru kali ini ia merasa sangat produktif.

“Apakah ada kamar kosong di sini, Awik?” katanya.
“Bukankah kau sudah punya kost?”

Din kemudian menjelaskan bahwa ia memang mempunyai kamar di rumah salah seorang pamannya. Namun, letaknya cukup jauh dari daerah ini. Dan selama ini ia jarang di sana. Ia lebih sering ada di daerah ini dan numpang di kost salah seorang temannya yang cukup dekat dengan kostku. Hanya dibatasi lima rumah saja.

“Sayang, tidak ada,” kataku. Aku menyulut sebatang rokok, lalu pergi ke belakang.

Setelah aku datang dengan secangkir kopi, Din berhenti menulis. Kemudian ia mengatakan bahwa hari minggu ini, beberapa puisinya dimuat di dua surat kabar nasional. Dan ia meyakinkan bahwa aku sudah membaca semua puisinya yang dimuat itu.
*

Suatu hari ketika aku baru saja pulang dari memasukkan lamaran pekerjaan, aku menemukan dia di kamarku sedang duduk di hadapan komputer. Tiba-tiba dia berkata:

“Baca ini!” sembari mengulurkan sebuah news letter. Aku terperangah.
“Aku kecewa kepadamu, Awik.”
“Kecewa!?”
“Cerpenmu buruk sekali.”

Aku segera menduga bahwa ia baru saja membuka-buka file tulisanku. Selama ini aku selalu beralasan bahwa aku tak pernah menulis cerpen.

Kemudian ia menilai cerpen-cerpen yang aku tulis kampungan, sampah, tidak ada refleksi, tidak layak untuk disumbangkan untuk kebudayaan. Dibakar saja.

“Coba kaugarap cerpenmu yang bagus. Elegant. Kau sistematiskan plot-nya. Tangga dramatikanya. Kaubikin karakter tokoh-tokohnya yang kuat. Kejutan-kejutan yang jenius dan bisa membuat shock pembaca.”

Aku hanya diam dengan menimbun kesal.
“Ah, aku kecewa, Awik,” lanjutnya. Kemudian ia menghirup sisa kopi yang beberapa jam lalu kubikin. Segera kusulut rokok untuk menenangkan diriku. Dalam hati aku membenarkannya. Din menunjukkan kelemahan-kelemahanku dengan tegas.

“Sebenarnya, ide-idemu bagus. Tapi sayang, kau asal-asalan menggarapnya. Kauingin cerpenmu cepat-cepat dimuat. Dan kalaupun cerpenmu itu dimuat, aku yakin itu akan menjadi catatan buruk bagimu.” Ia diam sejenak. Menyulut sebatang rokok. Sementara aku masih terdiam.

“Lihatlah para sastrawan dunia, Neruda, Borges, Hesse, Pasternak, Tolstoy, Umberto Eco, dan sebagainya. Mereka tidak main-main dalam menulis. Seluruh hidupnya mereka persembahkan hanya untuk membuat karya yang benar-benar kelas satu. Masterpeace,” tambahnya.

Kami terdiam cukup lama. Kemudian ia kembali menulis. Sementara aku pergi ke belakang.
*

Sudah dua hari ini aku tak pernah melihat Din di kamarku. Dan aku tak ada niat untuk mencari dirinya. Selama dua hari ini pula aku masih dibebani oleh efek-efek dari kritikan Din. Ya, kritikan Din membuat aku perlu melakukan refleksi. Aku sadar bahwa apa yang dikatakan Din benar. Aku tidak total. Dan itu sudah cukup.

Sementara itu, aku mendengar beberapa temanku membicarakan tentang keburukan-keburukan Din. Sikapnya yang tidak aturan, seenaknya sendiri, angkuh, keras kepala, dan sikap lainya yang menunjukkan ke-bohemian-nya. Sebenarnya, aku tak kaget dengan hal itu karena aku mengalaminya sendiri sejak akrab dengannya. Dan aku memakluminya. Tiba-tiba aku merasa kecewa dengan beberapa temanku. Ya, mereka hanya melihat keburukan Din. Padahal jika mereka bisa bersikap lebih dewasa, aku yakin mereka akan mendapatkan beberapa pelajaran terutama, wawasan keilmuannya, dan kesungguhannya dalam berkarya.

Pernah suatu ketika seorang temanku, Iwan, menyatakan kekecewaannya tentang sikap beberapa teman itu kepadaku. Dan alasannya, kurang lebih sama denganku.

Tiba-tiba Iwan memperingatkan aku agar berhati-hati dengan Din. Katanya, Din terkenal banyak hutang. Bahkan ia juga pernah menggadaikan motor milik temannya tanpa sepengetahuan temannya tersebut. Namun, aku menjawab: “tentang hal itu santai saja, Wan. Aku sudah mengatakan kepada Din, bahwa aku sering kekurangan uang.”
*

Sehari telah berlalu. Entah kenapa tiba-tiba aku ingin mencari Din. Aku kemudian pergi ke kost temannya yang ditumpangi Din. Ketika pemilik kamar itu kutanya tentang di mana Din, ia mengatakan bahwa dirinya tak tahu. Lantas ia menambahkan:

“Ya, begitulah Din. Dia suka keluyuran. Kadang di sana, kadang di sini. Entahlah.”

Karena cukup lama ngobrol, kami berkenalan. Ia bernama Aziz. Tentu saja aku sudah tahu dari Din.

“O, rupanya sampeyan yang bernama Awik,” katanya. Aku tersenyum. Aziz mengatakan bahwa ia sering mendengar tentang diriku dari Din.

Kemudian ia menceritakan bahwa dirinya sudah lama kenal dengan Din. Bahkan sejak di pesantren anak-anak waktu SD dulu. Ia tahu kelakuan Din yang seenaknya itu. Namun, ia maklum. “Barangkali karena sudah terbiasa,” katanya.
*

Din masih juga belum terlihat di mataku. Sementara itu, di kalangan beberapa temanku, Din sudah menjadi semacam olok-olokan. Barang siapa yang ngeyel, angkuh, seenaknya sendiri, maka disebut sebagai penganut Din-isme. Aku marah kepada mereka. Kemudian dengan enteng mereka berkata bahwa ini hanya lelucon. Hanya guyonan saja. Namun aku sudah terlanjur marah dan mengatakan bahwa guyonan seperti itu adalah guyonan tolol.

Aku bersitegang dengan salah seorang di antara mereka yang tersinggung dengan ucapanku. Untunglah, beberapa teman meleraikan kami. Tak lama kemudian aku pulang.

Di perjalanan, tiba-tiba aku teringat perkataan Din tentang teman-temanku. Katanya: “Kau tidak akan maju kalau terus bergaul dengan mereka, Awik. Mereka tidak mempunyai basic pemikiran yang mantap. Mereka hanya grumbal-grumbul, tongkrang-tongkrong tak karuan. Gaya hidupnya saja yang seniman. Tidak ada karya. Kalaupun memilih berkesenian, mereka hanyalah kuli. Dan coba kauperhatikan guyonan mereka. Tolol, bukan? Tidak ada kecerdasan tampak di sana.”
*

Suatu hari. Saat itu sekitar pukul 03.00, dan aku baru saja pulang dari warnet. Aku mencoba menghidupkan lampu kamarku.

“Awik?”
“Kau, Din.” Kulihat ia rebah berselimut di atas punggung kasur.
“Dari mana saja tidak pernah kelihatan?”

Ia kemudian mengatakan bahwa dirinya beberapa hari ini ada di Solo. Dan tinggal di rumah salah seorang budayawan kenalannya. Katanya, di sana ia dan beberapa temannya sedang mempersiapkan berdirinya ‘rumah belajar sastra’.

Ketika aku menghidupkan komputer, ia berkata: “Aku lapar, Awik. Kau punya uang?”

“Ada. Tapi, tak banyak. Cukuplah kalau untuk makan.”
Aku mengulurkan uang lima ribuan. Ia pun segera pergi ke warung. Sebenarnya, ia mengajakku. Namun, aku mengatakan bahwa aku baru saja dari warung.

Sekitar dua puluh menit kemudian dia datang lagi. Dan aku baru saja selesai menulis sebuah puisi.

“Apa itu, Awik? Puisi?” katanya.
“Iya.” Aku berharap ia akan membacanya, kemudian mengkritiknya. Namun, harapanku gagal. Ia tak berbicara apapun tentang puisiku. Ia malah berkata:
“Sudah kaubaca cerpenku?”

“Sudah.”
“Bagaimana? Bagus bukan?” katanya. Aku hanya tersenyum.
“Dan tidak kalah dengan cerpen-cerpen kelas dunia bukan?” tambahnya. Meskipun hanya tersenyum, dalam hati aku terkesan dengan cerpennya yang ada di news letter yang dia berikan saat dia merasa kecewa kepadaku beberapa hari yang lalu.
*

Kembali Din tak terlihat di mataku. Dan kini sudah tiga hari. Aku menduga bahwa ia pergi ke Solo untuk menyelesaikan pendirian ‘rumah belajar sastra’. Sementara hubungan antara aku dan beberapa teman mulai membaik. Mereka tidak lagi berbicara tentang keburukan-keburukan Din. Aku senang akan hal itu.

Sore hari. Dalam perjalanan pulang dari angkringan, entah tiba-tiba saja aku ingin mampir ke kost Aziz. Dan tanpa banyak berpikir, aku membelokkan langkah kaki.

Pintu kamar Aziz terkuak sedikit. Kulihat seseorang menggeliat di kasur.

“Aziz,” panggilku.
“Siapa?” terdengar suara Din.
“Awik.”
“Masuk, Awik.”
“Kenapa, Din? Sakit?” kataku setelah melihat ia berselimut.

“Badanku terasa nggak enak,” jawabnya lirih.
“Sudah, istirahat saja,” kataku. Kupandangi ia sejenak. Kasihan Din. Ia terlalu keras berusaha sampai tak menghiraukan kesehatannya.

Kulihat di salah satu bagian kamar terdapat seperangkat komputer. Terlintas di pikiranku untuk menghidupkannya. Aku menduga di komputer ini karya-karya Din banyak tersimpan.

Aku memencet tombol power sembari memperhatikan potret Din berukuran 3R yang menempel di bagian atas CPU. Tiba-tiba potret itu terlepas. Jatuh ke lantai. Terbalik. Kulihat ada tulisan di sana. “Peraih Nobel Sastra 2010.” Segera kualihkan mataku. Melihat Din terbujur di punggung kasur. Sedang sakit. (*) .

Tidak ada komentar:

A Rodhi Murtadho A. Ginandjar Wiludjeng A. Junianto A. Kurnia A. Qorib Hidayatullah A. Yusrianto Elga A.S Laksana A’yat Khalili Aang Fatihul Islam Abdul Azis Sukarno Abdul Aziz Rasjid Abdul Hadi WM Abdul Kadir Ibrahim Abdul Malik Abdul Razak Abdul Rosyid Abdul Wahab Abdurrahman Wahid Abu Salman Acep Iwan Saidi Acep Zamzam Noor Adam Chiefni Ade P. Nasution Adhitia Armitriant Adi Prasetyo Adrizas AF. Tuasikal Afriza Hanifa Afrizal Malna Agama Para Bajingan Agnes Rita Sulistyawaty Aguk Irawan M.N. Agus B. Harianto Agus Buchori Agus R. Sarjono Agus R. Subagyo Agus Sulton Agus Sunyoto Ahda Imran Ahid Hidayat Ahmad Baso Ahmad Faishal Ahmad Fatoni Ahmad Hasan MS Ahmad Kekal Hamdani Ahmad Khotim Muzakka Ahmad Muchlish Amrin Ahmad Naufel Ahmad Rofiq Ahmad S. Zahari Ahmad Syauqi Sumbawi Ahmad Yulden Erwin Ahmad Zaini Ahmadun Yosi Herfanda Ahsanu Nadia Aini Aviena Violeta Ainul Fiah Ajip Rosidi Akhiriyati Sundari Akhmad Muhaimin Azzet Akhmad Sekhu Akhmad Sofyan Hadi Akhmad Taufiq Akhudiat Akmal Nasery Basral Alam Terkembang Alang Khoiruddin Alex R. Nainggolan Alfian Dippahatang Ali Audah Ali Mahmudi CH Ali Rif’an Almania Rohmah Ami Herman Amien Wangsitalaja Aminah Aminullah HA.Noor Amir Sutaarga Anam Rahus Anata Siregar Andari Karina Anom Andina Dwifatma Andong Buku #3 Andre Mediansyah Andri Awan Anett Tapai Anggie Melianna Anindita S Thayf Anis Ceha Anjrah Lelono Broto Anton Bae Anton Kurnia Anton Wahyudi Anwar Nuris Ardi Bramantyo Ardus M Sawega Arie MP Tamba Arie Yani Arief Joko Wicaksono Arief Junianto Ariera Arif Bagus Prasetyo Aris Kurniawan Arman A.Z. Arswendo Atmowiloto Arti Bumi Intaran AS Sumbawi Asarpin Asep Sambodja Asmaul Fauziyah Asti Musman Atafras Awalludin GD Mualif Ayu Wulan Sari Aziz Abdul Gofar Azizah Hefni Bagus Takwin Bahrul Ulum A. Malik Balada Bale Aksara Balok Sf Bambang Kempling Bamby Cahyadi Bandung Mawardi Beni Setia Benny Arnas Benny Benke Beno Siang Pamungkas Bentara Budaya Yogyakarta Berita Berita Duka Berita Koran Bernando J Sujibto Berthold Damshauser BI Purwantari Binhad Nurrohmat Bobby Gunawan Bonari Nabonenar Brunel University London Budaya Budi Darma Budi P. Hatees Budiman S. Hartoyo Burhanuddin Bella Camelia Mafaza Catatan Cerbung Cerpen Chairul Akhmad Chamim Kohari Chavchay Syaifullah Cover Buku Cucuk Espe D. Zaini Ahmad D. Zawawi Imron Dadang Ari Murtono Dahta Gautama Daisuke Miyoshi Damhuri Muhammad Dami N. Toda Damiri Mahmud Danarto Daniel Paranamesa Danusantoso Dareen Tatour Darju Prasetya David Kuncara Denny Mizhar Denza Perdana Desi Sommalia Gustina Desiana Medya A.L Dewan Kesenian Lamongan (DKL) Dewi Indah Sari Dewi Susme Dian Sukarno Didik Harianto Didik Kusbiantoro Dina Jerphanion Dina Oktaviani Dinas Kebudayaan dan Pariwisata (Disbudpar) Jawa Timur Dipo Handoko Diyah Errita Damayanti Djoko Pitono Djoko Saryono Doddy Wisnu Pribadi Dody Kristianto Dody Yan Masfa Donny Anggoro Donny Syofyan Dorothea Rosa Herliany Dr Junaidi SS MHum Dwi Cipta Dwi Fitria Dwi Pranoto Dwi Wiyana Dyah Ratna Meta Novia Dyah Sulistyorini Ecep Heryadi Eddy Pranata PNP Edeng Syamsul Ma’arif Eep Saefulloh Fatah EH Kartanegara Eka Budianta Eka Kurniawan Eko Hendrawan Sofyan Eko Hendri Saiful Eko Windarto Elnisya Mahendra Elva Lestary Emha Ainun Nadjib Emil WE Endah Sulwesi Endo Suanda Eppril Wulaningtyas R Esai Evan Ys F. Moses F. Rahardi Fadlillah Malin Sutan Fahmi Faqih Fahrudin Nasrulloh Faisal Kamandobat Fajar Kurnianto Fanani Rahman Fanny Chotimah Fatah Anshori Fatah Yasin Noor Febby Fortinella Rusmoyo Felix K. Nesi Festival Sastra Gresik Gabriel Garcia Marquez Galang Ari P. Galuh Tulus Utama Gampang Prawoto Gandra Gupta Ganug Nugroho Adi Gerson Poyk Ghassan Kanafani Gita Nuari Gita Pratama Goenawan Mohamad Grathia Pitaloka Gunoto Saparie H.B. Jassin Habibullah Hadi Napster Hadriani Pudjiarti Halim HD Halimi Zuhdy Hamberan Syahbana Han Gagas Hanibal W. Y. Wijayanta Hardi Haris del Hakim Haris Saputra Harri Ash Shiddiqie Hartono Harimurti Hary B Kori’un Hasan Aspahani Hasan Junus Hasif Amini Hasnan Bachtiar Hasta Indriyana HE. Benyamine Hendra Junaedi Hendra Makmur Heri CS Heri Latief Heri Listianto Herman RN Herry Lamongan Heru CN Heru Nugroho Hikmat Gumelar HL Renjis Magalah Hudan Nur Hujuala Rika Ayu Huminca Sinaga IBM. Dharma Palguna Ibnu Wahyudi Ida Farida Idris Pasaribu Ignas Kleden Ignatius Haryanto Iksan Basoeky Ilham Khoiri Imam Cahyono Imam Muhtarom Imam Nawawi Imamuddin SA Iman Budhi Santosa Imron Rosyid Imron Tohari Indiar Manggara Indra Intisa Indra Tjahyadi Indra Tranggono Indrian Koto Ira Puspitaningsih Irfan Budiman Isbedy Stiawan Z.S. Iskandar Noe Iskandar Zulkarnain Ismail Marzuki Iva Titin Shovia Iwan Kurniawan Jabbar Abdullah Jafar Fakhrurozi Jalan Raya Simo Sungelebak Jamal D. Rahman Jamal T. Suryanata Javed Paul Syatha Jayaning S.A JILFest 2008 Jody Setiawan Johan Edy Raharjo Johannes Sugianto Joko Pinurbo Joko Sandur Joni Ariadinata Jual Buku Jual Buku Paket Hemat Juan Kromen Julika Hasanah Jurnalisme Sastrawi Jusuf AN Juwairiyah Mawardy Ka’bati Karanggeneng Karya Lukisan: Andry Deblenk Kasnadi Keith Foulcher Kemah Budaya Panturan (KBP) Khansa Arifah Adila Khoirul Inayah Khoirul Rosyadi Khudori Husnan Ki Ompong Sudarsono Kirana Kejora Komplek Gor Kamantren Paciran Lamongan Komunitas Deo Gratias Komunitas Sastra Ilalang Indonesia Korrie Layun Rampan Kostela Kritik Sastra Kukuh S Wibowo Kurnia Effendi Kurniawan Kuswaidi Syafi'ie L.N. Idayanie Laili Rahmawati Lamongan Lan Fang Langgeng Widodo Lathifa Akmaliyah Leila S. Chudori Lely Yuana Lembaga Pengembangan Pembelajaran dan Penjaminan Mutu (LP3M) Universitas Jember Liestyo Ambarwati Khohar Lina Kelana Linda Sarmili Liza Wahyuninto Lucia Idayanie Lukman A Sya Lutfiah Lynglieastrid Isabellita M Arman AZ M Ismail M Thobroni M. Afifuddin M. Arwan Hamidi M. Lukluk Atsmara Anjaina M. Lutfi M. Luthfi Aziz M. Nurdin M. Yoesoef M.D. Atmaja M.S. Nugroho Mahendra Cipta Mahmud Jauhari Ali Mahmud Syaltut Usfa Mahmudi Arif Dahlan Malam Apresiasi Seni Tanahmerah Ponorogo Malkan Junaidi Maman S. Mahayana Mardi Luhung Marhalim Zaini Martin Aleida Maruli Tobing Mas Ruscita Mashuri Masuki M. Astro Matroni Matroni Muserang Media: Crayon on Paper Membongkar Mitos Kesusastraan Indonesia MG. Sungatno Mh Zaelani Tammaka Mia Arista Mia El Zahra Mikael Johani Misbahus Surur Misran Mohamad Ali Hisyam Mohammad Eri Irawan Much. Khoiri Muh. Muhlisin Muhammad Al-Fayyadl Muhammad Amin Muhammad Aris Muhammad Muhibbuddin Muhammad Rain Muhammad Taufiqurrohman Muhammad Yasir Muhammad Zuriat Fadil Muhammadun Muhammadun AS Muhidin M Dahlan Mujtahid Mujtahidin Billah Mukti Sutarman Espe Mulyadi SA Mulyosari Banyuurip Ujungpangkah Gresik Munawir Aziz Musfarayani Musfi Efrizal Nafisatul Husniah Nandang Darana Naskah Teater Nelson Alwi Ni Made Purnamasari Nikmatus Sholikhah Nina Herlina Lubis Nina Susilo Ning Elia Noor H. Dee Noval Jubbek Novel-novel berbahasa Jawa Novelet Nunuy Nurhayati Nur Azizah Nur Hamzah Nur Kholiq Nurdin Kalim Nurel Javissyarqi Nurul Aini Nurul Anam Nurul Komariyah Nuryana Asmaudi SA Nyoman Tusthi Eddy Obrolan Okty Budiati Orasi Budaya Akhir Tahun 2018 Otto Sukatno CR Oyos Saroso H.N. Pagan Press Pagelaran Musim Tandur Palupi Panca Astuti Parimono V / 40 Plandi Jombang Pawang Surya Kencana PDS H.B. Jassin Petrus Nandi Politik Politik Sastra Pradana Boy ZTF Pramoedya Ananta Toer Pramono Pringadi AS Prof Dr Fabiola D. Kurnia Prosa Puisi Puji Santosa Puji Tyasari Puput Amiranti N Purnawan Andra Purnawan Kristanto Pusat Dokumentasi Sastra H.B. Jassin Pustaka Ilalang Group PUstaka puJAngga Putu Wijaya Qaris Tajudin R. Ng. Ronggowarsito Rachmad Djoko Pradopo Radhar Panca Dahana Rahmat Kemat Hidayatullah Rahmat Sularso Nh Rakai Lukman Rakhmat Giryadi Rasanrasan Boengaketji Raudal Tanjung Banua Redland Movie Reiny Dwinanda Resensi Rialita Fithra Asmara Ribut Wijoto Riki Dhamparan Putra Riki Utomi Ririe Rengganis Risang Anom Pujayanto Riyon Fidwar Robin Al Kautsar Robin Dos Santos Soares Rodli TL Rofiqi Hasan Roso Titi Sarkoro Rozi Kembara Rukardi Rumah Budaya Pantura (RBP) Rusmanadi S Yoga S. Jai S.W. Teofani Sabrank Suparno Sahaya Santayana Saiful Amin Ghofur Saiful Anam Sainul Hermawan Sajak Salamet Wahedi Salman S. Yoga Samsudin Adlawi Samsul Anam Sanggar Lukis Alam Sanggar Pasir Sanggar Rumah Ilalang KSII Santi Puji Rahayu Sapardi Djoko Damono Saroni Asikin Sartika Dian Nuraini Sastra dan Kuasa Simbolik Sastra Jawa Timur Satmoko Budi Santoso Saut Situmorang Sayyid Fahmi Alathas SelaSastra #24 di Boenga Ketjil Jombang SelaSastra Boenga Ketjil SelaSastra Boenga Ketjil #33 Seno Gumira Ajidarma Seno Joko Suyono Sergi Sutanto Setia Naka Andrian Shiny.ane el’poesya Sholihul Huda Sigit Susanto Sihar Ramses Simatupang Sinopsis Siti Khoeriyah Siti Muyassarotul Hafidzoh Siti Sa’adah Siwi Dwi Saputra Siwi Dwi Saputro Sjifa Amori Slamet Rahardjo Rais Soegiharto Sofyan RH. Zaid Soni Farid Maulana Sony Prasetyotomo Sosiawan Leak Spectrum Center Press Sri Weni Sri Wintala Achmad Suci Ayu Latifah Sucipto Hadi Purnomo Sudirman Sugi Lanus Sukron Ma’mun Sulaiman Djaya Sunaryono Basuki Ks Sungatno Sungging Raga Sunlie Thomas Alexander Sunu Wasono Supriyadi Surya Lesmana Suryanto Sastroatmodjo Susianna Sutardji Calzoum Bachri Sutejo Suyanto Syaf Anton Wr Syaifuddin Gani Syaiful Amin Syarif Wadja Bae Sylvianita Widyawati TanahmeraH ArtSpace Tarmuzie (1961-2019) Taufiq Ismail Taufiq Wr. Hidayat Teguh Presetyo Teguh Setiawan Teguh Winarsho AS Temu Penyair Timur Jawa Tengsoe Tjahjono Tia Setiadi Tirto Suwondo Tita Tjindarbumi Tjahjono Widarmanto Tjahjono Widijanto Toko Buku Murah PUstaka puJAngga Lamongan Tosa Poetra Tri Nurdianingsih Triyanto Triwikromo TS Pinang Tu-ngang Iskandar Tulus S Ulul Azmiyati Umar Fauzi Umar Fauzi Ballah Umar Kayam Umbu Landu Paranggi Universitas Indonesia Universitas Jember Usman Arrumy Utari Tri Prestianti Viddy AD Daery Virdika Rizky Utama W Haryanto W.S. Rendra Wahyu Prasetya Wan Anwar Wawan Eko Yulianto Wawancara Wina Bojonegoro Wita Lestari Wong Wing King Wowok Hesti Prabowo Xu Xi (Sussy Komala) Y. Thendra BP Y. Wibowo Yanusa Nugroho Yasraf Amir Piliang Yayat R. Cipasang Yohanes Sehandi Yona Primadesi Yopi Setia Umbara Yudhi Herwibowo Yudi Latif Yusri Fajar Yusuf Ariel Hakim Yuval Noah Harari Zacky Khairul Uman Zainuddin Sugendal Zamakhsyari Abrar Zawawi Se Zed Abidien Zehan Zareez Zhaenal Fanani Zubaidi Khan Zuniest