AS Sumbawi
Perkenalanku dengan Din berlangsung kebetulan. Malam itu, aku pergi ke warung angkringan untuk mengusir kesuntukan setelah seharian duduk di hadapan komputer. Di sana, kulihat beberapa orang teman duduk melingkar di atas tikar di bawah pohonan. Mereka tampak terlibat dalam obrolan yang mengasyikkan sembari menikmati sebatang rokok dan segelas minuman. Tentu saja, aku bergabung dengan mereka setelah mendapatkan segelas wedang jahe dari si penjual. Tak lama kemudian, salah seorang teman memperkenalkan aku dengannya.
“Din,” katanya mantap dan percaya diri, kemudian meneruskan bicaranya. Sejenak aku pun tahu bahwa tema obrolan yang mengasyikkan itu tak jauh-jauh dari dunia kesenian. Sastra khususnya. Maklumlah, beberapa temanku yang ada di situ juga menulis.
Sungguh enak mendengar Din berbicara. Sistematis dan rinci. Apalagi wawasannya luas dan pemikirannya kritis. Sebenarnya, nama Din Ufriza tak asing bagiku. Karena tulisan-tulisannya kerap menghiasi rubrik sastra budaya di beberapa surat kabar. Baik puisi, cerpen, maupun esai. Dan aku terkesan olehnya. Namun, baru kali ini aku bertemu langsung dengannya.
Setelah beberapa orang temanku pergi, dan yang tinggal hanya aku, ia, dan salah seorang teman bernama Iman, Din membacakan beberapa puisinya.
Aku suka dengan gayanya membaca puisi. Selain tenang, artikulasi tiap katanya pun jelas sehingga dengan mudah aku menangkapnya. Dan setiap kali selesai membacakan puisinya, ia senantiasa berkata kepadaku: “Enak, Awik?” Aku tersenyum.
“Din, kau suka Chairil Anwar?” tebakku.
“Suka sekali. Kenapa, Awik?”
“Tidak. Aku cuma melihat puisi-puisimu berbau eksistensialisme.”
“Ya. Kau tahu kenapa? Eksistensialisme membuat orang kuat, tegar, sekaligus gelisah. Iya khan, Awik?” Aku tersenyum.
Din tampak lebih akrab denganku daripada dengan Iman. Aku menduga bahwa di samping status kami yang ‘pengangguran’, ini juga dipicu oleh beberapa teman yang melebih-lebihkan aku saat perkenalan tadi.
Tak lama kemudian, Iman membacakan salah satu puisinya.
“Bagus sekali, Iman. Tapi, hanya gayamu membaca saja yang aku suka. Sedangkan puisimu buruk sekali. Kau cocok jadi seorang aktor,” kata Din terus terang. Kulihat ada kekecewaan di wajah Iman.
Din kemudian mengatakan bahwa tidak ada sesuatu yang mendasar dengan puisi-puisi Iman. Di samping itu, diksi-diksi yang dipakai membuat tema yang akan diangkat menjadi melebar. Tidak fokus. Juga tidak padat. Din yakin jika beberapa kata dalam puisi-puisi Iman dipotong, tidak akan berpengaruh apa-apa.
Iman mencoba membela diri. Namun Din lebih menguasai pembahasan.
“Iya kan, Awik?” Aku hanya tersenyum.
“Kaubakar saja puisi-puisimu, Iman! Kemudian cobalah menulis puisi lagi. Yang temanya mendasar. Padat. Terfokus. Dan perfect,” tambahnya.
Meskipun aku sependapat dengan Din, aku kurang setuju dengan ungkapan-ungkapan Din yang keras yang barangkali bisa membunuh kemauan seseorang. Namun setelah mendengar komentar-komentarnya, aku pun menduga bahwa itu adalah gayanya.
“Sekarang giliranmu, Awik!”
*
Beberapa hari kemudian. Saat itu dini hari sekitar pukul 00.30. Din datang ke kamarku. Katanya, dia baru saja bertemu dengan teman-temanku di angkringan. Dan mereka mengatakan bahwa aku baru saja pulang dari sana.
Sebenarnya saat dia datang, aku mau pergi ke kontrakkan teman-temanku. Menurut rencana, di sana kami akan nonton film Elpostino dan No Exclip yang menceritakan tentang Pablo Neruda dan Arthur Rimbaud. Namun setelah Din mengatakan bahwa pikirannya lagi tidak karuan, aku pun membatalkannya. Sebentar kemudian, aku membuat kopi untuk menemani obrolan yang kubayangkan akan panjang.
*
Din kerap datang ke kamarku. Aku semakin akrab dengannya. Dari obrolan yang terjadi, aku pun tahu bahwa sejak SD sampai usia dua puluh empat tahun ini, ia sudah tidak tinggal di rumah. Oleh ayahnya, ia dimasukkan ke pesantren. Baru setelah lulus SMU, ia sudah tidak di pesantren lagi, tapi berkelana ke sana ke mari. Kadang tinggal di Bandung, Bali, Jogjakarta, Surabaya, Jakarta, Bali, Solo, dan sebagainya. Dan ini dikuatkan dengan ia yang sering mendapat telepon atau SMS dari beberapa seniman nasional yang tinggal di kota-kota tersebut. Katanya lagi, ia jarang pulang dan merasa enggan untuk pulang ke kampung halaman yang ada di sebuah kota kecil di Jawa. Karena rasa enggannya ini, seketika aku menduga.
“Apakah kau anak pertama?”
“Benar. Kenapa, Awik?”
“Tidak. Karena aku juga anak pertama.”
Kemudian ia menjelaskan bahwa dirinya sering cekcok dengan ayahnya. Baginya, setiap kali berbicara dengan ayahnya, perkataan ayahnya sering terasa menghakimi dirinya. Dan ini berbeda ketika ayahnya berhadapan adik perempuannya. Sementara hubungan antara dia dan ibunya lebih bersahabat. Aku lantas berkata: “aku pun demikian.”
Ketika kutanya: “Apakah kau tak ada rencana kuliah?” Dia mengatakan bahwa sebenarnya ia ingin kuliah. Tidak di Indonesia. Tapi di luar negeri. Ia kecewa dengan pendidikan yang ada di Indonesia. Dan aku masih ingat tentang nama-nama kampus yang disebutkannya, Universitas Sorbonne, Edinburg, dan Oxford.
Meskipun tidak kuliah, ia pernah mengatakan padaku bahwa ia aktif dalam kelompok diskusi mahasiswa di beberapa kampus. Ia juga pernah aktif dalam sebuah LSM. Dan seorang temanku pernah mengatakan bahwa Din sering menjadi pembicara pada seminar-seminar di kampusnya.
“Apa jadinya jika sejak kecil aku tidak menambah pelajaranku dengan membaca buku-buku kelas dunia?! Tidak lain, kualitas intelektualku hanya sebatas lulusan S1,” katanya suatu hari dengan mantap.
*
Tidak siang tidak malam, Din masih kerap datang ke kamarku. Tak jarang ketika aku pulang dari bepergian, aku menemukan ia tidur, membaca atau menulis di kamarku. Katanya, ia senang berada di kamarku. Di samping suasananya yang tenang, kamarku juga inspiratif.
Katanya lagi, kamarku benar-benar spesial. Di sini ia bisa menghasilkan banyak tulisan. Berbeda dengan yang lainnya. Baru kali ini ia merasa sangat produktif.
“Apakah ada kamar kosong di sini, Awik?” katanya.
“Bukankah kau sudah punya kost?”
Din kemudian menjelaskan bahwa ia memang mempunyai kamar di rumah salah seorang pamannya. Namun, letaknya cukup jauh dari daerah ini. Dan selama ini ia jarang di sana. Ia lebih sering ada di daerah ini dan numpang di kost salah seorang temannya yang cukup dekat dengan kostku. Hanya dibatasi lima rumah saja.
“Sayang, tidak ada,” kataku. Aku menyulut sebatang rokok, lalu pergi ke belakang.
Setelah aku datang dengan secangkir kopi, Din berhenti menulis. Kemudian ia mengatakan bahwa hari minggu ini, beberapa puisinya dimuat di dua surat kabar nasional. Dan ia meyakinkan bahwa aku sudah membaca semua puisinya yang dimuat itu.
*
Suatu hari ketika aku baru saja pulang dari memasukkan lamaran pekerjaan, aku menemukan dia di kamarku sedang duduk di hadapan komputer. Tiba-tiba dia berkata:
“Baca ini!” sembari mengulurkan sebuah news letter. Aku terperangah.
“Aku kecewa kepadamu, Awik.”
“Kecewa!?”
“Cerpenmu buruk sekali.”
Aku segera menduga bahwa ia baru saja membuka-buka file tulisanku. Selama ini aku selalu beralasan bahwa aku tak pernah menulis cerpen.
Kemudian ia menilai cerpen-cerpen yang aku tulis kampungan, sampah, tidak ada refleksi, tidak layak untuk disumbangkan untuk kebudayaan. Dibakar saja.
“Coba kaugarap cerpenmu yang bagus. Elegant. Kau sistematiskan plot-nya. Tangga dramatikanya. Kaubikin karakter tokoh-tokohnya yang kuat. Kejutan-kejutan yang jenius dan bisa membuat shock pembaca.”
Aku hanya diam dengan menimbun kesal.
“Ah, aku kecewa, Awik,” lanjutnya. Kemudian ia menghirup sisa kopi yang beberapa jam lalu kubikin. Segera kusulut rokok untuk menenangkan diriku. Dalam hati aku membenarkannya. Din menunjukkan kelemahan-kelemahanku dengan tegas.
“Sebenarnya, ide-idemu bagus. Tapi sayang, kau asal-asalan menggarapnya. Kauingin cerpenmu cepat-cepat dimuat. Dan kalaupun cerpenmu itu dimuat, aku yakin itu akan menjadi catatan buruk bagimu.” Ia diam sejenak. Menyulut sebatang rokok. Sementara aku masih terdiam.
“Lihatlah para sastrawan dunia, Neruda, Borges, Hesse, Pasternak, Tolstoy, Umberto Eco, dan sebagainya. Mereka tidak main-main dalam menulis. Seluruh hidupnya mereka persembahkan hanya untuk membuat karya yang benar-benar kelas satu. Masterpeace,” tambahnya.
Kami terdiam cukup lama. Kemudian ia kembali menulis. Sementara aku pergi ke belakang.
*
Sudah dua hari ini aku tak pernah melihat Din di kamarku. Dan aku tak ada niat untuk mencari dirinya. Selama dua hari ini pula aku masih dibebani oleh efek-efek dari kritikan Din. Ya, kritikan Din membuat aku perlu melakukan refleksi. Aku sadar bahwa apa yang dikatakan Din benar. Aku tidak total. Dan itu sudah cukup.
Sementara itu, aku mendengar beberapa temanku membicarakan tentang keburukan-keburukan Din. Sikapnya yang tidak aturan, seenaknya sendiri, angkuh, keras kepala, dan sikap lainya yang menunjukkan ke-bohemian-nya. Sebenarnya, aku tak kaget dengan hal itu karena aku mengalaminya sendiri sejak akrab dengannya. Dan aku memakluminya. Tiba-tiba aku merasa kecewa dengan beberapa temanku. Ya, mereka hanya melihat keburukan Din. Padahal jika mereka bisa bersikap lebih dewasa, aku yakin mereka akan mendapatkan beberapa pelajaran terutama, wawasan keilmuannya, dan kesungguhannya dalam berkarya.
Pernah suatu ketika seorang temanku, Iwan, menyatakan kekecewaannya tentang sikap beberapa teman itu kepadaku. Dan alasannya, kurang lebih sama denganku.
Tiba-tiba Iwan memperingatkan aku agar berhati-hati dengan Din. Katanya, Din terkenal banyak hutang. Bahkan ia juga pernah menggadaikan motor milik temannya tanpa sepengetahuan temannya tersebut. Namun, aku menjawab: “tentang hal itu santai saja, Wan. Aku sudah mengatakan kepada Din, bahwa aku sering kekurangan uang.”
*
Sehari telah berlalu. Entah kenapa tiba-tiba aku ingin mencari Din. Aku kemudian pergi ke kost temannya yang ditumpangi Din. Ketika pemilik kamar itu kutanya tentang di mana Din, ia mengatakan bahwa dirinya tak tahu. Lantas ia menambahkan:
“Ya, begitulah Din. Dia suka keluyuran. Kadang di sana, kadang di sini. Entahlah.”
Karena cukup lama ngobrol, kami berkenalan. Ia bernama Aziz. Tentu saja aku sudah tahu dari Din.
“O, rupanya sampeyan yang bernama Awik,” katanya. Aku tersenyum. Aziz mengatakan bahwa ia sering mendengar tentang diriku dari Din.
Kemudian ia menceritakan bahwa dirinya sudah lama kenal dengan Din. Bahkan sejak di pesantren anak-anak waktu SD dulu. Ia tahu kelakuan Din yang seenaknya itu. Namun, ia maklum. “Barangkali karena sudah terbiasa,” katanya.
*
Din masih juga belum terlihat di mataku. Sementara itu, di kalangan beberapa temanku, Din sudah menjadi semacam olok-olokan. Barang siapa yang ngeyel, angkuh, seenaknya sendiri, maka disebut sebagai penganut Din-isme. Aku marah kepada mereka. Kemudian dengan enteng mereka berkata bahwa ini hanya lelucon. Hanya guyonan saja. Namun aku sudah terlanjur marah dan mengatakan bahwa guyonan seperti itu adalah guyonan tolol.
Aku bersitegang dengan salah seorang di antara mereka yang tersinggung dengan ucapanku. Untunglah, beberapa teman meleraikan kami. Tak lama kemudian aku pulang.
Di perjalanan, tiba-tiba aku teringat perkataan Din tentang teman-temanku. Katanya: “Kau tidak akan maju kalau terus bergaul dengan mereka, Awik. Mereka tidak mempunyai basic pemikiran yang mantap. Mereka hanya grumbal-grumbul, tongkrang-tongkrong tak karuan. Gaya hidupnya saja yang seniman. Tidak ada karya. Kalaupun memilih berkesenian, mereka hanyalah kuli. Dan coba kauperhatikan guyonan mereka. Tolol, bukan? Tidak ada kecerdasan tampak di sana.”
*
Suatu hari. Saat itu sekitar pukul 03.00, dan aku baru saja pulang dari warnet. Aku mencoba menghidupkan lampu kamarku.
“Awik?”
“Kau, Din.” Kulihat ia rebah berselimut di atas punggung kasur.
“Dari mana saja tidak pernah kelihatan?”
Ia kemudian mengatakan bahwa dirinya beberapa hari ini ada di Solo. Dan tinggal di rumah salah seorang budayawan kenalannya. Katanya, di sana ia dan beberapa temannya sedang mempersiapkan berdirinya ‘rumah belajar sastra’.
Ketika aku menghidupkan komputer, ia berkata: “Aku lapar, Awik. Kau punya uang?”
“Ada. Tapi, tak banyak. Cukuplah kalau untuk makan.”
Aku mengulurkan uang lima ribuan. Ia pun segera pergi ke warung. Sebenarnya, ia mengajakku. Namun, aku mengatakan bahwa aku baru saja dari warung.
Sekitar dua puluh menit kemudian dia datang lagi. Dan aku baru saja selesai menulis sebuah puisi.
“Apa itu, Awik? Puisi?” katanya.
“Iya.” Aku berharap ia akan membacanya, kemudian mengkritiknya. Namun, harapanku gagal. Ia tak berbicara apapun tentang puisiku. Ia malah berkata:
“Sudah kaubaca cerpenku?”
“Sudah.”
“Bagaimana? Bagus bukan?” katanya. Aku hanya tersenyum.
“Dan tidak kalah dengan cerpen-cerpen kelas dunia bukan?” tambahnya. Meskipun hanya tersenyum, dalam hati aku terkesan dengan cerpennya yang ada di news letter yang dia berikan saat dia merasa kecewa kepadaku beberapa hari yang lalu.
*
Kembali Din tak terlihat di mataku. Dan kini sudah tiga hari. Aku menduga bahwa ia pergi ke Solo untuk menyelesaikan pendirian ‘rumah belajar sastra’. Sementara hubungan antara aku dan beberapa teman mulai membaik. Mereka tidak lagi berbicara tentang keburukan-keburukan Din. Aku senang akan hal itu.
Sore hari. Dalam perjalanan pulang dari angkringan, entah tiba-tiba saja aku ingin mampir ke kost Aziz. Dan tanpa banyak berpikir, aku membelokkan langkah kaki.
Pintu kamar Aziz terkuak sedikit. Kulihat seseorang menggeliat di kasur.
“Aziz,” panggilku.
“Siapa?” terdengar suara Din.
“Awik.”
“Masuk, Awik.”
“Kenapa, Din? Sakit?” kataku setelah melihat ia berselimut.
“Badanku terasa nggak enak,” jawabnya lirih.
“Sudah, istirahat saja,” kataku. Kupandangi ia sejenak. Kasihan Din. Ia terlalu keras berusaha sampai tak menghiraukan kesehatannya.
Kulihat di salah satu bagian kamar terdapat seperangkat komputer. Terlintas di pikiranku untuk menghidupkannya. Aku menduga di komputer ini karya-karya Din banyak tersimpan.
Aku memencet tombol power sembari memperhatikan potret Din berukuran 3R yang menempel di bagian atas CPU. Tiba-tiba potret itu terlepas. Jatuh ke lantai. Terbalik. Kulihat ada tulisan di sana. “Peraih Nobel Sastra 2010.” Segera kualihkan mataku. Melihat Din terbujur di punggung kasur. Sedang sakit. (*) .
Wahyaning wahyu tumelung, tulus tan kena tinegor (wirid hidayat jati, R.Ng. Ronggowarsito)
Senin, 24 November 2008
Langganan:
Posting Komentar (Atom)
A Rodhi Murtadho
A. Ginandjar Wiludjeng
A. Junianto
A. Kurnia
A. Qorib Hidayatullah
A. Yusrianto Elga
A.S Laksana
A’yat Khalili
Aang Fatihul Islam
Abdul Azis Sukarno
Abdul Aziz Rasjid
Abdul Hadi WM
Abdul Kadir Ibrahim
Abdul Malik
Abdul Razak
Abdul Rosyid
Abdul Wahab
Abdurrahman Wahid
Abu Salman
Acep Iwan Saidi
Acep Zamzam Noor
Adam Chiefni
Ade P. Nasution
Adhitia Armitriant
Adi Prasetyo
Adrizas
AF. Tuasikal
Afriza Hanifa
Afrizal Malna
Agama Para Bajingan
Agnes Rita Sulistyawaty
Aguk Irawan M.N.
Agus B. Harianto
Agus Buchori
Agus R. Sarjono
Agus R. Subagyo
Agus Sulton
Agus Sunyoto
Ahda Imran
Ahid Hidayat
Ahmad Baso
Ahmad Faishal
Ahmad Fatoni
Ahmad Hasan MS
Ahmad Kekal Hamdani
Ahmad Khotim Muzakka
Ahmad Muchlish Amrin
Ahmad Naufel
Ahmad Rofiq
Ahmad S. Zahari
Ahmad Syauqi Sumbawi
Ahmad Yulden Erwin
Ahmad Zaini
Ahmadun Yosi Herfanda
Ahsanu Nadia
Aini Aviena Violeta
Ainul Fiah
Ajip Rosidi
Akhiriyati Sundari
Akhmad Muhaimin Azzet
Akhmad Sekhu
Akhmad Sofyan Hadi
Akhmad Taufiq
Akhudiat
Akmal Nasery Basral
Alam Terkembang
Alang Khoiruddin
Alex R. Nainggolan
Alfian Dippahatang
Ali Audah
Ali Mahmudi CH
Ali Rif’an
Almania Rohmah
Ami Herman
Amien Wangsitalaja
Aminah
Aminullah HA.Noor
Amir Sutaarga
Anam Rahus
Anata Siregar
Andari Karina Anom
Andina Dwifatma
Andong Buku #3
Andre Mediansyah
Andri Awan
Anett Tapai
Anggie Melianna
Anindita S Thayf
Anis Ceha
Anjrah Lelono Broto
Anton Bae
Anton Kurnia
Anton Wahyudi
Anwar Nuris
Ardi Bramantyo
Ardus M Sawega
Arie MP Tamba
Arie Yani
Arief Joko Wicaksono
Arief Junianto
Ariera
Arif Bagus Prasetyo
Aris Kurniawan
Arman A.Z.
Arswendo Atmowiloto
Arti Bumi Intaran
AS Sumbawi
Asarpin
Asep Sambodja
Asmaul Fauziyah
Asti Musman
Atafras
Awalludin GD Mualif
Ayu Wulan Sari
Aziz Abdul Gofar
Azizah Hefni
Bagus Takwin
Bahrul Ulum A. Malik
Balada
Bale Aksara
Balok Sf
Bambang Kempling
Bamby Cahyadi
Bandung Mawardi
Beni Setia
Benny Arnas
Benny Benke
Beno Siang Pamungkas
Bentara Budaya Yogyakarta
Berita
Berita Duka
Berita Koran
Bernando J Sujibto
Berthold Damshauser
BI Purwantari
Binhad Nurrohmat
Bobby Gunawan
Bonari Nabonenar
Brunel University London
Budaya
Budi Darma
Budi P. Hatees
Budiman S. Hartoyo
Burhanuddin Bella
Camelia Mafaza
Catatan
Cerbung
Cerpen
Chairul Akhmad
Chamim Kohari
Chavchay Syaifullah
Cover Buku
Cucuk Espe
D. Zaini Ahmad
D. Zawawi Imron
Dadang Ari Murtono
Dahta Gautama
Daisuke Miyoshi
Damhuri Muhammad
Dami N. Toda
Damiri Mahmud
Danarto
Daniel Paranamesa
Danusantoso
Dareen Tatour
Darju Prasetya
David Kuncara
Denny Mizhar
Denza Perdana
Desi Sommalia Gustina
Desiana Medya A.L
Dewan Kesenian Lamongan (DKL)
Dewi Indah Sari
Dewi Susme
Dian Sukarno
Didik Harianto
Didik Kusbiantoro
Dina Jerphanion
Dina Oktaviani
Dinas Kebudayaan dan Pariwisata (Disbudpar) Jawa Timur
Dipo Handoko
Diyah Errita Damayanti
Djoko Pitono
Djoko Saryono
Doddy Wisnu Pribadi
Dody Kristianto
Dody Yan Masfa
Donny Anggoro
Donny Syofyan
Dorothea Rosa Herliany
Dr Junaidi SS MHum
Dwi Cipta
Dwi Fitria
Dwi Pranoto
Dwi Wiyana
Dyah Ratna Meta Novia
Dyah Sulistyorini
Ecep Heryadi
Eddy Pranata PNP
Edeng Syamsul Ma’arif
Eep Saefulloh Fatah
EH Kartanegara
Eka Budianta
Eka Kurniawan
Eko Hendrawan Sofyan
Eko Hendri Saiful
Eko Windarto
Elnisya Mahendra
Elva Lestary
Emha Ainun Nadjib
Emil WE
Endah Sulwesi
Endo Suanda
Eppril Wulaningtyas R
Esai
Evan Ys
F. Moses
F. Rahardi
Fadlillah Malin Sutan
Fahmi Faqih
Fahrudin Nasrulloh
Faisal Kamandobat
Fajar Kurnianto
Fanani Rahman
Fanny Chotimah
Fatah Anshori
Fatah Yasin Noor
Febby Fortinella Rusmoyo
Felix K. Nesi
Festival Sastra Gresik
Gabriel Garcia Marquez
Galang Ari P.
Galuh Tulus Utama
Gampang Prawoto
Gandra Gupta
Ganug Nugroho Adi
Gerson Poyk
Ghassan Kanafani
Gita Nuari
Gita Pratama
Goenawan Mohamad
Grathia Pitaloka
Gunoto Saparie
H.B. Jassin
Habibullah
Hadi Napster
Hadriani Pudjiarti
Halim HD
Halimi Zuhdy
Hamberan Syahbana
Han Gagas
Hanibal W. Y. Wijayanta
Hardi
Haris del Hakim
Haris Saputra
Harri Ash Shiddiqie
Hartono Harimurti
Hary B Kori’un
Hasan Aspahani
Hasan Junus
Hasif Amini
Hasnan Bachtiar
Hasta Indriyana
HE. Benyamine
Hendra Junaedi
Hendra Makmur
Heri CS
Heri Latief
Heri Listianto
Herman RN
Herry Lamongan
Heru CN
Heru Nugroho
Hikmat Gumelar
HL Renjis Magalah
Hudan Nur
Hujuala Rika Ayu
Huminca Sinaga
IBM. Dharma Palguna
Ibnu Wahyudi
Ida Farida
Idris Pasaribu
Ignas Kleden
Ignatius Haryanto
Iksan Basoeky
Ilham Khoiri
Imam Cahyono
Imam Muhtarom
Imam Nawawi
Imamuddin SA
Iman Budhi Santosa
Imron Rosyid
Imron Tohari
Indiar Manggara
Indra Intisa
Indra Tjahyadi
Indra Tranggono
Indrian Koto
Ira Puspitaningsih
Irfan Budiman
Isbedy Stiawan Z.S.
Iskandar Noe
Iskandar Zulkarnain
Ismail Marzuki
Iva Titin Shovia
Iwan Kurniawan
Jabbar Abdullah
Jafar Fakhrurozi
Jalan Raya Simo Sungelebak
Jamal D. Rahman
Jamal T. Suryanata
Javed Paul Syatha
Jayaning S.A
JILFest 2008
Jody Setiawan
Johan Edy Raharjo
Johannes Sugianto
Joko Pinurbo
Joko Sandur
Joni Ariadinata
Jual Buku
Jual Buku Paket Hemat
Juan Kromen
Julika Hasanah
Jurnalisme Sastrawi
Jusuf AN
Juwairiyah Mawardy
Ka’bati
Karanggeneng
Karya Lukisan: Andry Deblenk
Kasnadi
Keith Foulcher
Kemah Budaya Panturan (KBP)
Khansa Arifah Adila
Khoirul Inayah
Khoirul Rosyadi
Khudori Husnan
Ki Ompong Sudarsono
Kirana Kejora
Komplek Gor Kamantren Paciran Lamongan
Komunitas Deo Gratias
Komunitas Sastra Ilalang Indonesia
Korrie Layun Rampan
Kostela
Kritik Sastra
Kukuh S Wibowo
Kurnia Effendi
Kurniawan
Kuswaidi Syafi'ie
L.N. Idayanie
Laili Rahmawati
Lamongan
Lan Fang
Langgeng Widodo
Lathifa Akmaliyah
Leila S. Chudori
Lely Yuana
Lembaga Pengembangan Pembelajaran dan Penjaminan Mutu (LP3M) Universitas Jember
Liestyo Ambarwati Khohar
Lina Kelana
Linda Sarmili
Liza Wahyuninto
Lucia Idayanie
Lukman A Sya
Lutfiah
Lynglieastrid Isabellita
M Arman AZ
M Ismail
M Thobroni
M. Afifuddin
M. Arwan Hamidi
M. Lukluk Atsmara Anjaina
M. Lutfi
M. Luthfi Aziz
M. Nurdin
M. Yoesoef
M.D. Atmaja
M.S. Nugroho
Mahendra Cipta
Mahmud Jauhari Ali
Mahmud Syaltut Usfa
Mahmudi Arif Dahlan
Malam Apresiasi Seni Tanahmerah Ponorogo
Malkan Junaidi
Maman S. Mahayana
Mardi Luhung
Marhalim Zaini
Martin Aleida
Maruli Tobing
Mas Ruscita
Mashuri
Masuki M. Astro
Matroni
Matroni Muserang
Media: Crayon on Paper
Membongkar Mitos Kesusastraan Indonesia
MG. Sungatno
Mh Zaelani Tammaka
Mia Arista
Mia El Zahra
Mikael Johani
Misbahus Surur
Misran
Mohamad Ali Hisyam
Mohammad Eri Irawan
Much. Khoiri
Muh. Muhlisin
Muhammad Al-Fayyadl
Muhammad Amin
Muhammad Aris
Muhammad Muhibbuddin
Muhammad Rain
Muhammad Taufiqurrohman
Muhammad Yasir
Muhammad Zuriat Fadil
Muhammadun
Muhammadun AS
Muhidin M Dahlan
Mujtahid
Mujtahidin Billah
Mukti Sutarman Espe
Mulyadi SA
Mulyosari Banyuurip Ujungpangkah Gresik
Munawir Aziz
Musfarayani
Musfi Efrizal
Nafisatul Husniah
Nandang Darana
Naskah Teater
Nelson Alwi
Ni Made Purnamasari
Nikmatus Sholikhah
Nina Herlina Lubis
Nina Susilo
Ning Elia
Noor H. Dee
Noval Jubbek
Novel-novel berbahasa Jawa
Novelet
Nunuy Nurhayati
Nur Azizah
Nur Hamzah
Nur Kholiq
Nurdin Kalim
Nurel Javissyarqi
Nurul Aini
Nurul Anam
Nurul Komariyah
Nuryana Asmaudi SA
Nyoman Tusthi Eddy
Obrolan
Okty Budiati
Orasi Budaya Akhir Tahun 2018
Otto Sukatno CR
Oyos Saroso H.N.
Pagan Press
Pagelaran Musim Tandur
Palupi Panca Astuti
Parimono V / 40 Plandi Jombang
Pawang Surya Kencana
PDS H.B. Jassin
Petrus Nandi
Politik
Politik Sastra
Pradana Boy ZTF
Pramoedya Ananta Toer
Pramono
Pringadi AS
Prof Dr Fabiola D. Kurnia
Prosa
Puisi
Puji Santosa
Puji Tyasari
Puput Amiranti N
Purnawan Andra
Purnawan Kristanto
Pusat Dokumentasi Sastra H.B. Jassin
Pustaka Ilalang Group
PUstaka puJAngga
Putu Wijaya
Qaris Tajudin
R. Ng. Ronggowarsito
Rachmad Djoko Pradopo
Radhar Panca Dahana
Rahmat Kemat Hidayatullah
Rahmat Sularso Nh
Rakai Lukman
Rakhmat Giryadi
Rasanrasan Boengaketji
Raudal Tanjung Banua
Redland Movie
Reiny Dwinanda
Resensi
Rialita Fithra Asmara
Ribut Wijoto
Riki Dhamparan Putra
Riki Utomi
Ririe Rengganis
Risang Anom Pujayanto
Riyon Fidwar
Robin Al Kautsar
Robin Dos Santos Soares
Rodli TL
Rofiqi Hasan
Roso Titi Sarkoro
Rozi Kembara
Rukardi
Rumah Budaya Pantura (RBP)
Rusmanadi
S Yoga
S. Jai
S.W. Teofani
Sabrank Suparno
Sahaya Santayana
Saiful Amin Ghofur
Saiful Anam
Sainul Hermawan
Sajak
Salamet Wahedi
Salman S. Yoga
Samsudin Adlawi
Samsul Anam
Sanggar Lukis Alam
Sanggar Pasir
Sanggar Rumah Ilalang KSII
Santi Puji Rahayu
Sapardi Djoko Damono
Saroni Asikin
Sartika Dian Nuraini
Sastra dan Kuasa Simbolik
Sastra Jawa Timur
Satmoko Budi Santoso
Saut Situmorang
Sayyid Fahmi Alathas
SelaSastra #24 di Boenga Ketjil Jombang
SelaSastra Boenga Ketjil
SelaSastra Boenga Ketjil #33
Seno Gumira Ajidarma
Seno Joko Suyono
Sergi Sutanto
Setia Naka Andrian
Shiny.ane el’poesya
Sholihul Huda
Sigit Susanto
Sihar Ramses Simatupang
Sinopsis
Siti Khoeriyah
Siti Muyassarotul Hafidzoh
Siti Sa’adah
Siwi Dwi Saputra
Siwi Dwi Saputro
Sjifa Amori
Slamet Rahardjo Rais
Soegiharto
Sofyan RH. Zaid
Soni Farid Maulana
Sony Prasetyotomo
Sosiawan Leak
Spectrum Center Press
Sri Weni
Sri Wintala Achmad
Suci Ayu Latifah
Sucipto Hadi Purnomo
Sudirman
Sugi Lanus
Sukron Ma’mun
Sulaiman Djaya
Sunaryono Basuki Ks
Sungatno
Sungging Raga
Sunlie Thomas Alexander
Sunu Wasono
Supriyadi
Surya Lesmana
Suryanto Sastroatmodjo
Susianna
Sutardji Calzoum Bachri
Sutejo
Suyanto
Syaf Anton Wr
Syaifuddin Gani
Syaiful Amin
Syarif Wadja Bae
Sylvianita Widyawati
TanahmeraH ArtSpace
Tarmuzie (1961-2019)
Taufiq Ismail
Taufiq Wr. Hidayat
Teguh Presetyo
Teguh Setiawan
Teguh Winarsho AS
Temu Penyair Timur Jawa
Tengsoe Tjahjono
Tia Setiadi
Tirto Suwondo
Tita Tjindarbumi
Tjahjono Widarmanto
Tjahjono Widijanto
Toko Buku Murah PUstaka puJAngga Lamongan
Tosa Poetra
Tri Nurdianingsih
Triyanto Triwikromo
TS Pinang
Tu-ngang Iskandar
Tulus S
Ulul Azmiyati
Umar Fauzi
Umar Fauzi Ballah
Umar Kayam
Umbu Landu Paranggi
Universitas Indonesia
Universitas Jember
Usman Arrumy
Utari Tri Prestianti
Viddy AD Daery
Virdika Rizky Utama
W Haryanto
W.S. Rendra
Wahyu Prasetya
Wan Anwar
Wawan Eko Yulianto
Wawancara
Wina Bojonegoro
Wita Lestari
Wong Wing King
Wowok Hesti Prabowo
Xu Xi (Sussy Komala)
Y. Thendra BP
Y. Wibowo
Yanusa Nugroho
Yasraf Amir Piliang
Yayat R. Cipasang
Yohanes Sehandi
Yona Primadesi
Yopi Setia Umbara
Yudhi Herwibowo
Yudi Latif
Yusri Fajar
Yusuf Ariel Hakim
Yuval Noah Harari
Zacky Khairul Uman
Zainuddin Sugendal
Zamakhsyari Abrar
Zawawi Se
Zed Abidien
Zehan Zareez
Zhaenal Fanani
Zubaidi Khan
Zuniest
Tidak ada komentar:
Posting Komentar