Senin, 24 November 2008

Din

AS Sumbawi

Perkenalanku dengan Din berlangsung kebetulan. Malam itu, aku pergi ke warung angkringan untuk mengusir kesuntukan setelah seharian duduk di hadapan komputer. Di sana, kulihat beberapa orang teman duduk melingkar di atas tikar di bawah pohonan. Mereka tampak terlibat dalam obrolan yang mengasyikkan sembari menikmati sebatang rokok dan segelas minuman. Tentu saja, aku bergabung dengan mereka setelah mendapatkan segelas wedang jahe dari si penjual. Tak lama kemudian, salah seorang teman memperkenalkan aku dengannya.

“Din,” katanya mantap dan percaya diri, kemudian meneruskan bicaranya. Sejenak aku pun tahu bahwa tema obrolan yang mengasyikkan itu tak jauh-jauh dari dunia kesenian. Sastra khususnya. Maklumlah, beberapa temanku yang ada di situ juga menulis.

Sungguh enak mendengar Din berbicara. Sistematis dan rinci. Apalagi wawasannya luas dan pemikirannya kritis. Sebenarnya, nama Din Ufriza tak asing bagiku. Karena tulisan-tulisannya kerap menghiasi rubrik sastra budaya di beberapa surat kabar. Baik puisi, cerpen, maupun esai. Dan aku terkesan olehnya. Namun, baru kali ini aku bertemu langsung dengannya.

Setelah beberapa orang temanku pergi, dan yang tinggal hanya aku, ia, dan salah seorang teman bernama Iman, Din membacakan beberapa puisinya.

Aku suka dengan gayanya membaca puisi. Selain tenang, artikulasi tiap katanya pun jelas sehingga dengan mudah aku menangkapnya. Dan setiap kali selesai membacakan puisinya, ia senantiasa berkata kepadaku: “Enak, Awik?” Aku tersenyum.

“Din, kau suka Chairil Anwar?” tebakku.
“Suka sekali. Kenapa, Awik?”
“Tidak. Aku cuma melihat puisi-puisimu berbau eksistensialisme.”
“Ya. Kau tahu kenapa? Eksistensialisme membuat orang kuat, tegar, sekaligus gelisah. Iya khan, Awik?” Aku tersenyum.

Din tampak lebih akrab denganku daripada dengan Iman. Aku menduga bahwa di samping status kami yang ‘pengangguran’, ini juga dipicu oleh beberapa teman yang melebih-lebihkan aku saat perkenalan tadi.

Tak lama kemudian, Iman membacakan salah satu puisinya.

“Bagus sekali, Iman. Tapi, hanya gayamu membaca saja yang aku suka. Sedangkan puisimu buruk sekali. Kau cocok jadi seorang aktor,” kata Din terus terang. Kulihat ada kekecewaan di wajah Iman.

Din kemudian mengatakan bahwa tidak ada sesuatu yang mendasar dengan puisi-puisi Iman. Di samping itu, diksi-diksi yang dipakai membuat tema yang akan diangkat menjadi melebar. Tidak fokus. Juga tidak padat. Din yakin jika beberapa kata dalam puisi-puisi Iman dipotong, tidak akan berpengaruh apa-apa.

Iman mencoba membela diri. Namun Din lebih menguasai pembahasan.

“Iya kan, Awik?” Aku hanya tersenyum.
“Kaubakar saja puisi-puisimu, Iman! Kemudian cobalah menulis puisi lagi. Yang temanya mendasar. Padat. Terfokus. Dan perfect,” tambahnya.

Meskipun aku sependapat dengan Din, aku kurang setuju dengan ungkapan-ungkapan Din yang keras yang barangkali bisa membunuh kemauan seseorang. Namun setelah mendengar komentar-komentarnya, aku pun menduga bahwa itu adalah gayanya.
“Sekarang giliranmu, Awik!”
*

Beberapa hari kemudian. Saat itu dini hari sekitar pukul 00.30. Din datang ke kamarku. Katanya, dia baru saja bertemu dengan teman-temanku di angkringan. Dan mereka mengatakan bahwa aku baru saja pulang dari sana.

Sebenarnya saat dia datang, aku mau pergi ke kontrakkan teman-temanku. Menurut rencana, di sana kami akan nonton film Elpostino dan No Exclip yang menceritakan tentang Pablo Neruda dan Arthur Rimbaud. Namun setelah Din mengatakan bahwa pikirannya lagi tidak karuan, aku pun membatalkannya. Sebentar kemudian, aku membuat kopi untuk menemani obrolan yang kubayangkan akan panjang.
*

Din kerap datang ke kamarku. Aku semakin akrab dengannya. Dari obrolan yang terjadi, aku pun tahu bahwa sejak SD sampai usia dua puluh empat tahun ini, ia sudah tidak tinggal di rumah. Oleh ayahnya, ia dimasukkan ke pesantren. Baru setelah lulus SMU, ia sudah tidak di pesantren lagi, tapi berkelana ke sana ke mari. Kadang tinggal di Bandung, Bali, Jogjakarta, Surabaya, Jakarta, Bali, Solo, dan sebagainya. Dan ini dikuatkan dengan ia yang sering mendapat telepon atau SMS dari beberapa seniman nasional yang tinggal di kota-kota tersebut. Katanya lagi, ia jarang pulang dan merasa enggan untuk pulang ke kampung halaman yang ada di sebuah kota kecil di Jawa. Karena rasa enggannya ini, seketika aku menduga.

“Apakah kau anak pertama?”
“Benar. Kenapa, Awik?”
“Tidak. Karena aku juga anak pertama.”

Kemudian ia menjelaskan bahwa dirinya sering cekcok dengan ayahnya. Baginya, setiap kali berbicara dengan ayahnya, perkataan ayahnya sering terasa menghakimi dirinya. Dan ini berbeda ketika ayahnya berhadapan adik perempuannya. Sementara hubungan antara dia dan ibunya lebih bersahabat. Aku lantas berkata: “aku pun demikian.”

Ketika kutanya: “Apakah kau tak ada rencana kuliah?” Dia mengatakan bahwa sebenarnya ia ingin kuliah. Tidak di Indonesia. Tapi di luar negeri. Ia kecewa dengan pendidikan yang ada di Indonesia. Dan aku masih ingat tentang nama-nama kampus yang disebutkannya, Universitas Sorbonne, Edinburg, dan Oxford.

Meskipun tidak kuliah, ia pernah mengatakan padaku bahwa ia aktif dalam kelompok diskusi mahasiswa di beberapa kampus. Ia juga pernah aktif dalam sebuah LSM. Dan seorang temanku pernah mengatakan bahwa Din sering menjadi pembicara pada seminar-seminar di kampusnya.

“Apa jadinya jika sejak kecil aku tidak menambah pelajaranku dengan membaca buku-buku kelas dunia?! Tidak lain, kualitas intelektualku hanya sebatas lulusan S1,” katanya suatu hari dengan mantap.
*

Tidak siang tidak malam, Din masih kerap datang ke kamarku. Tak jarang ketika aku pulang dari bepergian, aku menemukan ia tidur, membaca atau menulis di kamarku. Katanya, ia senang berada di kamarku. Di samping suasananya yang tenang, kamarku juga inspiratif.

Katanya lagi, kamarku benar-benar spesial. Di sini ia bisa menghasilkan banyak tulisan. Berbeda dengan yang lainnya. Baru kali ini ia merasa sangat produktif.

“Apakah ada kamar kosong di sini, Awik?” katanya.
“Bukankah kau sudah punya kost?”

Din kemudian menjelaskan bahwa ia memang mempunyai kamar di rumah salah seorang pamannya. Namun, letaknya cukup jauh dari daerah ini. Dan selama ini ia jarang di sana. Ia lebih sering ada di daerah ini dan numpang di kost salah seorang temannya yang cukup dekat dengan kostku. Hanya dibatasi lima rumah saja.

“Sayang, tidak ada,” kataku. Aku menyulut sebatang rokok, lalu pergi ke belakang.

Setelah aku datang dengan secangkir kopi, Din berhenti menulis. Kemudian ia mengatakan bahwa hari minggu ini, beberapa puisinya dimuat di dua surat kabar nasional. Dan ia meyakinkan bahwa aku sudah membaca semua puisinya yang dimuat itu.
*

Suatu hari ketika aku baru saja pulang dari memasukkan lamaran pekerjaan, aku menemukan dia di kamarku sedang duduk di hadapan komputer. Tiba-tiba dia berkata:

“Baca ini!” sembari mengulurkan sebuah news letter. Aku terperangah.
“Aku kecewa kepadamu, Awik.”
“Kecewa!?”
“Cerpenmu buruk sekali.”

Aku segera menduga bahwa ia baru saja membuka-buka file tulisanku. Selama ini aku selalu beralasan bahwa aku tak pernah menulis cerpen.

Kemudian ia menilai cerpen-cerpen yang aku tulis kampungan, sampah, tidak ada refleksi, tidak layak untuk disumbangkan untuk kebudayaan. Dibakar saja.

“Coba kaugarap cerpenmu yang bagus. Elegant. Kau sistematiskan plot-nya. Tangga dramatikanya. Kaubikin karakter tokoh-tokohnya yang kuat. Kejutan-kejutan yang jenius dan bisa membuat shock pembaca.”

Aku hanya diam dengan menimbun kesal.
“Ah, aku kecewa, Awik,” lanjutnya. Kemudian ia menghirup sisa kopi yang beberapa jam lalu kubikin. Segera kusulut rokok untuk menenangkan diriku. Dalam hati aku membenarkannya. Din menunjukkan kelemahan-kelemahanku dengan tegas.

“Sebenarnya, ide-idemu bagus. Tapi sayang, kau asal-asalan menggarapnya. Kauingin cerpenmu cepat-cepat dimuat. Dan kalaupun cerpenmu itu dimuat, aku yakin itu akan menjadi catatan buruk bagimu.” Ia diam sejenak. Menyulut sebatang rokok. Sementara aku masih terdiam.

“Lihatlah para sastrawan dunia, Neruda, Borges, Hesse, Pasternak, Tolstoy, Umberto Eco, dan sebagainya. Mereka tidak main-main dalam menulis. Seluruh hidupnya mereka persembahkan hanya untuk membuat karya yang benar-benar kelas satu. Masterpeace,” tambahnya.

Kami terdiam cukup lama. Kemudian ia kembali menulis. Sementara aku pergi ke belakang.
*

Sudah dua hari ini aku tak pernah melihat Din di kamarku. Dan aku tak ada niat untuk mencari dirinya. Selama dua hari ini pula aku masih dibebani oleh efek-efek dari kritikan Din. Ya, kritikan Din membuat aku perlu melakukan refleksi. Aku sadar bahwa apa yang dikatakan Din benar. Aku tidak total. Dan itu sudah cukup.

Sementara itu, aku mendengar beberapa temanku membicarakan tentang keburukan-keburukan Din. Sikapnya yang tidak aturan, seenaknya sendiri, angkuh, keras kepala, dan sikap lainya yang menunjukkan ke-bohemian-nya. Sebenarnya, aku tak kaget dengan hal itu karena aku mengalaminya sendiri sejak akrab dengannya. Dan aku memakluminya. Tiba-tiba aku merasa kecewa dengan beberapa temanku. Ya, mereka hanya melihat keburukan Din. Padahal jika mereka bisa bersikap lebih dewasa, aku yakin mereka akan mendapatkan beberapa pelajaran terutama, wawasan keilmuannya, dan kesungguhannya dalam berkarya.

Pernah suatu ketika seorang temanku, Iwan, menyatakan kekecewaannya tentang sikap beberapa teman itu kepadaku. Dan alasannya, kurang lebih sama denganku.

Tiba-tiba Iwan memperingatkan aku agar berhati-hati dengan Din. Katanya, Din terkenal banyak hutang. Bahkan ia juga pernah menggadaikan motor milik temannya tanpa sepengetahuan temannya tersebut. Namun, aku menjawab: “tentang hal itu santai saja, Wan. Aku sudah mengatakan kepada Din, bahwa aku sering kekurangan uang.”
*

Sehari telah berlalu. Entah kenapa tiba-tiba aku ingin mencari Din. Aku kemudian pergi ke kost temannya yang ditumpangi Din. Ketika pemilik kamar itu kutanya tentang di mana Din, ia mengatakan bahwa dirinya tak tahu. Lantas ia menambahkan:

“Ya, begitulah Din. Dia suka keluyuran. Kadang di sana, kadang di sini. Entahlah.”

Karena cukup lama ngobrol, kami berkenalan. Ia bernama Aziz. Tentu saja aku sudah tahu dari Din.

“O, rupanya sampeyan yang bernama Awik,” katanya. Aku tersenyum. Aziz mengatakan bahwa ia sering mendengar tentang diriku dari Din.

Kemudian ia menceritakan bahwa dirinya sudah lama kenal dengan Din. Bahkan sejak di pesantren anak-anak waktu SD dulu. Ia tahu kelakuan Din yang seenaknya itu. Namun, ia maklum. “Barangkali karena sudah terbiasa,” katanya.
*

Din masih juga belum terlihat di mataku. Sementara itu, di kalangan beberapa temanku, Din sudah menjadi semacam olok-olokan. Barang siapa yang ngeyel, angkuh, seenaknya sendiri, maka disebut sebagai penganut Din-isme. Aku marah kepada mereka. Kemudian dengan enteng mereka berkata bahwa ini hanya lelucon. Hanya guyonan saja. Namun aku sudah terlanjur marah dan mengatakan bahwa guyonan seperti itu adalah guyonan tolol.

Aku bersitegang dengan salah seorang di antara mereka yang tersinggung dengan ucapanku. Untunglah, beberapa teman meleraikan kami. Tak lama kemudian aku pulang.

Di perjalanan, tiba-tiba aku teringat perkataan Din tentang teman-temanku. Katanya: “Kau tidak akan maju kalau terus bergaul dengan mereka, Awik. Mereka tidak mempunyai basic pemikiran yang mantap. Mereka hanya grumbal-grumbul, tongkrang-tongkrong tak karuan. Gaya hidupnya saja yang seniman. Tidak ada karya. Kalaupun memilih berkesenian, mereka hanyalah kuli. Dan coba kauperhatikan guyonan mereka. Tolol, bukan? Tidak ada kecerdasan tampak di sana.”
*

Suatu hari. Saat itu sekitar pukul 03.00, dan aku baru saja pulang dari warnet. Aku mencoba menghidupkan lampu kamarku.

“Awik?”
“Kau, Din.” Kulihat ia rebah berselimut di atas punggung kasur.
“Dari mana saja tidak pernah kelihatan?”

Ia kemudian mengatakan bahwa dirinya beberapa hari ini ada di Solo. Dan tinggal di rumah salah seorang budayawan kenalannya. Katanya, di sana ia dan beberapa temannya sedang mempersiapkan berdirinya ‘rumah belajar sastra’.

Ketika aku menghidupkan komputer, ia berkata: “Aku lapar, Awik. Kau punya uang?”

“Ada. Tapi, tak banyak. Cukuplah kalau untuk makan.”
Aku mengulurkan uang lima ribuan. Ia pun segera pergi ke warung. Sebenarnya, ia mengajakku. Namun, aku mengatakan bahwa aku baru saja dari warung.

Sekitar dua puluh menit kemudian dia datang lagi. Dan aku baru saja selesai menulis sebuah puisi.

“Apa itu, Awik? Puisi?” katanya.
“Iya.” Aku berharap ia akan membacanya, kemudian mengkritiknya. Namun, harapanku gagal. Ia tak berbicara apapun tentang puisiku. Ia malah berkata:
“Sudah kaubaca cerpenku?”

“Sudah.”
“Bagaimana? Bagus bukan?” katanya. Aku hanya tersenyum.
“Dan tidak kalah dengan cerpen-cerpen kelas dunia bukan?” tambahnya. Meskipun hanya tersenyum, dalam hati aku terkesan dengan cerpennya yang ada di news letter yang dia berikan saat dia merasa kecewa kepadaku beberapa hari yang lalu.
*

Kembali Din tak terlihat di mataku. Dan kini sudah tiga hari. Aku menduga bahwa ia pergi ke Solo untuk menyelesaikan pendirian ‘rumah belajar sastra’. Sementara hubungan antara aku dan beberapa teman mulai membaik. Mereka tidak lagi berbicara tentang keburukan-keburukan Din. Aku senang akan hal itu.

Sore hari. Dalam perjalanan pulang dari angkringan, entah tiba-tiba saja aku ingin mampir ke kost Aziz. Dan tanpa banyak berpikir, aku membelokkan langkah kaki.

Pintu kamar Aziz terkuak sedikit. Kulihat seseorang menggeliat di kasur.

“Aziz,” panggilku.
“Siapa?” terdengar suara Din.
“Awik.”
“Masuk, Awik.”
“Kenapa, Din? Sakit?” kataku setelah melihat ia berselimut.

“Badanku terasa nggak enak,” jawabnya lirih.
“Sudah, istirahat saja,” kataku. Kupandangi ia sejenak. Kasihan Din. Ia terlalu keras berusaha sampai tak menghiraukan kesehatannya.

Kulihat di salah satu bagian kamar terdapat seperangkat komputer. Terlintas di pikiranku untuk menghidupkannya. Aku menduga di komputer ini karya-karya Din banyak tersimpan.

Aku memencet tombol power sembari memperhatikan potret Din berukuran 3R yang menempel di bagian atas CPU. Tiba-tiba potret itu terlepas. Jatuh ke lantai. Terbalik. Kulihat ada tulisan di sana. “Peraih Nobel Sastra 2010.” Segera kualihkan mataku. Melihat Din terbujur di punggung kasur. Sedang sakit. (*) .

Minggu, 23 November 2008

Tan Malaka, Sejak Agustus Itu

Goenawan Mohamad
http://www.tempointeraktif.com/

SAYA bisa bayangkan pagi hari 17 Agustus 1945 itu, di halaman sebuah rumah di Jalan Pegangsaan, Jakarta: menjelang pukul 09:00, semua yang hadir tahu, mereka akan melakukan sesuatu yang luar biasa.

Hari itu memang ada yang menerobos dan ada yang runtuh. Yang runtuh bukan sebuah kekuasaan politik; Hindia Belanda sudah tak ada, otoritas pendudukan Jepang yang menggantikannya baru saja kalah. Yang ambruk sebuah wacana.

Sebuah wacana adalah sebuah bangunan perumusan. Tapi yang berfungsi di sini bukan sekadar bahasa dan lambang. Sebuah wacana dibangun dan ditopang kekuasaan, dan sebaliknya membangun serta menopang kekuasaan itu. Ia mencengkeram. Kita takluk dan bahkan takzim kepadanya. Sebelum 17 Agustus 1945, ia membuat ribuan manusia tak mampu menyebut diri dengan suara penuh, ”kami, bangsa Indonesia”–apalagi sebuah ”kami” yang bisa ”menyatakan kemerdekaan”.

Agustus itu memang sebuah revolusi, jika revolusi, seperti kata Bung Karno, adalah ”menjebol dan membangun”. Wacana kolonial yang menguasai penghuni wilayah yang disebut ”Hindia Belanda” jebol, berantakan. Dan ”kami, bangsa Indonesia” kian menegaskan diri.

Sebulan kemudian, 19 September 1945, dari pelbagai penjuru orang mara berduyun menghendaki satu rapat akbar untuk menegaskan ”kemerdekaan” mereka, ”Indonesia” mereka. Bahkan penguasa militer Jepang tak berdaya menahan pernyataan politik orang ramai di Lapangan Ikada itu.

Dua tahun kemudian, meletus pertempuran yang nekat, sengit, dan penuh korban, ketika ratusan pemuda melawan kekuatan militer Belanda yang hendak membuat negeri ini ”Hindia Belanda” kembali. Dari medan perang itu Pramoedya Ananta Toer mencatat dalam Di Tepi Kali Bekasi: sebuah revolusi besar sedang terjadi, ”revolusi jiwa—dari jiwa jajahan dan hamba menjadi jiwa merdeka….”.

Walhasil, sebuah subyek (”jiwa merdeka”) lahir. Agaknya itulah makna dari mereka yang gugur, terbaring, tinggal jadi ”tulang yang berserakan, antara Krawang dan Bekasi”, seperti disebut dalam sajak Chairil Anwar yang semua kita hafal. Subyek lahir sebagai sebuah laku yang ”sekali berarti/sudah itu mati”, untuk memakai kata-kata Chairil lagi dari sajak yang lain. Sebab subyek dalam revolusi adalah sebuah tindakan heroik, bukan seorang hero.

Dalam hal ini Tan Malaka benar: ”Revolusi bukanlah suatu pendapatan otak yang luar biasa, bukan hasil persediaan yang jempolan dan bukan lahir atas perintah seorang manusia yang luar biasa.”

Tan Malaka menulis kalimat itu dalam Aksi Massa yang terbit pada 1926. Dua puluh tahun kemudian memang terbukti bahwa, seperti dikatakannya pula, ”Revolusi timbul dengan sendirinya sebagai hasil dari berbagai keadaan.”

Itulah Revolusi Agustus.

Tapi kemudian tampak betapa tak mudahnya memisahkan perbuatan yang heroik dari sang X yang berbuat, yang terkadang disambut sebagai ”hero” atau ”pelopor”. Sebab tiap revolusi digerakkan oleh sebuah atau sederet pilihan + keputusan, dan tiap keputusan selalu diambil oleh satu orang atau lebih. Dan ketika revolusi hendak jadi perubahan yang berkelanjutan, ia butuh ditentukan oleh satu agenda. Ia juga akan dibentuk oleh satu pusat yang mengarahkan proses untuk melaksanakan agenda itu.

Sekitar seperempat abad setelah 1945, Bung Karno, yang ingin menegaskan bahwa Revolusi Agustus ”belum selesai”, mengutarakan sebuah rumus. Ia sebut ”Re-So-Pim”: Revolusi-Sosialisme-Pimpinan. Bagi Bung Karno, revolusi Indonesia mesti punya arah, punya ”teori”, yakni sosialisme, dan arah itu ditentukan oleh pimpinan, yakni ”Pemimpin Besar Revolusi”.

Tan Malaka tak punya rumus seperti itu. Tapi ia tetap seorang Marxis-Leninis yang yakin akan perlunya ”satu partai yang revolusioner”, yang bila berhubungan baik dengan rakyat banyak akan punya peran ”pimpinan”.

Bahwa ia percaya kepada revolusi yang ”timbul dengan sendirinya”, hasil dari ”berbagai keadaan”, menunjukkan bagaimana ia, seperti hampir tiap Marxis-Leninis, berada di antara dua sisi dialektika: di satu sisi, perlunya ”teori” atau ”kesadaran” tentang revolusi sosialis; di sisi lain, perlunya (dalam kata-kata Tan Malaka) ”pengupasan yang cocok betul atas masyarakat Indonesia”.

Di situ, ada ambiguitas. Tapi ambiguitas itu agaknya selalu menghantui agenda perubahan yang radikal ke arah pembebasan Indonesia.

l l l

TAK begitu jelas, apa yang dikerjakan Tan Malaka pada Agustus 1945. Yang bisa saya ikuti adalah yang terjadi sejak proklamasi kemerdekaan bergaung.

Beberapa pekan setelah 17 Agustus 1945, di Serang, wilayah Banten, Tan Malaka bertemu dengan Sjahrir. Mungkin itulah buat pertama kalinya tokoh kiri radikal di bawah tanah itu berembug dengan sang tokoh sosial demokrat. Tan Malaka dan Sjahrir secara ideologis berseberangan; seperti halnya tiap Marxis-Leninis, Tan Malaka menganggap seorang sosial-demokrat sejenis Yudas.

Tapi seperti dituturkan kembali oleh Abu Bakar Lubis —orang yang menyatakan pernah dapat perintah Presiden Soekarno untuk menangkap Tan Malaka—dalam pertemuan di Serang itu Tan Malaka mengajak Sjahrir untuk bersama-sama menyingkirkan Soekarno sebagai pemimpin revolusi. Menurut cerita yang diperoleh A.B. Lubis pula, Sjahrir menjawab: jika Tan Malaka bisa menunjukkan pengaruhnya sebesar 5 persen saja dari pengaruh Soekarno di kalangan rakyat, Sjahrir akan ikut bersekutu.

Ada sikap meremehkan dalam kata-kata Sjahrir itu. Konon ia juga menasihati agar Tan Malaka berkeliling Jawa untuk melihat keadaan lebih dulu sebelum ambil sikap.

Jika benar penuturan A.B. Lubis (saya baca dalam versi Inggris, dalam jurnal Indonesia, April 1992), pertemuan di Serang itu lebih berupa sebuah perselisihan: sang ”radikal” tak cocok dengan sang ”pragmatis”.

Tan Malaka tampaknya hendak menjalankan tesis Trotsky tentang ”revolusi terus-menerus”. Bagi Trotsky, di sebuah negeri seperti Rusia dan Indonesia—yang tak punya kelas borjuasi yang kuat—revolusi sosialis harus berlangsung tanpa jeda. Trotsky tak setuju dengan teori bahwa dalam masyarakat seperti Rusia dan Indonesia revolusi berlangsung dalam dua tahap: pertama, tahap ”borjuis” dan ”demokratis”; kedua, baru setelah itu, ”tahap sosialis”.

Bagi Trotsky, di negeri yang ”setengah-feodal dan setengah-kolonial”, kaum borjuis terlampau lemah untuk menyelesaikan agenda revolusi tahap pertama: membangun demokrasi, mereformasi pemilikan tanah, dan menciptakan pertumbuhan ekonomi. Maka kaum proletarlah yang harus melaksanakan revolusi itu. Begitu tercapai tujuannya, kelas buruh melanjutkan revolusi tahap kedua, ”tahap sosialis”.

Ini tentu sebuah pandangan yang terlampau radikal—bahkan bagi Rusia pada tahun 1920-an, di suatu masa ketika Lenin terpaksa harus melonggarkan kendali Negara atas kegiatan ekonomi, dan kelas borjuis muncul bersama pertumbuhan yang lebih pesat. Di Indonesia agenda Trotskyis itu bisa seperti garis yang setia kepada gairah 1945. Dilihat dari sini, niat Tan Malaka tak salah: ia, yang melihat dirinya wakil proletariat, harus menggantikan Soekarno, wakil kelas borjuis yang lemah.

Tapi Sjahrir, sang ”pragmatis”, juga benar: pengaruh Tan Malaka di kalangan rakyat tak sebanding dengan pengaruh Bung Karno. Dunia memang alot. Di sini ”pragmatisme” Sjahrir (yang juga seorang Marxis), sebenarnya tak jauh dari tesis Tan Malaka sendiri. Kita ingat tesis pengarang Madilog ini: revolusi lahir karena ”berbagai keadaan”, bukan karena adanya pemimpin dengan ”otak yang luar biasa”.

Tapi haruskah seorang revolusioner hanya mengikuti ”berbagai keadaan” di luar dirinya? György Lukács, pemikir Marxis yang oleh Partai Komunis pernah dianggap menyeleweng itu, membela dirinya dalam sebuah risalah yang dalam versi Jerman disebut Chvostismus und Dialektik, dan baru diterbitkan di Hungaria pada 1996, setelah 70 tahun dipendam.

Dari sana kita tahu, Lukács pada dasarnya dengan setia mengikuti Lenin. Ia mengecam ”chvostismus”. Kata ini pernah dipakai Lenin untuk menunjukkan salahnya mereka yang hanya ”mengekor” keadaan obyektif untuk menggerakkan revolusi. Bagi Lenin dan bagi Lukács, revolusi harus punya komponen subyektif.

Tentu, ada baku pengaruh antara dunia subyektif dan dunia obyektif; ada interaksi antara niat dan kesadaran seorang revolusioner dan ”berbagai keadaan” di luar dirinya. Tapi, kata Lukács, di saat krisis, kesadaran revolusioner itulah yang memberi arah. Penubuhannya adalah Partai Komunis.

Tapi seberapa bebaskah ”kesadaran revolusioner” itu dari wacana yang dibangun Partai itu sendiri? Saktikah Partai Komunis hingga bisa jadi subyek yang tanpa cela, sesosok hero?

Ternyata, sejarah Indonesia menunjukkan PKI juga punya batas. Partai ini harus mengakui kenyataan bahwa ia hidup di tengah ”lautan borjuis kecil”. Agar revolusi menang, ia harus bekerja sama dengan partai yang mewakili ”borjuis kecil” itu. Ia tak akan berangan-angan seperti Tan Malaka yang hendak merebut kepemimpinan Bung Karno. Di bawah Aidit, PKI bahkan akhirnya meletakkan diri di bawah wibawa Presiden itu.

Pada 1965 terbukti strategi ini gagal. PKI begitu besar tapi kehilangan kemandirian dan militansinya. Ia tak melawan pada saat yang menentukan, tatkala militer dan partai ”borjuasi kecil” yang selama ini jadi sekutunya menghantamnya. PKI terbawa patuh mengikuti jalan Bung Karno, sang Pemimpin Besar Revolusi, yang mementingkan persatuan nasional.

Terkurung di bawah wacana ”persatuan nasional”, agenda radikal tersisih dan sunyi. Terutama dari sebuah Partai yang mewakili sebuah minoritas—yakni proletariat di sebuah negeri yang tak punya mayoritas kaum buruh. Tan Malaka sendiri mencoba mengelakkan ketersisihan itu dengan tak hendak mengikuti garis Moskow, ketika pada 1922 ia menganjurkan perlunya Partai Komunis menerima kaum ”Pan-Islamis”—yang bagi kaum komunis adalah bagian dari ”borjuasi”—guna mengalahkan imperialisme.

Tapi ia juga akhirnya sendirian. Sang radikal, yang ingin mengubah dunia tanpa jeda tanpa kompromi, bergerak antara tampak dan tidak. Ia muncul menghilang bagaikan titisan dewa. Sejak Agustus 1945, Tan Malaka adalah makhluk legenda.

Sebuah legenda memang memikat. Tapi dalam pembebasan mereka yang terhina dan lapar, sang pahlawan sebaiknya mati. Revolusi tak pernah sama dengan dongeng yang sempurna.

Jakarta, 7 Agustus 2008.

MENGUSUNG KECENDERUNGAN DAN MAINSTREAM ESTETIK

Tentang Tiga Antologi Cerpen Creative Writing Institute
Maman S Mahayana
http://mahayana-mahadewa.com/

Siapakah gerangan penggerak di balik layar Creative Writing Institute (CWI), sebuah lembaga baru yang konon bergiat di bidang pelatihan penulisan kreatif. Barangkali CWI ini semacam sanggar yang membina kaum muda agar menekuni bidang penulisan kreatif. Pertanyaannya: apakah mungkin penulisan kreatif dapat dilatihkan macam kegiatan olahraga? Bukankah –sebagaimana anggapan sebagian besar masyarakat— menjadi penulis –sastrawan—memerlukan talenta dan bakat yang luar biasa? Jawabannya ada pada tiga buku antologi cerpen yang diterbitkan CWI, yaitu (1) Lantaiku Penuh Darah yang menghimpun tujuh cerpen karya Poniran Kalasnikov, Pangeran Gunadi, Sarno Sensiby, dan Muslim Adi Pamungkas, (2) Membaca Perempuanku yang memuat enam cerpen karya Maya Wulan, dan (3) Keluarga Gila yang memuat tujuh cerpen karya Hudan Hidayat.

Dari nama-nama itu, hanya Hudan Hidayat yang sudah kita kenal sebagai cerpenis. Dengan begitu, niscaya Hudanlah tokoh penggeraknya. Tetapi sangat mungkin pula Ahmadun Yosi Herfanda –penyair dan salah seorang redaktur harian Republika—ikut bermain mengingat ia bertindak sebagai penyunting naskah. Kata Pengantar Irwan Kelana –Redaktur Senior Harian Umum Republika— dalam Lantaiku Penuh Darah menjelaskan duduk perkaranya. “Hudan Hidayat telah mengantarkan Poniran Kalasnikov, Pangeran Gunadi, Muslim Adi Pamungkas, Sarno Sensiby, Maya Wulan… ke pintu gerbang dunia kepengarangan, khususnya cerpen: (hlm. xii). Kecuali Maya Wulan, keempat nama itu adalah para pegawai honorer Diknas –office boy dan satpam—yang “disulap” menjadi cerpenis. Lalu, cukup pentingkah cerpen-cerpen mereka dibukukan dan diberi kata pengantar oleh seorang Irwan Kelana, redaktur senior Republika? Mari kita cermati!
***

Antologi Lantaiku Penuh Darah memuat tujuh cerpen karya Poniran Kalasnikov (dua cerpen), Pangeran Gunadi (dua cerpen), Sarno Sensiby (dua cerpen), dan satu cerpen Muslim Adi Pamungkas. Sebagai cerpenis pemula, keempatnya memperlihatkan keberanian yang sungguh. Barangkali, karena mereka berguru pada seorang Hudan Hidayat, maka gaya bertuturnya relatif mempunyai kecenderungan yang sama; mengangkat tema-tema yang mengandalkan keliaran imajinasi. Dari sanalah kita akan melihat, betapa gaya bertutur mereka begitu menjanjikan.

Bolehlah keempat cerpenis itu memperoleh sentuhan yang sama. Tetapi, tentu saja masing-masing memperlihatkan kekhasannya sendiri. Poniran Kalasnikov dalam cerpen “Lantaiku Penuh Darah” dan “Nenek Anjing” yang mengangkat latar di dunia entah-berantah dalam tataran surealisme cenderung memanfaatkan rangkaian penuturan yang berderap cepat. Kata-kata yang dirangkainya seperti berlompatan membangun sebuah dunia yang aneh. Jadilan realitas fiksional dalam cerpen itu seperti sengaja diselimuti oleh imajinasi liar yang berada di luar batas logika.

Pangeran Gunadi dalam cerpen “Ibu Pacarku” dan “Kucongkel Mata Ayah” juga berada dalam tataran antara realisme dan surealisme. Meskipun demikian, Gunadi seperti lebih menekankan pada detail deskriptif. Dengan cara itu, ia terkesan menggiring pembaca ke dunia realis. Belakangan, cara itu ternyata digunakan sebagai siasat untuk mengecoh.

Hal yang juga dilakukan Sarno Sensiby (“Sampan Kayu” dan “Titian Kayu di Tengah Rawa”). Gaya realis yang dirangkaikannya secara perlahan. Dan itu kemudian dimanfaatkan justru untuk mengulur-ulur tegangan (suspence). Dengan begitu, cerita yang dibangunnya seperti dibawa ke serangkaian teror yang menjerumuskan tokohnya ke dalam peristiwa tragis: masuk lumpur sungai (“Sampan Kayu”) dan dilahap buaya (“Titian…”). Sementara itu, Muslim Adi Pamungkas (“Kuburan”), mengawalinya dengan ledakan kuburan. Dari sanalah, tokoh aku digiring ke dunia mistik dengan cara mengaduk-aduk dunia mimpi, hayal, dan mistik dalam satu kesatuan peristiwa.

Secara keseluruhan, gaya bercerita keempat cerpenis itu masih senapas. Demikian juga tema-tema yang diangkatnya seperti sengaja mencampuradukkan realitas dengan mimpi dan hayalan yang justru malah mendatangkan serangkaian teror. Cara bertutur seperti itu tentu saja bukanlah hal yang baru. Demikian juga caranya menghadirkan rangkaian teror. Justru dalam hal itulah, keberanian keempat cerpenis itu mengangkat tema-tema inkonvensional, nyeleneh, dan tak lazim, menjadikan cerpen-cerpen mereka seperti hendak memotret fenomena dunia gaib yang kini banyak ditayangkan berbagai stasiun tv. Jika mereka lebih berhati-hati dan melakukan pendalaman yang intens, niscaya karya-karya mereka akan berhasil mengangkat peristiwa-peristiwa yang lebih mengerikan.
***

Antologi Membaca Perempuanku karya Maya Wulan memperlihatkan potensi seorang cerpenis pemula yang sungguh dahsyat. Cara memanfaatkan pencerita yang secara enteng ganti-berganti antara tokoh aku sebagai subjek dan tokoh aku sebagai objek, atau sebaliknya, tidak hanya menampilkan model penceritaan yang aneh, tetapi juga secara licik, menyelimuti pesan yang hendak disampaikan pengarangnya. Ideologisasi jender yang diperankan tokoh aku dalam berhadapan dengan tokoh ayah (“Membaca Perempuanku”) menjadi sesuatu yang wajar ketika duduk perkaranya ditampilkan dalam bentuk menolog-monolog reflektif. Kebencian tokoh aku kepada ayah tiri yang telah memperkosanya, diselimuti oleh protes tokoh aku kepada dirinya sendiri. Demikian juga perpindahan pencerita tokoh aku –subjek—pacar si perempuan— dan pencerita tokoh aku –objek—tokoh aku yang diperkosa ayah tirinya—seperti terus-menerus berhadapan dengan problem psikologis dunia perempuan yang tersisih dan tak berdaya. Sebuah cerpen yang menurut hemat saya berhasil mengangkat pelecehan jender secara ironis dan paradoksal.

Cerpen-cerpen lainnya dalam antologi itu (“Pisau”, “Matinya Seorang penulis Muda”, “Catatan Hati Seorang WIL”, “Tidur” dan “Permainan Tempat Tidur”) mengangkat realitas hayalan, mimpi, dan ilusi menjadi semacam peristiwa-peristiwa yang seolah-olah menerjang setiap tokohnya begitu saja. Imajinasi yang diselusupkan dalam setiap peristiwa, memang tidak liar. Tetapi, ketika ia menjelma menjadi tokoh cerita, ia bisa menjadi begitu liar. Bahkan begitu beringas dalam rentetan berbagai adegan yang aneh dan mendebarkan.

Mencermati tema-temanya, sadar atau tidak sadar, Maya Wulan terkesan seperti tidak dapat melepaskan diri dari bayang-bayang Hudan Hidayat –Sang Guru dan sekaligus inspirator. Di sana ada semacam perselingkuhan kreatif (psikis dan fisik?) yang lalu melahirkan sejumlah karya. Dalam beberapa hal, model keterpengaruhan seperti itu sangat mungkin dapat melahirkan style dan kecenderungan yang relatif paralel. Di situlah ancaman bahaya bagi Maya Wulan seperti menunggu waktu. Jika ia terus menikmati keterjebakan dan keterpukauannya pada bayang-bayang itu, ia akan mati muda seperti tokoh dalam cerpennya “Matinya Seorang penulis Muda” itu. Sebaliknya, jika ia mampu melepaskan diri dan bahkan berhasil membunuh bayang-bayang itu, niscaya ia akan tampil menjadi sosok cerpenis yang kokoh dan berpribadi.

Dalam deretan cerpenis perempuan, Maya Wulan sungguh patut mendapat tempat tersendiri. Gaya berceritanya penuh imaji, dan kadangkala sangat simbolik.Dalam hal ini, Wulan tampil dengan sangat meyakinkan mengusung problem perempuan dalam berhadapan dengan dirinya sendiri atau dengan kaum lelaki yang terus-menerus mengalahkannya. Sebuah cara yang licik dalam memprotes superioritas kaum lelaki.
***

Antologi Keluarga Gila karya Hudan Hidayat memang benar-benar menampilkan dunia gila. Berbagai peristiwa tentang kematian, seksualitas, dan naluri-naluri purba mendominasi keseluruhan cerpen-cerpen yang terhimpun dalam antologi ini. Apa yang dikatakan Karl Jaspers mengenai penolakan terhadap kematian yang disebutnya sebagai “situasi marjinal” seperti sengaja diledek dan diaduk-aduk menjadi alat permainan setiap tokoh yang dihadirnya. Penolakan terhadap kematian yang bagi masyarakat modern sebagai sesuatu yang penting –meskipun tak terelakkan—justru dicemooh melalui tokoh yang memburu kematian, bersetubuh dengan kematian, dan mencampakkan nyawa seperti barang tak berharga.

Berbeda dengan antologi sebelumnya, Orang Sakit (2000), kini Hudan Hidayat mengusung sebuah tema sejenis; naluri kepurbaan. Dalam konteks itu, tidak dapat lain, ia seperti sengaja menempatkan kematian sama berharganya atau sama tak berharganya dengan seksualitas. Di sinilah, Hudan Hidayat secara tersembunyi mengangkat problem manusia modern –yang mendewakan kehidupan di atas segalanya— sebagai manusia yang tidak dapat melepaskan diri dari naluri-naluri purba. Ketakutan manusia modern atas kematian dijurkirbalikkan dengan tampilnya tokoh-tokoh yang justru mengejar kematian.

Demikianlah, kehadiran antologi Keluarga Gila, harus diakui, tidak hanya telah berhasil menyemarakkan tema cerpen Indonesia kontemporer, tetapi juga telah berhasil menunjukkan sebuah style, bagaimana memotret dunia modern secara paradoksal. Di samping itu, sebuah estetika psikologis yang menjadi salah satu kekuatan antologi cerpen ini, telah ditanamkan Hudan Hidayat secara meyakinkan. Persoalannya tinggal, bagaimana pembaca menyikapinya dalam perspektif yang sama.
***

Bagi saya, ketiga antologi cerpen yang dibicarakan tadi, patutlah mendapat apresiasi yang proporsional. Ada potensi yang luar biasa di sana. Maka, jika para cerpenis itu menghasilkan karya-karya berikutnya, bolehlah kita menganggap: sebuah mainstream, sebuah kecenderungan estetik, telah dibangun Hudan Hidayat beserta murid-muridnya secara meyakinkan.. Jika ternyata mereka sudah cukup puas dengan antologinya masing-masing, itu artinya, sinyal kematian bakal menggilas mereka. Sebaliknya, jika mereka berkehendak menampilkan sejumlah monumen, maka kita tunggu saja karya berikutnya.

(Maman S. Mahayana, Pensyarah Fakultas Ilmu Pengetahuan Budaya, Universitas Indonesia)

Jumat, 21 November 2008

Puisi-Puisi Ahmad S. Zahari

LAGU ROHANI

melodi indah dengan dentingan yang berirama
mengalir membasahi syaraf menuju dua masa
jalan lurus penyembuhan mengalun mendermagakan
puisi tentang hidup, merapat ke jari-jari manis
menurunkan emas dan perak serta darah sebagai
bekal juga menyertkan tulang dan sendi untuk
menuju penunaian rukun kehidupan
bermuqaddimah dengan semilir sejuk angin senja
musim semi sebagai pembawa janji yang
terbawa untuk sehidup semati dan selamanya

bermunajat dengan lagu rohani untuk mengalirkan
arti dan makna.

Lamongan, 2006



KERAJAAN KATA

menyapa alam yang membawaku terbang
membumbung tinggi ke surga bidadari
kutelusuri di cela-cela perjalanan
dengan sepenggal kosa kata yang ada

bercengkrama dikelilingi dinding-dinding kokoh
berucap di bawah naungan atap menjulang
berkata di balik gerbang megah istanamu

masuklah ke kerajaan kata-kataku
kata-kata yang akan membawamu
menyibak hutan belantara bahasa
tubuhmu sendiri.

Lamongan, 2007



SENANDUNG BERSAYAP

berayun lembut tetes embun di daun petang
mengkristalkan sebuah makna dalam keheningan
panggilan alam menggetarkan senandung subuhku
senandung yang bersayap yang menancap
bagai pedang dalam samar kabut

senandungku menjelma gerimis
menyentuh getar keimanan
keikhlasan

maka terimalah
tumbuhlah sayap di pundakmu
jika kau mau
sebab aku terlanjur
menjadi bayang-bayang.

Lamongan, 2008



DONGENG MASA KANAK-KANAK

dongeng masa anak-anak adalah dongeng penghantar tidur yang selalu kau bisikkan di telingaku, dimana tubuhku kau belai selembut tangan matahari dalam kehangatan kasih sayang. kecupan dan nyanyian penuh cinta mengiringi lelapku yang biru. sekarang suara itu masih terdengar jelas di telingaku:
nina bobo oh nina bobo
kalau tidak bobo digigit nyamuk
bobolah bobo anakku sayang
kalau tidak bobo digigit nyamuk

bunda
aku tidak akan pernah melupakan ngiang nyanyian itu
senandung dongeng pengiring tidur
bagi setiap anak-anak di pelukmu.

Lamongan, 2006



KRISTAL PENERJEMAH CAHAYA

hanyalah sebatas air
yang mengalir di sungai-sungai kecil
hanyalah sebatas pasir
yang terbentang luas di padang pasir
hanyalah sebatas onggokan batu
yang menjulang tinggi di pegunungan
hanyalah sebatas tubuh
yang mondar-mandir di atas tanah

tak ada panorama keistimewaan keindahan
tak ada panorama matahari tenggelam di sore hari
tak ada panorama embun sejuk di rerumputan pagi hari
tak ada panorama musim gugur yang menenangkan
tak ada panorama musim semi yang damai

jalan
meremang
meredup
padam
di kebeningan
kristal penerjemah cahaya

lalu pudar
warna dalam mimpi

seperti sepercik mozaik di keheningan
sebuah musim
yang tersisa tak terhiraukan.

Gresik, 2008



SEBUTIR PERSEMBAHAN DOA DAN CINTA

ku buka pelangi
jauh ujung awan
di bawah naungan mega

ku telisir angin sore hari
aromanya mencerahkan jiwa-jiwa yang diberkahi

ku goreskan keindahan
sebutir persembahan abadi
di balik mihrab
suatu altar
doa


aku
menyapa cinta yang membawaku terbang
membumbung tinggi ke surga bidadari
menelusuri sungai yang selalu mengalir

perjalanan
dengan sepenggal doa dan cinta.

Gresik, 2007



SUNGAI TANPA BATAS

suatu pengembaraan sunyi
sungai tanpa batas
adalah kerinduan tak terjamah
rayuan sihir sungai tanpa nama

malam ini
purnama mengapung di telaga
cahayanya begitu kemilau
bagai mata
batin
kehidupan

ah
malam begitu hening
begitu bening
sayang engkau tidak dapat melihatnya.

Gresik, 2007



BUNGA DI MATAMU

akan kutanam bunga di matamu
bulan di matamu
aku di jantungmu
dan aku lunaskan cinta di matamu
manakala matahari membakar bunga
bulan di matamu
dan jantungmu berhenti
mendetakkan cinta.

Gresik, 2008



SAAT DAUN-DAUN LURUH

ku temukan tarianmu
saat daun-daun luruh dari ranting
saat waktu mencatatmu
betapa kau harus mengikuti arah
kupu-kupu
menerbangkan rindu yang ungu
dimataku.

Gresik, 2008



MALAM MENGALIRKANKU MENJADI TINTA

Malam mengalirkanku menjadi tinta bagi ribuan kunang-kunang di sajak-sajakku. Sajak-sajakku kunang-kunang di malam yang mengantarku menjadi penyair bagi ribuan bayang-bayang yang mengalirkan tinta ditubuhku.

Gresik, 2008

Selasa, 18 November 2008

FENOMENA PRESIDEN PENYAIR DAERAH SEBAGAI DAGELAN POPULER

Nurel Javissyarqi*
http://forum-sastra-lamongan.blogspot.com/

Tentu kita kenal presiden penyair Indonesia: Sutardji Calzoum Bachri! Kredo Tardji yang fenomenal itu, meluas mempengaruhi banyak penyair. Dan kita mendengar pula, seperti presiden penyair Surabaya, presiden penyair Lampung, presiden penyair Cirebon, bahkan ada presiden anak jalanan, dan sebangsanya. Dari sini terpancang jelas pengaruh Tardji, dalam belantika kepenyairan di tanah air. Apa maknawi wewarna itu, pada kaitannya dengan pribadi seorang penyair?

Penyair agung ialah sosok yang menyerap banyak pengaruh, mengolaborasikan dengan kualitas dirinya, kemudian mengungkapkan kembali secara kreatif. Bahasa Tardji, disebut mengingat dan melupa. Semacam prosesi menghindari keterpengaruhan dari karya-karya agung, pada saat itu juga menghapusnya melalui kreativitas sendiri dalam bentuk karya “yang boleh jadi lebih kokoh dari karya yang mempengaruhinya.” Itulah kedirian penyair, dayadinaya hayatnya dalam kancah penerimaan sekaligus penolakan atau perlawanan.

Berbeda dengan penyair agung, penyair medioker atau bahkan para epigon serta gerombolan pembebek, kerap mengungkapkan keterpengaruhannya dengan cara yang mentah dan artifisial. Selama kreativitasnya sebatas menjiplak, sependek itulah greget karyanya: sekadar meniru tanpa berusaha mengolahnya lebih subur dengan kesabaran tangguh. Akibatnya, karyanya mustahil menjadi karya menumental, sebab ia menempatkan dirinya dalam bayang-bayang, pada ketiak penyair yang dikaguminya. Itulah sekerdil-kerdilnya jiwa penyair.

Dalam konteks kultural, kekerdilan itu representasi dari sosok pecundang yang nyaman dihantui kelebatan bayangan yang diciptakannya sendiri. Presiden penyair ialah cita-cita luhurnya. Tetapi ia tak mampu menggapainya, maka ia gembira dengan embel-embel lokalitas yang menyertai kata presiden penyair. Ia bahagia sebagai epigon, meski bukan pelopor.

Ternyata dunia sastra Indonesia tidak lepas dari perihal lelucon. Ketika dilihatnya ada yang sukses memakai plakat tertentu, lainnya ikut-ikutan. Padahal nenek moyang pernah memberi wejangan; “usaha bisa dicontoh namun nasib tidaklah dapat.” Jika pencontekan itu yang berhembus kencang dalam wahana intelektual kepenyairan di bumi pertiwi, cocoknya para pembebek tersebut dinamai gerobak kosong yang bobrok.

Lebih menggelikan lagi, mereka mengunyah betul kenyamanan hidup dalam bayang-bayang. Padahal baju yang dipakainya tak lain kepecundangan. Sebab yang ikut-ikutan mengklaim diri presiden penyair, tidak melakukan pemberontakan. Itulah ekspresi mental kerdil yang cepat terpuaskan, lewat menghirup nafas hidupnya dalam ruang seolah-olah. Saya kira itu bentuk-bentuk pelepasan dari kepuasan konyol, karena para pecundang tidak mungkin melebihi sang pioner.

Seorang penyair seharusnya memiliki semangat membaja, membara senantiasa. Dan ketidakpuasan menjadi api perjuangan yang selalu menyala-nyala. Ketika puas sedikit saja, mentalitas jiwa berkaryanya akan tergerus, hilang amblas daya kreativitasnya. Lebih tepatnya, pamornya tidak sesegar, segarang sedia kala, oleh keterlenaan merasa sebagai “orang yang telah menjadi.” Adalah niscaya para presiden penyair bayangan itu, tidak mungkin berani memberontak kepada sang presiden penyair yang sesungguhnya.

Kalau balada ayam sayur yang kumprung ini diteruskan menjadi tradisi, semacam menyusul adanya wakil presiden penyair, atau penggantian presiden penyair sebab masanya sudah habis oleh telah tiada dan seterusnya. Padahal bentuk-bentuk ini merupakan kamuflase daripada model birokrasi, sekadar gagah-gagahan yang ingin disebut penyair. Untuk menghentikan budaya yang tidak mendidik mentalitas berbangsa serta berbahasa ini, kita seharusnya bersatupadu beramai-ramai tertawa. Saya rasa, perasaan sungkan bisa menghentikan secepatnya, agar langkah mereka berbalik melawan tidak menerima baju kebesaran semu. Lewat berkarya terus berkarya, demi pembuktian dirinya dapat hadir cemerlang, tanpa diembel-embeli titel presiden penyair daerah.

Saya raba kalau mengaku-aku saja, bocah angon yang tak tahu-menahu dunia tulis-menulis dapat menyebut dirinya Superman. Untuk mengaku presiden penyair daerah lebih gampang saya kira, daripada mengatakan dirinya Satria Baja Hitam atau Si Buta dari gua hantu. Itulah wujud mentalitas bobrok, borok yang sudah sangat parah, yang harus diamputasi sebelum menjalar ke batang tubuh, pada jantung pengetahuan bersastra dan berbudaya di bumi Nusantara.

Bayang-bayang kefrustrasian begitu kelam menguntit tubuh-tubuh rapuh mereka, serupa kayu arang yang melempem tersiram air hujam, tanpa hadirnya bara api dalam kelam. Semisal watak pembungkusan dari keterpengaruhan lugu, seperti anak kecil tersedot cerita Superhero yang berlarut-larut, lantas memakai baju impiannya, lantas jadilah Super-ho-ho.

Manakala sikap kepenyairan diibaratkan sosok kenabian, para epigon tidak bisa mengelak ketika dikutuk menjadi bebek yang keok-keok terperdaya ukuran profan, maka celakalah yang mengikuti pandangan sempit mereka. Apa yang berguna dipetik dari pemilik jengger lebar, tak lain keterbelengguan jiwa yang membosankan. Saya bayangkan saat-saat mereka mencipta karya, tidak berangkat dari kedirian murni paling dalam, dirinya memakai baju birokrat kepenyairan, lalu berusaha menulis sajak kembali. Inilah penipuan yang berangkat dari peniruan, sikap turunan yang tak patut dijadikan teladan, atas apa pun yang terpantul darinya.

Jiwa-jiwa terbelenggu tak mampu membebaskan dirinya sebagaimana kepompong menjelma kekupu, tidak sanggup menformutasikan pribadinya mengepakkan sayap-sayap pencerahan. Andai terlintas cahaya, hanya kerlap-kerlip lelampu pesta tengah malam, nafasnya kembang-kempis dirangsek sesuatu yang tak membahagiakan, tidak memerdekakan. Mending kunang-kunang yang tak menganggap dirinya lelintang, mendingan gegemintang yang tidak mengaku sebagai rembulan. Jangan-jangan mereka tak dapat membedakan malam atau siang, yang bukan bermakna peristiwa terbebasnya sedari ruang dan waktu, tetapi ketololan yang menyukai satu keadaan dekaden.

Tidakkah tindak mengamini itu cerminan dari pembonsaian diri? Tumbuh-tumbuhan begitu menarik diprekes jadi dibonsai, tetapi sangat dagelan jikalau yang tertanam dalam ruh bernama watak. Pengerdilan ke-aku-an sama persis bunuh diri perlahan-lahan. Andai disuru meloncat dari ketinggian gedung, tentunya tidak berani. Jiwa-jiwa nyaman di kamar sempit akan grogi keluar kandang, kalau tidak menyelimuti tubuhnya dengan mantel tebal atau jas hujan. Saya sebut orang-orang penakut yang menunggu redanya hujan, menanti datangnya petir saat hendak berlari dalam lebat kegelapan malam.

Kepribadian yang takut gelap, tidak mungkin menghadirkan cahaya. Andai bertarung tentu beraninya main kroyokan. Dan tidak mungkin jiwanya nekat jadi pembalap di sirkuit pancaroba, mereka jera disuruh berjalan paling depan, sebab hayatnya telah membonsai. Fenomena ini boleh saja, namun bagi pemilik jiwa muda haruslah waspada akan mental-mental kepecundangan. Mental jago kandang, teriak lawan namun lempar batu sembunyi tangan, bahasa solokotonya; onani keterusan. Maka pun berdarah-darah, tidaklah realis di dalam menerjuni kehidupan yang lapang melintang cahaya.

Hidup di awang-awang tiada kepastian turunnya hujan sebagaimana awan keraguan, andai melangit tidaklah mampu, sebab kalbunya telah tercukupi bentuk-bentuk kepuasan. Atau hatinya tercerabut dari akar keyakinan, karena tidak menyunggui dirinya sebagai sosok pemampu memikul beban. Padahal salah satu syarat kenabian dalam dunia kepenyairan ialah membelot, memberontak, mengkudeta hal-hal lapuk-jahiliah yang tampak di depan mata, yang mengungkung jamannya. Maka pembodohan (pengkerdilan) diri, otomatis berimbas pada masyarakat, oleh kedunguan sama pengertiannya dengan penipuan. Dan golongan tertipu sama persis kaum merugi dalam jual beli nilai pengetahuan, akan pertukarkan kasih damai kemerdekaan, kemanusiaan.

Jikalau kerugian demi menyokong jalannya hikayat kebudayaan, sebagai wujud peribadatan -tidaklah apa, tetapi jika kebangkrutan itu berakar dari ketololan, maka sangatlah kumprung. Kalau diniatkan sekadar dagelan, mungkin berguna mengendorkan urat-urat syaraf bagi yang sungguh-sungguh, sebab dalam kehidupan pun ada namanya banyolan. Namun bentuk-bentuk mencontek tetaplah kegagalan, dan para presiden penyair gadungan ialah sosok-sosok pecundang, mengkarbit dirinya agar dikira matang.

Sekali lagi, berhati-hatilah memakan buah yang tak masak dari tangkainya, bisa-bisa sakit perut yang berimbas keracunan.
Jangan-jangan, sebentar lagi ada antologi puisi presiden penyair daerah, hahaha... Salam.

-----------
*) Pengelana dari desa Kendal-Kemlagi, Karanggeneng, Lamongan, Jawa Timur.
Jakarta-Jogja-Lamongan, 18 Nov 2008.

Jumat, 07 November 2008

Cerita Pilu Kepulangan TKW

Judul Novel : Sumi; Jejak Cinta Perempuan Gila
Penulis : Maria Bo Niok
Penerbit : Arti Bumi Intaran, Yogyakarta
Cetakan : I Mei 2008
Tebal : 198 halaman
Peresensi : MG. Sungatno *
cawanaksara.blogspot.com

Rabu, 05 November 2008

Masa Lalu Sebagai Kenang-Kenangan

Haris del Hakim
http://forum-sastra-lamongan.blogspot.com/

Berapa kali kaujenguk masa lalumu setiap hari?
Kenangan masa lalu selalu tampak indah dan senantiasa diingat dengan wajah berseri-seri, seakan alam semesta telah berubah menjadi alat musik yang hanya memainkan nada-nada bahagia. Meski perih dan luka tidak lepas dari satu kurun dalam kenangan itu, namun tak ubahnya nada improvisasi yang menambah merdu irama. Dan cerita tentang masa lalu lebih sering diiringi dengan tertawa dan bangga, apalagi bila terlibat di dalamnya sebagai pelaku.

Akan tetapi, saat sekarang yang sedang dialami dan dijalani menunjukkan bahwa dunia ini hanya hidup yang getir, pahit, dan luka yang tak kunjung sudah. Irama saat ini hanya lagu sendu yang sering menguras air mata, seakan tidak pernah mendapatkan satu tangga nada yang mampu membuat gembira. Semua peristiwa saat ini seakan tersedot dalam pusaran melelahkan dan membuat putus asa.

Sekali waktu muncul kesempatan menyenangkan dengan hadirnya rezeki, kabar gembira, atau kawan lama yang selama tahunan tidak bertemu, kemudian dalam keriangan tidak bosan berujar seakan Tuhan bersamanya. Akan tetapi, bila kesempatan sulit dan sesak menimpanya; ketika seorang juru tagih menagih piutang, penyakit yang datang tiba-tiba, atau sesuatu yang hilang, maka yang keluar dari bibir adalah keluhan-keluhan bahwa Tuhan telah meninggalkannya.

Sementara itu, impian-impian membumbung tinggi hingga lupa bahwa dia masih memijakkan kakinya di bumi. Seperti seorang pemimpi yang tidur sepanjang waktu kemudian bangun sekadar untuk menceritakan mimpinya kepada orang lain. Mimpi itu begitu dekat dan hampir menjelma kenyataan. Namun, begitu mimpi itu hanya igauan di siang hari dan bahan lelucon orang-orang yang pernah mendengar ceritanya, dia segera mengambil seutas tali dan mengikat lehernya di dahan pohon.

Begitulah yang terjadi ketika kau terperangah dengan kehidupan yang begitu pendek dan menganggapnya sebagai akhir dari segalanya. Ungkapan ini begitu mudah kaunyatakan, sebagaimana mudahnya kautemukan iring-iringan orang yang mengantar usungan keranda menuju pemakaman. Berjalanlah menyusuri tempat-tempat yang belum kaujamah dan jangan terpukau mendapati pengiring jenazah, sebab ketika kau terpukau pertanda kau sedang lalai bahwa dunia ini pasti berakhir. Pada saat itu kaulihat iringan pengantar jenazah yang sama sekali tidak kaukenali, tapi kau tak tahu bila kapan iringan itu mengantarkan jenazah tetanggamu atau keluargamu atau bahkan dirimu sendiri.

Oleh karena itu, akrabilah kematian agar dapat kautuntaskan semua ketakpastian dan selamat dari kegalauan. Peristiwa dan perasaan barangkali telah membantingmu ke sana ke mari agar kau mengaduh dan mengeluh sekeras-kerasnya, namun akrabmu dengan kematian akan mengajarimu untuk menjalaninya dengan tegar dan tersenyum. Bukankah semua itu hanya sesaat dan sebentar kemudian segalanya akan berlalu? Nafas boleh panjang namun dia pasti berujung pada maut.

Hati-hatilah mencerna kata-kata tersebut, sebab kesalahan memahaminya dapat membuatmu terjebak pada lembah ketidakpedulian dan keacuhan.
Sabda Suci, “Sesungguhnya kehidupan dunia ini tidak lebih sebuah pentas permainan dan kelalaian.” Kalimat itu menyindirmu karena serius menghadapi saat-saat sekarang dan melupakan kehidupan hakiki yang lebih panjang tanpa ujung. Kau keliru bila membayangkan saat sekarang hanya untuk sekarang, sebab sekarang adalah mempersiapkan tanaman yang dapat dipetik di kelak kemudian hari; saat ini kau mesti menyiapkan lahan keluasan iman, memilih benih yang bermanfaat, menanam dengan ikhlas di musim yang tepat, menyiangi gulma kemusyrikan, memelihara dari gangguan kekufuran dan kemunafikan, dan berdoa dengan harapan dan kekuatiran.

Pandangan jauh ke depan yang melahirkan kesadaran tentang awal dan akhir mengajarkan kesenangan dan anggapan kenikmatan hanya berlaku dalam sepenggal waktu; mengapa kaucuci tangan bersih-bersih dari kesusahan yang menyertainya? Belajarlah menikmati hidup abadi agar tidak goyah dalam kurun waktu sementara.

Kehidupan sekitar hanya cermin hati. Prasangka buruk di dalam benak seperti seorang dirigen yang memimpin semesta untuk berteriak, “Ya, kami buruk sekali. Lihatlah, wajah kami penuh bopeng bukan?” Kalau dalam prasangka dunia ini tampak indah, maka gerakan tanganmu pun lincah untuk membimbing semesta bersorak, “Oh, kami sangat indah. Sayang kau tidak pernah memperhatikan.”
Karena itu, dusta besar bila menganggap semesta ini munafik. Katakan, dirimu yang munafik hingga tidak sanggup memahami yang sebenarnya.

Sang Nabi pernah bersabda, “Aku heran dengan orang mukmin. Ia tidak pernah bersedih. Ia memandang kehidupan dunia ini dipenuhi keindahan semata.” Ketika seorang mukmin dicaci maka dia berkata, “Alhamdulillah, dosaku berkurang satu.” Di saat mengalami kemiskinan dia berkata, “Alhamdulillah, aku diberi kesempatan untuk beribadah dan tidak perlu repot bertanggung jawab mengurusi tetek bengek harta yang belum tentu bermanfaat di akhirat nanti.” Ketika kaya dia berujar, “Alhamdullah, aku diberi kelapangan oleh Tuhan untuk menunaikan hak mereka yang terampas.”

Takarlah semua yang menimpamu dengan takaran seimbang, agar perasaan kecewa tak menyergapmu. Kau hanya setitik makhluk kecil di antara tatanan semesta dan kau tidak pernah tahu apa yang terbaik untuk dirimu sendiri; apakah kau masih berpikir mampu berbuat yang terbaik untuk alam semesta ini? Apa yang kaukira kebaikan bisa saja keburukan yang suatu saat akan meletus dan apa yang kausangka keburukan ternyata kebaikan yang menyelamatkanmu.

Jenguklah masa lalumu sekadar saja di saat yang tepat agar kau tidak terseret oleh siksaan yang tidak kausangka-sangka. Sebagaimana yang dialami oleh istri Lut. Pada malam-malam buta orang-orang beriman diajak hijrah oleh Lut, sebab negeri mereka sebentar lagi dihujani batu-batu api dan dibalik tanahnya. Lut merasa sayang dengan istrinya yang sering berpihak pada kekufuran dan mengajaknya ikut hijrah. Seperti yang dipesankan oleh Tuhan melalui malaikat, dia pun berpesan kepada istrinya bila melakukan perjalanan jangan sekali-kali menoleh ke belakang, meskipun rasa ingin tahu begitu kuat untuk melihat apa yang terjadi. Begitu pula yang disampaikannya kepada orang-orang beriman. Dan pada malam itu janji siksa Tuhan benar-benar datang. Lut beserta istri dan orang-orang mukmin telah meninggalkan negerinya. Malam itu bintang-bintang api jatuh. Suara berdebum-debum diiringi teriakan kesakitan dan mengerikan. Jeritan dan tangis penyesalan sudah tidak berarti lagi. Lut menggigit bibir merasa kasihan pada kaumnya yang tidak mempercayainya. Sedangkan istrinya lupa dengan pesan suaminya. Dia menoleh ke belakang dan melihat siksaan yang didustakan benar-benar datang. Dia tertegun dan tertinggal jauh di belakang hingga tanah yang dipijaknya pun ikut terbalik atau sebongkah batu panas menimpuknya?! Pertanyaan yang tidak memerlukan jawaban dan bantahan.
Maha suci Tuhan yang menciptakan lupa.
***

Maulana Jalaludin Rumi mendendangkan wejangan dalam Matsnawi tentang seseorang yang gemar menaburkan deduri di tengah jalan.
Kata-kata itu ditujukan bagi orang bebal yang senang dengan makhluk. Dia mempunyai kebiasaan menanam duri di tengah jalan. Orang-orang yang telah melewati jalan itu mencaci makinya dan banyak pula yang menyuruh untuk mencabut duri-duri itu, tetapi ia tidak juga melakukan. Duri-duri yang ditanam itu semakin hari semakin tumbuh, bahkan telapak kaki manusia dapat mengucurkan darah karena tergores. Duri-duri itu pula yang merobek pakaian makhluk; sedangkan telapak kaki para darwisy; alangkah kuatnya menanggung rasa sakit. Seorang bijak memanggilnya dan berkata, “Cabutlah duri yang kautanam di tengah jalan itu!” Namun, ia menjawab, “Ya, aku akan mencabutnya pada suatu hari nanti.”

Hari-hari telah berlalu. Sementara itu ia akan mencabut duri-duri itu besok sehingga batang duri pun tumbuh menjadi semakin besar.
Orang bijak berkata lagi padanya, “Wahai yang memungkiri janjinya sendiri, segera lakukan apa yang kuperintahkan. Jangan biarkan duri-duri itu melukai dirimu kembali.”
Ia mengatakan, “Hari-hari itu tengah kita jalani, paman!”
Orang bijak melanjutkan bicaranya yang sempat disela tadi, “Segera lakukan! Jangan hanyak berangan-angan untuk menunaikan agama kita.”

Wahai, kalian yang suka mengutip kata “besok”, ketahuilah bahwa hari dan zaman pasti berlalu. Pohon duri yang buruk rupa ini akan tumbuh semakin kuat dan ulet; dan hanya seorang syaikh yang kuat sanggup mencabutnya. Pohon duri itu pun semakin kuat dan tinggi, sementara yang akan mencabutnya pun bertambah renta dan ringkih. Pohon duri, setiap hari dan setiap saat, makin menghijau dan elok dipandang mata. Adapun mencerabut duri makin bertambah susah dan berat. Ia semakin dewasa sementara dirimu semakin tua, maka segeralah, dan jangan menyia-siakan waktumu.

Ketahuilah, semua perilaku buruk dalam dirimu merupakan pohon duri, sementara kalian mendapatkan tusukan duri-duri di telapak kakimu itu adalah persoalan lain. Betapa banyak yang terluka karena perilakumu: kau benar-benar tidak mempunyai perasaan, bahkan sebenarnya dirimu tujuan dari peniadaan. Apabila dirimu menghadapi orang lain yang terluka karenamu—yang menjauhimu karena perilakumu yang buruk—kadangkala kau lupakan perbuatanmu; bahkan, kau lalai dari luka yang terjadi pada dirimu sendiri? Kau adalah azab bagi dirimu sendiri dan semua orang selainmu.

Ambil kapak dan tebang pohon duri itu, seperti yang dilakukan orang-orang gagah. Cabutlah dengan segenap kekuatanmu, seperti yang dilakukan Ali ketika mencabut pintu Khaibar.
Kalau saja kau tidak mampu, maka jadikan duri sebagai sahabat bunga mawar dan jadikan api sebagai sahabat cahaya kekasih. Hingga cahayanya pun menaungi api yang ada pada dirimu dan menjadikan sarana duri-durimu sebagai taman mawar. Kau seumpama api neraka Jahim adapun mursyidmu adalah orang mukmin; hanya seorang mukmin yang mampu membekukan api.

Apa saja yang kau tanam pasti akan berbuah dan sekaligus mengundang kehadiran burung prenjak, burung gagak, atau merpati bagimu. Kita telah kembali untuk memotong jalan lurus dengan benda; kita harus kembali, tuan. Di manakah jalan kami?
Kami telah menjelaskan kepadamu, wahai pendengki. Keledaimu telah lepas sementara rumahmu masih jauh, maka segera berangkat! Tahun telah kehilangan separuh hari-harinya dan sekarang bukan lagi musim tanam, sehingga hari-hari tersisa ini hanya berisi muka hitam dan perbuatan buruk. Seekor ulat telah mengeram di akar pohon jasad, maka suatu keharusan untuk mencabut dan melemparkannya ke neraka.

Jasad yang mati tak lebih gumpalan adonan roti—ketika bersahabat dengan ruh—menjadi hidup, bahkan menjadi mata kehidupan. Kayu bakar yang hitam ketika bersahabat dengan api—akan melenyapkan warna hitamnya dan menyulapnya—menjadi cercah-cercah cahaya. Bangkai keledai—ketika jatuh di gugusan bintang yang terang—akan terselungsungi dari kekeledaian dan terhalalkan jasadnya. Sibghatallah menjadi bejana warna wahdaniyah. Berbagai warna di dalamnya menjadi warna tunggal. Apabila ada seseorang berada di dalam bejana itu dan kau katakan, “berdirilah”, maka ia akan menjawabmu dengan suara genderang, “aku adalah wadah maka jangan mencaciku.” Ungkapannya “aku adalah wadah” merupakan esensi pernyataan “aku adalah Kebenaran”. Apakah selain besi dapat mengambil warna api untuk dirinya? Warna besi terhapus dalam warna api. Besi seakan-akan dalam kebisuan menampakkan kesenangan dengan sifat api. Saat ia telah menjadi—dalam warna bara merah—seumpama emas berpijar, maka ia merasa bahagia seraya menyatakan tanpa lisan, “akulah api!”

Aku adalah api.
Kalau kau ragu maka ulurkan tanganmu ke tubuhku.
Aku adalah api.
Kalau kau sama denganku maka tempelkan wajahmu pada wajahku.
Seorang manusia ketika meminjam cahaya dari Allah menjadi sandaran; para malaikat sujud kepadanya karena Allah telah mengijabahinya. Begitu pula ia menjadi sandaran bersujud manusia; ketika ia telah memurnikan ruhnya dari keraguan dan tirani, seperti malaikat.

Apakah api?
Apakah besi?
Tutup kedua bibirmu dan jangan banggakan jenggot karena mirip dengan kaum berjenggot. Jangan langkahkan kaki ke laut dan kurangi bicaramu tentang laut. Berdirilah di pantai dalam keadaan diam demi menjaga kedua bibirmu dari kebingungan.
Hati adalah telaga yang terhijab, karena itu ia memiliki cara rahasia menuju laut. Penyucianmu yang terbatas membutuhkan kurun waktu; jika tidak, maka hitungan akan bertentangan dengan sedekah.

Surabaya, 25 Ramadhan

Selasa, 04 November 2008

BUNG TOMO, PAHLAWAN PENYAIR INDONESIA

Nurel Javissyarqi*
http://forum-sastra-lamongan.blogspot.com/

Terlepas bapak presiden penyair Indonesia, Sutardji Calzoum Bachri berpendapat; “sebuah puisi besar pernah tercipta dalam sejarah bangsa ini.” Yakni teks Sumpah Pemuda, yang diumumkan pada tanggal 28 Oktober 1928 itu. Dan terlepas sebelum adanya istilah sumpah serapah, sumpah pocong atau lainnya. Telah bergaung kokoh keagungan Sumpah Palapa, yang dikumandangkan patih Gajah Mada, dari kerajaan Majapahit tanah Dwipa, yang tidak mungkin terhapuskan di bumi Nusantara.

Untuk menyatakan Bung Tomo sebagai Pahlawan Penyair Indonesia, ataupun Pahlawan Sastra Indonesia, di sini dihadirkan teks pidato beliau, ketika membakar semangat perjuangan rakyat di Surabaya. Yang tidak kalah mendagingnya dengan puisi-puisi besar yang berdarah-darah.

Maka semua pintu bisa dibuka, semua telinga boleh menyimaknya, tak ada istilah hanya penyair yang dapat jatah, semuanya dapat bagian serupa. Kecuali para pecundang yang membawa kabur harta negara, kecuali para koruptor yang tak jera-jera menimbun api neraka.

Waktu itu, menyambut Ultimatum Jendral Mansergh pada tanggal 10 November 1945, Bung Tomo membacakan teks pidatonya dengan jiwa berkobar, di depan radio Pemberontak, dengan suaranya yang lantang menggelegak, memekik langit, mencahayai kemerdekaan berbangsa dan bernegara Indonesia:

Bismillahi rokhmanir rokhim**
Merdeka!

Saudara-saudara rakyat jelata di seluruh Indoneisa
terutama saudara-saudara penduduk kota Surabaya.

Kita semua telah mengetahuai, bahwa hari ini
tentara Inggris telah menyebarkan pamflet-pamflet
yang memberikan suatu ancamana kepada kita semua.

Kita diwajibkan untuk dalam waktu yang mereka tentukan,
menyerahkan senjata-senjata yang telah kita rebut
dari tangan tentara Jepang.

Mereka telah minta supaya kita datang pada mereka itu
dengan mengangkat tangan.

Mereka telah minta supaya kita semua datang pada mereka itu
dengan membawa bendera putih
tanda bahwa kita menyerah pada mereka.

Saudara-saudara
di dalam pertemputan-pertempuran yang lampau,
kita sekalian telah menunjukkan
bahwa rakyat Indonesia di Surabaya:

pemuda-pemuda yang berasal dari Sulawesi,
pemuda-pemuda yang berasal dari Bali,
pemuda-pemuda yang berasal dari Kalimantan
pemuda-pemuda yang berasal dari Sumatera,
pemuda Aceh, pemuda Tapanuli
dan seluruh pemuda Indonesia
yang ada di Surabaya ini.

Di dalam pasukan-pasukan mereka masing-masing
dengan pasukan rakyat,
yang dibentuk dikampung-kampung
telah menunjukkan suatu pertahanan
yang tidak bisa dijebol,
telah menunjukkan satu kekuatan
hingga mereka itu terjepit di mana-mana.

Hanya karena taktik yang licik dari mereka itu saudara-saudara,
dengan mendatangkan presiden
dan pemimpin-pemimpin lainnya ke Surabaya ini,
maka kita tunduk untuk memberhentikan pertempuran.

Tetapi pada masa itu, mereka telah memperkuat diri,
dan setelah kuat, sekarang inilah keadaannya.

Saudara-saudara,
kita semuanya – kita bangsa Indonesia
yang ada di Surabaya ini
akan menerima tantangan tentara Inggris itu,
dan kalau pimpinan tentara Inggris yang ada di Surabaya
ingin mendengarkan jawaban seluruh pemuda Indonesia
yang ada di Surabaya ini, dengarkanlah ini tentara Inggris!

Ini jawaban kita!
Ini jawaban rakyat Surabaya!
Ini jawaban pemuda Indonesia!

Kepada kau sekalian hai tentara Inggris!
Kau menghendaki bahwa kita ini
akan membawa bendera putih
untuk takluk kepadamu!

Kau menyuru kita membawa senjata-senjata
yang telah kita rampas dari tentara Jepang
untuk diserahkan kepadamu.

Tuntutan itu, walaupun kita tahu
bahwa kau sekalian akan mengancam kita
untuk menggempur kita
dengan seluruh kekuatan yang ada!

Tetapi inilah jawaban kita:
“Selama banteng-banteng Indonesia
masih mempunyai darah merah
yang dapat membasahi secarik kain putih,
merah dan putih,
maka selama itu,
tidak akan kita mau menyerah
pada siapapun juga”

Saudara-saudara rakyat Surabaya bersiaplah.
Keadaan genting.
Tetapi saya peringatkan sekali lagi
jangan mulai menembak,
baru kalau kita ditembak,
maka kita akan ganti menyerang mereka itu!

Kita tunjukkan bahwa kita ini
adalah benar-benar orang yang ingin merdeka!

Dan untuk kita saudara-saudara,
lebih baik hancur lebur daripada tidak merdeka!

Semboyan kita tetap!
MERDEKA ATAU MATI!

Dan kita yakin saudara-saudara,
pada akhirnya pastilah
kemenangan akan jatuh kepada kita.
Sebab Allah selalu berada di pihak yang benar.

Percayalah saudara-saudara,
Tuhan akan melindungi kita sekalian.

Allahu Akbar. Allahu Akbar. Allahu Akbar!
MERDEKA!


Teks pidato tersebut tidak sekadar berbau puisi, pun hanya mengandalkan bunyi-bunyian sastrawi, namun telah melampaui peristiwa puitika. Teks yang berbau puisi maksud saya, yang mudah disadap tanpa berkeringat otak memeras hati. Saya rasa jika bunyi-bunyian semata, itu baru menuliskan lirik puitik, dan belum pada taraf hakekat puisi, apalagi peristiwa makna puitika.

Saya yakin, puisi di atas memiliki daya mangfaat yang tidak kalah heroiknya dengan teks Hikayat Perang Sabil yang panjang itu,*** dalam membakar semangat jihat kepada musuh dalam peperangan. Di sinilah letaknya, fungsi karya sastra yang sesungguhnya, bukan sekadar permainan kata sehabis berleha, tetapi kaki-kaki realitas perjuangan-lah yang melahirkannya.

Karya seni bukanlah sejenis rakitan tehnologi yang memudahkan orang-orang dalam kehidupan, jikalau menganggap kata-kata bukan sekadar pipo ledeng. Kata-kata hadir dari kesadaran, kepercayaan, keyakinan yang menderukan rupa. Maka bentuk-bentuk keisengan, menggigil di sudut-sudut jauh, terlempar dari permukaan cahaya, jika tak menginsafi kebodohan langkah pertama.

Apalah yang didapat, dari pelesiran jauh selain nikmat? Membaca buku-buku misalnya. Sungguhlah banyak kenangan serta mendapati saripati ilmu. Dan orang-orang menganggap menulis puisi itu mudah, lainnya tidak, lebih sulit daripada mencipta buku dengan gagasan serupa. Banyak penghayat puisi itu repot mencari padanan makna. Yang lain terdiam, sambil merasakan pergulatan bathin kesadaran kata-kata, bersama waktu-waktu menafaskannya.

Sebuah apel ialah buah apel, bukan pepaya. Adam diberikan kesadaran kata-kata oleh tuhan, beserta benda-benda yang disebutkan-Nya. Jadi hakekatnya, tidak ada kebebasan makna kata-kata, ketika menyadari setiap kata memiliki makna. Adalah paradok, jikalau yakin setiap kata mengemban makna, namun lantas membebaskannya.

Adalah setiap batok kepala menyimpan peristiwa berbeda. Andaipun bacaannya serupa, tidaklah lantas otomatis satu warna, itulah kebebasan tafsir. Bolelah manusia ugal-ugalan menafsirkan, namun yang patut diingat, tinta Keilahian telah mematri; “di manapun menghadap, wajah kebenaran tetaplah sama”.

Tidak ada hakim penentu, ketika kata-kata merasuk dalam kalbu. Hanya keyakinan itulah yang menentukannya, yang telah menanam kesadaran kata-kata bersama wujud-wujudnya. Keseluruhan bacaan, pengalaman yang mematangkan jiwa, saling memantul memaknai kata-kata. Inilah kesungguhan tafsir, membuka segala organ diri dalam merangkul memahami puisi, atau diri yang terejawantah syair-syinair hayati.
-----------

*) 4 Nov 2008, Pengelana asal desa Kendal-Kemlagi, Karanggeneng, Lamongan, JaTim.
**) Surabaya di Akhir Tahun 1945, disusun; Mohammad Moestadji, BA. Penerbit Bina Pustaka Tama Surabaya, cetakan pertama 1994.
***) Sastra Perang, Sebuah pembicaraan mengenai Hikayat Perang Sabil, oleh Prof Ibrahim Alfian, Penerbit Balai Pustaka, 1992.

Zilot

Goenawan Mohamad
http://www.tempointeraktif.com/

WOLE Soyinka tahu apa artinya diinjak dan bagaimana rasanya ditindas. Pemenang Hadiah Nobel untuk Sastra tahun 1986 ini sekarang berusia 74. Ketika ia 31 tahun, orang Nigeria ini ditahan pemerintah selama tiga bulan, dan dua tahun kemudian, ia—waktu itu direktur Sekolah Drama di Universitas Ibadan—dipenjarakan karena tulisan-tulisannya dianggap mendukung gerakan separatis Biafra. Selama setahun ia disekap, antara lain di sebuah sel yang sesempit liang lahat. Karena protes internasional, ia dibebaskan. Tapi ketika Jenderal Sani Abacha berkuasa di Nigeria (1993-1998), Soyinka dihukum mati in absentia. Kesalahannya: ia membela seorang pengarang dan aktivis terkenal yang dihukum gantung.

Dari riwayat itu kita tahu, Soyinka tak akan berhenti menentang ”sepatu lars yang menindas”. Tapi kemudian sesuatu yang lebih opresif datang: fundamentalisme agama, terutama di tanah airnya. Bagi Soyinka, kini jadi tugasnya untuk ”melawan mereka yang memilih bergabung dengan pihak kematian”. Artinya ”mereka yang mengatakan telah menerima titah Tuhan entah di mana dan berkata bahwa mereka wajib membakar dunia agar mereka mencapai keselamatan”. ”Pihak kematian” ini tak hanya di satu sisi. Soyinka melihat musuh itu ”di lorong-lorong sempit Irak ataupun di Gedung Putih.”

Karenanya, tugas itu tak mudah. Bagi Soyinka, Nigeria yang didera pembunuhan antarkelompok agama karena fundamentalisme iman, ”lebih berbahaya” ketimbang Nigeria di bawah kediktatoran militer ketika ia sendiri dipenjarakan.

”Fundamentalisme agama lebih berbahaya… sebab ia tak berbentuk, dan bergerak ke banyak arah,” katanya dalam satu wawancara bertanggal Januari 2003. ”Melawan kediktatoran militer, kita bisa memfokuskan sasaran. Kita dapat melawannya langsung. Kediktatoran itu segerombolan orang yang didera hasrat kekuasaan. [Tapi] fundamentalisme memperoleh pengikut di tempat yang paling tak terduga. Ia menyatakan diri dalam bentuk yang acak dan sangat berbahaya.”

Tanah airnya mungkin salah satu saksi yang boncel-boncel dan berdarah. Sejak 1999, di dua belas negara bagian Nigeria Utara, penduduk yang muslim memilih untuk menerapkan syariah Islam. Tapi kian lama kian tampak, ada yang tak beres dengan ketetapan itu, terutama di republik yang berpenduduk 147 juta dan hanya 50 persennya muslim, sementara 40 persennya Kristen. Sementara korupsi meluas, 70 persen penduduk di bawah garis kemiskinan. Ketimpangan sosial tajam (indeks Gini hampir 44, bandingkan dengan Indonesia yang 34) dan hanya 68 persen penduduknya yang melek huruf (sementara Indonesia: 90 persen). Syariah Islam, yang sibuk mengurus soal akhlak pribadi, tak kunjung tampak hendak melenyapkan kondisi sosial itu.

Bahkan satu kejadian menggambarkan bagaimana hukum syariah jadi soal yang gawat: kasus Aminah Lawal Kurami.

Maret 2002, perempuan berumur 27 ini dijatuhi hukuman mati dengan dirajam, karena mahkamah syariah di Kota Funtua menganggapnya telah berzina. Ia baru bercerai, tapi melahirkan. Perempuan miskin ini divonis tanpa didampingi pembela. Hanya satu hakim yang menjatuhkan hukuman. Aminah buta huruf, tak tahu undang-undang yang dianggap tak boleh dilanggarnya.

Tentu saja para hakim syariah tak menganggap hal itu bisa meringankan hukumannya. Harian The Guardian awal Oktober 2003 mengutip pernyataan Dahaltu Abubakar dari mahkamah banding di Katsina: ”Tak tahu undang-undang tak bisa jadi pembelaan.” Ini bukan hukum bikinan manusia, katanya. ”Selama kamu muslim, hukum ini berlaku buat dirimu.”

Syukurlah, setelah kampanye yang gigih di seluruh dunia—bahkan The Oprah Winfrey Show ikut membelanya—Aminah tak jadi mati dirajam. Tapi kejadian itu menunjukkan bagaimana penerapan syariah Islam justru mengungkapkan perbenturan antara hukum dan keadilan, antara iman dan kemanusiaan.

Tapi apa artinya kemanusiaan, apa artinya hidup, bagi yang disebut Soyinka sebagai ”pihak kematian”, the party of death? Sebab ”kematian” di sini tak hanya menyangkut disambutnya hukum rajam dan potong tangan, tapi juga menyangkut tafsir yang tak hidup lagi.

The party of death itu juga yang berkibar ketika pada tahun 2000 dan 2002 Nigeria, khususnya di Kota Kaduma, orang Kristen dan Islam baku bunuh. Dari sana Soyinka menulis sajak, Twelve Canticles for the Zealot, dengan nada yang marah dan kalimat yang menusuk. Sajak pemenang Hadiah Nobel untuk Sastra tahun 1986 itu tak begitu bagus, sebetulnya, tapi bukanlah ia punya alasan untuk tergesa-gesa?

Para zilot telah menyuarakan pekik pertempuran, dan Soyinka memandang mereka sebagai ”pelayan vampir”, yang hinggap di pucuk gereja, di menara masjid, di kupola katedral. Ia bertengger di tembok penyangga ”kesalihan”. Sang ”pelayan vampir” itu menunggu untuk loncat ke semua arah. Ia tak akan berangkat sendirian. Ia akan mengajak: ”Datanglah bersamaku atau, kalau tidak, ke neraka!”

Maka tangan sang zilot terulur, kata sajak Soyinka pula, tapi bukan untuk membuai ranjang bayi yang damai. Tangan itu ”cakar kebencian”, mencengkeram dari ujung ke ujung, ”Membubuhkan luka, membunuh, itulah segalanya”.

Zilot—sebuah pengertian dari Injil yang kemudian menggambarkan sikap orang fanatik yang militan—dalam sajak Soyinka kata itu menunjuk mereka yang atas nama hukum agama yang murni mengancam spontanitas kegembiraan hidup di atas bumi, di bawah langit, di antara makhluk yang fana. Maka dari Nigeria, anak tanah air itu berseru, menolak ”the party of death”: ”Aku datang dari tanah Ogun/negeri perempuan menampik cadar dan laki-laki/berbagi suka dengan bumi”.

A Rodhi Murtadho A. Ginandjar Wiludjeng A. Junianto A. Kurnia A. Qorib Hidayatullah A. Yusrianto Elga A.S Laksana A’yat Khalili Aang Fatihul Islam Abdul Azis Sukarno Abdul Aziz Rasjid Abdul Hadi WM Abdul Kadir Ibrahim Abdul Malik Abdul Razak Abdul Rosyid Abdul Wahab Abdurrahman Wahid Abu Salman Acep Iwan Saidi Acep Zamzam Noor Adam Chiefni Ade P. Nasution Adhitia Armitriant Adi Prasetyo Adrizas AF. Tuasikal Afriza Hanifa Afrizal Malna Agama Para Bajingan Agnes Rita Sulistyawaty Aguk Irawan M.N. Agus B. Harianto Agus Buchori Agus R. Sarjono Agus R. Subagyo Agus Sulton Agus Sunyoto Ahda Imran Ahid Hidayat Ahmad Baso Ahmad Faishal Ahmad Fatoni Ahmad Hasan MS Ahmad Kekal Hamdani Ahmad Khotim Muzakka Ahmad Muchlish Amrin Ahmad Naufel Ahmad Rofiq Ahmad S. Zahari Ahmad Syauqi Sumbawi Ahmad Yulden Erwin Ahmad Zaini Ahmadun Yosi Herfanda Ahsanu Nadia Aini Aviena Violeta Ainul Fiah Ajip Rosidi Akhiriyati Sundari Akhmad Muhaimin Azzet Akhmad Sekhu Akhmad Sofyan Hadi Akhmad Taufiq Akhudiat Akmal Nasery Basral Alam Terkembang Alang Khoiruddin Alex R. Nainggolan Alfian Dippahatang Ali Audah Ali Mahmudi CH Ali Rif’an Almania Rohmah Ami Herman Amien Wangsitalaja Aminah Aminullah HA.Noor Amir Sutaarga Anam Rahus Anata Siregar Andari Karina Anom Andina Dwifatma Andong Buku #3 Andre Mediansyah Andri Awan Anett Tapai Anggie Melianna Anindita S Thayf Anis Ceha Anjrah Lelono Broto Anton Bae Anton Kurnia Anton Wahyudi Anwar Nuris Ardi Bramantyo Ardus M Sawega Arie MP Tamba Arie Yani Arief Joko Wicaksono Arief Junianto Ariera Arif Bagus Prasetyo Aris Kurniawan Arman A.Z. Arswendo Atmowiloto Arti Bumi Intaran AS Sumbawi Asarpin Asep Sambodja Asmaul Fauziyah Asti Musman Atafras Awalludin GD Mualif Ayu Wulan Sari Aziz Abdul Gofar Azizah Hefni Bagus Takwin Bahrul Ulum A. Malik Balada Bale Aksara Balok Sf Bambang Kempling Bamby Cahyadi Bandung Mawardi Beni Setia Benny Arnas Benny Benke Beno Siang Pamungkas Bentara Budaya Yogyakarta Berita Berita Duka Berita Koran Bernando J Sujibto Berthold Damshauser BI Purwantari Binhad Nurrohmat Bobby Gunawan Bonari Nabonenar Brunel University London Budaya Budi Darma Budi P. Hatees Budiman S. Hartoyo Burhanuddin Bella Camelia Mafaza Catatan Cerbung Cerpen Chairul Akhmad Chamim Kohari Chavchay Syaifullah Cover Buku Cucuk Espe D. Zaini Ahmad D. Zawawi Imron Dadang Ari Murtono Dahta Gautama Daisuke Miyoshi Damhuri Muhammad Dami N. Toda Damiri Mahmud Danarto Daniel Paranamesa Danusantoso Dareen Tatour Darju Prasetya David Kuncara Denny Mizhar Denza Perdana Desi Sommalia Gustina Desiana Medya A.L Dewan Kesenian Lamongan (DKL) Dewi Indah Sari Dewi Susme Dian Sukarno Didik Harianto Didik Kusbiantoro Dina Jerphanion Dina Oktaviani Dinas Kebudayaan dan Pariwisata (Disbudpar) Jawa Timur Dipo Handoko Diyah Errita Damayanti Djoko Pitono Djoko Saryono Doddy Wisnu Pribadi Dody Kristianto Dody Yan Masfa Donny Anggoro Donny Syofyan Dorothea Rosa Herliany Dr Junaidi SS MHum Dwi Cipta Dwi Fitria Dwi Pranoto Dwi Wiyana Dyah Ratna Meta Novia Dyah Sulistyorini Ecep Heryadi Eddy Pranata PNP Edeng Syamsul Ma’arif Eep Saefulloh Fatah EH Kartanegara Eka Budianta Eka Kurniawan Eko Hendrawan Sofyan Eko Hendri Saiful Eko Windarto Elnisya Mahendra Elva Lestary Emha Ainun Nadjib Emil WE Endah Sulwesi Endo Suanda Eppril Wulaningtyas R Esai Evan Ys F. Moses F. Rahardi Fadlillah Malin Sutan Fahmi Faqih Fahrudin Nasrulloh Faisal Kamandobat Fajar Kurnianto Fanani Rahman Fanny Chotimah Fatah Anshori Fatah Yasin Noor Febby Fortinella Rusmoyo Felix K. Nesi Festival Sastra Gresik Gabriel Garcia Marquez Galang Ari P. Galuh Tulus Utama Gampang Prawoto Gandra Gupta Ganug Nugroho Adi Gerson Poyk Ghassan Kanafani Gita Nuari Gita Pratama Goenawan Mohamad Grathia Pitaloka Gunoto Saparie H.B. Jassin Habibullah Hadi Napster Hadriani Pudjiarti Halim HD Halimi Zuhdy Hamberan Syahbana Han Gagas Hanibal W. Y. Wijayanta Hardi Haris del Hakim Haris Saputra Harri Ash Shiddiqie Hartono Harimurti Hary B Kori’un Hasan Aspahani Hasan Junus Hasif Amini Hasnan Bachtiar Hasta Indriyana HE. Benyamine Hendra Junaedi Hendra Makmur Heri CS Heri Latief Heri Listianto Herman RN Herry Lamongan Heru CN Heru Nugroho Hikmat Gumelar HL Renjis Magalah Hudan Nur Hujuala Rika Ayu Huminca Sinaga IBM. Dharma Palguna Ibnu Wahyudi Ida Farida Idris Pasaribu Ignas Kleden Ignatius Haryanto Iksan Basoeky Ilham Khoiri Imam Cahyono Imam Muhtarom Imam Nawawi Imamuddin SA Iman Budhi Santosa Imron Rosyid Imron Tohari Indiar Manggara Indra Intisa Indra Tjahyadi Indra Tranggono Indrian Koto Ira Puspitaningsih Irfan Budiman Isbedy Stiawan Z.S. Iskandar Noe Iskandar Zulkarnain Ismail Marzuki Iva Titin Shovia Iwan Kurniawan Jabbar Abdullah Jafar Fakhrurozi Jalan Raya Simo Sungelebak Jamal D. Rahman Jamal T. Suryanata Javed Paul Syatha Jayaning S.A JILFest 2008 Jody Setiawan Johan Edy Raharjo Johannes Sugianto Joko Pinurbo Joko Sandur Joni Ariadinata Jual Buku Jual Buku Paket Hemat Juan Kromen Julika Hasanah Jurnalisme Sastrawi Jusuf AN Juwairiyah Mawardy Ka’bati Karanggeneng Karya Lukisan: Andry Deblenk Kasnadi Keith Foulcher Kemah Budaya Panturan (KBP) Khansa Arifah Adila Khoirul Inayah Khoirul Rosyadi Khudori Husnan Ki Ompong Sudarsono Kirana Kejora Komplek Gor Kamantren Paciran Lamongan Komunitas Deo Gratias Komunitas Sastra Ilalang Indonesia Korrie Layun Rampan Kostela Kritik Sastra Kukuh S Wibowo Kurnia Effendi Kurniawan Kuswaidi Syafi'ie L.N. Idayanie Laili Rahmawati Lamongan Lan Fang Langgeng Widodo Lathifa Akmaliyah Leila S. Chudori Lely Yuana Lembaga Pengembangan Pembelajaran dan Penjaminan Mutu (LP3M) Universitas Jember Liestyo Ambarwati Khohar Lina Kelana Linda Sarmili Liza Wahyuninto Lucia Idayanie Lukman A Sya Lutfiah Lynglieastrid Isabellita M Arman AZ M Ismail M Thobroni M. Afifuddin M. Arwan Hamidi M. Lukluk Atsmara Anjaina M. Lutfi M. Luthfi Aziz M. Nurdin M. Yoesoef M.D. Atmaja M.S. Nugroho Mahendra Cipta Mahmud Jauhari Ali Mahmud Syaltut Usfa Mahmudi Arif Dahlan Malam Apresiasi Seni Tanahmerah Ponorogo Malkan Junaidi Maman S. Mahayana Mardi Luhung Marhalim Zaini Martin Aleida Maruli Tobing Mas Ruscita Mashuri Masuki M. Astro Matroni Matroni Muserang Media: Crayon on Paper Membongkar Mitos Kesusastraan Indonesia MG. Sungatno Mh Zaelani Tammaka Mia Arista Mia El Zahra Mikael Johani Misbahus Surur Misran Mohamad Ali Hisyam Mohammad Eri Irawan Much. Khoiri Muh. Muhlisin Muhammad Al-Fayyadl Muhammad Amin Muhammad Aris Muhammad Muhibbuddin Muhammad Rain Muhammad Taufiqurrohman Muhammad Yasir Muhammad Zuriat Fadil Muhammadun Muhammadun AS Muhidin M Dahlan Mujtahid Mujtahidin Billah Mukti Sutarman Espe Mulyadi SA Mulyosari Banyuurip Ujungpangkah Gresik Munawir Aziz Musfarayani Musfi Efrizal Nafisatul Husniah Nandang Darana Naskah Teater Nelson Alwi Ni Made Purnamasari Nikmatus Sholikhah Nina Herlina Lubis Nina Susilo Ning Elia Noor H. Dee Noval Jubbek Novel-novel berbahasa Jawa Novelet Nunuy Nurhayati Nur Azizah Nur Hamzah Nur Kholiq Nurdin Kalim Nurel Javissyarqi Nurul Aini Nurul Anam Nurul Komariyah Nuryana Asmaudi SA Nyoman Tusthi Eddy Obrolan Okty Budiati Orasi Budaya Akhir Tahun 2018 Otto Sukatno CR Oyos Saroso H.N. Pagan Press Pagelaran Musim Tandur Palupi Panca Astuti Parimono V / 40 Plandi Jombang Pawang Surya Kencana PDS H.B. Jassin Petrus Nandi Politik Politik Sastra Pradana Boy ZTF Pramoedya Ananta Toer Pramono Pringadi AS Prof Dr Fabiola D. Kurnia Prosa Puisi Puji Santosa Puji Tyasari Puput Amiranti N Purnawan Andra Purnawan Kristanto Pusat Dokumentasi Sastra H.B. Jassin Pustaka Ilalang Group PUstaka puJAngga Putu Wijaya Qaris Tajudin R. Ng. Ronggowarsito Rachmad Djoko Pradopo Radhar Panca Dahana Rahmat Kemat Hidayatullah Rahmat Sularso Nh Rakai Lukman Rakhmat Giryadi Rasanrasan Boengaketji Raudal Tanjung Banua Redland Movie Reiny Dwinanda Resensi Rialita Fithra Asmara Ribut Wijoto Riki Dhamparan Putra Riki Utomi Ririe Rengganis Risang Anom Pujayanto Riyon Fidwar Robin Al Kautsar Robin Dos Santos Soares Rodli TL Rofiqi Hasan Roso Titi Sarkoro Rozi Kembara Rukardi Rumah Budaya Pantura (RBP) Rusmanadi S Yoga S. Jai S.W. Teofani Sabrank Suparno Sahaya Santayana Saiful Amin Ghofur Saiful Anam Sainul Hermawan Sajak Salamet Wahedi Salman S. Yoga Samsudin Adlawi Samsul Anam Sanggar Lukis Alam Sanggar Pasir Sanggar Rumah Ilalang KSII Santi Puji Rahayu Sapardi Djoko Damono Saroni Asikin Sartika Dian Nuraini Sastra dan Kuasa Simbolik Sastra Jawa Timur Satmoko Budi Santoso Saut Situmorang Sayyid Fahmi Alathas SelaSastra #24 di Boenga Ketjil Jombang SelaSastra Boenga Ketjil SelaSastra Boenga Ketjil #33 Seno Gumira Ajidarma Seno Joko Suyono Sergi Sutanto Setia Naka Andrian Shiny.ane el’poesya Sholihul Huda Sigit Susanto Sihar Ramses Simatupang Sinopsis Siti Khoeriyah Siti Muyassarotul Hafidzoh Siti Sa’adah Siwi Dwi Saputra Siwi Dwi Saputro Sjifa Amori Slamet Rahardjo Rais Soegiharto Sofyan RH. Zaid Soni Farid Maulana Sony Prasetyotomo Sosiawan Leak Spectrum Center Press Sri Weni Sri Wintala Achmad Suci Ayu Latifah Sucipto Hadi Purnomo Sudirman Sugi Lanus Sukron Ma’mun Sulaiman Djaya Sunaryono Basuki Ks Sungatno Sungging Raga Sunlie Thomas Alexander Sunu Wasono Supriyadi Surya Lesmana Suryanto Sastroatmodjo Susianna Sutardji Calzoum Bachri Sutejo Suyanto Syaf Anton Wr Syaifuddin Gani Syaiful Amin Syarif Wadja Bae Sylvianita Widyawati TanahmeraH ArtSpace Tarmuzie (1961-2019) Taufiq Ismail Taufiq Wr. Hidayat Teguh Presetyo Teguh Setiawan Teguh Winarsho AS Temu Penyair Timur Jawa Tengsoe Tjahjono Tia Setiadi Tirto Suwondo Tita Tjindarbumi Tjahjono Widarmanto Tjahjono Widijanto Toko Buku Murah PUstaka puJAngga Lamongan Tosa Poetra Tri Nurdianingsih Triyanto Triwikromo TS Pinang Tu-ngang Iskandar Tulus S Ulul Azmiyati Umar Fauzi Umar Fauzi Ballah Umar Kayam Umbu Landu Paranggi Universitas Indonesia Universitas Jember Usman Arrumy Utari Tri Prestianti Viddy AD Daery Virdika Rizky Utama W Haryanto W.S. Rendra Wahyu Prasetya Wan Anwar Wawan Eko Yulianto Wawancara Wina Bojonegoro Wita Lestari Wong Wing King Wowok Hesti Prabowo Xu Xi (Sussy Komala) Y. Thendra BP Y. Wibowo Yanusa Nugroho Yasraf Amir Piliang Yayat R. Cipasang Yohanes Sehandi Yona Primadesi Yopi Setia Umbara Yudhi Herwibowo Yudi Latif Yusri Fajar Yusuf Ariel Hakim Yuval Noah Harari Zacky Khairul Uman Zainuddin Sugendal Zamakhsyari Abrar Zawawi Se Zed Abidien Zehan Zareez Zhaenal Fanani Zubaidi Khan Zuniest