Novelet Karya: Almania Rohmah*
BAGIAN 1
Tok…! Tok…! “Fatimah, bangun! Sudah jam 03.00 WIB.” Teriak Bundaku.
“Iya Bunda!” Jawabku singkat.
Yach…, begitulah ibuku akrab memanggilku. Fatimah Az Zahrah adalah nama lengkapku. Nama itu pemberian orang tuaku. Kebetulan, orang tuaku merupakan salah seorang tokoh agama di desaku. Tepatnya desa Modo. Semenjak usia dini, orang tuaku sudah mendidikku dengan ajaran-ajaran agama hingga sekarang aku lulus dari SMP 1 Modo.
Untuk melanjutkan ke Sekolah Menengah Atas, orang tuaku sudah memilihkannya untukku. Dan rencananya pagi ini juga, aku akan berangkat ke sana. Seusai sholat Qiyamul Lail, akupun mempersiapkan segala keperluanku sambil menunggu adzan Shubuh.
Beberapa saat kemudian, setelah aku selesai mengerjakan sjolat subuh. Dan saat itu kira-kira matahari telah setinggi badan, aku bersiap-siap untuk berangkat ke calon sekolahku yang baru. Yach, aku hendak mendaftarkan diri di sana.
“Fatimah, ayo sarapan dulu !” Ajak Bunda.
“Sebentar Bunda, aku masih ganti baju.” Sahutku.
Selesai ganti baju, aku pun keluar dari kamar dan menuju meja makan untuk sarapan pagi bersama orang tuaku.
“Sudah jam 7, ayo kita berangkat.” Ajak Abah mengingatkan sudah siang, karena besok pagi sudah ada tes masuk. Kami pun bergegas masuk mobil dan tak lupa barang bawaanku. Dalam hatiku bertanya-tanya, sekolah mana yang sudah dipilih Abah buatku?
Dari kota Babat berjalan ke arah selatan mengikuti jalur utama. Setelah berjalan 28 Km, kami pun memasuki kota Jombang. Dan ternyata perjalanan kami berakhir di depan pintu gerbang Pondok Pesantren Tebu Ireng. Aku merasa senang sekali. Sebab itu adalah keinginanku semenjak kecil. Aku bisa mondok di pesantren tersebut. Baru sekarang inilah, orang tuaku memberikan hadiah sepesial dan berharga atas kelulusanku.
Bunda mengajakku masuk ke pondok pesantren Masruriyah Putri. Dari pintu gerbang pondok, kudapati Mushola dan di sebelahnya ruang kantor. Aku yang begitu awam dengan tempat ini, hanya bisa mengikuti langkah Bunda. Kami pun menuju keruang kantor. Ternyata semua pengurus di dalamnya sedang disibukkan dengan aktivitasnya masing-masing. Tiba-tiba salah seorang di antara mereka ada yang menghampiri kami setelah mendengar salam dari kami.
“Oh Ibu, silahkan duduk!” Sapa seorang gadis pada bundaku. Tampaknya gadis itu sudah kenal dengan Bunda.
“Fatimah, ini mbak Fiqo, ketua umum di pondok pesantren ini.” Bunda mengenalkan aku pada gadis yang begitu asing buatku itu. Dan kami pun saling berjabat tangan.
“Jadi, ini anak Ibu yang akan mondok di sini?” Terkanya padaku.
“Iya Mbak !” Jawab Bunda singkat.
“Kalau begitu, mari saya antar ke kamar A” Ajaknya. Kami pun berjalan ke lantai atas untuk melihat kamarku. Bangunan yang dirancang seperti huruf “U” dan hanya bersusun satu. Kamar “A” berada tepat di ujung paling utara.
Setelah seharian, Bunda pun minta pamit padaku.
“Fatimah, apa kamu tidak ingin bertemu dengan Abah kamu sebelum kami pulang?” Saran Bunda padaku.
“Iya Bunda!” Jawabku singkat.
Kami pun menuju ndalem pengasuh pondok pesantren “Masruriyah Putri”. Selang beberapa menit, Abah minta pamit padaku karena akan ada pengajian, malam ini di desaku.
BAGIAN 2
Malam pertama di pondok pesantren ini, aku begitu juga semua santri lama maupun baru berkumpul bersama pengurus di dalam Mushola guna membacakan tata tertib pondok pesantren dan dilanjutkan Tausyiyah dari Ustadz pengasuh pondok pesantren.
Laju jam begitu lambat, memang kenyataan lebih pahit dibandingkan dengan khayalan. Dulu aku sangat berharap bisa mondok di sini. Namun setelah aku di sini, hari pertama saja aku sudah mulai bosan. Apalagi seterusnya.
Dinginnya hawa angin malam dan alas tidur yang tipis membuatku masuk angina. Sehingga dalam waktu semalam saja aku harus bolak-balik ke kamar mandi dan naik turun tangga sampai lima kali. Dalam benakku, dalam seminggu saja mungkin bisa turun 5 kilo berat badanku kalau setiap malam begini terus. Jadi nggak perlu buang uang buat biaya diet donk!
Adzan Subuh pun berkumandang. Namun mataku terasa berat untuk dibuka, setelah begadang semalaman di kamar. Dan usai sholat Shubuh, aku pun tidur lagi.
“Fatimah, apa kamu nggak ikut tes hari ini?” Rina mencoba membangunkanku.
“Emangnya sekarang sudah jam berapa Rin?” Tanyaku balik.
“Jam 07. 45 WIB” Jawabnya.
“Aduh…! Gimana nich, jam 8 kan sudah dimulai. 15 menit lagi aku harus sampai ke sekolah.” Pagi hari itu, cuma kuawali dengan cuci muka dan menggosok gigi. Kemudian memakai baju seragam. Tapi aku belum tahu pake’ seragam apa untuk hari Senin ini. Aku pun berlari keluar kamar. Aku melihat tinggal ada beberapa temanku yang sedang memakai sepatu dan siap pergi kesekolah. Dan aku akhirnya tahu, untuk tes kali ini memakai seragam putih dan abu-abu. Di halaman pondok sudah tidak kudapati teman-temanku lagi. Di luar gerbang aku pun bingung. Harus berjalan ke arah mana untuk menuju ke SMA A.W.H? Kudapati seorang lelaki berjalan dari arah utara.
“Maaf Mas, SMA A.W.H itu di sebelah mana?” Tanyaku.
“Mari saya antar!” Tawarnya.
Aku yang masih lugu menolak tawarannya. Di benakku sempat terpikirkan “Bagaimana jika aku bukannya kesekolah malah ketempat yang lain?” Aku pun berjalan asal neronyong aja. Berlawanan dengannya.
“Mbak, mau ke mana? SMA A. W. H itu di sebelah sana. Kalau Mbak lewat situ nanti bingung.” Sarannya seraya menunjukkan telunjukknya ke suatu arah tertentu.
“Dari gang sebelah jembatan itu lurus saja, lalu pean Tanya disana kalau ada perempatan” Himbaunya lebih lanjut.
Aku pun berbalik arah sambil menundukkan kepala karena merasa malu dengannya. Dan sesampainya di SMA A. W. H aku pun menemui pengawas tes dan meminta izin untuk masuk ke ruangan. Namun beliau menolak dan menyuruh aku mengerjakan soal tes di depan ruangan karena di dalam tidak ada bangku kosong lagi.
Dari ruang sebelah, seorang pengawas keluar dan melangkah ke arahku. Alngkah terkejutnya aku. Ternyata lelaki itu juga ada di sini. Aku pun menarik nafas dalam-dalam dan megeluarkannya dengan cepat. Aku yang masih merasa malu segera menutup mukaku dengan kerudung sambil menundukkan kepalaku. Andai tadi aku tak menolak tawarannya, aku takkan merasa semalu ini. Ternyata dia ada perlu dengan pengawas yang ada di ruanganku.
Selesai tes, aku sengaja menunggu Rina keluar agar aku bisa pulang bareng dengannya. Tidak lama kemudian, kudapati Rina baru saja keluar dari ruangnya.
“Rina, tunggu aku!” Teriakku.
Rina pun menampakkan senyumnya dan menanti kedatanganku.
“Bagaimana Fatimah? kamu tadi datang nggak telat kan?” Tanya Rina.
“Iya sich. Mana aku belum tahu lagi di mana SMA A.W.H itu.” Ujarku sedikit kesal.
“Maaf Fatimah, kalau tadi pagi aku nggak nunggu kamu.” Sesal Rina.
“Nggak apa-apa kok Rin. Akunya aja sich yang malas bangun” Sadarku.
“Lho Rin, kita mau ke mana? Kok lewat sini? Apa nggak salah?” Sangkalku.
“Emangnya kamu tadi lewat mana?” Tanyanya balik padaku.
“Sebelah sana!” Tunjukku. Yang ternyata tak sengaja aku menunjuk ke belakang dan mengenai tangan seseorang yang ada di belakangku. Dan…...
“Subhanallah, itu tangan seorang guru yang ngajar di SMA A. W. H.” Aku kaget.
“Maaf Pak, maaf!” Himbauku
“Nggak apa-apa. Tolong berikan surat ini pada Mas Azhar di pondok Mastra.”
“Iya Pak.” Sahutku.
“MASTRA”, singkatan dari “Masruriyah Putra”. Di depan pintu gerbang itu, aku mencoba menyampaikan amanat dari Pak Guru. “Bisa betemu dengan Mas Azhar?”
“Aduh….! Kenapa aku harus bertemu lelaki itu lagi?” Kesalku dalam hati.
“Ada apa?” Tanyanya padaku dan Rina.
“Bisa bertemu dengan Mas Azhar?” Tanyaku.
“Iya ada apa?” Sahutnya.
“Mas Azharnya mana?” Tanyaku balik.
“Akulah Mas Azhar!” Ujar kesalnya.
“Ini Pak, dapat surat dari sekolah.” Tukasku.
“Ya Allah, mengapa aku meski berhadapan dengan orang yang menjengkelkan seperti beliau?” Degub batinku sekali lagi.
BAGIAN 3
Tepat di hari Kamis malam Jum’at, ada Diniyah dan jamaah sholat Isya’. Saat itu, aku duduk di depan teras kamarku sambil menghafal 100 kosakata setiap hari, yang sudah menjadi kewajiban di pondok pesantren ini. Dengan jelas kudengar suara lantunan ayat-ayat Al-Qur’an yang mampu menembus relung mercu qolbuku yang membeku.
“Wahai sang Khaliq, insan seperti apakah yang pantas engkau anugerahi suara sesempurna itu?” Pertanyaan itu tiba-tiba muncul dari dalam hati kecilku. Entah, aku tak tau, mengapa ungkapan itu melingkupi batinku.
“Jiwa yang sesuci apakah yang pantas mendampinginya di kala suka maupun dukanya?” Dengan bertubi-tubi, pertanyaan-pertanyaan seperti itu datang dari dalam hatiku. Sesekali bening bola mataku meneteskan embun haru di hamparan pipiku. Membasah kering kulitku.
“Ada apa Fatimah? Mengapa kamu menangis?” Suara Rina mengagetkanku.
“Nggak ada apa-apa kok Rin!” Jawabku singkat sambil menyeka air mataku.
“Kamu sendiri kok belum tidur Rin?” Tanyaku balik.
“Aku mau ke kamar mandi!” Jawabnya.
“Mau kuantar Rin?” Tawarku.
“Nggak usah, kamu tidur aja sekarang.” Sarannya.
BAGIAN 4
Sewaktu aku dan Rina berangkat ke sekolah, ada seseorang yang iseng denganku.
“Rin, kenalin donk, aku sama temen kamu!” Ledeknya.
“Hai cantik, boleh nggak aku kenalan?” Orang itu menghampiriku.
“Ach…!” Teriakku.
Dia menarik kerudungku, hingga rambut panjangku terurai. Aku menangis di pangkuan Rina. Dan tak kusangka, Mas Azhar datang menghampiriku sambil mengambilkan kerudungku yang terjatuh. Kebetulan, saat itu, Bunda dan Abah datang membesukku. Aku pun membatalkan niatku tuk pergi ke sekolah dan masih trauma dengan kejadian tadi. Semenjak kejadian itu, setiap aku bertemu dengan Mas Azhar, beliau selalu tersenyum padaku.
BAGIAN 5
Suatu hari, di perjalanan pulang sekolah. Tepat di belakang asrama putra. Seorang anak lelaki menyapaku.
“Mbak Fatimah!” Terkanya.
“Iya, ada apa?” Tanyaku yang sama sekali tak kenal dengannya.
“Ini buat Mbak Fatima !” Ucapnya sambil menyodorkan surat padaku.
Sesampai di pondok, aku menuju ke kamar mandi, untuk membaca surat itu. Awal kubuka surat, aku langsung mencari nama penulisnya. Ternyata tertera nama Mas Azhar. Aku merasa antara percaya dan tidak percaya. Hatiku gamang. Mana mungkin Mas Azhar nulis surat buatku. Dalam surat itu, hanya satu kata yang tertulis dengan jelas “Ana Ukhibbu Ila Anti”. Aku yang sebelumnya belum pernah mengenal kata cinta merasa bingung harus berbuat apa? Beliau memberi pilihan padaku. Jika aku menerima, aku akan memenggilnya Abi. Itu sudah cukup menjadi jawaban atas perasaanku.
Suara mikrophone mengagetkanku. Aku dipanggil ke kantor karena ada telepon. Dan aku pun bergegas datang ke kantor.
“Assalamu’alaikum!” Sapaku.
“Wa’alaikum salam, Fatimah! Ini aku, Azhar.” Terangnya.
“Apa? Mas Azhar?” Kagetku dalam hati.
“Apa jawabanmu?” Tanyanya lagi.
“I….iya, Abi.” Jawabku singkat sambil terbata.
“Alhamdulillah, mudah-mudahan ini bukan main-main. Aku ingin memilikimu untuk di dunia dan akhiratku.”
“Umi, entar malam ada Mudarrosah. Abi ingin Umi merupakan salah seorang yang selalu setia mendengarkan Abi ngaji.” Pintanya.
“Insya Allah Abi.” Jawabku.
“Assalamu’alaikum.” Beliau mengakhiri teleponnya.
Aku duduk di depan kamarku. Aku merasa tak percaya dengan apa yang sedang terjadi saat itu, hingga seorang pengurus mengagetkanku.
“Hayo! Ngelamunin siapa?” Tanya Mbak Iim.
“Ach ! Mbak Iim bisa aja!” Elakku.
“Ternyata suara itu milik Mas Azhar. Beberapa malam lalu, dalam setiap lantunan ayat-ayat Al-Qur’an yang dibacakannya, aku selalu berdoa terus menerus diiringi deraian air mata. Hanya satu yang kuharapkan jikalau memang Mas Azhar itu benar-benar jodohku, jadikanlah dia yang terbaik buat dunia dan akhiratku. Maka ridhoilah kami mengikuti sunnah Rasul-Mu dan menyempurnakan separo agamaku.” Gumam kecilku dalam hati.
Hubungan kami berjalan hanya melalui surat dan telepon saja. Bahkan dengan bertatap muka di jalan itu sudah lebih cukup tuk melepas rasa rindu kami.
Semenjak saat itu, dalam sholat Qiyamul Lailku, aku melupakan untuk kebaikanku dan keluargaku. Aku hanya berdo’a untuk Mas Azhar dan tak ada yang lain. Bahkan setiap ada mudarrosah, akulah pendengar setia yang tak mau ketinggalan. Sebab Mas Azhar selalu mengingatkanku melalui telepon, setiap ada mudarrosah di masjid bagi santri yang khufadz Al-Qur’an di sana.
Setelah berjalan selama 3 tahun, aku baru tahu kalau Mas Azhar itu masih keponakan Ustadz Pengasuh pondok pesantrenku. Dan dia di sini memang sedang menyelesaikan khufadznya.
BAGIAN 6
Cukup lama sudah aku dan Mas Azhar menjalin hubungan cinta saat itu. Kami pun merasa banyak kesamaan satu sama lain. Dan dalam hati kami yakin, kalau kita memang sudah jodoh sehingga di akhir semester kelas III, Mas Azhar minta izin padaku, katanya mau ngajar di pondok pesantren di Jepara yang diasuh oleh pamannya sendiri. Hanya satu pintanya padaku “Umi, do’akan Abi ya!”
“Iya Abi, Umi hanya bisa berdoa buat keberhasilan Abi.” Jawabku pasrah.
Setelah tiga bulan kepergian Mas Azhar Ke Jepara, aku tak lagi mendengarkan kegiatan mudarrosah di Masjid “MASTRA”. Aku mendengar kabar, dia akan dijodohkan dengan anak Kiyai di Yogyakarta. Di saat itu aku harus bergelut dengan ujian-ujian sekolah tuk menentukan keberhasilanku. Tiga tahun sudah, aku berjalan mengenyam pendidikan di pondok pesantren Tebu Ireng. Dan hanya dalam tiga hari inilah seluruh masa depanku, aku pertaruhkan..
Hatiku mungkin sudah tak berbentuk lagi. Aku merasa dihianati kesetiaanku. Aku merasa tak berdaya bangkit kembali untuk menghadapi hari esok. Setiap hari tiada nama y6ang kusebut kecuali nama Mas Azhar. Namun, kini sang Kholiq benar-benar menunjukkan keputusannya. Aku mencintai seseorang yang bukan ditakdirkan menjadi jodohku. Aku berupaya meyakinkan pikiranku sendiri dan pernah terbersit rasa syu’udhon terhadap Tuhanku.
Aku berupaya melupakan kenanganku bersama Mas Azhar dengan membakar semua surat darinya. Setelah pengumuman lulus, Aku sengaja pindah ke pesantren lain. Dan membiarkan kenanganku terkubur di sana. Tambak Beras menjadi pilihanku. Aku memilih Fakultas Tarbiyah di kampus UNDAR dan tinggal di pesantren Al-Lathifiyah 1. Aku mencoba membuka lembaran baru di kehidupanku.
BAGIAN 7
Sebelum kegiatan kuliah di mulai, aku mencoba mengisi hari-hariku dengan kegiatan-kegiatan yang positif. Salah satunya menjadi peserta FMP 3 (Forum Musyawarah Pondok Pesantren Putri) se- Jawa Timur, yang diadakan di Pondok pesantren Lirboyo, Kediri.
Selama kegiatan Bahtsul Masa’il berlangsung, beberapa pendapatku memaksa salah seorang Mushollah muda memancing egoku tuk memberikan alasan-alasan di balik pendapatku itu. Di sana aku juga mendapatkan teman baru yang berasal dari beberapa pondok pesantren yang ada di Jawa Timur.
Sepulang dari Bahtsul Masa’il, seketika itu aku sakit selama tiga hari di pesantren. Sesaat aku teringat Mas Azhar sehingga membuatku meneteskan air mata. Aku berkali-kali berupaya meyakinkan batinku. “Kau bukanlah wujud yang diciptakan dari tulang rusuknya!”. Hingga aku pun yakin bahwa di atas kesempurnaan Mas Azhar ada yang lebih sempurna lagi.
Di hari Senin, aku masuk kuliah dari jam pertama hingga akan jam terakhir. Hari itu tidak ada dosen yang mengajar. Aku sedikit kecewa.
“Buat apa bayar kuliah mahal-mahal kalau ternyata di sini Cuma main-main saja.” Keluhku dalam hati.
“Fatimah! Ada Ustadz Rofiq datang.” Teriak Ima padaku yang sedang ada di dalam perpustakaan kampus. Aku langsung keluar dan bergegas masuk keruang kelasku.
“Assalamu’alaikum!” Sapaku yang masuk telat ke ruangan.
“Wa’alaiku salam.”
“Subhanallah, bukankah ini yang kemarin debat denganku di seminar Bahstul Masa’ail?” Aku kaget setelah melihat wajahnya.
Aku pun segera mencari tempat duduk sambil Pak Rofiq terus memandangiku. Aku hanya bisa berdo’a supaya beliau jangan sampai mengenaliku.
“Ima, apa aku nggak salah, itukan orang yang kemarin ada di musyawarah.” Tanyaku meyakinkan.
“Iya Fat, beliau adiknya Rektor di sini. Ustadz Hanafi Arief. Dulu dia menyelesaikan S-2 nya di Al-Azhar Kairo.” Jelas Ima.
“Beliau ke marin di musyawaroh. Aku rasa menggantikan abahnya seorang pengasuh pondok “Mamba’ul Ma’arif di Denanyar yang mungkin tidak bisa hadir dikarenakan ada halangan.” himbaunya lagi.
Pelajaran yang diterangkan tak masuk ke dalam otakku. Aku hanya menundukkan kepala dan berharap jam kuliah segera usai.
Akihirnya beliau pun mengakhiri mata kuliah hari ini. Sengaja aku keluar telat. Menunggu suasana hingga sepi dan Ustadz Rofiq segera berlalu. Aku pun beranjak keluar. Namun perkiraanku salah. Di samping tiang teras depan ruanganku, kudapati Ustadz Rofiq membelakangiku.
“Mari Ustadz!” Pamitku. Namun suara beliau menghentikan langkahku.
“Apa benar kamu yang ikut di musyawaroh Bahstul Masa’ail kemarin?” Tanya Pak Rofiq.
“Iya Ustadz, ada apa?” Tanyaku balik.
“Apa kamu sudah dapatkan buku hasil Bahstul Masa’ail kemarin?” Tanyanya.
“Belum Ustadz. Kemarin saya tanya sama pengurus harian, katanya sih sedang diproses.”, Ungkapku.
“Kemarin aku sudah dapatkan buku itu. Kalau kamu mau pinjam, besok aku bawakan!” Tawarnya.
“Terima kasih banyak Ustadz!” Balasku.
Aku pikir beliau memang sengaja menunggu aku keluar.
BAGIAN 8
Keesokan harinya, telepon dari nomor yang tak kukenal menghubungiku.
“Asalamu’alaikum.” Sapaku ringan.
“Wa’alikum salam, Fat! Kalau kamu mau ambil bukunya, silahkan ke kantor FAI”. Perintahnya.
Kemudian teleponnya dimatikan. Namun aku bingung, buku apa yang dimaksud? Tanpa basa-basi, aku pun segera menuju ke kantor FAI.
“Assalamu’alaikum.” Sapaku minta diizinkan masuk.
“Wa’alikum salam, ada perlu apa?” Tanya seorang TU di sana.
“Fatimah, ini bukunya!” Sahut seseorang yang ada di sampingku. Ternyata suara itu milik Ustadz Rofiq.
“Tolong dirawat ya!” Pesannya.
“Baik Ustadz!” Aku meyakinkan.
Ternyata nomor yang tadi pagi itu milik Ustadz Rofiq. Dalam hatiku selalu berharap mudah-mudahan beliau tidak ada maksud yang lain. Tiba-tiba hand poneku memberi isyarat bahwa ada pesan yang masuk.
“Rawatlah aku sebagaimana merawat diri kamu sendiri.”
Apa maksud dari pesan ini? Dalam buku itu kutemukan secarik kertas yang menyatakan beliau ingin mengenal aku lebih jauh atau dengan istilah Ta’aruf. Beliau berterus terang merasa kagum padaku. “Fatimah Az-Zahra nama yang sesuai dengan kepribadianmu. Sebagaimana Rasulullah memberi nama pada putri kesayangan beliau Fatimah Az-Zahra yang tak dapat dilukiskan dengan kata-kata dan dikenang sepanjang masa.”.kata-kata itulah yang masih memberkas dalam ingatanku. Aku menghela nafas panjang antara menjawab iya atau tidak.
Akupun bertanya-tanya. ”Apakah ini jawaban atas do’a-do’aku selama ini?”
Aku pun mulai bisa menerima semua ini. Mungkin Mas Azhar belum yang terbaik buat dunia dan akhiratku.
Selang satu minggu, aku baru mengiyakan hubunganku dengan Ustadz Rofiq. Aku merasa telah mendapatkan kesempurnaan sinar surya milikku kembali, setelah beberapa saat terjadi gerhana dalam bumi cintaku.
Setelah 6 bulan melakukan ta’aruf dengan Pak Rofiq, kami merasa saling ada kecocokan, sehingga Pak Rorfiq sendiri tak ingin niatan ta’aruf ini menjadi ladang maksiat. Beliau ingin menghalalkan aku dipandangannya. Sehingga tepat saat aku semester tiga nanti, di bulan Syawwal, akad nikah kami akan dilangsungkan.
BAGIAN 9
Di waktu liburan semester II, aku memutuskan untuk pulang ke rumah. Kali ini aku memilih naik bus tujuan babat, karena Abah sedang disibukkan dengan pekerjaannya.
Setelah menunggu selama 3 menit, akhirnya datang bus dari arah selatan. Aku memberi isyarat pada sopirnya, sehingga bus berhenti di hadapanku. Di dalam bus, aku berusaha mencari tempat duduk yang kosong.
“Mbak Fatimah!” Teriak seorang lelaki yang usianya lebih muda dariku. Aku merasa mengenali wajah itu dan kebetulan d isampingnya masih kosong. Aku pun berjalan mendekat ke arahnya.
“Boleh aku duduk!” Pintaku.
“Silahkan mbak. Silahkan…..!” Jawabnya.
“Emh…kamu kan yang dulu selalu mengantar surat buatku dari Mas Azhar kan!” Terkaku.
“Iya mbak. Aku Adhim, adiknya Mas Azhar.” Jelasnya.
“Apa…? Kamu adiknya Mas Azhar?” Kagetku. Aku baru tau kalau yang selama ini menjadi perantara aku dan Mas Azhar itu ternyata adik kandungnya sendiri.
“Bagaimana kabar Mas Azhar? Apa dia sudah menikah?” Tanyaku tentang Mas Azhar.
“Mas Azhar baik-baik saja. Sebenarnya kepergiannya ke Jepara ingin mewujudkan cita-citanya bersama Mbak Fatimah.” Tutur Adhim memelas.
“Maksud kamu apa Adhim?” Tanyaku penasaran.
“Sebenarnya perjodohan itu sendiri Mas Azhar tidak pernah menghendakinya. Mas Azhar pinjam uang dari Paman Jamal untuk membeli sepeda motor untuk ngajar di sana agar bisa lebih leluasa, demi mewujudkan impiannya semenjak kecil yaitu memiliki pondok pesantren sendiri. Dan suatu ketika, Mas Azhar akan menjemput Mbak Fatimah,namun Mbak Fatimah menghilang entah kemana? saebenarnya Mas Azhar selalu menyuruhku mencari tau tentang keberadaan Mbak Fatimah?” Tuturnya panjang lebar.
“Sebenarnya selama ini siapa sich yang berkhianat? Aku atau dia?” Pikirku dalam hati. Aku hanya terdiam mendengar penjelasan dari Adhim yang terus disertai rasa penyesalan dari dalam hatiku dan disertai deraian air mata yang terus mengalir begitu saja tanpa kusadari.
“A…aku sekarang kuliah di tambak beras.”. Jawabku sambil terbata mengenai keberadaanku.
“Aku sangat berharap Mbak Fatimah benar-benar bisa menjadi kakakku, karena aku tau hanya Mbak Fatimah yang bisa menjadi support bagi Mas Azhar dalam mewujudkan impiannya.” Beber Adhim.
Bus hampir sampai di depan gang rumahku. Aku meminta Adhim tuk mencatat nomor hand phoneku.
“Adhim! Apa kamu tidak ingin mampir ke rumahku barang sebentar?” Tawarku sebelum turun.
“Terima kasih mbak. Tapi aku harus ke Jepara sekarang.” Ungkapnya.
“Salam buat Mas Azhar.” Pintaku sembari turun dari bus.
Setelah satu tahun, aku baru tau kebenarannya. Ternyata selama ini akulah yang berkhianat pada Mas Azhar. Aku merasa tak pantas mendapatkan Mas Azhar. Ingin rasanya aku bersimpuh di pangkuannya tuk mendapatkan belas kasihnya. Namun aku terlanjur menjalin hubungan dengan Pak Rofiq. Aku nggak mungkin membatalkan pernikahanku yang tinggal 2 bulan lagi. Apalagi Ustadz Rofiq putra dari pengasuh pondok pesantren di Denanyar. Alangkah dholimnya aku jika sampai membatalkan pernikahanku dengan Ustadz Rofiq.
BAGIAN 10
Malam ini, aku benar-benar selalu memikirkan Mas Azhar dan berharap andai waktu bisa diputar ke belakang, maka akan aku pertahankan janjiku bersama Mas Azhar.
Kudapati hand phoneku berdering, nomor Adhim memanggil.
“Assalamu’alaikum!” Sapaku.
“Wa’alaikum salam! Mbak Fatimah, Mas Azhar pingin ngomong sama Mbak.” Tutur Adhim.
“Baiklah!” Jawabku dengan sedikit rasa ragu mendengar kembali suara Mas Azhar.
“Assalamu’alaikum Umi!” Sapa Mas Azhar.
“Wa’alaikum salam Abi!” Jawabku terbata sambil meneteskan air mata. Dan aku pun mendengar suara Mas Azhar menarik air yang ada di hidungnya keras. Aku yakin Mas Azhar sekarang pun pasti meneteskan air mata. Perasaan rindu dan kesal bercampur jadi satu.
“ Umi, mengapa Umi tidak minta izin sama Abi kalau akan pindah ke pesantren lain? Aku hampir merasa patah semangat mewujudkan impian bersama Umi.” Kesalnya dengan sedikit emosi.
“Maafkan Umi, Abi! Umi merasa skait hati ketika mendengar Abi kan dijodohkan.” Terangku.
“Adhim kan sudah bercerita sama Umi, kalau perjodohan itu nihil dan hingga kini Abi sendiri masih cinta sam Umi. Tak ada yang lain.” Beber Mas Azhar menyakinkanku.
“Umi jangan pernah behenti berdo’a untuk keberhasilan Abi ya…!” Pinta Mas Azhar.
“Aku nggak mungkin bilang sama Mas Azhar terutama rencana pernikahanku.” Sesalku dalam hati.
“Iya Abi !” Jawabku
“Sudah dulu ya Umi, aku ada jam negajar diniyah sekarang. Assalamu’alaikum.” Mas Azhar mengakhiri teleponnya.
Ternyata keinginan mas Azhar begitu kuat padaku. Apa yang meski aku perbuat?
BAGIAN 11
Setelah satu minggu pertemuanku dengan Adhim, ternyata dia berupaya menemuiku di kampus. Kami pun berbincang-bincang di bawah pohon beringin. Perbicangan kami dikaitkan dengan Mas Azhar. Di tengah-tengah perbincangan kami, tiba-tiba Ustadz Rofiq menghampiriku. Aku yakin baru kali ini beliau melihat aku berani ngobrol berdua dengan seorang laki-laki.
“ Maaf Fatimah Siap Dia?”
“ Kenalkan Adhim. Ini Ustadz Rifiq”
Aku merasa canggung mengenalkan Adhim pada ustadz Rofiq. Tapi harus bagaimana lagi. Aku sudah kepalng tanggung.
“ Ustadz, ini Adhim. Dia adik sepupuku.” Aku mengenalkan ustadz Rofiq pada Adhim dan mereka pun saling berjabat tangan satu sama lain.
Aku melihat wajah Adhim menyimpan 1000 tanda tanya. Akhirnya ustadz Rofiq pun minta izin untuk udzur diri dari aku dan Adhim. Katanya ada rapat dosen. Dan beliaupun berlalu.
Aku mencoba menjelaskan pelan-pelan pada Adhim agar dia tidak menilai yang bukan-bukan tentang aku.
“ Adhim, itu tadi ustadz Rofiq. Dia calon suamiku. Rencananya kami akan melangsungkan akad nikah di bulan syawal depan. Aku minta kamu jangan berfikir tentang aku yang bukan-bukan. Aku benar-benar sakit hati mendengar perjodohan Mas Azhar. Namun bukan berarti ustadz Rofiq sebagai pelarianku. Butuh waktu lama untuk membuka pintu hatiku kembali. Dan sekarang, di kala aku akan mencoretkan pena di lembaran baruku, ternyata lembaran lama menunjukkan ketulusannya. Jadi apa yang harus kuperbuat Adhim? Pantaskah aku mendapatkan Mas Azhar, sedangkan aku telah menghianati cintanya?” Tuturku menyakinkan Adhim.
* * *
Di lain waktu, pengurus pondok mencoba menghubungi keluargaku untuk memberikan kabar mengenai keadaanku sekarang. Saat itu aku sedang sakit. Aku pingsan untuk beberapa saat. Gelapnya malam dan kawasan hutan yang kondisi jalannya naik turun dan tikungan tanpa difasilitasi penerangan di sepanjang jalan Babat – Jombang tak menyiutkan niat kedua orang tuaku untuk segera berada di sisiku.
Sesampai kedua orang tuaku di RS Hj. Jasin Jombang, mereka segera ke ruang ICU dan memelukku erat.
“ Bunda! Bunda! “ Gumanku yang baru saja sadar dari pingsan.
“Fatimah, Alhamdulillah Dok, Fatimah sudah sadar.” Syukur Bunda dan Abah yang segera memanggil dokter untukku.
Setelah memeriksa kondisiku, beliau mengajak abah keruang kerjanya.
“ Maaf Pak, saya ingin meminta persetujuan untuk melakukan foto Rounsent pada anak Bapak, saya rasa itu jalan terakhir tuk memastikan penyeban sakitnya anak Bapak” Jelas Dokter.
“ Baiklah Dok, saya pasrah pada Dokter. Lakukanlah yang terbaik buat anak saya” Pasrah Abah.
Tepat pukul delapan malam dilakuakn foto Rounsent padaku. Setelah menunggu satu jam kemudian, penyakitku baru terdeteksi. Ternyata aku mengindap kanker otak stadium 4. Kedua orang tuaku tidak henti-hentinya membacakan ayat-ayat Al-Qur’an dan memanjatkan do’a untuk kesembuhanku.
Sebelum dokter memutuskan langkah seterusnya, jam 11.35 aku menghembuskan nafas terakhirku dan menutup catatan malaikat Roqib dan Atid di sepanjang hidupku. Kedua orang tuaku tak mampu menerima takdir yang telah dituliskan padaku.
Di dalam saku baju yang kukenakan, ada secarik kertas dan itu adalah curahan dalam qolbuku.
Kujalani hari yang penuh dengan kepedihan
Kurangkai kisah yang penuh dengan kesedihan
Hati ini sudah tak mampu untuk bertahan
Tapi apalah daya, ini kehendak Tuhan
Ingin aku meraung-raung dalam sepi
Diri ini sudah tak bertahan lagi
Untuk menjalani hidup yang seperti ini
Kutertawa untuk semua
Kuberi canda untuk mereka
Dan kuceria dalam tangis tak nyata
Hanya dalam kesabaran di hati
Aku bisa bertahan hingga kini
Waktuku harus menyimpan seribu duka
- di palung hati
Oh….Tuhan, tabahkanlah hatiku
Kuatkanlah imanku
Agar aku bisa menyimpan semua dukaku
Hingga tak ada seorang pun yang tahu
Akan pedih perih batinku.
Dan biarlah semua ini menjadi pusara cinta
- abadiku
Terpancar di batu nisan hidupku
Setelah membacanya mereka merasa meyesal karena tak pernah mengetahui akan kepedihan hatiku. Suasana hening pun mencuak menjadi tangis dan sendu, di tengah-tengah seruan takbir di seluruh penjuru.
Acara pemakamanku dilakasanakan setelah sholat Id. Orang tuaku segera memberi kabar ke keluarga ustadz Rofiq di Denanyar. Mereka pun segera datang ke rumah sakit dan mengantarkan jenazahku ke rumah dukaku.
Setelah apa yang diimpikannya terwujud, Mas Azhar segera mencariku di pesantren. Namun beliau tidak menemukanku di sana. Beliau pun akhirnya bergegas beranjak dari tempat itu. Dan menuju rumahku tanpa pulang terlebih dahulu. Dari situ beliau tahu akan kematianku. Akan tetapi beliau sebelumnya belum mengerti akan kematianku. Bahkan saat acara pembacaan ceramah sebelum keberangkatanku ke persemayaman terakhirku membuat Mas Azhar bertanya-tanya.
“Jenazah siapa yang berada dibalik keranda itu?” ujarnya dalam hati.
Setelah Mas Azhar mengetahui bahwa itu adalah jenazahku, beliau tertekuk layu di bawah kerandaku. Kedua matanya berkaca-kaca. Dan sejenak kemudian meneteskan air mata.
Acara pemakaman pun segera dimuali. Mas Azhar minta izin untuk ikut andil membawa keranda itu. Di bagian depan ada seorang yang asing bagi Mas Azhar. Namun yang sebelahnya Abah Fatimah. Mas Azhar tepat di belakang Abah Fatimah. Dan di sebelah Mas Azhar, Adhim ikut ambil bagian juga. Mereka semua membawa usungan keranda itu ke makam yang jaraknya + 1 KM. Mas Azhar merasa kelelahan. Dan beliau pun akhirnya digantikan dengan yang lain. Tidak lama kemudian, Mas Azhar melihat Abah Fatimah kelelahan. Akhirnya beliau mengantikannya.
Usai acara pemakaman, Mas Azhar sengaja berhenti dan ngobrol-ngobor dengan keluarga Fatimah. Belia bertanya panjang lebar akan sebab musabab kematianku. Dalam hati beliau terbersit goresan keluh yang begitu memilu.
“Mengapa semua harapan yang kulambungkan tinggi kini harus berakhir turun ke bumi? Adakah sepercik keikhlasan hati darinya meski hanya sebiji sawi?”
Dari pemakamanku itulah, Mas Azhar kenal ustadz Rofiq melalui Adhim. Dan ternyata dia orang yang tadi ikut membawa jenazah di depan. Dan beliau pun akhirnya tahu akan rencana pernikahanku dan ustadz Rofiq di bulan syawal ini.
Mas Azhar melihat wajah ustadz Rofiq menunjukkan kedukaannya. Beliau pun menajadi akrab dengan ustadz Rofiq karena merasakan kedukaan yang sama.
Setelah kepergianku, ustadz Rofiq pun akhirnya menikah dengan putri seorang pengasuh pondok pesantren “Al-Falah” Trenceng Tulungangung. Sedangkan Mas Azhar memutuskan membina pesantrennya sendiri. Pesantren itu di khususkan bagi santri putra yang ingin khufadz.
Entah apa yang terjadi hari itu? Saat perjalanan menuju sekolah, Mas Azhar mengalami musibah. Beliau ditabrak seorang geng motor yang sedang mengebut di jalan raya. Dan akhirnya, Mas Azhar mengakhiri hidupnya dengan kata ….… “Allahu Akbar !!!”
---
Novelet ini kupersembahkan kepada Kedua orang tua yang tercinta. Dan Mbah ibu & Bu Nyai Muda yang sebagai suri tauladan bagiku yang sekarang menunaikan ibadah umroh di bulan Romadhon pada tahun 2008.
---
*)Almania Rohmah lahir di Lamongan, 12 April 1987. Lulus pendidikan MI di Dandang Pucang Telu Kalitengah Lamongan tahun 2000, MTs Putra-Putri Simo 2003, MA Matholi’ul Anwar 2006, dan sekarang masih menyelesaikan strata satu di Unisda Lamongan.
Penulis hobinya menjajaki berbagai macam pondok pesantren baik regional maupun nasional. Selama tujuh tahun ngangsu kaweruh di Pondok Pesantren Matholi’ul Anwar. Kini ia berdomisili di Pondok Pesantren Matholi’ul Anwar. Alamat aslinya desa Prambon, Pucangtelu, Kalitengah, Lamongan, JaTim.
Wahyaning wahyu tumelung, tulus tan kena tinegor (wirid hidayat jati, R.Ng. Ronggowarsito)
Langganan:
Posting Komentar (Atom)
A Rodhi Murtadho
A. Ginandjar Wiludjeng
A. Junianto
A. Kurnia
A. Qorib Hidayatullah
A. Yusrianto Elga
A.S Laksana
A’yat Khalili
Aang Fatihul Islam
Abdul Azis Sukarno
Abdul Aziz Rasjid
Abdul Hadi WM
Abdul Kadir Ibrahim
Abdul Malik
Abdul Razak
Abdul Rosyid
Abdul Wahab
Abdurrahman Wahid
Abu Salman
Acep Iwan Saidi
Acep Zamzam Noor
Adam Chiefni
Ade P. Nasution
Adhitia Armitriant
Adi Prasetyo
Adrizas
AF. Tuasikal
Afriza Hanifa
Afrizal Malna
Agama Para Bajingan
Agnes Rita Sulistyawaty
Aguk Irawan M.N.
Agus B. Harianto
Agus Buchori
Agus R. Sarjono
Agus R. Subagyo
Agus Sulton
Agus Sunyoto
Ahda Imran
Ahid Hidayat
Ahmad Baso
Ahmad Faishal
Ahmad Fatoni
Ahmad Hasan MS
Ahmad Kekal Hamdani
Ahmad Khotim Muzakka
Ahmad Muchlish Amrin
Ahmad Naufel
Ahmad Rofiq
Ahmad S. Zahari
Ahmad Syauqi Sumbawi
Ahmad Yulden Erwin
Ahmad Zaini
Ahmadun Yosi Herfanda
Ahsanu Nadia
Aini Aviena Violeta
Ainul Fiah
Ajip Rosidi
Akhiriyati Sundari
Akhmad Muhaimin Azzet
Akhmad Sekhu
Akhmad Sofyan Hadi
Akhmad Taufiq
Akhudiat
Akmal Nasery Basral
Alam Terkembang
Alang Khoiruddin
Alex R. Nainggolan
Alfian Dippahatang
Ali Audah
Ali Mahmudi CH
Ali Rif’an
Almania Rohmah
Ami Herman
Amien Wangsitalaja
Aminah
Aminullah HA.Noor
Amir Sutaarga
Anam Rahus
Anata Siregar
Andari Karina Anom
Andina Dwifatma
Andong Buku #3
Andre Mediansyah
Andri Awan
Anett Tapai
Anggie Melianna
Anindita S Thayf
Anis Ceha
Anjrah Lelono Broto
Anton Bae
Anton Kurnia
Anton Wahyudi
Anwar Nuris
Ardi Bramantyo
Ardus M Sawega
Arie MP Tamba
Arie Yani
Arief Joko Wicaksono
Arief Junianto
Ariera
Arif Bagus Prasetyo
Aris Kurniawan
Arman A.Z.
Arswendo Atmowiloto
Arti Bumi Intaran
AS Sumbawi
Asarpin
Asep Sambodja
Asmaul Fauziyah
Asti Musman
Atafras
Awalludin GD Mualif
Ayu Wulan Sari
Aziz Abdul Gofar
Azizah Hefni
Bagus Takwin
Bahrul Ulum A. Malik
Balada
Bale Aksara
Balok Sf
Bambang Kempling
Bamby Cahyadi
Bandung Mawardi
Beni Setia
Benny Arnas
Benny Benke
Beno Siang Pamungkas
Bentara Budaya Yogyakarta
Berita
Berita Duka
Berita Koran
Bernando J Sujibto
Berthold Damshauser
BI Purwantari
Binhad Nurrohmat
Bobby Gunawan
Bonari Nabonenar
Brunel University London
Budaya
Budi Darma
Budi P. Hatees
Budiman S. Hartoyo
Burhanuddin Bella
Camelia Mafaza
Catatan
Cerbung
Cerpen
Chairul Akhmad
Chamim Kohari
Chavchay Syaifullah
Cover Buku
Cucuk Espe
D. Zaini Ahmad
D. Zawawi Imron
Dadang Ari Murtono
Dahta Gautama
Daisuke Miyoshi
Damhuri Muhammad
Dami N. Toda
Damiri Mahmud
Danarto
Daniel Paranamesa
Danusantoso
Dareen Tatour
Darju Prasetya
David Kuncara
Denny Mizhar
Denza Perdana
Desi Sommalia Gustina
Desiana Medya A.L
Dewan Kesenian Lamongan (DKL)
Dewi Indah Sari
Dewi Susme
Dian Sukarno
Didik Harianto
Didik Kusbiantoro
Dina Jerphanion
Dina Oktaviani
Dinas Kebudayaan dan Pariwisata (Disbudpar) Jawa Timur
Dipo Handoko
Diyah Errita Damayanti
Djoko Pitono
Djoko Saryono
Doddy Wisnu Pribadi
Dody Kristianto
Dody Yan Masfa
Donny Anggoro
Donny Syofyan
Dorothea Rosa Herliany
Dr Junaidi SS MHum
Dwi Cipta
Dwi Fitria
Dwi Pranoto
Dwi Wiyana
Dyah Ratna Meta Novia
Dyah Sulistyorini
Ecep Heryadi
Eddy Pranata PNP
Edeng Syamsul Ma’arif
Eep Saefulloh Fatah
EH Kartanegara
Eka Budianta
Eka Kurniawan
Eko Hendrawan Sofyan
Eko Hendri Saiful
Eko Windarto
Elnisya Mahendra
Elva Lestary
Emha Ainun Nadjib
Emil WE
Endah Sulwesi
Endo Suanda
Eppril Wulaningtyas R
Esai
Evan Ys
F. Moses
F. Rahardi
Fadlillah Malin Sutan
Fahmi Faqih
Fahrudin Nasrulloh
Faisal Kamandobat
Fajar Kurnianto
Fanani Rahman
Fanny Chotimah
Fatah Anshori
Fatah Yasin Noor
Febby Fortinella Rusmoyo
Felix K. Nesi
Festival Sastra Gresik
Gabriel Garcia Marquez
Galang Ari P.
Galuh Tulus Utama
Gampang Prawoto
Gandra Gupta
Ganug Nugroho Adi
Gerson Poyk
Ghassan Kanafani
Gita Nuari
Gita Pratama
Goenawan Mohamad
Grathia Pitaloka
Gunoto Saparie
H.B. Jassin
Habibullah
Hadi Napster
Hadriani Pudjiarti
Halim HD
Halimi Zuhdy
Hamberan Syahbana
Han Gagas
Hanibal W. Y. Wijayanta
Hardi
Haris del Hakim
Haris Saputra
Harri Ash Shiddiqie
Hartono Harimurti
Hary B Kori’un
Hasan Aspahani
Hasan Junus
Hasif Amini
Hasnan Bachtiar
Hasta Indriyana
HE. Benyamine
Hendra Junaedi
Hendra Makmur
Heri CS
Heri Latief
Heri Listianto
Herman RN
Herry Lamongan
Heru CN
Heru Nugroho
Hikmat Gumelar
HL Renjis Magalah
Hudan Nur
Hujuala Rika Ayu
Huminca Sinaga
IBM. Dharma Palguna
Ibnu Wahyudi
Ida Farida
Idris Pasaribu
Ignas Kleden
Ignatius Haryanto
Iksan Basoeky
Ilham Khoiri
Imam Cahyono
Imam Muhtarom
Imam Nawawi
Imamuddin SA
Iman Budhi Santosa
Imron Rosyid
Imron Tohari
Indiar Manggara
Indra Intisa
Indra Tjahyadi
Indra Tranggono
Indrian Koto
Ira Puspitaningsih
Irfan Budiman
Isbedy Stiawan Z.S.
Iskandar Noe
Iskandar Zulkarnain
Ismail Marzuki
Iva Titin Shovia
Iwan Kurniawan
Jabbar Abdullah
Jafar Fakhrurozi
Jalan Raya Simo Sungelebak
Jamal D. Rahman
Jamal T. Suryanata
Javed Paul Syatha
Jayaning S.A
JILFest 2008
Jody Setiawan
Johan Edy Raharjo
Johannes Sugianto
Joko Pinurbo
Joko Sandur
Joni Ariadinata
Jual Buku
Jual Buku Paket Hemat
Juan Kromen
Julika Hasanah
Jurnalisme Sastrawi
Jusuf AN
Juwairiyah Mawardy
Ka’bati
Karanggeneng
Karya Lukisan: Andry Deblenk
Kasnadi
Keith Foulcher
Kemah Budaya Panturan (KBP)
Khansa Arifah Adila
Khoirul Inayah
Khoirul Rosyadi
Khudori Husnan
Ki Ompong Sudarsono
Kirana Kejora
Komplek Gor Kamantren Paciran Lamongan
Komunitas Deo Gratias
Komunitas Sastra Ilalang Indonesia
Korrie Layun Rampan
Kostela
Kritik Sastra
Kukuh S Wibowo
Kurnia Effendi
Kurniawan
Kuswaidi Syafi'ie
L.N. Idayanie
Laili Rahmawati
Lamongan
Lan Fang
Langgeng Widodo
Lathifa Akmaliyah
Leila S. Chudori
Lely Yuana
Lembaga Pengembangan Pembelajaran dan Penjaminan Mutu (LP3M) Universitas Jember
Liestyo Ambarwati Khohar
Lina Kelana
Linda Sarmili
Liza Wahyuninto
Lucia Idayanie
Lukman A Sya
Lutfiah
Lynglieastrid Isabellita
M Arman AZ
M Ismail
M Thobroni
M. Afifuddin
M. Arwan Hamidi
M. Lukluk Atsmara Anjaina
M. Lutfi
M. Luthfi Aziz
M. Nurdin
M. Yoesoef
M.D. Atmaja
M.S. Nugroho
Mahendra Cipta
Mahmud Jauhari Ali
Mahmud Syaltut Usfa
Mahmudi Arif Dahlan
Malam Apresiasi Seni Tanahmerah Ponorogo
Malkan Junaidi
Maman S. Mahayana
Mardi Luhung
Marhalim Zaini
Martin Aleida
Maruli Tobing
Mas Ruscita
Mashuri
Masuki M. Astro
Matroni
Matroni Muserang
Media: Crayon on Paper
Membongkar Mitos Kesusastraan Indonesia
MG. Sungatno
Mh Zaelani Tammaka
Mia Arista
Mia El Zahra
Mikael Johani
Misbahus Surur
Misran
Mohamad Ali Hisyam
Mohammad Eri Irawan
Much. Khoiri
Muh. Muhlisin
Muhammad Al-Fayyadl
Muhammad Amin
Muhammad Aris
Muhammad Muhibbuddin
Muhammad Rain
Muhammad Taufiqurrohman
Muhammad Yasir
Muhammad Zuriat Fadil
Muhammadun
Muhammadun AS
Muhidin M Dahlan
Mujtahid
Mujtahidin Billah
Mukti Sutarman Espe
Mulyadi SA
Mulyosari Banyuurip Ujungpangkah Gresik
Munawir Aziz
Musfarayani
Musfi Efrizal
Nafisatul Husniah
Nandang Darana
Naskah Teater
Nelson Alwi
Ni Made Purnamasari
Nikmatus Sholikhah
Nina Herlina Lubis
Nina Susilo
Ning Elia
Noor H. Dee
Noval Jubbek
Novel-novel berbahasa Jawa
Novelet
Nunuy Nurhayati
Nur Azizah
Nur Hamzah
Nur Kholiq
Nurdin Kalim
Nurel Javissyarqi
Nurul Aini
Nurul Anam
Nurul Komariyah
Nuryana Asmaudi SA
Nyoman Tusthi Eddy
Obrolan
Okty Budiati
Orasi Budaya Akhir Tahun 2018
Otto Sukatno CR
Oyos Saroso H.N.
Pagan Press
Pagelaran Musim Tandur
Palupi Panca Astuti
Parimono V / 40 Plandi Jombang
Pawang Surya Kencana
PDS H.B. Jassin
Petrus Nandi
Politik
Politik Sastra
Pradana Boy ZTF
Pramoedya Ananta Toer
Pramono
Pringadi AS
Prof Dr Fabiola D. Kurnia
Prosa
Puisi
Puji Santosa
Puji Tyasari
Puput Amiranti N
Purnawan Andra
Purnawan Kristanto
Pusat Dokumentasi Sastra H.B. Jassin
Pustaka Ilalang Group
PUstaka puJAngga
Putu Wijaya
Qaris Tajudin
R. Ng. Ronggowarsito
Rachmad Djoko Pradopo
Radhar Panca Dahana
Rahmat Kemat Hidayatullah
Rahmat Sularso Nh
Rakai Lukman
Rakhmat Giryadi
Rasanrasan Boengaketji
Raudal Tanjung Banua
Redland Movie
Reiny Dwinanda
Resensi
Rialita Fithra Asmara
Ribut Wijoto
Riki Dhamparan Putra
Riki Utomi
Ririe Rengganis
Risang Anom Pujayanto
Riyon Fidwar
Robin Al Kautsar
Robin Dos Santos Soares
Rodli TL
Rofiqi Hasan
Roso Titi Sarkoro
Rozi Kembara
Rukardi
Rumah Budaya Pantura (RBP)
Rusmanadi
S Yoga
S. Jai
S.W. Teofani
Sabrank Suparno
Sahaya Santayana
Saiful Amin Ghofur
Saiful Anam
Sainul Hermawan
Sajak
Salamet Wahedi
Salman S. Yoga
Samsudin Adlawi
Samsul Anam
Sanggar Lukis Alam
Sanggar Pasir
Sanggar Rumah Ilalang KSII
Santi Puji Rahayu
Sapardi Djoko Damono
Saroni Asikin
Sartika Dian Nuraini
Sastra dan Kuasa Simbolik
Sastra Jawa Timur
Satmoko Budi Santoso
Saut Situmorang
Sayyid Fahmi Alathas
SelaSastra #24 di Boenga Ketjil Jombang
SelaSastra Boenga Ketjil
SelaSastra Boenga Ketjil #33
Seno Gumira Ajidarma
Seno Joko Suyono
Sergi Sutanto
Setia Naka Andrian
Shiny.ane el’poesya
Sholihul Huda
Sigit Susanto
Sihar Ramses Simatupang
Sinopsis
Siti Khoeriyah
Siti Muyassarotul Hafidzoh
Siti Sa’adah
Siwi Dwi Saputra
Siwi Dwi Saputro
Sjifa Amori
Slamet Rahardjo Rais
Soegiharto
Sofyan RH. Zaid
Soni Farid Maulana
Sony Prasetyotomo
Sosiawan Leak
Spectrum Center Press
Sri Weni
Sri Wintala Achmad
Suci Ayu Latifah
Sucipto Hadi Purnomo
Sudirman
Sugi Lanus
Sukron Ma’mun
Sulaiman Djaya
Sunaryono Basuki Ks
Sungatno
Sungging Raga
Sunlie Thomas Alexander
Sunu Wasono
Supriyadi
Surya Lesmana
Suryanto Sastroatmodjo
Susianna
Sutardji Calzoum Bachri
Sutejo
Suyanto
Syaf Anton Wr
Syaifuddin Gani
Syaiful Amin
Syarif Wadja Bae
Sylvianita Widyawati
TanahmeraH ArtSpace
Tarmuzie (1961-2019)
Taufiq Ismail
Taufiq Wr. Hidayat
Teguh Presetyo
Teguh Setiawan
Teguh Winarsho AS
Temu Penyair Timur Jawa
Tengsoe Tjahjono
Tia Setiadi
Tirto Suwondo
Tita Tjindarbumi
Tjahjono Widarmanto
Tjahjono Widijanto
Toko Buku Murah PUstaka puJAngga Lamongan
Tosa Poetra
Tri Nurdianingsih
Triyanto Triwikromo
TS Pinang
Tu-ngang Iskandar
Tulus S
Ulul Azmiyati
Umar Fauzi
Umar Fauzi Ballah
Umar Kayam
Umbu Landu Paranggi
Universitas Indonesia
Universitas Jember
Usman Arrumy
Utari Tri Prestianti
Viddy AD Daery
Virdika Rizky Utama
W Haryanto
W.S. Rendra
Wahyu Prasetya
Wan Anwar
Wawan Eko Yulianto
Wawancara
Wina Bojonegoro
Wita Lestari
Wong Wing King
Wowok Hesti Prabowo
Xu Xi (Sussy Komala)
Y. Thendra BP
Y. Wibowo
Yanusa Nugroho
Yasraf Amir Piliang
Yayat R. Cipasang
Yohanes Sehandi
Yona Primadesi
Yopi Setia Umbara
Yudhi Herwibowo
Yudi Latif
Yusri Fajar
Yusuf Ariel Hakim
Yuval Noah Harari
Zacky Khairul Uman
Zainuddin Sugendal
Zamakhsyari Abrar
Zawawi Se
Zed Abidien
Zehan Zareez
Zhaenal Fanani
Zubaidi Khan
Zuniest
Tidak ada komentar:
Posting Komentar