Majalah Sagang Bulan Mei 2002 & Solopos, 14 Juli 2002.
Marhalim Zaini
Setiap hari, perempuan itu mandi bersama senja. Sebab ia demikian mencintai senja. Senja di teluk Dara yang sederhana. Tidak senja yang lain. Tidak senja di pantai Selat Baru yang sendu. Tidak senja di sungai Siak yang beraroma kenanga. Tidak juga senja di danau Bangau yang mempesona. Apalagi senja di pelabuhan Bengkalis yang erotis dan menawan. Perempuan itu hanya mencintai senja di teluk Dara. Hatinya begitu menyatu, seperti bunga dengan tangkainya. serupa laut dengan pantainya.
Setiap kali matahari mulai memerah di ufuk barat, perempuan berusia duapuluh lima tahun itu seperti tak mampu menahan diri untuk segara berlari menyusuri jalan setapak penuh semak menuju ke teluk. Seperti ada yang memanggil-manggil namanya. Seperti ada magnet yang menarik seluruh energi dalam tubuhnya, dalam sukmanya.
Sesampainya ia di tepian teluk, matanya berbinar-binar memandangi sekujur teluk yang terbujur, seolah pasrah tengadah penuh gairah. Bibirnya merekah dan memerah menyambut semburat senyum di langit senja yang ranum. Ia seketika seperti tergila-gila untuk segera menghambur ke pelukan teluk, dan takluk bersama senja. Lalu, Kebaya songket yang melekat di tubuh indahnya, perlahan satu persatu ia lepas. Ia seperti benar-benar ingin mempersembahkan lekuk tubuhnya dengan ketulusan yang sederhana. Membiarkan semilir angin memilin lembut seluruh pori-pori kulitnya. Tak ada sangsi di hatinya. Tak ada bimbang yang menghalanginya. Yang ada hanya keinginan untuk berbagi. Sebuah hasrat untuk menikmati kesederhanaan yang sempurna.
Perempuan itu pun mandi bersama senja.
Gemericik air yang jatuh dari celah-celah lantai bambu, tempat di mana perempuan itu bersimpuh, semakin menegaskan bunyi sunyi. Matanya terpejam. Ada beribu bayangan peristiwa berkelindan di bola matanya yang gelap. Peristiwa-peristiwa itu seperti menari-menari, mengajaknya mengurai setiap gerak waktu yang mengalir dalam setiap degup jantungnya. Mengajaknya membaca pertanyaan demi pertanyaan yang senantiasa menyembunyikan jawaban.
Barisan teratak bambu dengan atap rumbia tua. Inilah bayangan yang muncul pertama kali setiap ia memulai memejamkan matanya. Sebuah kampung murung, dengan gundukan akar-akar batang nyiur yang berbaris mengelilingi setiap rumah. Ia ingat benar, ketika masih kanak-kanak betapa ia sangat senang bermain di atas gundukan akar nyiur itu, gundukan yang telah ditinggalkan gambut yang menyusut ke laut. Ia juga masih ingat betapa ia sempat takut dan bertanya, “Kalau tanah gambutnya menyusut ke laut, berarti kampung kita ini lama-lama akan tenggelam. Lalu di mana kita akan tinggal?” Abah ketika itu hanya menjawab singkat, “Kita semua akan tinggal di surga.” Dan sampai sekarang, ia tak pernah tahu di mana tempat yang bernama surga itu.
Mungkin demikianlah juga gambaran nasib kampung ini, kampung tempat ia dilahirkan, yang semakin lama semakin kurus dan tak terurus. Sebab tak ada yang merasa memiliki, tak ada yang merasa peduli. Apalagi dapat dipastikan, setiap anak yang beranjak dewasa mereka akan pergi merantau. Sebab mereka merasa tak betah dan merasa tak bermasa depan kalau tetap menyuruk di kampung. Tapi, apakah setiap yang pergi harus tak kembali? Atau setiap yang pergi pasti berarti? Perempuan itu seperti terpukul dengan pertanyaan-pertanyaannya sendiri. Ia kembali mengguyur kepalanya dengan air teluk. Membuang bayangan kampung dan mengalirkannya bersama teluk. Lalu hanyut ke laut.
Namun segera bayangan lain hadir di kelopak matanya yang terpejam. Silau gemerlap lampu-lampu kota. Bangunan-bangunan menjulang angkasa. Suara-suara hingar-bingar. Dan sederet bayangan lain tentang metropolitan. Ia menyadari, lengking peluit kapal-kapal di dermaga itulah yang merayunya untuk pergi ke kota. Ia tak hirau ketika Abah dan Emak berkata, “Perempuan tak elok pergi jauh-jauh. Perempuan itu rawan. Apalagi engkau masih perawan. Di kampung sajalah, bantu emak nganyam tikar pandan. Pagi hari engkau kan bisa menyadap pohon karet di belakang rumah. Siangnya engkau bisa belajar menjahit sama Ucu Tipah. Nah, malamnya engkau bisa meneruskan belajar ngaji sama Wak Salmin. Sedikit tambah umur nanti, engkau kawinlah.”
Di sudut matanya yang terpejam, ada bulir air leleh di lekuk tirus pipinya, mengalir ke bibir merahnya, dan jatuh ke air teluk yang tenang, membuat gelombang kecil, lalu mengembang. Di ruang telinganya, ada bisik angin yang membawa suara orang-orang mengaji. Suara isak tangis yang miris. Ia tak tahu, kenapa Tuhan begitu cepat mengambil kedua orang tuanya, sebelum sempat ia pulang dan bersujud di kaki mereka. Sembari mengatakan kepada mereka, bahwa hidup memang lebih pahit ketika kita mencoba untuk melangkah. Tapi, aku tak pernah mampu untuk setia pada kepahitan hidup yang tak sempurna. “Maaf Abah, atas gelisahku yang selalu kalah. Maaf Emak, atas langkahku yang selalu salah.”
Perempuan itu kembali mengguyur kepalanya. Melarutkan bayangan kekalahan dalam gemericik air. Matanya semakin merapat. Seketika bayangan lain seperti mendesak-desak. Ia tak mampu membendung bayangan beribu wajah lelaki tak bernama, satu persatu menjilati dan menciumi tubuhnya. Satu persatu menindih tubuhnya. Satu persatu membuang benih kepuasan dalam rahimnya. Ia tak bisa menghapus dengus nafas beribu lelaki yang mengalir dalam setiap tarikan nafasnya. Ia tak bisa melupakan lenguhan panjang beribu lelaki di atas tubuhnya. Ia hanya mampu mencatat bahwa asin peluh mereka yang bersabung di sekujur tubuhnya adalah saksi bagi perjuangan hidupnya melawan kekalahan. Agar kelak, ia bisa mengatakan bahwa untuk menang orang harus banyak belajar dari kekalahan.
Tapi, sampai kini, saat ia kembali mendatangi kampung halamannya, ia tak bisa sepatahpun mengatakan kepada orang-orang bahwa ia telah meraih kemenangan setelah sekian waktu di kampung orang bertarung melawan kekalahan. Sebab ia memang merasa belum bisa mengakhiri pertarungan. Namun, justru ia sedang merasakan betapa nikmatnya sebuah pertarungan mengalahkan hasrat untuk menang.
Tersebab itukah, maka ia begitu mencintai senja di teluk Dara?
Entah. Ia sendiri tak pernah mempertanyakan kenapa setiapkali senja datang ia seperti orang yang kasmaran. Ia seperti baru bertemu dengan seseorang yang dirindukan setelah sekian lama ditinggalkan. Tapi yang pasti, sepulang ia dari kota, setahun yang lalu, ia dianggap orang yang tak waras oleh orang-orang kampung. Sebab, tak biasanya orang mandi telanjang dengan mata terpejam sampai berjam-jam. Orang-orang mengira perempuan itu telah gila sebab tak mampu lagi menahan derita. Derita karena ditinggal mati kedua orang tuanya dan tak punya warisan harta. Derita karena rupanya di kota ia hanya menjadi musuh masyarakat, menjadi pemuas nafsu para lelaki hidung belang. Lalu ia menyesal, merasa berdosa, dan tak mampu mengendalikan diri lagi. Orang-orang pun kemudian memanggilnya sebagai Perempuan Penunggu Teluk atau Perempuan Teluk. Perempuan gila yang setiap senja mandi telanjang dengan mata terpejam sampai berjam-jam.
Apakah karena gila, lalu ia begitu mencintai senja di teluk Dara?
Entah. Perempuan itu tak pernah merasa bahwa dirinya telah menjadi gila. Atau, apakah jika ada seseorang yang begitu mencintai senja lalu ia dikatakan sebagai orang gila? Bukankah tak ada larangan untuk mencintai siapapun dan apapun? Ah, perempuan itu tak pernah menghiraukan pergunjingan orang kampung. Apapun yang dikatakan orang kampung terhadapnya, ia hanya diam dan terkadang tersenyum. Ia tetap saja mendatangi teluk Dara untuk mandi bersama senja. Dalam hatinya ia berkata, “Mandi bersama senja, aku merasa lebih jujur sebagai manusia.”
Perempuan itu pun kembali mengguyur sekujur tubuhnya. Ia merasakan angin mulai mendingin di kulitnya. Hitam di matanya yang terpejam semakin memekat. Ia tahu, bahwa senja mulai tenggelam. Bahwa malam segera menjelang. Itu tandanya ia harus segera menyudahi prosesinya. Ia harus segera beranjak dari teluk. Sebab, baginya hanya senjalah kekasihnya. Ia tak boleh berselingkuh dengan malam.
Tapi, seketika ia merasa seperti ada bandul besar yang menggantung di kelopak matanya. Ia tak mampu membuka kedua matanya. Ada apa? Apakah senja tak mau berpisah dengannya sehingga menggelayut di kelopak matanya? Atau apakah ada yang salah dalam prosesi ini? Atau, jangan-jangan malam cemburu pada senja, sehingga ia menutupi matanya dengan selimut hitamnya yang tebal? Perempuan itu tak mampu menjawabnya, atau mungkin tak perlu menjawabnya. Sebab yang ia rasakan justru kenikmatan yang sempurna. Dingin angin seperti pelukan hangat seorang kekasih, hembusannya seperti membisikkan sesuatu yang merdu. Ia merasa seolah dibelai oleh jemari yang menari di seluruh tubuhnya.
Bibirnya perlahan tersenyum. Rekah. Ada dua wajah singgah. Dua wajah itu bercahaya. Duduk bersimpuh dihadapannya. Ia seperti pernah mengenalinya. Tapi siapa? Biasanya ia tak pernah lupa pada siapapun yang terlintas dalam bayangan matanya. Ia selalu mengingat setiap nama yang pernah singgah dalam sejarah perjalanan hidupnya. Tapi dua wajah ini, siapa? Ia seperti sepasang manusia yang bersahaja tapi penuh kharisma. Lalu perempuan itu seperti mencium bau bunga. Ya, bau bunga. Bunga yang sangat ia kenali baunya. Bunga kamboja…..
***
Sudah satu minggu, orang-orang tak lagi melihat Perempuan Teluk itu mandi telanjang sambil terpejam sampai berjam-jam di teluk Dara itu. Orang-orang kampung tertanya-tanya. Kemana perginya perempuan yang tak waras itu? Di rumahnya jelas tak ada, sebab sudah seminggu ini pintu dan jendela rumah itu tak terbuka. Apakah ia kembali pergi ke kota? Tak mungkin. Sebab Hamdan, supir angkutan satu-satunya di kampung, mengatakan bahwa ia tak pernah melihat perempuan itu menumpang di opletnya. Kalaupun ia bunuh diri terjun ke teluk Dara, tak mungkin orang-orang bersampan yang lalu lalang di sana tak melihatnya. Atau paling tidak para perempuan yang mencuci pakaian setiap pagi di sekitar teluk itu, pastilah membaui mayatnya.
Sampai satu bulan, orang-orang tak menemukan di mana Perempuan Penunggu Teluk itu. Orang-orang akhirnya mengira bahwa perempuan itu disembunyikan hantu Bunian. Sebab, kata orang-orang tua di sana hantu Bunian muncul ketika senja, dan ia sangat senang pada perempuan yang telanjang dan suka termenung sendirian. Orang-orang pun percaya, dan tak lagi mencoba mencari di mana hantu Bunian membawanya pergi. Yang pasti, mata orang biasa takkan bisa mengetahui keberadaannya.
Dan sebenarnya bagi orang kampung sendiri, perempuan itu tak lebih hanya seorang perempuan gila yang setiap senja mandi telanjang sambil terpejam sampai berjam-jam di teluk Dara. Lain dari itu, hanya Perempuan Teluklah yang tahu, betapa ia begitu mencintai senja. Betapa ia karam bersama senja.
Yogyakarta, Maret 2002
Wahyaning wahyu tumelung, tulus tan kena tinegor (wirid hidayat jati, R.Ng. Ronggowarsito)
Langganan:
Posting Komentar (Atom)
A Rodhi Murtadho
A. Ginandjar Wiludjeng
A. Junianto
A. Kurnia
A. Qorib Hidayatullah
A. Yusrianto Elga
A.S Laksana
A’yat Khalili
Aang Fatihul Islam
Abdul Azis Sukarno
Abdul Aziz Rasjid
Abdul Hadi WM
Abdul Kadir Ibrahim
Abdul Malik
Abdul Razak
Abdul Rosyid
Abdul Wahab
Abdurrahman Wahid
Abu Salman
Acep Iwan Saidi
Acep Zamzam Noor
Adam Chiefni
Ade P. Nasution
Adhitia Armitriant
Adi Prasetyo
Adrizas
AF. Tuasikal
Afriza Hanifa
Afrizal Malna
Agama Para Bajingan
Agnes Rita Sulistyawaty
Aguk Irawan M.N.
Agus B. Harianto
Agus Buchori
Agus R. Sarjono
Agus R. Subagyo
Agus Sulton
Agus Sunyoto
Ahda Imran
Ahid Hidayat
Ahmad Baso
Ahmad Faishal
Ahmad Fatoni
Ahmad Hasan MS
Ahmad Kekal Hamdani
Ahmad Khotim Muzakka
Ahmad Muchlish Amrin
Ahmad Naufel
Ahmad Rofiq
Ahmad S. Zahari
Ahmad Syauqi Sumbawi
Ahmad Yulden Erwin
Ahmad Zaini
Ahmadun Yosi Herfanda
Ahsanu Nadia
Aini Aviena Violeta
Ainul Fiah
Ajip Rosidi
Akhiriyati Sundari
Akhmad Muhaimin Azzet
Akhmad Sekhu
Akhmad Sofyan Hadi
Akhmad Taufiq
Akhudiat
Akmal Nasery Basral
Alam Terkembang
Alang Khoiruddin
Alex R. Nainggolan
Alfian Dippahatang
Ali Audah
Ali Mahmudi CH
Ali Rif’an
Almania Rohmah
Ami Herman
Amien Wangsitalaja
Aminah
Aminullah HA.Noor
Amir Sutaarga
Anam Rahus
Anata Siregar
Andari Karina Anom
Andina Dwifatma
Andong Buku #3
Andre Mediansyah
Andri Awan
Anett Tapai
Anggie Melianna
Anindita S Thayf
Anis Ceha
Anjrah Lelono Broto
Anton Bae
Anton Kurnia
Anton Wahyudi
Anwar Nuris
Ardi Bramantyo
Ardus M Sawega
Arie MP Tamba
Arie Yani
Arief Joko Wicaksono
Arief Junianto
Ariera
Arif Bagus Prasetyo
Aris Kurniawan
Arman A.Z.
Arswendo Atmowiloto
Arti Bumi Intaran
AS Sumbawi
Asarpin
Asep Sambodja
Asmaul Fauziyah
Asti Musman
Atafras
Awalludin GD Mualif
Ayu Wulan Sari
Aziz Abdul Gofar
Azizah Hefni
Bagus Takwin
Bahrul Ulum A. Malik
Balada
Bale Aksara
Balok Sf
Bambang Kempling
Bamby Cahyadi
Bandung Mawardi
Beni Setia
Benny Arnas
Benny Benke
Beno Siang Pamungkas
Bentara Budaya Yogyakarta
Berita
Berita Duka
Berita Koran
Bernando J Sujibto
Berthold Damshauser
BI Purwantari
Binhad Nurrohmat
Bobby Gunawan
Bonari Nabonenar
Brunel University London
Budaya
Budi Darma
Budi P. Hatees
Budiman S. Hartoyo
Burhanuddin Bella
Camelia Mafaza
Catatan
Cerbung
Cerpen
Chairul Akhmad
Chamim Kohari
Chavchay Syaifullah
Cover Buku
Cucuk Espe
D. Zaini Ahmad
D. Zawawi Imron
Dadang Ari Murtono
Dahta Gautama
Daisuke Miyoshi
Damhuri Muhammad
Dami N. Toda
Damiri Mahmud
Danarto
Daniel Paranamesa
Danusantoso
Dareen Tatour
Darju Prasetya
David Kuncara
Denny Mizhar
Denza Perdana
Desi Sommalia Gustina
Desiana Medya A.L
Dewan Kesenian Lamongan (DKL)
Dewi Indah Sari
Dewi Susme
Dian Sukarno
Didik Harianto
Didik Kusbiantoro
Dina Jerphanion
Dina Oktaviani
Dinas Kebudayaan dan Pariwisata (Disbudpar) Jawa Timur
Dipo Handoko
Diyah Errita Damayanti
Djoko Pitono
Djoko Saryono
Doddy Wisnu Pribadi
Dody Kristianto
Dody Yan Masfa
Donny Anggoro
Donny Syofyan
Dorothea Rosa Herliany
Dr Junaidi SS MHum
Dwi Cipta
Dwi Fitria
Dwi Pranoto
Dwi Wiyana
Dyah Ratna Meta Novia
Dyah Sulistyorini
Ecep Heryadi
Eddy Pranata PNP
Edeng Syamsul Ma’arif
Eep Saefulloh Fatah
EH Kartanegara
Eka Budianta
Eka Kurniawan
Eko Hendrawan Sofyan
Eko Hendri Saiful
Eko Windarto
Elnisya Mahendra
Elva Lestary
Emha Ainun Nadjib
Emil WE
Endah Sulwesi
Endo Suanda
Eppril Wulaningtyas R
Esai
Evan Ys
F. Moses
F. Rahardi
Fadlillah Malin Sutan
Fahmi Faqih
Fahrudin Nasrulloh
Faisal Kamandobat
Fajar Kurnianto
Fanani Rahman
Fanny Chotimah
Fatah Anshori
Fatah Yasin Noor
Febby Fortinella Rusmoyo
Felix K. Nesi
Festival Sastra Gresik
Gabriel Garcia Marquez
Galang Ari P.
Galuh Tulus Utama
Gampang Prawoto
Gandra Gupta
Ganug Nugroho Adi
Gerson Poyk
Ghassan Kanafani
Gita Nuari
Gita Pratama
Goenawan Mohamad
Grathia Pitaloka
Gunoto Saparie
H.B. Jassin
Habibullah
Hadi Napster
Hadriani Pudjiarti
Halim HD
Halimi Zuhdy
Hamberan Syahbana
Han Gagas
Hanibal W. Y. Wijayanta
Hardi
Haris del Hakim
Haris Saputra
Harri Ash Shiddiqie
Hartono Harimurti
Hary B Kori’un
Hasan Aspahani
Hasan Junus
Hasif Amini
Hasnan Bachtiar
Hasta Indriyana
HE. Benyamine
Hendra Junaedi
Hendra Makmur
Heri CS
Heri Latief
Heri Listianto
Herman RN
Herry Lamongan
Heru CN
Heru Nugroho
Hikmat Gumelar
HL Renjis Magalah
Hudan Nur
Hujuala Rika Ayu
Huminca Sinaga
IBM. Dharma Palguna
Ibnu Wahyudi
Ida Farida
Idris Pasaribu
Ignas Kleden
Ignatius Haryanto
Iksan Basoeky
Ilham Khoiri
Imam Cahyono
Imam Muhtarom
Imam Nawawi
Imamuddin SA
Iman Budhi Santosa
Imron Rosyid
Imron Tohari
Indiar Manggara
Indra Intisa
Indra Tjahyadi
Indra Tranggono
Indrian Koto
Ira Puspitaningsih
Irfan Budiman
Isbedy Stiawan Z.S.
Iskandar Noe
Iskandar Zulkarnain
Ismail Marzuki
Iva Titin Shovia
Iwan Kurniawan
Jabbar Abdullah
Jafar Fakhrurozi
Jalan Raya Simo Sungelebak
Jamal D. Rahman
Jamal T. Suryanata
Javed Paul Syatha
Jayaning S.A
JILFest 2008
Jody Setiawan
Johan Edy Raharjo
Johannes Sugianto
Joko Pinurbo
Joko Sandur
Joni Ariadinata
Jual Buku
Jual Buku Paket Hemat
Juan Kromen
Julika Hasanah
Jurnalisme Sastrawi
Jusuf AN
Juwairiyah Mawardy
Ka’bati
Karanggeneng
Karya Lukisan: Andry Deblenk
Kasnadi
Keith Foulcher
Kemah Budaya Panturan (KBP)
Khansa Arifah Adila
Khoirul Inayah
Khoirul Rosyadi
Khudori Husnan
Ki Ompong Sudarsono
Kirana Kejora
Komplek Gor Kamantren Paciran Lamongan
Komunitas Deo Gratias
Komunitas Sastra Ilalang Indonesia
Korrie Layun Rampan
Kostela
Kritik Sastra
Kukuh S Wibowo
Kurnia Effendi
Kurniawan
Kuswaidi Syafi'ie
L.N. Idayanie
Laili Rahmawati
Lamongan
Lan Fang
Langgeng Widodo
Lathifa Akmaliyah
Leila S. Chudori
Lely Yuana
Lembaga Pengembangan Pembelajaran dan Penjaminan Mutu (LP3M) Universitas Jember
Liestyo Ambarwati Khohar
Lina Kelana
Linda Sarmili
Liza Wahyuninto
Lucia Idayanie
Lukman A Sya
Lutfiah
Lynglieastrid Isabellita
M Arman AZ
M Ismail
M Thobroni
M. Afifuddin
M. Arwan Hamidi
M. Lukluk Atsmara Anjaina
M. Lutfi
M. Luthfi Aziz
M. Nurdin
M. Yoesoef
M.D. Atmaja
M.S. Nugroho
Mahendra Cipta
Mahmud Jauhari Ali
Mahmud Syaltut Usfa
Mahmudi Arif Dahlan
Malam Apresiasi Seni Tanahmerah Ponorogo
Malkan Junaidi
Maman S. Mahayana
Mardi Luhung
Marhalim Zaini
Martin Aleida
Maruli Tobing
Mas Ruscita
Mashuri
Masuki M. Astro
Matroni
Matroni Muserang
Media: Crayon on Paper
Membongkar Mitos Kesusastraan Indonesia
MG. Sungatno
Mh Zaelani Tammaka
Mia Arista
Mia El Zahra
Mikael Johani
Misbahus Surur
Misran
Mohamad Ali Hisyam
Mohammad Eri Irawan
Much. Khoiri
Muh. Muhlisin
Muhammad Al-Fayyadl
Muhammad Amin
Muhammad Aris
Muhammad Muhibbuddin
Muhammad Rain
Muhammad Taufiqurrohman
Muhammad Yasir
Muhammad Zuriat Fadil
Muhammadun
Muhammadun AS
Muhidin M Dahlan
Mujtahid
Mujtahidin Billah
Mukti Sutarman Espe
Mulyadi SA
Mulyosari Banyuurip Ujungpangkah Gresik
Munawir Aziz
Musfarayani
Musfi Efrizal
Nafisatul Husniah
Nandang Darana
Naskah Teater
Nelson Alwi
Ni Made Purnamasari
Nikmatus Sholikhah
Nina Herlina Lubis
Nina Susilo
Ning Elia
Noor H. Dee
Noval Jubbek
Novel-novel berbahasa Jawa
Novelet
Nunuy Nurhayati
Nur Azizah
Nur Hamzah
Nur Kholiq
Nurdin Kalim
Nurel Javissyarqi
Nurul Aini
Nurul Anam
Nurul Komariyah
Nuryana Asmaudi SA
Nyoman Tusthi Eddy
Obrolan
Okty Budiati
Orasi Budaya Akhir Tahun 2018
Otto Sukatno CR
Oyos Saroso H.N.
Pagan Press
Pagelaran Musim Tandur
Palupi Panca Astuti
Parimono V / 40 Plandi Jombang
Pawang Surya Kencana
PDS H.B. Jassin
Petrus Nandi
Politik
Politik Sastra
Pradana Boy ZTF
Pramoedya Ananta Toer
Pramono
Pringadi AS
Prof Dr Fabiola D. Kurnia
Prosa
Puisi
Puji Santosa
Puji Tyasari
Puput Amiranti N
Purnawan Andra
Purnawan Kristanto
Pusat Dokumentasi Sastra H.B. Jassin
Pustaka Ilalang Group
PUstaka puJAngga
Putu Wijaya
Qaris Tajudin
R. Ng. Ronggowarsito
Rachmad Djoko Pradopo
Radhar Panca Dahana
Rahmat Kemat Hidayatullah
Rahmat Sularso Nh
Rakai Lukman
Rakhmat Giryadi
Rasanrasan Boengaketji
Raudal Tanjung Banua
Redland Movie
Reiny Dwinanda
Resensi
Rialita Fithra Asmara
Ribut Wijoto
Riki Dhamparan Putra
Riki Utomi
Ririe Rengganis
Risang Anom Pujayanto
Riyon Fidwar
Robin Al Kautsar
Robin Dos Santos Soares
Rodli TL
Rofiqi Hasan
Roso Titi Sarkoro
Rozi Kembara
Rukardi
Rumah Budaya Pantura (RBP)
Rusmanadi
S Yoga
S. Jai
S.W. Teofani
Sabrank Suparno
Sahaya Santayana
Saiful Amin Ghofur
Saiful Anam
Sainul Hermawan
Sajak
Salamet Wahedi
Salman S. Yoga
Samsudin Adlawi
Samsul Anam
Sanggar Lukis Alam
Sanggar Pasir
Sanggar Rumah Ilalang KSII
Santi Puji Rahayu
Sapardi Djoko Damono
Saroni Asikin
Sartika Dian Nuraini
Sastra dan Kuasa Simbolik
Sastra Jawa Timur
Satmoko Budi Santoso
Saut Situmorang
Sayyid Fahmi Alathas
SelaSastra #24 di Boenga Ketjil Jombang
SelaSastra Boenga Ketjil
SelaSastra Boenga Ketjil #33
Seno Gumira Ajidarma
Seno Joko Suyono
Sergi Sutanto
Setia Naka Andrian
Shiny.ane el’poesya
Sholihul Huda
Sigit Susanto
Sihar Ramses Simatupang
Sinopsis
Siti Khoeriyah
Siti Muyassarotul Hafidzoh
Siti Sa’adah
Siwi Dwi Saputra
Siwi Dwi Saputro
Sjifa Amori
Slamet Rahardjo Rais
Soegiharto
Sofyan RH. Zaid
Soni Farid Maulana
Sony Prasetyotomo
Sosiawan Leak
Spectrum Center Press
Sri Weni
Sri Wintala Achmad
Suci Ayu Latifah
Sucipto Hadi Purnomo
Sudirman
Sugi Lanus
Sukron Ma’mun
Sulaiman Djaya
Sunaryono Basuki Ks
Sungatno
Sungging Raga
Sunlie Thomas Alexander
Sunu Wasono
Supriyadi
Surya Lesmana
Suryanto Sastroatmodjo
Susianna
Sutardji Calzoum Bachri
Sutejo
Suyanto
Syaf Anton Wr
Syaifuddin Gani
Syaiful Amin
Syarif Wadja Bae
Sylvianita Widyawati
TanahmeraH ArtSpace
Tarmuzie (1961-2019)
Taufiq Ismail
Taufiq Wr. Hidayat
Teguh Presetyo
Teguh Setiawan
Teguh Winarsho AS
Temu Penyair Timur Jawa
Tengsoe Tjahjono
Tia Setiadi
Tirto Suwondo
Tita Tjindarbumi
Tjahjono Widarmanto
Tjahjono Widijanto
Toko Buku Murah PUstaka puJAngga Lamongan
Tosa Poetra
Tri Nurdianingsih
Triyanto Triwikromo
TS Pinang
Tu-ngang Iskandar
Tulus S
Ulul Azmiyati
Umar Fauzi
Umar Fauzi Ballah
Umar Kayam
Umbu Landu Paranggi
Universitas Indonesia
Universitas Jember
Usman Arrumy
Utari Tri Prestianti
Viddy AD Daery
Virdika Rizky Utama
W Haryanto
W.S. Rendra
Wahyu Prasetya
Wan Anwar
Wawan Eko Yulianto
Wawancara
Wina Bojonegoro
Wita Lestari
Wong Wing King
Wowok Hesti Prabowo
Xu Xi (Sussy Komala)
Y. Thendra BP
Y. Wibowo
Yanusa Nugroho
Yasraf Amir Piliang
Yayat R. Cipasang
Yohanes Sehandi
Yona Primadesi
Yopi Setia Umbara
Yudhi Herwibowo
Yudi Latif
Yusri Fajar
Yusuf Ariel Hakim
Yuval Noah Harari
Zacky Khairul Uman
Zainuddin Sugendal
Zamakhsyari Abrar
Zawawi Se
Zed Abidien
Zehan Zareez
Zhaenal Fanani
Zubaidi Khan
Zuniest
Tidak ada komentar:
Posting Komentar