Sabtu, 27 September 2008

Perempuan Teluk yang Karam

Majalah Sagang Bulan Mei 2002 & Solopos, 14 Juli 2002.
Marhalim Zaini

Setiap hari, perempuan itu mandi bersama senja. Sebab ia demikian mencintai senja. Senja di teluk Dara yang sederhana. Tidak senja yang lain. Tidak senja di pantai Selat Baru yang sendu. Tidak senja di sungai Siak yang beraroma kenanga. Tidak juga senja di danau Bangau yang mempesona. Apalagi senja di pelabuhan Bengkalis yang erotis dan menawan. Perempuan itu hanya mencintai senja di teluk Dara. Hatinya begitu menyatu, seperti bunga dengan tangkainya. serupa laut dengan pantainya.

Setiap kali matahari mulai memerah di ufuk barat, perempuan berusia duapuluh lima tahun itu seperti tak mampu menahan diri untuk segara berlari menyusuri jalan setapak penuh semak menuju ke teluk. Seperti ada yang memanggil-manggil namanya. Seperti ada magnet yang menarik seluruh energi dalam tubuhnya, dalam sukmanya.

Sesampainya ia di tepian teluk, matanya berbinar-binar memandangi sekujur teluk yang terbujur, seolah pasrah tengadah penuh gairah. Bibirnya merekah dan memerah menyambut semburat senyum di langit senja yang ranum. Ia seketika seperti tergila-gila untuk segera menghambur ke pelukan teluk, dan takluk bersama senja. Lalu, Kebaya songket yang melekat di tubuh indahnya, perlahan satu persatu ia lepas. Ia seperti benar-benar ingin mempersembahkan lekuk tubuhnya dengan ketulusan yang sederhana. Membiarkan semilir angin memilin lembut seluruh pori-pori kulitnya. Tak ada sangsi di hatinya. Tak ada bimbang yang menghalanginya. Yang ada hanya keinginan untuk berbagi. Sebuah hasrat untuk menikmati kesederhanaan yang sempurna.

Perempuan itu pun mandi bersama senja.
Gemericik air yang jatuh dari celah-celah lantai bambu, tempat di mana perempuan itu bersimpuh, semakin menegaskan bunyi sunyi. Matanya terpejam. Ada beribu bayangan peristiwa berkelindan di bola matanya yang gelap. Peristiwa-peristiwa itu seperti menari-menari, mengajaknya mengurai setiap gerak waktu yang mengalir dalam setiap degup jantungnya. Mengajaknya membaca pertanyaan demi pertanyaan yang senantiasa menyembunyikan jawaban.

Barisan teratak bambu dengan atap rumbia tua. Inilah bayangan yang muncul pertama kali setiap ia memulai memejamkan matanya. Sebuah kampung murung, dengan gundukan akar-akar batang nyiur yang berbaris mengelilingi setiap rumah. Ia ingat benar, ketika masih kanak-kanak betapa ia sangat senang bermain di atas gundukan akar nyiur itu, gundukan yang telah ditinggalkan gambut yang menyusut ke laut. Ia juga masih ingat betapa ia sempat takut dan bertanya, “Kalau tanah gambutnya menyusut ke laut, berarti kampung kita ini lama-lama akan tenggelam. Lalu di mana kita akan tinggal?” Abah ketika itu hanya menjawab singkat, “Kita semua akan tinggal di surga.” Dan sampai sekarang, ia tak pernah tahu di mana tempat yang bernama surga itu.

Mungkin demikianlah juga gambaran nasib kampung ini, kampung tempat ia dilahirkan, yang semakin lama semakin kurus dan tak terurus. Sebab tak ada yang merasa memiliki, tak ada yang merasa peduli. Apalagi dapat dipastikan, setiap anak yang beranjak dewasa mereka akan pergi merantau. Sebab mereka merasa tak betah dan merasa tak bermasa depan kalau tetap menyuruk di kampung. Tapi, apakah setiap yang pergi harus tak kembali? Atau setiap yang pergi pasti berarti? Perempuan itu seperti terpukul dengan pertanyaan-pertanyaannya sendiri. Ia kembali mengguyur kepalanya dengan air teluk. Membuang bayangan kampung dan mengalirkannya bersama teluk. Lalu hanyut ke laut.

Namun segera bayangan lain hadir di kelopak matanya yang terpejam. Silau gemerlap lampu-lampu kota. Bangunan-bangunan menjulang angkasa. Suara-suara hingar-bingar. Dan sederet bayangan lain tentang metropolitan. Ia menyadari, lengking peluit kapal-kapal di dermaga itulah yang merayunya untuk pergi ke kota. Ia tak hirau ketika Abah dan Emak berkata, “Perempuan tak elok pergi jauh-jauh. Perempuan itu rawan. Apalagi engkau masih perawan. Di kampung sajalah, bantu emak nganyam tikar pandan. Pagi hari engkau kan bisa menyadap pohon karet di belakang rumah. Siangnya engkau bisa belajar menjahit sama Ucu Tipah. Nah, malamnya engkau bisa meneruskan belajar ngaji sama Wak Salmin. Sedikit tambah umur nanti, engkau kawinlah.”

Di sudut matanya yang terpejam, ada bulir air leleh di lekuk tirus pipinya, mengalir ke bibir merahnya, dan jatuh ke air teluk yang tenang, membuat gelombang kecil, lalu mengembang. Di ruang telinganya, ada bisik angin yang membawa suara orang-orang mengaji. Suara isak tangis yang miris. Ia tak tahu, kenapa Tuhan begitu cepat mengambil kedua orang tuanya, sebelum sempat ia pulang dan bersujud di kaki mereka. Sembari mengatakan kepada mereka, bahwa hidup memang lebih pahit ketika kita mencoba untuk melangkah. Tapi, aku tak pernah mampu untuk setia pada kepahitan hidup yang tak sempurna. “Maaf Abah, atas gelisahku yang selalu kalah. Maaf Emak, atas langkahku yang selalu salah.”

Perempuan itu kembali mengguyur kepalanya. Melarutkan bayangan kekalahan dalam gemericik air. Matanya semakin merapat. Seketika bayangan lain seperti mendesak-desak. Ia tak mampu membendung bayangan beribu wajah lelaki tak bernama, satu persatu menjilati dan menciumi tubuhnya. Satu persatu menindih tubuhnya. Satu persatu membuang benih kepuasan dalam rahimnya. Ia tak bisa menghapus dengus nafas beribu lelaki yang mengalir dalam setiap tarikan nafasnya. Ia tak bisa melupakan lenguhan panjang beribu lelaki di atas tubuhnya. Ia hanya mampu mencatat bahwa asin peluh mereka yang bersabung di sekujur tubuhnya adalah saksi bagi perjuangan hidupnya melawan kekalahan. Agar kelak, ia bisa mengatakan bahwa untuk menang orang harus banyak belajar dari kekalahan.

Tapi, sampai kini, saat ia kembali mendatangi kampung halamannya, ia tak bisa sepatahpun mengatakan kepada orang-orang bahwa ia telah meraih kemenangan setelah sekian waktu di kampung orang bertarung melawan kekalahan. Sebab ia memang merasa belum bisa mengakhiri pertarungan. Namun, justru ia sedang merasakan betapa nikmatnya sebuah pertarungan mengalahkan hasrat untuk menang.

Tersebab itukah, maka ia begitu mencintai senja di teluk Dara?
Entah. Ia sendiri tak pernah mempertanyakan kenapa setiapkali senja datang ia seperti orang yang kasmaran. Ia seperti baru bertemu dengan seseorang yang dirindukan setelah sekian lama ditinggalkan. Tapi yang pasti, sepulang ia dari kota, setahun yang lalu, ia dianggap orang yang tak waras oleh orang-orang kampung. Sebab, tak biasanya orang mandi telanjang dengan mata terpejam sampai berjam-jam. Orang-orang mengira perempuan itu telah gila sebab tak mampu lagi menahan derita. Derita karena ditinggal mati kedua orang tuanya dan tak punya warisan harta. Derita karena rupanya di kota ia hanya menjadi musuh masyarakat, menjadi pemuas nafsu para lelaki hidung belang. Lalu ia menyesal, merasa berdosa, dan tak mampu mengendalikan diri lagi. Orang-orang pun kemudian memanggilnya sebagai Perempuan Penunggu Teluk atau Perempuan Teluk. Perempuan gila yang setiap senja mandi telanjang dengan mata terpejam sampai berjam-jam.

Apakah karena gila, lalu ia begitu mencintai senja di teluk Dara?
Entah. Perempuan itu tak pernah merasa bahwa dirinya telah menjadi gila. Atau, apakah jika ada seseorang yang begitu mencintai senja lalu ia dikatakan sebagai orang gila? Bukankah tak ada larangan untuk mencintai siapapun dan apapun? Ah, perempuan itu tak pernah menghiraukan pergunjingan orang kampung. Apapun yang dikatakan orang kampung terhadapnya, ia hanya diam dan terkadang tersenyum. Ia tetap saja mendatangi teluk Dara untuk mandi bersama senja. Dalam hatinya ia berkata, “Mandi bersama senja, aku merasa lebih jujur sebagai manusia.”

Perempuan itu pun kembali mengguyur sekujur tubuhnya. Ia merasakan angin mulai mendingin di kulitnya. Hitam di matanya yang terpejam semakin memekat. Ia tahu, bahwa senja mulai tenggelam. Bahwa malam segera menjelang. Itu tandanya ia harus segera menyudahi prosesinya. Ia harus segera beranjak dari teluk. Sebab, baginya hanya senjalah kekasihnya. Ia tak boleh berselingkuh dengan malam.

Tapi, seketika ia merasa seperti ada bandul besar yang menggantung di kelopak matanya. Ia tak mampu membuka kedua matanya. Ada apa? Apakah senja tak mau berpisah dengannya sehingga menggelayut di kelopak matanya? Atau apakah ada yang salah dalam prosesi ini? Atau, jangan-jangan malam cemburu pada senja, sehingga ia menutupi matanya dengan selimut hitamnya yang tebal? Perempuan itu tak mampu menjawabnya, atau mungkin tak perlu menjawabnya. Sebab yang ia rasakan justru kenikmatan yang sempurna. Dingin angin seperti pelukan hangat seorang kekasih, hembusannya seperti membisikkan sesuatu yang merdu. Ia merasa seolah dibelai oleh jemari yang menari di seluruh tubuhnya.

Bibirnya perlahan tersenyum. Rekah. Ada dua wajah singgah. Dua wajah itu bercahaya. Duduk bersimpuh dihadapannya. Ia seperti pernah mengenalinya. Tapi siapa? Biasanya ia tak pernah lupa pada siapapun yang terlintas dalam bayangan matanya. Ia selalu mengingat setiap nama yang pernah singgah dalam sejarah perjalanan hidupnya. Tapi dua wajah ini, siapa? Ia seperti sepasang manusia yang bersahaja tapi penuh kharisma. Lalu perempuan itu seperti mencium bau bunga. Ya, bau bunga. Bunga yang sangat ia kenali baunya. Bunga kamboja…..
***

Sudah satu minggu, orang-orang tak lagi melihat Perempuan Teluk itu mandi telanjang sambil terpejam sampai berjam-jam di teluk Dara itu. Orang-orang kampung tertanya-tanya. Kemana perginya perempuan yang tak waras itu? Di rumahnya jelas tak ada, sebab sudah seminggu ini pintu dan jendela rumah itu tak terbuka. Apakah ia kembali pergi ke kota? Tak mungkin. Sebab Hamdan, supir angkutan satu-satunya di kampung, mengatakan bahwa ia tak pernah melihat perempuan itu menumpang di opletnya. Kalaupun ia bunuh diri terjun ke teluk Dara, tak mungkin orang-orang bersampan yang lalu lalang di sana tak melihatnya. Atau paling tidak para perempuan yang mencuci pakaian setiap pagi di sekitar teluk itu, pastilah membaui mayatnya.

Sampai satu bulan, orang-orang tak menemukan di mana Perempuan Penunggu Teluk itu. Orang-orang akhirnya mengira bahwa perempuan itu disembunyikan hantu Bunian. Sebab, kata orang-orang tua di sana hantu Bunian muncul ketika senja, dan ia sangat senang pada perempuan yang telanjang dan suka termenung sendirian. Orang-orang pun percaya, dan tak lagi mencoba mencari di mana hantu Bunian membawanya pergi. Yang pasti, mata orang biasa takkan bisa mengetahui keberadaannya.

Dan sebenarnya bagi orang kampung sendiri, perempuan itu tak lebih hanya seorang perempuan gila yang setiap senja mandi telanjang sambil terpejam sampai berjam-jam di teluk Dara. Lain dari itu, hanya Perempuan Teluklah yang tahu, betapa ia begitu mencintai senja. Betapa ia karam bersama senja.

Yogyakarta, Maret 2002

Tidak ada komentar:

A Rodhi Murtadho A. Ginandjar Wiludjeng A. Junianto A. Kurnia A. Qorib Hidayatullah A. Yusrianto Elga A.S Laksana A’yat Khalili Aang Fatihul Islam Abdul Azis Sukarno Abdul Aziz Rasjid Abdul Hadi WM Abdul Kadir Ibrahim Abdul Malik Abdul Razak Abdul Rosyid Abdul Wahab Abdurrahman Wahid Abu Salman Acep Iwan Saidi Acep Zamzam Noor Adam Chiefni Ade P. Nasution Adhitia Armitriant Adi Prasetyo Adrizas AF. Tuasikal Afriza Hanifa Afrizal Malna Agama Para Bajingan Agnes Rita Sulistyawaty Aguk Irawan M.N. Agus B. Harianto Agus Buchori Agus R. Sarjono Agus R. Subagyo Agus Sulton Agus Sunyoto Ahda Imran Ahid Hidayat Ahmad Baso Ahmad Faishal Ahmad Fatoni Ahmad Hasan MS Ahmad Kekal Hamdani Ahmad Khotim Muzakka Ahmad Muchlish Amrin Ahmad Naufel Ahmad Rofiq Ahmad S. Zahari Ahmad Syauqi Sumbawi Ahmad Yulden Erwin Ahmad Zaini Ahmadun Yosi Herfanda Ahsanu Nadia Aini Aviena Violeta Ainul Fiah Ajip Rosidi Akhiriyati Sundari Akhmad Muhaimin Azzet Akhmad Sekhu Akhmad Sofyan Hadi Akhmad Taufiq Akhudiat Akmal Nasery Basral Alam Terkembang Alang Khoiruddin Alex R. Nainggolan Alfian Dippahatang Ali Audah Ali Mahmudi CH Ali Rif’an Almania Rohmah Ami Herman Amien Wangsitalaja Aminah Aminullah HA.Noor Amir Sutaarga Anam Rahus Anata Siregar Andari Karina Anom Andina Dwifatma Andong Buku #3 Andre Mediansyah Andri Awan Anett Tapai Anggie Melianna Anindita S Thayf Anis Ceha Anjrah Lelono Broto Anton Bae Anton Kurnia Anton Wahyudi Anwar Nuris Ardi Bramantyo Ardus M Sawega Arie MP Tamba Arie Yani Arief Joko Wicaksono Arief Junianto Ariera Arif Bagus Prasetyo Aris Kurniawan Arman A.Z. Arswendo Atmowiloto Arti Bumi Intaran AS Sumbawi Asarpin Asep Sambodja Asmaul Fauziyah Asti Musman Atafras Awalludin GD Mualif Ayu Wulan Sari Aziz Abdul Gofar Azizah Hefni Bagus Takwin Bahrul Ulum A. Malik Balada Bale Aksara Balok Sf Bambang Kempling Bamby Cahyadi Bandung Mawardi Beni Setia Benny Arnas Benny Benke Beno Siang Pamungkas Bentara Budaya Yogyakarta Berita Berita Duka Berita Koran Bernando J Sujibto Berthold Damshauser BI Purwantari Binhad Nurrohmat Bobby Gunawan Bonari Nabonenar Brunel University London Budaya Budi Darma Budi P. Hatees Budiman S. Hartoyo Burhanuddin Bella Camelia Mafaza Catatan Cerbung Cerpen Chairul Akhmad Chamim Kohari Chavchay Syaifullah Cover Buku Cucuk Espe D. Zaini Ahmad D. Zawawi Imron Dadang Ari Murtono Dahta Gautama Daisuke Miyoshi Damhuri Muhammad Dami N. Toda Damiri Mahmud Danarto Daniel Paranamesa Danusantoso Dareen Tatour Darju Prasetya David Kuncara Denny Mizhar Denza Perdana Desi Sommalia Gustina Desiana Medya A.L Dewan Kesenian Lamongan (DKL) Dewi Indah Sari Dewi Susme Dian Sukarno Didik Harianto Didik Kusbiantoro Dina Jerphanion Dina Oktaviani Dinas Kebudayaan dan Pariwisata (Disbudpar) Jawa Timur Dipo Handoko Diyah Errita Damayanti Djoko Pitono Djoko Saryono Doddy Wisnu Pribadi Dody Kristianto Dody Yan Masfa Donny Anggoro Donny Syofyan Dorothea Rosa Herliany Dr Junaidi SS MHum Dwi Cipta Dwi Fitria Dwi Pranoto Dwi Wiyana Dyah Ratna Meta Novia Dyah Sulistyorini Ecep Heryadi Eddy Pranata PNP Edeng Syamsul Ma’arif Eep Saefulloh Fatah EH Kartanegara Eka Budianta Eka Kurniawan Eko Hendrawan Sofyan Eko Hendri Saiful Eko Windarto Elnisya Mahendra Elva Lestary Emha Ainun Nadjib Emil WE Endah Sulwesi Endo Suanda Eppril Wulaningtyas R Esai Evan Ys F. Moses F. Rahardi Fadlillah Malin Sutan Fahmi Faqih Fahrudin Nasrulloh Faisal Kamandobat Fajar Kurnianto Fanani Rahman Fanny Chotimah Fatah Anshori Fatah Yasin Noor Febby Fortinella Rusmoyo Felix K. Nesi Festival Sastra Gresik Gabriel Garcia Marquez Galang Ari P. Galuh Tulus Utama Gampang Prawoto Gandra Gupta Ganug Nugroho Adi Gerson Poyk Ghassan Kanafani Gita Nuari Gita Pratama Goenawan Mohamad Grathia Pitaloka Gunoto Saparie H.B. Jassin Habibullah Hadi Napster Hadriani Pudjiarti Halim HD Halimi Zuhdy Hamberan Syahbana Han Gagas Hanibal W. Y. Wijayanta Hardi Haris del Hakim Haris Saputra Harri Ash Shiddiqie Hartono Harimurti Hary B Kori’un Hasan Aspahani Hasan Junus Hasif Amini Hasnan Bachtiar Hasta Indriyana HE. Benyamine Hendra Junaedi Hendra Makmur Heri CS Heri Latief Heri Listianto Herman RN Herry Lamongan Heru CN Heru Nugroho Hikmat Gumelar HL Renjis Magalah Hudan Nur Hujuala Rika Ayu Huminca Sinaga IBM. Dharma Palguna Ibnu Wahyudi Ida Farida Idris Pasaribu Ignas Kleden Ignatius Haryanto Iksan Basoeky Ilham Khoiri Imam Cahyono Imam Muhtarom Imam Nawawi Imamuddin SA Iman Budhi Santosa Imron Rosyid Imron Tohari Indiar Manggara Indra Intisa Indra Tjahyadi Indra Tranggono Indrian Koto Ira Puspitaningsih Irfan Budiman Isbedy Stiawan Z.S. Iskandar Noe Iskandar Zulkarnain Ismail Marzuki Iva Titin Shovia Iwan Kurniawan Jabbar Abdullah Jafar Fakhrurozi Jalan Raya Simo Sungelebak Jamal D. Rahman Jamal T. Suryanata Javed Paul Syatha Jayaning S.A JILFest 2008 Jody Setiawan Johan Edy Raharjo Johannes Sugianto Joko Pinurbo Joko Sandur Joni Ariadinata Jual Buku Jual Buku Paket Hemat Juan Kromen Julika Hasanah Jurnalisme Sastrawi Jusuf AN Juwairiyah Mawardy Ka’bati Karanggeneng Karya Lukisan: Andry Deblenk Kasnadi Keith Foulcher Kemah Budaya Panturan (KBP) Khansa Arifah Adila Khoirul Inayah Khoirul Rosyadi Khudori Husnan Ki Ompong Sudarsono Kirana Kejora Komplek Gor Kamantren Paciran Lamongan Komunitas Deo Gratias Komunitas Sastra Ilalang Indonesia Korrie Layun Rampan Kostela Kritik Sastra Kukuh S Wibowo Kurnia Effendi Kurniawan Kuswaidi Syafi'ie L.N. Idayanie Laili Rahmawati Lamongan Lan Fang Langgeng Widodo Lathifa Akmaliyah Leila S. Chudori Lely Yuana Lembaga Pengembangan Pembelajaran dan Penjaminan Mutu (LP3M) Universitas Jember Liestyo Ambarwati Khohar Lina Kelana Linda Sarmili Liza Wahyuninto Lucia Idayanie Lukman A Sya Lutfiah Lynglieastrid Isabellita M Arman AZ M Ismail M Thobroni M. Afifuddin M. Arwan Hamidi M. Lukluk Atsmara Anjaina M. Lutfi M. Luthfi Aziz M. Nurdin M. Yoesoef M.D. Atmaja M.S. Nugroho Mahendra Cipta Mahmud Jauhari Ali Mahmud Syaltut Usfa Mahmudi Arif Dahlan Malam Apresiasi Seni Tanahmerah Ponorogo Malkan Junaidi Maman S. Mahayana Mardi Luhung Marhalim Zaini Martin Aleida Maruli Tobing Mas Ruscita Mashuri Masuki M. Astro Matroni Matroni Muserang Media: Crayon on Paper Membongkar Mitos Kesusastraan Indonesia MG. Sungatno Mh Zaelani Tammaka Mia Arista Mia El Zahra Mikael Johani Misbahus Surur Misran Mohamad Ali Hisyam Mohammad Eri Irawan Much. Khoiri Muh. Muhlisin Muhammad Al-Fayyadl Muhammad Amin Muhammad Aris Muhammad Muhibbuddin Muhammad Rain Muhammad Taufiqurrohman Muhammad Yasir Muhammad Zuriat Fadil Muhammadun Muhammadun AS Muhidin M Dahlan Mujtahid Mujtahidin Billah Mukti Sutarman Espe Mulyadi SA Mulyosari Banyuurip Ujungpangkah Gresik Munawir Aziz Musfarayani Musfi Efrizal Nafisatul Husniah Nandang Darana Naskah Teater Nelson Alwi Ni Made Purnamasari Nikmatus Sholikhah Nina Herlina Lubis Nina Susilo Ning Elia Noor H. Dee Noval Jubbek Novel-novel berbahasa Jawa Novelet Nunuy Nurhayati Nur Azizah Nur Hamzah Nur Kholiq Nurdin Kalim Nurel Javissyarqi Nurul Aini Nurul Anam Nurul Komariyah Nuryana Asmaudi SA Nyoman Tusthi Eddy Obrolan Okty Budiati Orasi Budaya Akhir Tahun 2018 Otto Sukatno CR Oyos Saroso H.N. Pagan Press Pagelaran Musim Tandur Palupi Panca Astuti Parimono V / 40 Plandi Jombang Pawang Surya Kencana PDS H.B. Jassin Petrus Nandi Politik Politik Sastra Pradana Boy ZTF Pramoedya Ananta Toer Pramono Pringadi AS Prof Dr Fabiola D. Kurnia Prosa Puisi Puji Santosa Puji Tyasari Puput Amiranti N Purnawan Andra Purnawan Kristanto Pusat Dokumentasi Sastra H.B. Jassin Pustaka Ilalang Group PUstaka puJAngga Putu Wijaya Qaris Tajudin R. Ng. Ronggowarsito Rachmad Djoko Pradopo Radhar Panca Dahana Rahmat Kemat Hidayatullah Rahmat Sularso Nh Rakai Lukman Rakhmat Giryadi Rasanrasan Boengaketji Raudal Tanjung Banua Redland Movie Reiny Dwinanda Resensi Rialita Fithra Asmara Ribut Wijoto Riki Dhamparan Putra Riki Utomi Ririe Rengganis Risang Anom Pujayanto Riyon Fidwar Robin Al Kautsar Robin Dos Santos Soares Rodli TL Rofiqi Hasan Roso Titi Sarkoro Rozi Kembara Rukardi Rumah Budaya Pantura (RBP) Rusmanadi S Yoga S. Jai S.W. Teofani Sabrank Suparno Sahaya Santayana Saiful Amin Ghofur Saiful Anam Sainul Hermawan Sajak Salamet Wahedi Salman S. Yoga Samsudin Adlawi Samsul Anam Sanggar Lukis Alam Sanggar Pasir Sanggar Rumah Ilalang KSII Santi Puji Rahayu Sapardi Djoko Damono Saroni Asikin Sartika Dian Nuraini Sastra dan Kuasa Simbolik Sastra Jawa Timur Satmoko Budi Santoso Saut Situmorang Sayyid Fahmi Alathas SelaSastra #24 di Boenga Ketjil Jombang SelaSastra Boenga Ketjil SelaSastra Boenga Ketjil #33 Seno Gumira Ajidarma Seno Joko Suyono Sergi Sutanto Setia Naka Andrian Shiny.ane el’poesya Sholihul Huda Sigit Susanto Sihar Ramses Simatupang Sinopsis Siti Khoeriyah Siti Muyassarotul Hafidzoh Siti Sa’adah Siwi Dwi Saputra Siwi Dwi Saputro Sjifa Amori Slamet Rahardjo Rais Soegiharto Sofyan RH. Zaid Soni Farid Maulana Sony Prasetyotomo Sosiawan Leak Spectrum Center Press Sri Weni Sri Wintala Achmad Suci Ayu Latifah Sucipto Hadi Purnomo Sudirman Sugi Lanus Sukron Ma’mun Sulaiman Djaya Sunaryono Basuki Ks Sungatno Sungging Raga Sunlie Thomas Alexander Sunu Wasono Supriyadi Surya Lesmana Suryanto Sastroatmodjo Susianna Sutardji Calzoum Bachri Sutejo Suyanto Syaf Anton Wr Syaifuddin Gani Syaiful Amin Syarif Wadja Bae Sylvianita Widyawati TanahmeraH ArtSpace Tarmuzie (1961-2019) Taufiq Ismail Taufiq Wr. Hidayat Teguh Presetyo Teguh Setiawan Teguh Winarsho AS Temu Penyair Timur Jawa Tengsoe Tjahjono Tia Setiadi Tirto Suwondo Tita Tjindarbumi Tjahjono Widarmanto Tjahjono Widijanto Toko Buku Murah PUstaka puJAngga Lamongan Tosa Poetra Tri Nurdianingsih Triyanto Triwikromo TS Pinang Tu-ngang Iskandar Tulus S Ulul Azmiyati Umar Fauzi Umar Fauzi Ballah Umar Kayam Umbu Landu Paranggi Universitas Indonesia Universitas Jember Usman Arrumy Utari Tri Prestianti Viddy AD Daery Virdika Rizky Utama W Haryanto W.S. Rendra Wahyu Prasetya Wan Anwar Wawan Eko Yulianto Wawancara Wina Bojonegoro Wita Lestari Wong Wing King Wowok Hesti Prabowo Xu Xi (Sussy Komala) Y. Thendra BP Y. Wibowo Yanusa Nugroho Yasraf Amir Piliang Yayat R. Cipasang Yohanes Sehandi Yona Primadesi Yopi Setia Umbara Yudhi Herwibowo Yudi Latif Yusri Fajar Yusuf Ariel Hakim Yuval Noah Harari Zacky Khairul Uman Zainuddin Sugendal Zamakhsyari Abrar Zawawi Se Zed Abidien Zehan Zareez Zhaenal Fanani Zubaidi Khan Zuniest