Jawa Pos, 28 Sep 2008
Imam Muhtarom
Aku duduk dekat jendela. Jarum jam melorot ke bawah, tepat di angka tiga. Kuhabiskan sisa sore yang berkabut menatap langit menggenang. Aku ambil sebotol bir hitam dan sebotol vodka. Kugerojok ke tenggorokan. Aku rasakan cairan itu turun dan tak lama aku rasakan bagaimana napas semakin melemah, tubuh mulai kosong, mati.
Apakah mati begitu mudah? Aku banting gelas di atas meja. Pecahannya memburai ke segenap ruang. Terasa sisa alkohol menyeruak di syaraf-syaraf otakku. ''Apakah aku besok tetap berdiri tegak ketika kematian itu datang?'' tanyaku. Suaraku menggema. Tapi, tak ada jawab.
Aku ingat ibuku pergi ketika usiaku baru sembilan tahun. Ibuku keluar dari rumah belakang dengan tas menggembung. ''Aku ikut, Bu?'' tanyaku. ''Jangan, Ibu cuma sebentar. Ibu mau ke pasar,'' jawab ibu.
Aku lupa kapan aku ingat bahwa ibuku tidak kembali. Mungkin pada usia delapan belas tahun ketika ayahku bermimpi dikejar matahari. Ayahku ketakutan hingga tubuhnya menggigil. Napas ayah mengeras seperti leher ayam terputus dari badannya. Suaranya mengerikan. Aku ketakutan. Ayah mati. Ayah kukubur di belakang rumah dekat pintu. Aku ingin bayangan ayah tidak cepat luntur. Bila suatu pagi aku tidak tahu apa yang kukerjakan, kuambil puisi usang peninggalan PKI. Aku bahagia. Aku bahagia? Jika aku terus-menerus didera pertanyaan itu, aku duduk kembali di kamar dekat kotak jendela dengan botol bir dan vodka.
Tapi, ayahku mungkin orang yang paling beruntung sepanjang hidupnya. Ayah pasti mengalami apa yang oleh para pendeta alami. Sebelum mati, tubuh kurus keringnya menggigil seolah matahari dalam otaknya membesar sampai menelan tubuhnya. Ayah mati. Ayah: tak ada yang lebih indah dari mimpi ditelan matahari. Hari-hariku berjalan tak ubahnya mimpi. Aku berputar sekisaran ruang tamu, ruang makan, dan kamar mandi. Aku berak di ruang makan. Aku makan di kamar mandi. Duduk di atas jamban seraya kutelan sendok demi sendok nasi. Bau sisa tahi kering serasa jadi pendorong nafsu makan. Jika aku bosan, aku kembali duduk di pinggir jendela dengan dua botol di tangan. Di luar sana kulihat daun-daun mencintai kuncupnya sendiri. ''Beri aku tahu tentang manusia!!!" Tapi teriakanku membentur gendang telingaku sendiri.
Mungkin ketika bulan ketiga ditambah empat puluh tahun pertama, aku adalah puing. Aku telah menjadi sesosok manusia dengan tubuh kering. Berjalan tertatih dengan tongkat kayu dengan pegangan kepala ular terbuka. Aku suka. Aku ingin aku seperti ayahku. Aku berusaha merebahkan tubuhku di atas halaman rumah tepat jam 12 siang. Cahaya matahari menyergap setiap pori kulitku. Kau mesti sabar, pesanku pada tubuhku. Kita akan ditelan matahari seperti ayah. Aku lakukan dengan telaten. Setiap hari. Setiap jam 12 siang. Jika mulai gosong aku akan menelepon dokter kulit untuk memeriksa kulitku yang gosong. Bila ada penglihatanku mulai berubah, aku telepon dokter mata. Semua dokter sudah pernah mendatangiku. Empat bulan aku memanaskan tubuhku di halaman rumah. Aku sabar. Aku tahu aku cukup sabar untuk bisa ditelan matahari. Persis di hari terakhir bulan keempat, aku yakin matahari itu akan kasihan dan siap menelanku. Matahari, ayolah telan aku. Aku sudah tak tahan matahari. Ayolah, kenapa kau pilih-pilih orang untuk bisa kautelan. Bukankah aku telah mempersiapkan diri dengan baik agar kau bisa mendapat santapan terbaik? Siapa di dunia ini ada orang sebaik aku? Ayo, jawab matahari. Bahwa ayahku kautelan, dia dalam ketakutan seperti anjing. Kau tahu itu. Aku yakin kau bukan orang tua yang diserang amnesia. Kau kan abadi? Atau, paling tidak, kau telah berusia jutaan tahun dan akan bertambah jutaan tahun lagi.
Sore yang kutunggu-tunggu itu aku benar-benar putus asa. Matahari itu dengan tak acuhnya melorot ke ufuk barat tanpa mengindahkanku. Matahari itu terus melorot seolah ada orang yang lebih baik dari aku di sebelah barat jauh sana sehingga matahari itu tak menoleh sedikit pun kepadaku. Kenapa aku begitu malang, ya? Aku bangkit dengan tenaga terakhir ke arah pintu. Aku merayap seperti tentara takut peluru di halaman rumahku sendiri. Kenapa aku merangkak di halaman rumahku sendiri yang kutinggali tujuh puluh tahun lebih ini? Aku ambil kursi yang telah menjamur di sudut kamar. Kudorong-dorong ke arah jendela. Aku berdiri dengan sekuat tenaga. Ah, lupa. Aku kembali merangkak untuk meneelpon si penjual bir dan vodka terbaik. Aku pesan satu kardus besar untuk bir dan satu kardus ukuran sedang untuk vodka. Baiklah matahari kau memang dengan sengaja meninggalkanku. Akan kupanggil matahari lain agar menelanku.
Aku gerojokkan sebanyak mungkin cairan alkohol ke dalam tubuhku. Sebanyak yang lambung bisa tampung. Aku hampir menghabiskan cairan itu sebelum aku melihat dalam pikiranku cahaya benderang dari ufuk timur. Yah, kaukah matahariku? Kau memang lebih baik daripada matahari siang tadi. Kau pasti matahari yang menelan ayahku. Baik, aku telah siap. Kautelan diriku dan aku ikut ke mana pun kau pergi. Matahariku aku cinta padamu!
***
Para kontraktor bangunan barat kota dekat rawa becek tak lagi berkantor di kota itu. Mereka pindah jauh dari sana ke gedung bertingkat 200 di negara seberang. Mereka sangat lelah, kata redaktur senior koran kota itu kepada walikota. ''Cuma sekian persen dari apa yang diharapkan,'' katanya dengan dua jarinya terarah ke walikota.
''Bukankah proyek telah kuberikan semuanya?'' kata si walikota.
''Boleh Pak Walikota semua telah Anda berikan,'' kata si redaktur senior, ''tapi Anda lupa sesuatu ....''
''Katakan apa itu, cepat!'' kata walikota bersama tubuh gendutnya maju sampai ujung kursi.
''Penduduk kota ini perlu matahari. Mereka tidak memerlukan rumah bagus, tidak kantor bagus. Taman kota bagus. Gedung film bagus..''
''Lalu apa?''
''Matahari!''
''Matahari?''
''Matahari!''
''Matahari?''
''Ya, matahari!''
''Kenapa matahari?''
''Tidak tahu.''
''Oke, kita anggap, benar matahari. Tapi, kenapa kontraktor yang kufasilitasi sampai perlu tipu-menipu ini malah melenggang seperti cecurut?''
''Tidak tahu. Mungkin ....''
''Tidak tahu. Kau ini digaji untuk tahu. Kau ini wartawan!'' sergah si walikota menarik pantatnya ke belakang. Ia menyandarkan punggungnya seraya menatap mata si redaktur senior.
''Aku digaji untuk menuliskan hal-hal yang masuk akal. Bukan matahari sialan itu. Aku bekerja dengan fakta-fakta. Bukan imajinasi!'' katanya dengan mata menghindar dari tatapan si walikota.
''Bukankah perilaku warga itu nyata, bisa dipotret, bisa ditanyai, bisa bicara, kan, mereka?''
''Iya, tapi untuk apa? Anda sebagai walikota mestinya tahu bahwa warga kota ini waras, bukan gila. Apakah ada kekeliruan identifikasi oleh psikolog yang Anda sewa bahwa warga Anda sesungguhnya gila?''
''Tak tahu aku. Sekalipun tahu, aku tidak peduli. Mereka hanya kuperlukan mencoblos kertas untuk memilihku, bukan aku harus tahu apakah mereka waras atau tidak.''
''Terus?''
''Terus apa?''
''Fungsi walikota?''
''Baca sendiri sajalah di panduan kantorku, masak belum kaudapat? Apa pula pekerjaanmu?''
''Pekerjaanku memberitakan kejadian di luar omong kosong matahari gila itu.''
''Lalu kenapa kontraktor cecurut pergi?''
''Tak tahulah. Mungkin juga terobsesi matahari juga. Mereka berkantor di pucuk gedung setinggi satu kilometer. Apa alasannya? Kontraktor itu, kan, tidak banyak uang. Kelas mereka bukan dunia. Mereka itu kelasnya kota ini. Coba?''
''Mungkin sudah ada virus yang disemburkan teroris agar wargaku keracunan keyakinan purba itu.''
''Mungkin saja Pak Wali ....''
Kedua orang itu akhirnya tidak meneruskan pembicaraan. Mereka menelepon penjual bir dan vodka terbaik. Mereka minum sebanyaknya di kantor walikota. Mereka memilih duduk di ruang atas dekat jendela. Dua orang itu perlahan menggerojokkan cairan alkohol ke lambung masing-masing sampai benar-benar penuh rongga tubuh mereka. Mereka menatap matanya ke luar ke daun-daun yang bergoyang. Lama. Sampai kemudian mereka melihat cahaya terang dari ufuk timur.
Ah, indah sekali cahaya itu. Matahari. Matahari yang paling indah yang pernah kulihat. Terasa muncul dorongan kuat mereka untuk masuk ke dalam matahari itu. Mereka akan masuk ke mahacahaya itu hingga mereka adalah bagian cahaya segala cahaya itu.
Sebelum matahari menelan kedua lelaki itu, samar-samar dalam gendang telinga mereka terdengar percakapan dua anak kecil dalam nyanyian merdu bersaut-sautan:
''Kita cari Tuhan!''
''Di mana?''
''Di sana!''
''Tepatnya?''
''Di sini!''
''Di mimpi?''
''Bukan. Di sana-sini!'' (*)
Surabaya-Bogor, 1996 & 2008
Wahyaning wahyu tumelung, tulus tan kena tinegor (wirid hidayat jati, R.Ng. Ronggowarsito)
Minggu, 28 September 2008
Puisi-Puisi Imamuddin SA
EMBUN CINTA KASIH
ia kenal sapamu,
segala janji yang telah tersabda
tiada daya tak merona.
namun, setitik rasa
penyebrang sukma
pada anting-anting semesta
adalah tanda tirta
terkunci rautnya
kala kau kidung nada:
“basulah sela-sela manismu
pun takkan kupercik api di sela lentikmu”
ah, mengapa kau sibukan jiwa imajimu
tuanglah setetes embun cinta kasih
di ujung-ujung jemari
sebab itu kembang jati
yang mesti bersemi
di tepi jalan kembali
Kendalkemlagi 2006
SPINK BERALUN
kisah ini,
hampalah dari teladan nadi:
cerita pasir gurun
semerbak dalam spink beralun
adalah sona yusuf zilaikhah merimbun
kau bukanlah dia
penarik kemeja
pun aku tidaklah penafsir mimpinya,
lewat hasrat terbantai kata-kata
genggamlah batu kenangmu:
bersama gelora hasrat ini
adalah diri lautan mimpi
pembawa sesesat hati
Kendalkemlagi 2006
SAYAP-SAYAP MIMPI
sampaikan pada seberkas embun
yang sempat terikat grafitasi
lalui roman sayap-sayap mimpi
adalah padi kan kugapai
pada cambang sehelai
di pijak jemari menyemai
namun, bukan kelahiran itu
sempat kutunggu …
hanyalah serunduk diri
kala berisi
menjadi papan panah yang terbidik pasti
dan biarlah aku membelah jati
sendiri
biar bayangku
di gores dalam nafas-nafas ini
semikan nuansa hari
Kendalkemlagi 2006
MENGEJA LINGKAR SURYA
“kau eja
lingkar surya
tiada bertaut muka
menghadap pesona rupa
dalam lirik-lirik cerita”
biarlah wewangi kembang katamu
menyemburat dalam ruang waktu
laksana martil penumbuk kehampaan batinku;
luluh
namun, setetes embun kesadaran
telah singgah menembus kejahiliaan
membawaku pada batas pencerahan
sungguh, aku telah menasbihkan diri ini
menangkapnya dalam denyut nadi sendiri
lewat sifatnya yang bersemi
memberkas pada jasad insani
hanya hamdallah yang kurangkai
bersama pengabdian yang sesuai;
jasad pada jasad
hati untuk yang tak ternilai
Kendalkemlagi 2006
SEBATAS MISTERI
tiada mengangan angan
legenda ini
kisah lewat mimpi-mimpi
kala ketiadaan tafakur di relung sunyi
bukankah telah terbangun imaji;
ah, tak yakin ia adalah sepi
hingga rindu kasih
mengukir hasrat insani
ya, mainan lentik jemari
ataukah hasrat sendiri
ini hanya sebatas misteri
namun tiada rasa
dalam suci bilik ini,
ia hanya mendendang tembang damba
merentang sesayap nada
berharap mawar percikkan embun sapa;
“hatur sembah
rindu pada
kasih berbeda”
tidak, daun sangsi masih
berdiri bertasbih
di latar sabana hati
hingga kusahadatkan diri
lewat kepolosan sejati;
“sungguh adalah ini rasa saling mengerti
antara dzat bersama dia yang menguasai,
segalanya demi menjenguk kembang kasih
dalam bentuk ruang tak pasti”
larik kisah ini
berukir janji
terseru dalam lelakon nadi
Kendalkemlagi 2006
ia kenal sapamu,
segala janji yang telah tersabda
tiada daya tak merona.
namun, setitik rasa
penyebrang sukma
pada anting-anting semesta
adalah tanda tirta
terkunci rautnya
kala kau kidung nada:
“basulah sela-sela manismu
pun takkan kupercik api di sela lentikmu”
ah, mengapa kau sibukan jiwa imajimu
tuanglah setetes embun cinta kasih
di ujung-ujung jemari
sebab itu kembang jati
yang mesti bersemi
di tepi jalan kembali
Kendalkemlagi 2006
SPINK BERALUN
kisah ini,
hampalah dari teladan nadi:
cerita pasir gurun
semerbak dalam spink beralun
adalah sona yusuf zilaikhah merimbun
kau bukanlah dia
penarik kemeja
pun aku tidaklah penafsir mimpinya,
lewat hasrat terbantai kata-kata
genggamlah batu kenangmu:
bersama gelora hasrat ini
adalah diri lautan mimpi
pembawa sesesat hati
Kendalkemlagi 2006
SAYAP-SAYAP MIMPI
sampaikan pada seberkas embun
yang sempat terikat grafitasi
lalui roman sayap-sayap mimpi
adalah padi kan kugapai
pada cambang sehelai
di pijak jemari menyemai
namun, bukan kelahiran itu
sempat kutunggu …
hanyalah serunduk diri
kala berisi
menjadi papan panah yang terbidik pasti
dan biarlah aku membelah jati
sendiri
biar bayangku
di gores dalam nafas-nafas ini
semikan nuansa hari
Kendalkemlagi 2006
MENGEJA LINGKAR SURYA
“kau eja
lingkar surya
tiada bertaut muka
menghadap pesona rupa
dalam lirik-lirik cerita”
biarlah wewangi kembang katamu
menyemburat dalam ruang waktu
laksana martil penumbuk kehampaan batinku;
luluh
namun, setetes embun kesadaran
telah singgah menembus kejahiliaan
membawaku pada batas pencerahan
sungguh, aku telah menasbihkan diri ini
menangkapnya dalam denyut nadi sendiri
lewat sifatnya yang bersemi
memberkas pada jasad insani
hanya hamdallah yang kurangkai
bersama pengabdian yang sesuai;
jasad pada jasad
hati untuk yang tak ternilai
Kendalkemlagi 2006
SEBATAS MISTERI
tiada mengangan angan
legenda ini
kisah lewat mimpi-mimpi
kala ketiadaan tafakur di relung sunyi
bukankah telah terbangun imaji;
ah, tak yakin ia adalah sepi
hingga rindu kasih
mengukir hasrat insani
ya, mainan lentik jemari
ataukah hasrat sendiri
ini hanya sebatas misteri
namun tiada rasa
dalam suci bilik ini,
ia hanya mendendang tembang damba
merentang sesayap nada
berharap mawar percikkan embun sapa;
“hatur sembah
rindu pada
kasih berbeda”
tidak, daun sangsi masih
berdiri bertasbih
di latar sabana hati
hingga kusahadatkan diri
lewat kepolosan sejati;
“sungguh adalah ini rasa saling mengerti
antara dzat bersama dia yang menguasai,
segalanya demi menjenguk kembang kasih
dalam bentuk ruang tak pasti”
larik kisah ini
berukir janji
terseru dalam lelakon nadi
Kendalkemlagi 2006
Sutardji dan Sartre
Jawa Pos, 28 Sep 2008
Beni Setia
ADA banyak pihak yang kecewa ketika dengan senang hati Sutardji Calzoum Bachri (SCB) menerima Ahmad Bakrie Award 2008 untuk bidang kesusastraan --sebesar Rp 150.000.000 (seratus limapuluh juta rupiah). Mereka menginginkan SCB meniru Frans Magnis Suseno yang menolak pengharaan itu pada 2007, dengan mengaitkan institusi yang memberi anugerah itu (Freedom Institute) merupakan sisi sosial dari stake holder Bakrie Brother, yang salah satu anak perusahaannya (PT Lapindo Brantas) membuat masalah besar di Sidoarjo. Sehingga apa pun yang dilakukan Bakrie Brothers terkait dengan tanggung jawab utamanya untuk terlebih dulu menyelesaikan bencana lumpur di Sidoarjo, terutama kepada ribuan rakyat yang dimarjinalkan secara ekonomi dan sosial akibat luapan lumpur itu.
Tapi apakah itu wajar? Tapi, apakah adil, misalnya, dengan membandingkan SCB dengan seorang Jean-Paul Sartre, yang menolak Hadiah Nobel hanya karena ia merasa yang lebih layak menerima Hadiah Nobel 1964 adalah Pablo Neruda yang kebetulan seorang komunis. Ia merasa bahwa Hadiah Nobel merupakan produk borjuis-kapitalis sehingga penerima Hadiah Nobel dari Uni Sovyet relatif para penentang dan pembangkang komunis. Ia juga takut bahwa Hadiah Nobel membuat karyanya hadir dalam kemasan terlabeli berkualitas sehingga banyak orang membeli karyanya karena isu Hadiah Nobel-nya ketimbang kualitas buku itu --kualitas pemikiran dan estetikanya sebagai sastrawan-filsuf. Sebuah penolakan yang dibalut dengan kata-kata dan argumen canggih seorang intelektual.
Dan itu berbeda dengan ucapan rendah hati SCB ketika menerima penghargaan Ahmad Bakrie. ''Penghargaan dan gelar kehormatan yang saya tarima membuat saya makin malu karena belum berbuat apa-apa. Tetapi, ini adalah takdir yang harus disyukuri,'' kata penyair yang pada hari yang sama menerima Bintang Budaya Parama Darma dari negara. Bahkan ia merespons reaksi pencemoohan banyak kawan atas penerimaan Ahmad Bakrie Award sebagai lebih dikarenakan ada duit Rp 150.000.000, dan bukan duitnya itu berasal dari dana Freedom Institute yang diayomi stake holder Bakrie Brother, yang anak perusahaannya (PT Lapindo Brantas) bikin susah banyak orang di Sidoardjo (Pikiran Rakyat, 16/8.2008). Seakan-akan duit itu berasal dari Allah SWT dan bukan dari stake holder Bakrie Brother, dan tak heran bila SCB tak peduli pada udang apa yang ada di balik rempeyek Ahmad Bakrie Award --terlebih mau peduli kepada para nominee yang lain yang ikut dinilai saat itu.
Satu ungkapan bijak yang khas manusia agraris, yang hidupnya bertahan dalam permainan musim dan berbahagia hanya karena saat pulang dari ladang menemukan cendawan merang di semak-semak atau melihat kali mengering dan ikan berloncatan. Tidak sekalipun berpikir kalau cendawan merang itu tak hanya ditumbuhkan musim karena kemurahan Allah SWT tapi bisa artifisial dengan rekayasa ilmu pertanian --atau ikan diternakkan dengan displin ilmiah usaha tani yang efisien. Mungkin juga khas manusia urban di tengah tuntutan hidup konsumtif perkotaan, yang cuma mampu mencukupi kebutuhan gizi makan dalam rumus empat sehat lima sempurna dalam tiga kali makan sehari. Sedangkan Sartre merupakan bagian masyarakat yang selalu empat sehat lima sempurna setiap kali makan. Ada bargaining position yang kuat sehingga ia bisa membuat pilihan bebas yang sesuai dengan prinsip yang dianut.
Selain itu, Sartre didukung oleh cakrawala intelektual Eropa dan terutama Prancis sebagai puncak pencapaian dari pencerahan Renaisans. Yang selain teramat memuliakan intelektual dan sikap intelektualistik --sehingga Prancis jadi surga para intelektual pembangkang yang dimusuhi negara --juga amat didukung oleh minat baca masyarakat yang teramat tinggi. Dengan buku-bukunya Sartre mampu hidup -karena buku-bukunya banyak yang diterjemahkan dan laris. Selain itu, pendapatan dia dari memberi ceramah sebagai kolomnis. Semuanya menjamin --karenanya bisa bilang, tak ingin orang membeli bukunya karena ia si pemenang Hadiah Nobel Kesusastraan dan bukan karena kualitas tulisannya.
SCB sendiri rasanya hanya menerbitkan satu kumpulan puisi, satu kumpulan cerpen, dan satu kumpulan esei --yang belum cetak ulang selain kumpulan puisinya. Itu pun hanya di Indonesia. Kita juga tidak pernah tahu apakah ada buku versi Inggris karya tunggal SCB. Karena itu --setelah tak menjadi redaktur-- ia hidup dari undangan baca puisi karena sebagai pemakalah dan pembicara tak begitu populer.
Jadi, kenapa kita mendorong SCB ke jurang kegilaan seperti yang dilakukan khazanah seni pada seorang Vincent Van Gogh? Suka atau tak suka: SCB layak menerima dan menikmati anugerah Rp 150.000.000 -- peduli dihabiskannya di pub rock n roll.***
*) Beni Setia, pengarang, tinggal di Caruban
Beni Setia
ADA banyak pihak yang kecewa ketika dengan senang hati Sutardji Calzoum Bachri (SCB) menerima Ahmad Bakrie Award 2008 untuk bidang kesusastraan --sebesar Rp 150.000.000 (seratus limapuluh juta rupiah). Mereka menginginkan SCB meniru Frans Magnis Suseno yang menolak pengharaan itu pada 2007, dengan mengaitkan institusi yang memberi anugerah itu (Freedom Institute) merupakan sisi sosial dari stake holder Bakrie Brother, yang salah satu anak perusahaannya (PT Lapindo Brantas) membuat masalah besar di Sidoarjo. Sehingga apa pun yang dilakukan Bakrie Brothers terkait dengan tanggung jawab utamanya untuk terlebih dulu menyelesaikan bencana lumpur di Sidoarjo, terutama kepada ribuan rakyat yang dimarjinalkan secara ekonomi dan sosial akibat luapan lumpur itu.
Tapi apakah itu wajar? Tapi, apakah adil, misalnya, dengan membandingkan SCB dengan seorang Jean-Paul Sartre, yang menolak Hadiah Nobel hanya karena ia merasa yang lebih layak menerima Hadiah Nobel 1964 adalah Pablo Neruda yang kebetulan seorang komunis. Ia merasa bahwa Hadiah Nobel merupakan produk borjuis-kapitalis sehingga penerima Hadiah Nobel dari Uni Sovyet relatif para penentang dan pembangkang komunis. Ia juga takut bahwa Hadiah Nobel membuat karyanya hadir dalam kemasan terlabeli berkualitas sehingga banyak orang membeli karyanya karena isu Hadiah Nobel-nya ketimbang kualitas buku itu --kualitas pemikiran dan estetikanya sebagai sastrawan-filsuf. Sebuah penolakan yang dibalut dengan kata-kata dan argumen canggih seorang intelektual.
Dan itu berbeda dengan ucapan rendah hati SCB ketika menerima penghargaan Ahmad Bakrie. ''Penghargaan dan gelar kehormatan yang saya tarima membuat saya makin malu karena belum berbuat apa-apa. Tetapi, ini adalah takdir yang harus disyukuri,'' kata penyair yang pada hari yang sama menerima Bintang Budaya Parama Darma dari negara. Bahkan ia merespons reaksi pencemoohan banyak kawan atas penerimaan Ahmad Bakrie Award sebagai lebih dikarenakan ada duit Rp 150.000.000, dan bukan duitnya itu berasal dari dana Freedom Institute yang diayomi stake holder Bakrie Brother, yang anak perusahaannya (PT Lapindo Brantas) bikin susah banyak orang di Sidoardjo (Pikiran Rakyat, 16/8.2008). Seakan-akan duit itu berasal dari Allah SWT dan bukan dari stake holder Bakrie Brother, dan tak heran bila SCB tak peduli pada udang apa yang ada di balik rempeyek Ahmad Bakrie Award --terlebih mau peduli kepada para nominee yang lain yang ikut dinilai saat itu.
Satu ungkapan bijak yang khas manusia agraris, yang hidupnya bertahan dalam permainan musim dan berbahagia hanya karena saat pulang dari ladang menemukan cendawan merang di semak-semak atau melihat kali mengering dan ikan berloncatan. Tidak sekalipun berpikir kalau cendawan merang itu tak hanya ditumbuhkan musim karena kemurahan Allah SWT tapi bisa artifisial dengan rekayasa ilmu pertanian --atau ikan diternakkan dengan displin ilmiah usaha tani yang efisien. Mungkin juga khas manusia urban di tengah tuntutan hidup konsumtif perkotaan, yang cuma mampu mencukupi kebutuhan gizi makan dalam rumus empat sehat lima sempurna dalam tiga kali makan sehari. Sedangkan Sartre merupakan bagian masyarakat yang selalu empat sehat lima sempurna setiap kali makan. Ada bargaining position yang kuat sehingga ia bisa membuat pilihan bebas yang sesuai dengan prinsip yang dianut.
Selain itu, Sartre didukung oleh cakrawala intelektual Eropa dan terutama Prancis sebagai puncak pencapaian dari pencerahan Renaisans. Yang selain teramat memuliakan intelektual dan sikap intelektualistik --sehingga Prancis jadi surga para intelektual pembangkang yang dimusuhi negara --juga amat didukung oleh minat baca masyarakat yang teramat tinggi. Dengan buku-bukunya Sartre mampu hidup -karena buku-bukunya banyak yang diterjemahkan dan laris. Selain itu, pendapatan dia dari memberi ceramah sebagai kolomnis. Semuanya menjamin --karenanya bisa bilang, tak ingin orang membeli bukunya karena ia si pemenang Hadiah Nobel Kesusastraan dan bukan karena kualitas tulisannya.
SCB sendiri rasanya hanya menerbitkan satu kumpulan puisi, satu kumpulan cerpen, dan satu kumpulan esei --yang belum cetak ulang selain kumpulan puisinya. Itu pun hanya di Indonesia. Kita juga tidak pernah tahu apakah ada buku versi Inggris karya tunggal SCB. Karena itu --setelah tak menjadi redaktur-- ia hidup dari undangan baca puisi karena sebagai pemakalah dan pembicara tak begitu populer.
Jadi, kenapa kita mendorong SCB ke jurang kegilaan seperti yang dilakukan khazanah seni pada seorang Vincent Van Gogh? Suka atau tak suka: SCB layak menerima dan menikmati anugerah Rp 150.000.000 -- peduli dihabiskannya di pub rock n roll.***
*) Beni Setia, pengarang, tinggal di Caruban
Sabtu, 27 September 2008
Perempuan Teluk yang Karam
Majalah Sagang Bulan Mei 2002 & Solopos, 14 Juli 2002.
Marhalim Zaini
Setiap hari, perempuan itu mandi bersama senja. Sebab ia demikian mencintai senja. Senja di teluk Dara yang sederhana. Tidak senja yang lain. Tidak senja di pantai Selat Baru yang sendu. Tidak senja di sungai Siak yang beraroma kenanga. Tidak juga senja di danau Bangau yang mempesona. Apalagi senja di pelabuhan Bengkalis yang erotis dan menawan. Perempuan itu hanya mencintai senja di teluk Dara. Hatinya begitu menyatu, seperti bunga dengan tangkainya. serupa laut dengan pantainya.
Setiap kali matahari mulai memerah di ufuk barat, perempuan berusia duapuluh lima tahun itu seperti tak mampu menahan diri untuk segara berlari menyusuri jalan setapak penuh semak menuju ke teluk. Seperti ada yang memanggil-manggil namanya. Seperti ada magnet yang menarik seluruh energi dalam tubuhnya, dalam sukmanya.
Sesampainya ia di tepian teluk, matanya berbinar-binar memandangi sekujur teluk yang terbujur, seolah pasrah tengadah penuh gairah. Bibirnya merekah dan memerah menyambut semburat senyum di langit senja yang ranum. Ia seketika seperti tergila-gila untuk segera menghambur ke pelukan teluk, dan takluk bersama senja. Lalu, Kebaya songket yang melekat di tubuh indahnya, perlahan satu persatu ia lepas. Ia seperti benar-benar ingin mempersembahkan lekuk tubuhnya dengan ketulusan yang sederhana. Membiarkan semilir angin memilin lembut seluruh pori-pori kulitnya. Tak ada sangsi di hatinya. Tak ada bimbang yang menghalanginya. Yang ada hanya keinginan untuk berbagi. Sebuah hasrat untuk menikmati kesederhanaan yang sempurna.
Perempuan itu pun mandi bersama senja.
Gemericik air yang jatuh dari celah-celah lantai bambu, tempat di mana perempuan itu bersimpuh, semakin menegaskan bunyi sunyi. Matanya terpejam. Ada beribu bayangan peristiwa berkelindan di bola matanya yang gelap. Peristiwa-peristiwa itu seperti menari-menari, mengajaknya mengurai setiap gerak waktu yang mengalir dalam setiap degup jantungnya. Mengajaknya membaca pertanyaan demi pertanyaan yang senantiasa menyembunyikan jawaban.
Barisan teratak bambu dengan atap rumbia tua. Inilah bayangan yang muncul pertama kali setiap ia memulai memejamkan matanya. Sebuah kampung murung, dengan gundukan akar-akar batang nyiur yang berbaris mengelilingi setiap rumah. Ia ingat benar, ketika masih kanak-kanak betapa ia sangat senang bermain di atas gundukan akar nyiur itu, gundukan yang telah ditinggalkan gambut yang menyusut ke laut. Ia juga masih ingat betapa ia sempat takut dan bertanya, “Kalau tanah gambutnya menyusut ke laut, berarti kampung kita ini lama-lama akan tenggelam. Lalu di mana kita akan tinggal?” Abah ketika itu hanya menjawab singkat, “Kita semua akan tinggal di surga.” Dan sampai sekarang, ia tak pernah tahu di mana tempat yang bernama surga itu.
Mungkin demikianlah juga gambaran nasib kampung ini, kampung tempat ia dilahirkan, yang semakin lama semakin kurus dan tak terurus. Sebab tak ada yang merasa memiliki, tak ada yang merasa peduli. Apalagi dapat dipastikan, setiap anak yang beranjak dewasa mereka akan pergi merantau. Sebab mereka merasa tak betah dan merasa tak bermasa depan kalau tetap menyuruk di kampung. Tapi, apakah setiap yang pergi harus tak kembali? Atau setiap yang pergi pasti berarti? Perempuan itu seperti terpukul dengan pertanyaan-pertanyaannya sendiri. Ia kembali mengguyur kepalanya dengan air teluk. Membuang bayangan kampung dan mengalirkannya bersama teluk. Lalu hanyut ke laut.
Namun segera bayangan lain hadir di kelopak matanya yang terpejam. Silau gemerlap lampu-lampu kota. Bangunan-bangunan menjulang angkasa. Suara-suara hingar-bingar. Dan sederet bayangan lain tentang metropolitan. Ia menyadari, lengking peluit kapal-kapal di dermaga itulah yang merayunya untuk pergi ke kota. Ia tak hirau ketika Abah dan Emak berkata, “Perempuan tak elok pergi jauh-jauh. Perempuan itu rawan. Apalagi engkau masih perawan. Di kampung sajalah, bantu emak nganyam tikar pandan. Pagi hari engkau kan bisa menyadap pohon karet di belakang rumah. Siangnya engkau bisa belajar menjahit sama Ucu Tipah. Nah, malamnya engkau bisa meneruskan belajar ngaji sama Wak Salmin. Sedikit tambah umur nanti, engkau kawinlah.”
Di sudut matanya yang terpejam, ada bulir air leleh di lekuk tirus pipinya, mengalir ke bibir merahnya, dan jatuh ke air teluk yang tenang, membuat gelombang kecil, lalu mengembang. Di ruang telinganya, ada bisik angin yang membawa suara orang-orang mengaji. Suara isak tangis yang miris. Ia tak tahu, kenapa Tuhan begitu cepat mengambil kedua orang tuanya, sebelum sempat ia pulang dan bersujud di kaki mereka. Sembari mengatakan kepada mereka, bahwa hidup memang lebih pahit ketika kita mencoba untuk melangkah. Tapi, aku tak pernah mampu untuk setia pada kepahitan hidup yang tak sempurna. “Maaf Abah, atas gelisahku yang selalu kalah. Maaf Emak, atas langkahku yang selalu salah.”
Perempuan itu kembali mengguyur kepalanya. Melarutkan bayangan kekalahan dalam gemericik air. Matanya semakin merapat. Seketika bayangan lain seperti mendesak-desak. Ia tak mampu membendung bayangan beribu wajah lelaki tak bernama, satu persatu menjilati dan menciumi tubuhnya. Satu persatu menindih tubuhnya. Satu persatu membuang benih kepuasan dalam rahimnya. Ia tak bisa menghapus dengus nafas beribu lelaki yang mengalir dalam setiap tarikan nafasnya. Ia tak bisa melupakan lenguhan panjang beribu lelaki di atas tubuhnya. Ia hanya mampu mencatat bahwa asin peluh mereka yang bersabung di sekujur tubuhnya adalah saksi bagi perjuangan hidupnya melawan kekalahan. Agar kelak, ia bisa mengatakan bahwa untuk menang orang harus banyak belajar dari kekalahan.
Tapi, sampai kini, saat ia kembali mendatangi kampung halamannya, ia tak bisa sepatahpun mengatakan kepada orang-orang bahwa ia telah meraih kemenangan setelah sekian waktu di kampung orang bertarung melawan kekalahan. Sebab ia memang merasa belum bisa mengakhiri pertarungan. Namun, justru ia sedang merasakan betapa nikmatnya sebuah pertarungan mengalahkan hasrat untuk menang.
Tersebab itukah, maka ia begitu mencintai senja di teluk Dara?
Entah. Ia sendiri tak pernah mempertanyakan kenapa setiapkali senja datang ia seperti orang yang kasmaran. Ia seperti baru bertemu dengan seseorang yang dirindukan setelah sekian lama ditinggalkan. Tapi yang pasti, sepulang ia dari kota, setahun yang lalu, ia dianggap orang yang tak waras oleh orang-orang kampung. Sebab, tak biasanya orang mandi telanjang dengan mata terpejam sampai berjam-jam. Orang-orang mengira perempuan itu telah gila sebab tak mampu lagi menahan derita. Derita karena ditinggal mati kedua orang tuanya dan tak punya warisan harta. Derita karena rupanya di kota ia hanya menjadi musuh masyarakat, menjadi pemuas nafsu para lelaki hidung belang. Lalu ia menyesal, merasa berdosa, dan tak mampu mengendalikan diri lagi. Orang-orang pun kemudian memanggilnya sebagai Perempuan Penunggu Teluk atau Perempuan Teluk. Perempuan gila yang setiap senja mandi telanjang dengan mata terpejam sampai berjam-jam.
Apakah karena gila, lalu ia begitu mencintai senja di teluk Dara?
Entah. Perempuan itu tak pernah merasa bahwa dirinya telah menjadi gila. Atau, apakah jika ada seseorang yang begitu mencintai senja lalu ia dikatakan sebagai orang gila? Bukankah tak ada larangan untuk mencintai siapapun dan apapun? Ah, perempuan itu tak pernah menghiraukan pergunjingan orang kampung. Apapun yang dikatakan orang kampung terhadapnya, ia hanya diam dan terkadang tersenyum. Ia tetap saja mendatangi teluk Dara untuk mandi bersama senja. Dalam hatinya ia berkata, “Mandi bersama senja, aku merasa lebih jujur sebagai manusia.”
Perempuan itu pun kembali mengguyur sekujur tubuhnya. Ia merasakan angin mulai mendingin di kulitnya. Hitam di matanya yang terpejam semakin memekat. Ia tahu, bahwa senja mulai tenggelam. Bahwa malam segera menjelang. Itu tandanya ia harus segera menyudahi prosesinya. Ia harus segera beranjak dari teluk. Sebab, baginya hanya senjalah kekasihnya. Ia tak boleh berselingkuh dengan malam.
Tapi, seketika ia merasa seperti ada bandul besar yang menggantung di kelopak matanya. Ia tak mampu membuka kedua matanya. Ada apa? Apakah senja tak mau berpisah dengannya sehingga menggelayut di kelopak matanya? Atau apakah ada yang salah dalam prosesi ini? Atau, jangan-jangan malam cemburu pada senja, sehingga ia menutupi matanya dengan selimut hitamnya yang tebal? Perempuan itu tak mampu menjawabnya, atau mungkin tak perlu menjawabnya. Sebab yang ia rasakan justru kenikmatan yang sempurna. Dingin angin seperti pelukan hangat seorang kekasih, hembusannya seperti membisikkan sesuatu yang merdu. Ia merasa seolah dibelai oleh jemari yang menari di seluruh tubuhnya.
Bibirnya perlahan tersenyum. Rekah. Ada dua wajah singgah. Dua wajah itu bercahaya. Duduk bersimpuh dihadapannya. Ia seperti pernah mengenalinya. Tapi siapa? Biasanya ia tak pernah lupa pada siapapun yang terlintas dalam bayangan matanya. Ia selalu mengingat setiap nama yang pernah singgah dalam sejarah perjalanan hidupnya. Tapi dua wajah ini, siapa? Ia seperti sepasang manusia yang bersahaja tapi penuh kharisma. Lalu perempuan itu seperti mencium bau bunga. Ya, bau bunga. Bunga yang sangat ia kenali baunya. Bunga kamboja…..
***
Sudah satu minggu, orang-orang tak lagi melihat Perempuan Teluk itu mandi telanjang sambil terpejam sampai berjam-jam di teluk Dara itu. Orang-orang kampung tertanya-tanya. Kemana perginya perempuan yang tak waras itu? Di rumahnya jelas tak ada, sebab sudah seminggu ini pintu dan jendela rumah itu tak terbuka. Apakah ia kembali pergi ke kota? Tak mungkin. Sebab Hamdan, supir angkutan satu-satunya di kampung, mengatakan bahwa ia tak pernah melihat perempuan itu menumpang di opletnya. Kalaupun ia bunuh diri terjun ke teluk Dara, tak mungkin orang-orang bersampan yang lalu lalang di sana tak melihatnya. Atau paling tidak para perempuan yang mencuci pakaian setiap pagi di sekitar teluk itu, pastilah membaui mayatnya.
Sampai satu bulan, orang-orang tak menemukan di mana Perempuan Penunggu Teluk itu. Orang-orang akhirnya mengira bahwa perempuan itu disembunyikan hantu Bunian. Sebab, kata orang-orang tua di sana hantu Bunian muncul ketika senja, dan ia sangat senang pada perempuan yang telanjang dan suka termenung sendirian. Orang-orang pun percaya, dan tak lagi mencoba mencari di mana hantu Bunian membawanya pergi. Yang pasti, mata orang biasa takkan bisa mengetahui keberadaannya.
Dan sebenarnya bagi orang kampung sendiri, perempuan itu tak lebih hanya seorang perempuan gila yang setiap senja mandi telanjang sambil terpejam sampai berjam-jam di teluk Dara. Lain dari itu, hanya Perempuan Teluklah yang tahu, betapa ia begitu mencintai senja. Betapa ia karam bersama senja.
Yogyakarta, Maret 2002
Marhalim Zaini
Setiap hari, perempuan itu mandi bersama senja. Sebab ia demikian mencintai senja. Senja di teluk Dara yang sederhana. Tidak senja yang lain. Tidak senja di pantai Selat Baru yang sendu. Tidak senja di sungai Siak yang beraroma kenanga. Tidak juga senja di danau Bangau yang mempesona. Apalagi senja di pelabuhan Bengkalis yang erotis dan menawan. Perempuan itu hanya mencintai senja di teluk Dara. Hatinya begitu menyatu, seperti bunga dengan tangkainya. serupa laut dengan pantainya.
Setiap kali matahari mulai memerah di ufuk barat, perempuan berusia duapuluh lima tahun itu seperti tak mampu menahan diri untuk segara berlari menyusuri jalan setapak penuh semak menuju ke teluk. Seperti ada yang memanggil-manggil namanya. Seperti ada magnet yang menarik seluruh energi dalam tubuhnya, dalam sukmanya.
Sesampainya ia di tepian teluk, matanya berbinar-binar memandangi sekujur teluk yang terbujur, seolah pasrah tengadah penuh gairah. Bibirnya merekah dan memerah menyambut semburat senyum di langit senja yang ranum. Ia seketika seperti tergila-gila untuk segera menghambur ke pelukan teluk, dan takluk bersama senja. Lalu, Kebaya songket yang melekat di tubuh indahnya, perlahan satu persatu ia lepas. Ia seperti benar-benar ingin mempersembahkan lekuk tubuhnya dengan ketulusan yang sederhana. Membiarkan semilir angin memilin lembut seluruh pori-pori kulitnya. Tak ada sangsi di hatinya. Tak ada bimbang yang menghalanginya. Yang ada hanya keinginan untuk berbagi. Sebuah hasrat untuk menikmati kesederhanaan yang sempurna.
Perempuan itu pun mandi bersama senja.
Gemericik air yang jatuh dari celah-celah lantai bambu, tempat di mana perempuan itu bersimpuh, semakin menegaskan bunyi sunyi. Matanya terpejam. Ada beribu bayangan peristiwa berkelindan di bola matanya yang gelap. Peristiwa-peristiwa itu seperti menari-menari, mengajaknya mengurai setiap gerak waktu yang mengalir dalam setiap degup jantungnya. Mengajaknya membaca pertanyaan demi pertanyaan yang senantiasa menyembunyikan jawaban.
Barisan teratak bambu dengan atap rumbia tua. Inilah bayangan yang muncul pertama kali setiap ia memulai memejamkan matanya. Sebuah kampung murung, dengan gundukan akar-akar batang nyiur yang berbaris mengelilingi setiap rumah. Ia ingat benar, ketika masih kanak-kanak betapa ia sangat senang bermain di atas gundukan akar nyiur itu, gundukan yang telah ditinggalkan gambut yang menyusut ke laut. Ia juga masih ingat betapa ia sempat takut dan bertanya, “Kalau tanah gambutnya menyusut ke laut, berarti kampung kita ini lama-lama akan tenggelam. Lalu di mana kita akan tinggal?” Abah ketika itu hanya menjawab singkat, “Kita semua akan tinggal di surga.” Dan sampai sekarang, ia tak pernah tahu di mana tempat yang bernama surga itu.
Mungkin demikianlah juga gambaran nasib kampung ini, kampung tempat ia dilahirkan, yang semakin lama semakin kurus dan tak terurus. Sebab tak ada yang merasa memiliki, tak ada yang merasa peduli. Apalagi dapat dipastikan, setiap anak yang beranjak dewasa mereka akan pergi merantau. Sebab mereka merasa tak betah dan merasa tak bermasa depan kalau tetap menyuruk di kampung. Tapi, apakah setiap yang pergi harus tak kembali? Atau setiap yang pergi pasti berarti? Perempuan itu seperti terpukul dengan pertanyaan-pertanyaannya sendiri. Ia kembali mengguyur kepalanya dengan air teluk. Membuang bayangan kampung dan mengalirkannya bersama teluk. Lalu hanyut ke laut.
Namun segera bayangan lain hadir di kelopak matanya yang terpejam. Silau gemerlap lampu-lampu kota. Bangunan-bangunan menjulang angkasa. Suara-suara hingar-bingar. Dan sederet bayangan lain tentang metropolitan. Ia menyadari, lengking peluit kapal-kapal di dermaga itulah yang merayunya untuk pergi ke kota. Ia tak hirau ketika Abah dan Emak berkata, “Perempuan tak elok pergi jauh-jauh. Perempuan itu rawan. Apalagi engkau masih perawan. Di kampung sajalah, bantu emak nganyam tikar pandan. Pagi hari engkau kan bisa menyadap pohon karet di belakang rumah. Siangnya engkau bisa belajar menjahit sama Ucu Tipah. Nah, malamnya engkau bisa meneruskan belajar ngaji sama Wak Salmin. Sedikit tambah umur nanti, engkau kawinlah.”
Di sudut matanya yang terpejam, ada bulir air leleh di lekuk tirus pipinya, mengalir ke bibir merahnya, dan jatuh ke air teluk yang tenang, membuat gelombang kecil, lalu mengembang. Di ruang telinganya, ada bisik angin yang membawa suara orang-orang mengaji. Suara isak tangis yang miris. Ia tak tahu, kenapa Tuhan begitu cepat mengambil kedua orang tuanya, sebelum sempat ia pulang dan bersujud di kaki mereka. Sembari mengatakan kepada mereka, bahwa hidup memang lebih pahit ketika kita mencoba untuk melangkah. Tapi, aku tak pernah mampu untuk setia pada kepahitan hidup yang tak sempurna. “Maaf Abah, atas gelisahku yang selalu kalah. Maaf Emak, atas langkahku yang selalu salah.”
Perempuan itu kembali mengguyur kepalanya. Melarutkan bayangan kekalahan dalam gemericik air. Matanya semakin merapat. Seketika bayangan lain seperti mendesak-desak. Ia tak mampu membendung bayangan beribu wajah lelaki tak bernama, satu persatu menjilati dan menciumi tubuhnya. Satu persatu menindih tubuhnya. Satu persatu membuang benih kepuasan dalam rahimnya. Ia tak bisa menghapus dengus nafas beribu lelaki yang mengalir dalam setiap tarikan nafasnya. Ia tak bisa melupakan lenguhan panjang beribu lelaki di atas tubuhnya. Ia hanya mampu mencatat bahwa asin peluh mereka yang bersabung di sekujur tubuhnya adalah saksi bagi perjuangan hidupnya melawan kekalahan. Agar kelak, ia bisa mengatakan bahwa untuk menang orang harus banyak belajar dari kekalahan.
Tapi, sampai kini, saat ia kembali mendatangi kampung halamannya, ia tak bisa sepatahpun mengatakan kepada orang-orang bahwa ia telah meraih kemenangan setelah sekian waktu di kampung orang bertarung melawan kekalahan. Sebab ia memang merasa belum bisa mengakhiri pertarungan. Namun, justru ia sedang merasakan betapa nikmatnya sebuah pertarungan mengalahkan hasrat untuk menang.
Tersebab itukah, maka ia begitu mencintai senja di teluk Dara?
Entah. Ia sendiri tak pernah mempertanyakan kenapa setiapkali senja datang ia seperti orang yang kasmaran. Ia seperti baru bertemu dengan seseorang yang dirindukan setelah sekian lama ditinggalkan. Tapi yang pasti, sepulang ia dari kota, setahun yang lalu, ia dianggap orang yang tak waras oleh orang-orang kampung. Sebab, tak biasanya orang mandi telanjang dengan mata terpejam sampai berjam-jam. Orang-orang mengira perempuan itu telah gila sebab tak mampu lagi menahan derita. Derita karena ditinggal mati kedua orang tuanya dan tak punya warisan harta. Derita karena rupanya di kota ia hanya menjadi musuh masyarakat, menjadi pemuas nafsu para lelaki hidung belang. Lalu ia menyesal, merasa berdosa, dan tak mampu mengendalikan diri lagi. Orang-orang pun kemudian memanggilnya sebagai Perempuan Penunggu Teluk atau Perempuan Teluk. Perempuan gila yang setiap senja mandi telanjang dengan mata terpejam sampai berjam-jam.
Apakah karena gila, lalu ia begitu mencintai senja di teluk Dara?
Entah. Perempuan itu tak pernah merasa bahwa dirinya telah menjadi gila. Atau, apakah jika ada seseorang yang begitu mencintai senja lalu ia dikatakan sebagai orang gila? Bukankah tak ada larangan untuk mencintai siapapun dan apapun? Ah, perempuan itu tak pernah menghiraukan pergunjingan orang kampung. Apapun yang dikatakan orang kampung terhadapnya, ia hanya diam dan terkadang tersenyum. Ia tetap saja mendatangi teluk Dara untuk mandi bersama senja. Dalam hatinya ia berkata, “Mandi bersama senja, aku merasa lebih jujur sebagai manusia.”
Perempuan itu pun kembali mengguyur sekujur tubuhnya. Ia merasakan angin mulai mendingin di kulitnya. Hitam di matanya yang terpejam semakin memekat. Ia tahu, bahwa senja mulai tenggelam. Bahwa malam segera menjelang. Itu tandanya ia harus segera menyudahi prosesinya. Ia harus segera beranjak dari teluk. Sebab, baginya hanya senjalah kekasihnya. Ia tak boleh berselingkuh dengan malam.
Tapi, seketika ia merasa seperti ada bandul besar yang menggantung di kelopak matanya. Ia tak mampu membuka kedua matanya. Ada apa? Apakah senja tak mau berpisah dengannya sehingga menggelayut di kelopak matanya? Atau apakah ada yang salah dalam prosesi ini? Atau, jangan-jangan malam cemburu pada senja, sehingga ia menutupi matanya dengan selimut hitamnya yang tebal? Perempuan itu tak mampu menjawabnya, atau mungkin tak perlu menjawabnya. Sebab yang ia rasakan justru kenikmatan yang sempurna. Dingin angin seperti pelukan hangat seorang kekasih, hembusannya seperti membisikkan sesuatu yang merdu. Ia merasa seolah dibelai oleh jemari yang menari di seluruh tubuhnya.
Bibirnya perlahan tersenyum. Rekah. Ada dua wajah singgah. Dua wajah itu bercahaya. Duduk bersimpuh dihadapannya. Ia seperti pernah mengenalinya. Tapi siapa? Biasanya ia tak pernah lupa pada siapapun yang terlintas dalam bayangan matanya. Ia selalu mengingat setiap nama yang pernah singgah dalam sejarah perjalanan hidupnya. Tapi dua wajah ini, siapa? Ia seperti sepasang manusia yang bersahaja tapi penuh kharisma. Lalu perempuan itu seperti mencium bau bunga. Ya, bau bunga. Bunga yang sangat ia kenali baunya. Bunga kamboja…..
***
Sudah satu minggu, orang-orang tak lagi melihat Perempuan Teluk itu mandi telanjang sambil terpejam sampai berjam-jam di teluk Dara itu. Orang-orang kampung tertanya-tanya. Kemana perginya perempuan yang tak waras itu? Di rumahnya jelas tak ada, sebab sudah seminggu ini pintu dan jendela rumah itu tak terbuka. Apakah ia kembali pergi ke kota? Tak mungkin. Sebab Hamdan, supir angkutan satu-satunya di kampung, mengatakan bahwa ia tak pernah melihat perempuan itu menumpang di opletnya. Kalaupun ia bunuh diri terjun ke teluk Dara, tak mungkin orang-orang bersampan yang lalu lalang di sana tak melihatnya. Atau paling tidak para perempuan yang mencuci pakaian setiap pagi di sekitar teluk itu, pastilah membaui mayatnya.
Sampai satu bulan, orang-orang tak menemukan di mana Perempuan Penunggu Teluk itu. Orang-orang akhirnya mengira bahwa perempuan itu disembunyikan hantu Bunian. Sebab, kata orang-orang tua di sana hantu Bunian muncul ketika senja, dan ia sangat senang pada perempuan yang telanjang dan suka termenung sendirian. Orang-orang pun percaya, dan tak lagi mencoba mencari di mana hantu Bunian membawanya pergi. Yang pasti, mata orang biasa takkan bisa mengetahui keberadaannya.
Dan sebenarnya bagi orang kampung sendiri, perempuan itu tak lebih hanya seorang perempuan gila yang setiap senja mandi telanjang sambil terpejam sampai berjam-jam di teluk Dara. Lain dari itu, hanya Perempuan Teluklah yang tahu, betapa ia begitu mencintai senja. Betapa ia karam bersama senja.
Yogyakarta, Maret 2002
Buah dari Surga
Rialita Fithra Asmara
Ini bukan tentang khuldi, buah yang dimakan oleh Adam dan Hawa. Tapi buah yang muncul dari sebuah bunga yang telah terlebih dahulu mengalami penyerbukan secara sempurna. Benang sari dan putik telah dihalalkan untuk bertemu lewat hembusan angin.
Kulihat wajah istriku bersemu merah seperti senja, biasanya itu terjadi pada istriku ketika dia malu atau sedang menyembunyikan sesuatu dariku.
“Kau ingin berkata sesuatu?” tanyaku kemudian. Tak ada jawaban, melainkan kulihat istriku tampak begitu khusuk mengelus-ngelus perutnya yang membuncit, tentu dengan wajah yang tetap bersemu merah. Melihatnya, aku jadi gemas. Kuletakkan koran yang semula kubaca.
“Dokter bilang kurang dua minggu lagi.” Istriku mulai berjalan mendekatiku.
“Oh…ya? Kapan kau periksa lagi ke dokter? Kenapa aku tak diberi tahu?” kuberikan dia serentetan pertanyaan. Aku sebagai suami pasti dikatakan tak bertanggung jawab jika harus membiarkan istrinya sendirian memeriksakan kehamilannya. Aku paling tidak tahan dengan omongan orang.
“Belakangan ini kau mulai sibuk dengan penelitianmu.” Mendengar kata penelitian, aku mulai berantusias menceritakan tentang dipecatnya pluto dari kedudukannya sebagai planet dengan berbagai alasan, salah satunya karena orbitnya overlap dengan neptunus.
“Lalu, kapan bumi dipecat sebagai planet? Kalau dipecat, bagaimana kalau kita ganti menjadi surga?”
Mendengar respon istriku, aku hanya tersenyum dan menggelengkan kepala. Sejurus kemudian kudengar istriku berkata lagi.
“Jangan bilang kalau kau akan beralih pada astronomi?”
“Aku tak kan beralih dari botani1. Sejak kecil aku suka tanaman.” Tiba-tiba istriku mencium keningku, dia memang sangat mendukungku menjadi peneliti berbagai jenis tanaman. Tak heran bila rumah kami mempunyai pagar hidup. Tanaman yang kami gunakan untuk pagar hidup adalah bambu hias dari jenis bambu jepang dan bambu kuning.
Malam semakin menguasai hari, memaksa kami untuk sejenak menghentikan obrolan agar segera melepas lelah setelah seharian mencucurkan keringat. Malam itu kupeluk istriku begitu erat, dua minggu lagi akan lahir buah cinta kami. Kami menyebutnya buah dari surga. Tak ada alasan lain, kenapa kami menyebutnya demikian selain ia lahir dari penyerbukan yang direstui disaksikan tujuh lapis langit dan tujuh lapis bumi serta diikat lewat perjanjian agung di depan penghulu. Saat itu, seribu malaikat, seribu rumput turut bertasbih mendoakan cinta kami.
Dua minggu kemudian…
Istriku merasakan sakit yang luar biasa pada perutnya. Segera ia kubawa ke rumah sakit. Dokter mengatakan bahwa istriku harus dioperasi, itu jalan satu-satunya. Aku sangat khawatir mendengarnya, apa ada yang tidak beres dari buah surga kami.
“Tenanglah, Pak Fajar berdoa saja semoga tak terjadi apa-apa dengan istri dan anak Bapak.” Dokter Bambang mencoba meyakinkanku.
Aku pergi ke sebuah mushalla, mengadu pada Sang Pemilik Segala Waktu. Hatiku teriris, seperti luka yang baru lalu disiram gerimis. Di saat yang pedih teramat miris, seharusnya aku berada di sisi istriku, dia pasti kesakitan sendirian. Oh Tuhan, aku tak tega membayangkannya. Kubasuh seluruh wajahku dengan air wudhu yang menentramkan. Kuhadapkan wajahku pada kiblat dengan pengharapan sekaligus penyerahan yang amat sangat.
Beberapa jam berlalu, kulihat dokter Bambang keluar dari ruang operasi dengan roman wajah yang sulit untuk ditafsirkan. Hatiku semakin was-was.
“Dok…!” Kuhadang langkah dokter Bambang yang rambutnya mulai memutih termakan usia.
“Istri Anda baik-baik saja.”
“Anak saya, bagaimana dengan anak saya Dok?”
“Anak Anda lahir dalam keadaan conjoined 2, besok akan ada rapat para dokter untuk menolong anak Bapak.” Dokter Bambang meninggalkanku yang terkulai lemas.
Aku segera ke ruang khusus di mana anakku di rawat, kulihat dua bayi yang dalam keadaan dempet dan terlihat amat lemah. Benarkah mereka buah surga yang kami harapkan. Aku sama sekali tak punya kekuatan untuk memberitahukan semua ini pada istriku.
Langkahku terasa lunglai, kamar di mana istriku dirawat semakin dekat dan bibirku, sungguh bibirku terasa kelu.
“Mas, kenapa tanganmu terasa dingin?” Istriku memegang tanganku.
“A…ku…”
“Oh…ya di mana bayi kita, aku ingin segera melihatnya.” Matanya begitu berbinar waktu mengatakan hal itu.
Kubelai rambutnya dengan lembut lalu kukecup keningnya.
“Anak kita masih perlu sedikit perawatan, karena dia lahir lewat operasi.” Kulihat rona kekecewaan di wajah istriku.
“Besok aku harus menemui dokter Bambang, untuk memastikan bagaimana keadaan anak kita.”
“Pergilah, lakukan apa saja untuk buah surga kita!” Dia meremas tanganku begitu kuat seolah dia menitipkan harapan yang begitu besar padaku.
Keesokan harinya beberapa dokter telah berkumpul di sebuah ruangan yang telah disediakan. Aku datang tepat waktu. Hari ini adalah hari penentuan langkah apa yang akan dilakukan pada anakku. Aku merasa gerah berada pada ruangan ini walaupun ruangan ini full AC. Tampak dokter Bambang yang sedang berbincang serius dengan orang yang duduk di sebelahnya. Seorang lelaki yang belakangan kutahu bernama Profesor Rusdi, maju ke depan dan menjelaskan tentang bayi kembar yaitu anakku.
Menurut penjelasannya, bayi kembar itu ada dua macam yaitu kembar satu telur dan dua telur. Kembar yang sebetulnya itu adalah monozigotic3. Dalam kembar monozigotic ini ada satu sel telur dan satu sperma yang kemudian dia berkembang membelah di dalamnya. Apabila pembelahannya sempurna, maka keadaan bayi kembar tersebut baik-baik saja. Tak ada masalah. Berbeda cerita jika pembelahan yang terjadi tidak sempurna, hal tersebut bisa mengakibatkan bayi kembar conjoined atau kembar siam. Karena bayi kembar ini pertama kali ditemukan di Siam (Thailand), maka disebut bayi kembar siam. Mendengar hal itu, aku teringat anakku, berarti anakku mengalami kembar siam.
Aku mengalihkan pandanganku, kulihat wajah satu-per satu orang yang ada di ruangan itu. Semua tampak serius, tiba-tiba terdengar bunyi HP dari salah seorang diantara mereka. Kontan saja semua pandangan tertuju pada si pemilik HP yang ternyata seorang dokter muda, kalau dipikir-pikir sebaya denganku. Kira-kira berumur dua puluh delapanan. Profesor Rusdi memandang tajam ke arahnya. Dokter muda tersebut meminta maaf dan ia menekan beberapa tombol dalam HP nya. Kupikir ia mematikannya.
Aku sebenarnya sudah tak sabar. Sebenarnya anakku bisa ditolong atau tidak. Penjelesan profesor terlalu bertele-tele, sungguh membuatku makin was-was. Kudengar suara profesor itu mulai mengisi ruangan. Kali ini dia menjelaskan tentang macam dari conjoined. Macamnya antara lain, thoracopagus4, craniopagus5, abdominopagus6, ischipagus7, dan pygopagus8. Penyebab yang paling banyak menyebabkan hal itu adalah genetik (sekitar 20-25 persen).
Aku semakin tak sabar, kuacungkan tanganku.
“Maaf Prof, sebenarnya kembar jenis apa yang dialami anak saya, lalu kenapa sampai sekarang anak saya belum ditangani?”
Semua mata memandang ke arahku, aku tak perduli.
“Sabar, Pak Fajar. Kembar siam yang dialami anak Anda termasuk jenis dempet dada (thoracopagus) dan dempet perut (abdominopagus). Kalaupun dilakukan operasi pemisahan harus mengadakan kajian terhadap organ tubuh kedua bayi.
“Lalu kenapa tidak cepat dilakukan?” Tanpa menunggu respon lanjutan, segera kutinggalkan ruangan itu. Tak ada gunanya.
Dokter Bambang menyusulku.
“Kami mengerti perasaan Anda, yakinlah kami akan lakukan yang terbaik.”
“Dan secepatnya!” selaku. Dokter Bambang menepuk pundakku tiga kali kemudian ia kembali ke ruangan itu. Entah berapa lama lagi pertemuan itu dilakukan, aku tak tahu. Yang kutahu anakku harus segera ditolong dan istriku ingin segera menjumpai buah surga kami.
Kujumpai istriku yang tertidur di ruangannya. Kuurungkan kakiku untuk memasukinya. Aku duduk di sebuah kursi yang terletak di depan kamar istriku. Pikiranku melayang pada beberapa hari lalu sebelum istriku melahirkan. Aku pernah melihat istriku makan buah pisang yang dempet, jangan-jangan… Segera kusingkirkan prasangka buruk itu. Bukankah itu hanya mitos? Kami berdua sama-sama dididik dengan ilmu pengetahuan, mana mungkin mempercayai hal yang seperti itu. Hal yang sama sekali tak berdasar. Non sense!.
Kemudian kuruntut silsilah keluargaku mulai dari nenek, kakek, keluarga bapakku, keluarga ibuku dan seterusnya tak ada yang kembar. Kalau tentang keluarga istriku aku tak tahu banyak karena ia dibesarkan di sebuah panti asuhan. Lamunanku buyar ketika kudengar suara rintihan istriku. Bergegas aku masuk kamarnya. Kulihat ia memegangi perut bekas jahitan. Wajahnya tampak begitu lelah.
“Apa yang sakit?” kupegang tangannya.
“Bekas jahitan terasa gatal.”
“Sudah, jangan digaruk!” Aku membelai rambutnya dengan lembut.
“Bagaimana anak kita Mas?”
“Mungkin besok akan dioperasi.”
“Dioperasi, apa yang terjadi?” Istriku membelalakan matanya.
“Anak kita kembar siam, jadi harus dipisah, tapi kau tak usah khawatir, semua pasti baik-baik saja.” Tak ada jawaban selain kulihat gerimis yang tiba-tiba muncul dari kedua bola mata istriku. Kupalingkan wajahku, aku paling tidak tahan melihat wanita menangis apalagi wanita itu istriku. Wanita yang telah menitipkan tulang rusuknya pada tubuhku.
Malam itu aku tidur di rumah sakit, aku tidur di samping istriku. Dia hanya diam dan sangat dingin. Kucoba menghiburnya, ia tak bergeming sedikit pun tetapi dia tetap memegang tanganku begitu erat hingga akhirnya ia tertidur. Berbeda denganku, aku sama sekali tak bisa memejamkan mata. Entah aku seperti merasakan sesuatu.
Semakin malam suasana rumah sakit semakin mencekam, kadang terdengar suara mengerang kesakitan, suara orang muntah, suara kereta dorong, dan entah suara apa lagi. Ah…tangisan bayi, aku yakin itu suara tangisan bayi. Jangan-jangan itu suara anakku. Aku berlari mengejarnya, tapi kulihat bayi kembarku semakin menjauh, hingga tak terdengar lagi suara teriakan mereka.
“Mas, Mas Fajar!” Samar-samar kulihat istriku yang mengguncang-ngguncangkan tubuhku.
“Apa Mas mimpi buruk?”. Aku hanya menggelengkan kepala walaupun kuyakin istriku tidak percaya dengan jawabanku.
“Mas, aku ingin melihat bayi kita!” Istriku merajuk ingin segera melihat bayinya.
“Tidak bisa Dek, mereka harus dirawat secara intensif untuk persiapan operasi.” Aku mencoba memberi dia pengertian.
Setelah mengguyurkan air ke seluruh tubuhku semua terasa segar dan seolah kesedihan luruh satu per satu walaupun tidak semua bersama jatuhnya air ke bawah, aku pergi ke ruangan khusus di mana anakku dirawat. Ada yang aneh, kulihat para suster mulai melepas alat-alat yang menempel pada tubuh anakku. Baru saja aku akan mengatakan sesuatu, dokter Bambang sudah berada di belakangku.
“Bayi Anda jantungnya mengalami kebocoran.”
“Jangan bilang kalau anak kami tidak bisa…”
“Ya… mereka telah kembali ke tempat yang lebih tenang.” Dokter Bambang memelukku.
Semua harapan seperti lenyap begitu saja, dunia kami akan sunyi tanpa tangisan bayi, buah dari surga yang lama kami nanti. Aku harus mengabarkan ini pada istriku dengan cara seperti apa? Aku sama sekali tak mengerti.
Di luar, tiba-tiba terdengar suara petir yang menyambar-nyambar, dan langit berubah menjadi mendung. Sambaran petir itu menghasilkan panas yang luar biasa yang dapat dengan mudah membakar dan menghancurkan seluruh unsur yang ada di bumi, termasuk harapanku, buah surga kami, dan mungkin nanti hati istriku.
Turunlah hujan yang begitu deras. Sewaktu kukatakan bahwa anak kami telah meninggal, hujan begitu lebat keluar dari kedua mata istriku, dan mengalir di atas pipi istriku yang ranum. Tak ada suara selain isak tangis dan deras hujan. Aku terduduk lemas di ranjang istriku. Buah dari surga itu benar-benar telah kembali ke surga. Tagisan istriku berubah menjadi raungan yang memilukan, ia membuang barang-barang yang ada di sekitarnya, terakhir ia melempar apel ke wajahku. Melihatnya, kupeluk istriku. Ia mencoba melepaskan pelukanku, ia meronta dan meronta, aku semakin dibuat kalut olehnya. Aku semakin mempererat pelukanku, kuhujani ia dengan beberapa ciuman di keningnya lalu kubisikkan sesuatu di lubang telinganya dengan mesra.
“Buah itu akan hadir lagi, yakinlah!”
Tangisnya terhenti, punggung istriku terasa basah, ternyata aku juga menangis. Entah apa sebabnya hujan di luar reda.
Kedatangan membawakan sebuah kehangatan
Yang ditiupkan dari jiwa yang menyimpan harapan
Dan…
Kepergian menyuguhkan kesepian
Yang lahir dari jiwa yang bertabur kekosongan
*) Malang, Jawa Timur
Ini bukan tentang khuldi, buah yang dimakan oleh Adam dan Hawa. Tapi buah yang muncul dari sebuah bunga yang telah terlebih dahulu mengalami penyerbukan secara sempurna. Benang sari dan putik telah dihalalkan untuk bertemu lewat hembusan angin.
Kulihat wajah istriku bersemu merah seperti senja, biasanya itu terjadi pada istriku ketika dia malu atau sedang menyembunyikan sesuatu dariku.
“Kau ingin berkata sesuatu?” tanyaku kemudian. Tak ada jawaban, melainkan kulihat istriku tampak begitu khusuk mengelus-ngelus perutnya yang membuncit, tentu dengan wajah yang tetap bersemu merah. Melihatnya, aku jadi gemas. Kuletakkan koran yang semula kubaca.
“Dokter bilang kurang dua minggu lagi.” Istriku mulai berjalan mendekatiku.
“Oh…ya? Kapan kau periksa lagi ke dokter? Kenapa aku tak diberi tahu?” kuberikan dia serentetan pertanyaan. Aku sebagai suami pasti dikatakan tak bertanggung jawab jika harus membiarkan istrinya sendirian memeriksakan kehamilannya. Aku paling tidak tahan dengan omongan orang.
“Belakangan ini kau mulai sibuk dengan penelitianmu.” Mendengar kata penelitian, aku mulai berantusias menceritakan tentang dipecatnya pluto dari kedudukannya sebagai planet dengan berbagai alasan, salah satunya karena orbitnya overlap dengan neptunus.
“Lalu, kapan bumi dipecat sebagai planet? Kalau dipecat, bagaimana kalau kita ganti menjadi surga?”
Mendengar respon istriku, aku hanya tersenyum dan menggelengkan kepala. Sejurus kemudian kudengar istriku berkata lagi.
“Jangan bilang kalau kau akan beralih pada astronomi?”
“Aku tak kan beralih dari botani1. Sejak kecil aku suka tanaman.” Tiba-tiba istriku mencium keningku, dia memang sangat mendukungku menjadi peneliti berbagai jenis tanaman. Tak heran bila rumah kami mempunyai pagar hidup. Tanaman yang kami gunakan untuk pagar hidup adalah bambu hias dari jenis bambu jepang dan bambu kuning.
Malam semakin menguasai hari, memaksa kami untuk sejenak menghentikan obrolan agar segera melepas lelah setelah seharian mencucurkan keringat. Malam itu kupeluk istriku begitu erat, dua minggu lagi akan lahir buah cinta kami. Kami menyebutnya buah dari surga. Tak ada alasan lain, kenapa kami menyebutnya demikian selain ia lahir dari penyerbukan yang direstui disaksikan tujuh lapis langit dan tujuh lapis bumi serta diikat lewat perjanjian agung di depan penghulu. Saat itu, seribu malaikat, seribu rumput turut bertasbih mendoakan cinta kami.
Dua minggu kemudian…
Istriku merasakan sakit yang luar biasa pada perutnya. Segera ia kubawa ke rumah sakit. Dokter mengatakan bahwa istriku harus dioperasi, itu jalan satu-satunya. Aku sangat khawatir mendengarnya, apa ada yang tidak beres dari buah surga kami.
“Tenanglah, Pak Fajar berdoa saja semoga tak terjadi apa-apa dengan istri dan anak Bapak.” Dokter Bambang mencoba meyakinkanku.
Aku pergi ke sebuah mushalla, mengadu pada Sang Pemilik Segala Waktu. Hatiku teriris, seperti luka yang baru lalu disiram gerimis. Di saat yang pedih teramat miris, seharusnya aku berada di sisi istriku, dia pasti kesakitan sendirian. Oh Tuhan, aku tak tega membayangkannya. Kubasuh seluruh wajahku dengan air wudhu yang menentramkan. Kuhadapkan wajahku pada kiblat dengan pengharapan sekaligus penyerahan yang amat sangat.
Beberapa jam berlalu, kulihat dokter Bambang keluar dari ruang operasi dengan roman wajah yang sulit untuk ditafsirkan. Hatiku semakin was-was.
“Dok…!” Kuhadang langkah dokter Bambang yang rambutnya mulai memutih termakan usia.
“Istri Anda baik-baik saja.”
“Anak saya, bagaimana dengan anak saya Dok?”
“Anak Anda lahir dalam keadaan conjoined 2, besok akan ada rapat para dokter untuk menolong anak Bapak.” Dokter Bambang meninggalkanku yang terkulai lemas.
Aku segera ke ruang khusus di mana anakku di rawat, kulihat dua bayi yang dalam keadaan dempet dan terlihat amat lemah. Benarkah mereka buah surga yang kami harapkan. Aku sama sekali tak punya kekuatan untuk memberitahukan semua ini pada istriku.
Langkahku terasa lunglai, kamar di mana istriku dirawat semakin dekat dan bibirku, sungguh bibirku terasa kelu.
“Mas, kenapa tanganmu terasa dingin?” Istriku memegang tanganku.
“A…ku…”
“Oh…ya di mana bayi kita, aku ingin segera melihatnya.” Matanya begitu berbinar waktu mengatakan hal itu.
Kubelai rambutnya dengan lembut lalu kukecup keningnya.
“Anak kita masih perlu sedikit perawatan, karena dia lahir lewat operasi.” Kulihat rona kekecewaan di wajah istriku.
“Besok aku harus menemui dokter Bambang, untuk memastikan bagaimana keadaan anak kita.”
“Pergilah, lakukan apa saja untuk buah surga kita!” Dia meremas tanganku begitu kuat seolah dia menitipkan harapan yang begitu besar padaku.
Keesokan harinya beberapa dokter telah berkumpul di sebuah ruangan yang telah disediakan. Aku datang tepat waktu. Hari ini adalah hari penentuan langkah apa yang akan dilakukan pada anakku. Aku merasa gerah berada pada ruangan ini walaupun ruangan ini full AC. Tampak dokter Bambang yang sedang berbincang serius dengan orang yang duduk di sebelahnya. Seorang lelaki yang belakangan kutahu bernama Profesor Rusdi, maju ke depan dan menjelaskan tentang bayi kembar yaitu anakku.
Menurut penjelasannya, bayi kembar itu ada dua macam yaitu kembar satu telur dan dua telur. Kembar yang sebetulnya itu adalah monozigotic3. Dalam kembar monozigotic ini ada satu sel telur dan satu sperma yang kemudian dia berkembang membelah di dalamnya. Apabila pembelahannya sempurna, maka keadaan bayi kembar tersebut baik-baik saja. Tak ada masalah. Berbeda cerita jika pembelahan yang terjadi tidak sempurna, hal tersebut bisa mengakibatkan bayi kembar conjoined atau kembar siam. Karena bayi kembar ini pertama kali ditemukan di Siam (Thailand), maka disebut bayi kembar siam. Mendengar hal itu, aku teringat anakku, berarti anakku mengalami kembar siam.
Aku mengalihkan pandanganku, kulihat wajah satu-per satu orang yang ada di ruangan itu. Semua tampak serius, tiba-tiba terdengar bunyi HP dari salah seorang diantara mereka. Kontan saja semua pandangan tertuju pada si pemilik HP yang ternyata seorang dokter muda, kalau dipikir-pikir sebaya denganku. Kira-kira berumur dua puluh delapanan. Profesor Rusdi memandang tajam ke arahnya. Dokter muda tersebut meminta maaf dan ia menekan beberapa tombol dalam HP nya. Kupikir ia mematikannya.
Aku sebenarnya sudah tak sabar. Sebenarnya anakku bisa ditolong atau tidak. Penjelesan profesor terlalu bertele-tele, sungguh membuatku makin was-was. Kudengar suara profesor itu mulai mengisi ruangan. Kali ini dia menjelaskan tentang macam dari conjoined. Macamnya antara lain, thoracopagus4, craniopagus5, abdominopagus6, ischipagus7, dan pygopagus8. Penyebab yang paling banyak menyebabkan hal itu adalah genetik (sekitar 20-25 persen).
Aku semakin tak sabar, kuacungkan tanganku.
“Maaf Prof, sebenarnya kembar jenis apa yang dialami anak saya, lalu kenapa sampai sekarang anak saya belum ditangani?”
Semua mata memandang ke arahku, aku tak perduli.
“Sabar, Pak Fajar. Kembar siam yang dialami anak Anda termasuk jenis dempet dada (thoracopagus) dan dempet perut (abdominopagus). Kalaupun dilakukan operasi pemisahan harus mengadakan kajian terhadap organ tubuh kedua bayi.
“Lalu kenapa tidak cepat dilakukan?” Tanpa menunggu respon lanjutan, segera kutinggalkan ruangan itu. Tak ada gunanya.
Dokter Bambang menyusulku.
“Kami mengerti perasaan Anda, yakinlah kami akan lakukan yang terbaik.”
“Dan secepatnya!” selaku. Dokter Bambang menepuk pundakku tiga kali kemudian ia kembali ke ruangan itu. Entah berapa lama lagi pertemuan itu dilakukan, aku tak tahu. Yang kutahu anakku harus segera ditolong dan istriku ingin segera menjumpai buah surga kami.
Kujumpai istriku yang tertidur di ruangannya. Kuurungkan kakiku untuk memasukinya. Aku duduk di sebuah kursi yang terletak di depan kamar istriku. Pikiranku melayang pada beberapa hari lalu sebelum istriku melahirkan. Aku pernah melihat istriku makan buah pisang yang dempet, jangan-jangan… Segera kusingkirkan prasangka buruk itu. Bukankah itu hanya mitos? Kami berdua sama-sama dididik dengan ilmu pengetahuan, mana mungkin mempercayai hal yang seperti itu. Hal yang sama sekali tak berdasar. Non sense!.
Kemudian kuruntut silsilah keluargaku mulai dari nenek, kakek, keluarga bapakku, keluarga ibuku dan seterusnya tak ada yang kembar. Kalau tentang keluarga istriku aku tak tahu banyak karena ia dibesarkan di sebuah panti asuhan. Lamunanku buyar ketika kudengar suara rintihan istriku. Bergegas aku masuk kamarnya. Kulihat ia memegangi perut bekas jahitan. Wajahnya tampak begitu lelah.
“Apa yang sakit?” kupegang tangannya.
“Bekas jahitan terasa gatal.”
“Sudah, jangan digaruk!” Aku membelai rambutnya dengan lembut.
“Bagaimana anak kita Mas?”
“Mungkin besok akan dioperasi.”
“Dioperasi, apa yang terjadi?” Istriku membelalakan matanya.
“Anak kita kembar siam, jadi harus dipisah, tapi kau tak usah khawatir, semua pasti baik-baik saja.” Tak ada jawaban selain kulihat gerimis yang tiba-tiba muncul dari kedua bola mata istriku. Kupalingkan wajahku, aku paling tidak tahan melihat wanita menangis apalagi wanita itu istriku. Wanita yang telah menitipkan tulang rusuknya pada tubuhku.
Malam itu aku tidur di rumah sakit, aku tidur di samping istriku. Dia hanya diam dan sangat dingin. Kucoba menghiburnya, ia tak bergeming sedikit pun tetapi dia tetap memegang tanganku begitu erat hingga akhirnya ia tertidur. Berbeda denganku, aku sama sekali tak bisa memejamkan mata. Entah aku seperti merasakan sesuatu.
Semakin malam suasana rumah sakit semakin mencekam, kadang terdengar suara mengerang kesakitan, suara orang muntah, suara kereta dorong, dan entah suara apa lagi. Ah…tangisan bayi, aku yakin itu suara tangisan bayi. Jangan-jangan itu suara anakku. Aku berlari mengejarnya, tapi kulihat bayi kembarku semakin menjauh, hingga tak terdengar lagi suara teriakan mereka.
“Mas, Mas Fajar!” Samar-samar kulihat istriku yang mengguncang-ngguncangkan tubuhku.
“Apa Mas mimpi buruk?”. Aku hanya menggelengkan kepala walaupun kuyakin istriku tidak percaya dengan jawabanku.
“Mas, aku ingin melihat bayi kita!” Istriku merajuk ingin segera melihat bayinya.
“Tidak bisa Dek, mereka harus dirawat secara intensif untuk persiapan operasi.” Aku mencoba memberi dia pengertian.
Setelah mengguyurkan air ke seluruh tubuhku semua terasa segar dan seolah kesedihan luruh satu per satu walaupun tidak semua bersama jatuhnya air ke bawah, aku pergi ke ruangan khusus di mana anakku dirawat. Ada yang aneh, kulihat para suster mulai melepas alat-alat yang menempel pada tubuh anakku. Baru saja aku akan mengatakan sesuatu, dokter Bambang sudah berada di belakangku.
“Bayi Anda jantungnya mengalami kebocoran.”
“Jangan bilang kalau anak kami tidak bisa…”
“Ya… mereka telah kembali ke tempat yang lebih tenang.” Dokter Bambang memelukku.
Semua harapan seperti lenyap begitu saja, dunia kami akan sunyi tanpa tangisan bayi, buah dari surga yang lama kami nanti. Aku harus mengabarkan ini pada istriku dengan cara seperti apa? Aku sama sekali tak mengerti.
Di luar, tiba-tiba terdengar suara petir yang menyambar-nyambar, dan langit berubah menjadi mendung. Sambaran petir itu menghasilkan panas yang luar biasa yang dapat dengan mudah membakar dan menghancurkan seluruh unsur yang ada di bumi, termasuk harapanku, buah surga kami, dan mungkin nanti hati istriku.
Turunlah hujan yang begitu deras. Sewaktu kukatakan bahwa anak kami telah meninggal, hujan begitu lebat keluar dari kedua mata istriku, dan mengalir di atas pipi istriku yang ranum. Tak ada suara selain isak tangis dan deras hujan. Aku terduduk lemas di ranjang istriku. Buah dari surga itu benar-benar telah kembali ke surga. Tagisan istriku berubah menjadi raungan yang memilukan, ia membuang barang-barang yang ada di sekitarnya, terakhir ia melempar apel ke wajahku. Melihatnya, kupeluk istriku. Ia mencoba melepaskan pelukanku, ia meronta dan meronta, aku semakin dibuat kalut olehnya. Aku semakin mempererat pelukanku, kuhujani ia dengan beberapa ciuman di keningnya lalu kubisikkan sesuatu di lubang telinganya dengan mesra.
“Buah itu akan hadir lagi, yakinlah!”
Tangisnya terhenti, punggung istriku terasa basah, ternyata aku juga menangis. Entah apa sebabnya hujan di luar reda.
Kedatangan membawakan sebuah kehangatan
Yang ditiupkan dari jiwa yang menyimpan harapan
Dan…
Kepergian menyuguhkan kesepian
Yang lahir dari jiwa yang bertabur kekosongan
*) Malang, Jawa Timur
Buku Harian
Laili Rahmawati
Seorang pemuda tampan sedang duduk memandang indahnya dedaunan. Ketika itu beberapa bidadari cantik melintas di hadapannya dan mata pemuda itu langsung tertuju pada salah satu dari mereka yang berkerudung merah. Namanya Shofi. Dia ternyata satu sekolah dengan Fahrudin, nama pemuda itu. Setiap hari mereka selalu bertemu dan setiap kali bertemu Fahrudin selalu mengamati peri kecil itu dan mencoba menggapai sayapnya untuk ditempatkan dalam hatinya sebagai seorang pecinta. Seiring bejalannya waktu ia pun jatuh cinta pada Shofi. Rasa itu semakin menggebu dan ia tidak sanggup lagi memendam isi hatinya. Akhirnya, dengan bantuan teman-temannya ia memberanikan diri untuk mengutarakan isi hatinya.
* * *
Pagi itu Fahrudin akan pergi menghadiri undangan perayaan ulang tahun temannya. Sebelumnya dia minta izin kepada teman-temannya yang memang sudah merencanakan semuanya untuk mengajak Shofi menikmati pemandangan laut dengan matahari yang mulai berjalan setapak demi setapak. Mereka berdua meniti butiran pasir disaksikan keong-keong dan ombak yang menari-nari sambil menggelitik kaki mereka.
"Shof, kamu suka ngga' tempat ini?" tanya Fahrudin dengan senyum manis.
Shofi hanya menganggukkan kepala dengan senyum menghias bibirnya.
"Di sini tempat favoritku dan teman-temanku. Di sini pula aku biasa melampiaskan semua amarahku, kesalku, sukaku….. juga cintaku padamu."
"Maksud kamu?!!!" tanya Shofi dengan wajah penuh tanda tanya.
"Shof…. pertama kali bertemu denganmu aku merasakan ada sesuatu di hatiku. Kemudian sesuatu itu berubah menjadi rasa cinta yang tidak dapat kutolak kehadirannya. Pada saat virus cinta menghampiriku, kulihat peri kecil yang menari membangunkanku dari mimpi buruk dan menempatkanku pada taman surga duniaku," ucap Fahrudin dengan penuh perasaan. Dia berhenti sebentar untuk menghela nafas dan melanjutkannya kembali, "Aku ingin memupuk dan membangun rasa cinta ini denganmu dan melewati hari-hari bersamamu seperti bulan dan bintang yang menyinari kegelapan malam."
Peri kecil yang cantik itu terdiam seraya memandangi pasir yang menempel di kakinya.
"Shof, gimana?" tanya Fahrudin penuh harapan.
Peri kecil itu menarik nafas perlahan, "Aku peri kecil dan kau adalah sayap cintaku. Akulah peri kecil yang akan menghuni sangkar emas hatimu."
Fahrudin sangat senang dan bahagia, seakan-akan ia terbang bersama burung-burung dan awan.
* * *
Seperti biasa ayah dan ibu Shofi duduk di ruang tengah.
"Shof, sini nak!" panggil ayahnya. Tidak lama kemudian Shofi sudah duduk di antara kedua orang tuanya. Ayahnya segera memberitahu, "Shof, ayah akan dipindahkan ke Bandung. Kita semua harus pindah dan kamu meneruskan sekolah di sana. Mulai sekarang kamu harus mempersiapkan segalanya."
Shofi tak berkata apapun, sebagaimana selama ini dia tidak pernah membantah apa kata ayahnya. Ia segera pamit dan beranjak ke kamar untuk menumpahkan isi perasaannya.
"Ya Allah apakah ini yang terbaik? Inikah jalan hidupku? Aku tidak bisa membantah perkataan ayah, tapi aku juga tidak bisa hidup tanpa Fahrudin. Bisakah dia mengerti bahwa aku benar-benar mencintainya."
Gadis kecil itu menangis terisak sambil menggenggam selembar foto mereka berdua. Dia meratapi betapa besar cobaan yang menghalangi cinta mereka yang baru dirajut belum setahun.
* * *
Malam bertaburan bintang terang dengan rembulan yang tersenyum menyinari rumput-rumput bergoyang dihembus angin. Fahrudin sedang sendirian di rumahnya.
"Assalamu’alaikum," ucap peri kecil itu di depan pintu rumah kekasihnya.
"Wa’alaikum salam," jawab Fahrudin dengan wajah ceria menyambut kedatangan kekasihnya. "Tumben, Shof, kamu datang. Ayo silakan masuk."
Shofi masuk ke dalam. Mereka saling bicara tentang sekolah dan teman-temannya. Setelah agak lama Shofi berkata, "Din….sebenarnya aku sayang sekali sama kamu. Aku juga sayang pada orang tuaku. Tetapi, aku harus memilih di antara kamu atau orang tuaku. Aku tidak bisa hidup jauh darimu begitu pula aku tidak mungkin berpisah dengan orang tuaku."
Rasanya berat sekali Shofi mengemukakan isi hatinya, namun bagaimanapun dia harus menyatakannya, "Din, orang tuaku akan pindah ke Bandung dan aku harus ikut."
"Ke Bandung?" tanya Fahrudin tidak percaya. "Terus bagaimana denganku?"
"Aku tidak tahu, Din. Dalam hatiku aku tidak bisa jauh dari orang tuaku dan aku harus ikut."
"Iya, aku mengerti. Tapi bagaimana dengan hubungan kita? Apa kita harus mengakhirinya?" terdengar nada yang perih dari ucapan Fahrudin. "Tidak, Shof. Aku tidak sanggup menjalani hidup sendirian tanpamu."
"Din," jawab Shofi. "Aku akan selalu mencintaimu walaupun kita berjauhan. Percayalah aku tidak akan mengkhianatimu, karena cintaku hanya untukmu. Bukankah kita masih dapat berhubungan melalui handphone?"
Air mata Shofi terus bergulir di pipinya meskipun dia berkali-kali mengusapnya. Mata yang indah itu berkaca-kaca.
"Pergilah, Shof!" kata Fahrudin tegar. "Jika memang ini yang terbaik untuk kita, aku rela melepasmu hingga nanti dan aku akan setia menantimu. Mudah-mudahan cinta berpihak kepadaku dan kelak kau pun menjadi milikku. Hati-hati dan jaga dirimu baik-baik."
"Din, aku berjanji di malam perpisaan kelas tiga nanti aku akan datang untuk menemuimu. Percayalah, cintaku hanya untukmu. Jaga dirimu baik-baik. Belajar yang rajin agar kamu besok lulus dengan membanggakan."
Kalimat-kalimat tegar itu seperti menguras air mata Shofi. Malam pun terhanyut dalam duka. Angin yang berhembus begitu sahdu mengiringi deraian air mata. Sayup-sayup suara burung hantu terdengar di kejauhan yang membuat hati Fahrudin semakin tak karuan.
* * *
Waktu pun cepat berlalu hingga malam perpisahan tiba. Fahrudin makin berbunga-bunga, karena penantian kedatangan peri kecilnya sebentar lagi akan tiba.
Semua siswa-siswi dengan khidmat mengikuti prosesi wisuda. Wajah mereka berbinar-binar. Sebentar lagi mereka akan meninggalkan dunia remaja dan menuju kedewasaan seiring pelepasan mereka dari bangku SLTA. Akan tetapi, tidak dengan Fahrudin. Sejak pagi hari hati dan pikirannya tertuju pada Shofi. Ia tidak sabar untuk bertemu dengan pujaannya. Satu demi satu acara terlewati hingga selesai kemudian dilanjutkan acara non-formal yang lebih meriah. Tanpa terasa jam dinding menunjukkan pukul 24.00. Satu per satu siswa-siswi meninggalkan tempat untuk beristirahat di ruangan lain yang sudah dipersiapkan. Peri kecil pujaan hati Fahrudin belum juga menampakkan wajah manisnya. Namun, Fahrudin tetap setia menunggu seperti selama ini. Sampai jam dinding menunjukkan pukul 01.00 belum ada tanda-tanda kekasihnya dating. Tiba-tiba ada seseorang menghampirinya dan memberikan sepucuk surat tanpa berkata apa-apa. Fahrudin membaca namanya dalam amplop dan dia pun membukanya.
Rabu, 24 Juni
Teruntuk kekasihku tercinta
Assalammu’alaikum
Malam ini bintang bersinar terang. Dengung kumbang di pucuk kelapa menambah romantisnya. Aku kirimkan sepucuk surat untukmu agar kautahu apa yang terjadi selama ini padaku.
Malam ini aku ditemani tarian pena dan deraian air mata yang tak kunjung berhenti membasahi pipiku. Satu pintaku, MAAFKAN AKU, karena telah mengkhianatimu. Aku telah menjadi penghianat cinta kita. Tapi itulah kenyataan. Takdir telah mempermainkan kita. Dan cinta kita mampu dikalahkan oleh harta.
Din…. Malam ini kebahagiaanku telah sirna. Ayahku telah menentukan hidupku. Aku dinikahkan dengan pemuda pilihan ayah. Aku tidak bisa berbuat apa-apa, kecuali sabar dan tawakkal menerimanya; dengan sadar dan tanggung jawab; dengan do’a dan pasrah.
Jalan masih panjang. Raihlah apa yang kau cita-citakan. Aku hanya bisa berharap agar kau tabah menjalani cobaan ini.
Hidup adalah misteri. Apa yang terjadi pada diri kita tak ada seorang pun yang tahu. Sementara apa yang kita hadapi di depan, tak dapat kita raba dan bayangkan sebelumnya. Rencana hanya sebuah rencana. Tapi sutradara alam yang menentukan semuanya. Aku hanya bisa berharap agar suatu saat nanti, kita bisa bersatu di waktu dan tempat yang sama di mana sang pencipta telah mengubah tulisannya dalam buku hariaannya.
wassalam
kekasihmu tercinta
Fahrudin hanya diam serasa tak percaya dengan kenyataan pahit ini. Surat itu seperti petir yang meremukkan hati sang pecinta.
Gelap malam menambah luka Fahrudin yang tetap terdiam. Pertemuan yang dinanti-nantikan selama delapan bulan hanya khayalan dan harapan kosong.
"Shof, salahkah aku terlanjur mengenalmu? Salahkah aku bila kemudian mencintaimu? Pertemuan yang tak pernah kurencanakan yang mengantarkanku pada cinta dan menjadi kekasihmu yang tak pernah kumimpikan. Tetapi, semua telah terjadi. Tuhan telah menulis sebuah cerita tentang kita dalam buku harian-Nya. Cerita tentang itu-itu saja dan sekarang aku harus mengalaminya sendiri. Cerita tentang cinta yang direnggut keserakahan ayahnya."
Malam itu menjadi saksi bagi penantian yang tertunda.
Lamongan, 2007
Seorang pemuda tampan sedang duduk memandang indahnya dedaunan. Ketika itu beberapa bidadari cantik melintas di hadapannya dan mata pemuda itu langsung tertuju pada salah satu dari mereka yang berkerudung merah. Namanya Shofi. Dia ternyata satu sekolah dengan Fahrudin, nama pemuda itu. Setiap hari mereka selalu bertemu dan setiap kali bertemu Fahrudin selalu mengamati peri kecil itu dan mencoba menggapai sayapnya untuk ditempatkan dalam hatinya sebagai seorang pecinta. Seiring bejalannya waktu ia pun jatuh cinta pada Shofi. Rasa itu semakin menggebu dan ia tidak sanggup lagi memendam isi hatinya. Akhirnya, dengan bantuan teman-temannya ia memberanikan diri untuk mengutarakan isi hatinya.
* * *
Pagi itu Fahrudin akan pergi menghadiri undangan perayaan ulang tahun temannya. Sebelumnya dia minta izin kepada teman-temannya yang memang sudah merencanakan semuanya untuk mengajak Shofi menikmati pemandangan laut dengan matahari yang mulai berjalan setapak demi setapak. Mereka berdua meniti butiran pasir disaksikan keong-keong dan ombak yang menari-nari sambil menggelitik kaki mereka.
"Shof, kamu suka ngga' tempat ini?" tanya Fahrudin dengan senyum manis.
Shofi hanya menganggukkan kepala dengan senyum menghias bibirnya.
"Di sini tempat favoritku dan teman-temanku. Di sini pula aku biasa melampiaskan semua amarahku, kesalku, sukaku….. juga cintaku padamu."
"Maksud kamu?!!!" tanya Shofi dengan wajah penuh tanda tanya.
"Shof…. pertama kali bertemu denganmu aku merasakan ada sesuatu di hatiku. Kemudian sesuatu itu berubah menjadi rasa cinta yang tidak dapat kutolak kehadirannya. Pada saat virus cinta menghampiriku, kulihat peri kecil yang menari membangunkanku dari mimpi buruk dan menempatkanku pada taman surga duniaku," ucap Fahrudin dengan penuh perasaan. Dia berhenti sebentar untuk menghela nafas dan melanjutkannya kembali, "Aku ingin memupuk dan membangun rasa cinta ini denganmu dan melewati hari-hari bersamamu seperti bulan dan bintang yang menyinari kegelapan malam."
Peri kecil yang cantik itu terdiam seraya memandangi pasir yang menempel di kakinya.
"Shof, gimana?" tanya Fahrudin penuh harapan.
Peri kecil itu menarik nafas perlahan, "Aku peri kecil dan kau adalah sayap cintaku. Akulah peri kecil yang akan menghuni sangkar emas hatimu."
Fahrudin sangat senang dan bahagia, seakan-akan ia terbang bersama burung-burung dan awan.
* * *
Seperti biasa ayah dan ibu Shofi duduk di ruang tengah.
"Shof, sini nak!" panggil ayahnya. Tidak lama kemudian Shofi sudah duduk di antara kedua orang tuanya. Ayahnya segera memberitahu, "Shof, ayah akan dipindahkan ke Bandung. Kita semua harus pindah dan kamu meneruskan sekolah di sana. Mulai sekarang kamu harus mempersiapkan segalanya."
Shofi tak berkata apapun, sebagaimana selama ini dia tidak pernah membantah apa kata ayahnya. Ia segera pamit dan beranjak ke kamar untuk menumpahkan isi perasaannya.
"Ya Allah apakah ini yang terbaik? Inikah jalan hidupku? Aku tidak bisa membantah perkataan ayah, tapi aku juga tidak bisa hidup tanpa Fahrudin. Bisakah dia mengerti bahwa aku benar-benar mencintainya."
Gadis kecil itu menangis terisak sambil menggenggam selembar foto mereka berdua. Dia meratapi betapa besar cobaan yang menghalangi cinta mereka yang baru dirajut belum setahun.
* * *
Malam bertaburan bintang terang dengan rembulan yang tersenyum menyinari rumput-rumput bergoyang dihembus angin. Fahrudin sedang sendirian di rumahnya.
"Assalamu’alaikum," ucap peri kecil itu di depan pintu rumah kekasihnya.
"Wa’alaikum salam," jawab Fahrudin dengan wajah ceria menyambut kedatangan kekasihnya. "Tumben, Shof, kamu datang. Ayo silakan masuk."
Shofi masuk ke dalam. Mereka saling bicara tentang sekolah dan teman-temannya. Setelah agak lama Shofi berkata, "Din….sebenarnya aku sayang sekali sama kamu. Aku juga sayang pada orang tuaku. Tetapi, aku harus memilih di antara kamu atau orang tuaku. Aku tidak bisa hidup jauh darimu begitu pula aku tidak mungkin berpisah dengan orang tuaku."
Rasanya berat sekali Shofi mengemukakan isi hatinya, namun bagaimanapun dia harus menyatakannya, "Din, orang tuaku akan pindah ke Bandung dan aku harus ikut."
"Ke Bandung?" tanya Fahrudin tidak percaya. "Terus bagaimana denganku?"
"Aku tidak tahu, Din. Dalam hatiku aku tidak bisa jauh dari orang tuaku dan aku harus ikut."
"Iya, aku mengerti. Tapi bagaimana dengan hubungan kita? Apa kita harus mengakhirinya?" terdengar nada yang perih dari ucapan Fahrudin. "Tidak, Shof. Aku tidak sanggup menjalani hidup sendirian tanpamu."
"Din," jawab Shofi. "Aku akan selalu mencintaimu walaupun kita berjauhan. Percayalah aku tidak akan mengkhianatimu, karena cintaku hanya untukmu. Bukankah kita masih dapat berhubungan melalui handphone?"
Air mata Shofi terus bergulir di pipinya meskipun dia berkali-kali mengusapnya. Mata yang indah itu berkaca-kaca.
"Pergilah, Shof!" kata Fahrudin tegar. "Jika memang ini yang terbaik untuk kita, aku rela melepasmu hingga nanti dan aku akan setia menantimu. Mudah-mudahan cinta berpihak kepadaku dan kelak kau pun menjadi milikku. Hati-hati dan jaga dirimu baik-baik."
"Din, aku berjanji di malam perpisaan kelas tiga nanti aku akan datang untuk menemuimu. Percayalah, cintaku hanya untukmu. Jaga dirimu baik-baik. Belajar yang rajin agar kamu besok lulus dengan membanggakan."
Kalimat-kalimat tegar itu seperti menguras air mata Shofi. Malam pun terhanyut dalam duka. Angin yang berhembus begitu sahdu mengiringi deraian air mata. Sayup-sayup suara burung hantu terdengar di kejauhan yang membuat hati Fahrudin semakin tak karuan.
* * *
Waktu pun cepat berlalu hingga malam perpisahan tiba. Fahrudin makin berbunga-bunga, karena penantian kedatangan peri kecilnya sebentar lagi akan tiba.
Semua siswa-siswi dengan khidmat mengikuti prosesi wisuda. Wajah mereka berbinar-binar. Sebentar lagi mereka akan meninggalkan dunia remaja dan menuju kedewasaan seiring pelepasan mereka dari bangku SLTA. Akan tetapi, tidak dengan Fahrudin. Sejak pagi hari hati dan pikirannya tertuju pada Shofi. Ia tidak sabar untuk bertemu dengan pujaannya. Satu demi satu acara terlewati hingga selesai kemudian dilanjutkan acara non-formal yang lebih meriah. Tanpa terasa jam dinding menunjukkan pukul 24.00. Satu per satu siswa-siswi meninggalkan tempat untuk beristirahat di ruangan lain yang sudah dipersiapkan. Peri kecil pujaan hati Fahrudin belum juga menampakkan wajah manisnya. Namun, Fahrudin tetap setia menunggu seperti selama ini. Sampai jam dinding menunjukkan pukul 01.00 belum ada tanda-tanda kekasihnya dating. Tiba-tiba ada seseorang menghampirinya dan memberikan sepucuk surat tanpa berkata apa-apa. Fahrudin membaca namanya dalam amplop dan dia pun membukanya.
Rabu, 24 Juni
Teruntuk kekasihku tercinta
Assalammu’alaikum
Malam ini bintang bersinar terang. Dengung kumbang di pucuk kelapa menambah romantisnya. Aku kirimkan sepucuk surat untukmu agar kautahu apa yang terjadi selama ini padaku.
Malam ini aku ditemani tarian pena dan deraian air mata yang tak kunjung berhenti membasahi pipiku. Satu pintaku, MAAFKAN AKU, karena telah mengkhianatimu. Aku telah menjadi penghianat cinta kita. Tapi itulah kenyataan. Takdir telah mempermainkan kita. Dan cinta kita mampu dikalahkan oleh harta.
Din…. Malam ini kebahagiaanku telah sirna. Ayahku telah menentukan hidupku. Aku dinikahkan dengan pemuda pilihan ayah. Aku tidak bisa berbuat apa-apa, kecuali sabar dan tawakkal menerimanya; dengan sadar dan tanggung jawab; dengan do’a dan pasrah.
Jalan masih panjang. Raihlah apa yang kau cita-citakan. Aku hanya bisa berharap agar kau tabah menjalani cobaan ini.
Hidup adalah misteri. Apa yang terjadi pada diri kita tak ada seorang pun yang tahu. Sementara apa yang kita hadapi di depan, tak dapat kita raba dan bayangkan sebelumnya. Rencana hanya sebuah rencana. Tapi sutradara alam yang menentukan semuanya. Aku hanya bisa berharap agar suatu saat nanti, kita bisa bersatu di waktu dan tempat yang sama di mana sang pencipta telah mengubah tulisannya dalam buku hariaannya.
wassalam
kekasihmu tercinta
Fahrudin hanya diam serasa tak percaya dengan kenyataan pahit ini. Surat itu seperti petir yang meremukkan hati sang pecinta.
Gelap malam menambah luka Fahrudin yang tetap terdiam. Pertemuan yang dinanti-nantikan selama delapan bulan hanya khayalan dan harapan kosong.
"Shof, salahkah aku terlanjur mengenalmu? Salahkah aku bila kemudian mencintaimu? Pertemuan yang tak pernah kurencanakan yang mengantarkanku pada cinta dan menjadi kekasihmu yang tak pernah kumimpikan. Tetapi, semua telah terjadi. Tuhan telah menulis sebuah cerita tentang kita dalam buku harian-Nya. Cerita tentang itu-itu saja dan sekarang aku harus mengalaminya sendiri. Cerita tentang cinta yang direnggut keserakahan ayahnya."
Malam itu menjadi saksi bagi penantian yang tertunda.
Lamongan, 2007
Jumat, 26 September 2008
Derit Pintu yang Berulang
Pikiran Rakyat, 27 Mei 2005
Marhalim Zaini
Dan ia pulang, setelah larut malam.
“Apa kau mengira, aku tak tahu? Bahkan suara langkahmu, dapat kudengar sejak kau mulai masuk gang di ujung kampung.”
Dan ia membuka pintu kamar. Berderit. Padahal ia sedang tidak ingin mendengar suara derit.
“Apa kau menganggap, aku tak pernah ada? Atau mungkin aku hanya seonggok perabot tua, buku berdebu, sebuah album yang tak sengaja terbuka oleh angin, dan terbiar? Atau aku seperti suara derit pintu kamarmu itu?”
Ia mencampakkan tas tangan di atas meja, brak! Membuka jaket, dan melemparkannya di atas ranjang. Ia tidak sedang menginginkan suara lebih keras dari brak!
“O…begitukah jawabanmu? Ya, aku tak sedih mendengarnya. Bahkan yang lebih keras dari itu. Aku ini kan radio tua yang baik, sesuka hatilah tangan untuk memutarnya pada siaran apapun. Sebuah radio, adalah seorang pelayan yang setia, bukan?”
Ia kini telah bertukar pakaian. Pakaian tidur. Ia belum menutup pintu kamar, sebab ia tidak sedang ingin mendengar suara derit yang berulang.
“Baiklah. Aku tak perlu tahu, ke mana kau pergi setiap malam. Tapi rasanya aku ingin tahu, untuk apa kau pulang larut malam?”
Ia keluar dari kamar menuju dapur. Segelas air putih barangkali dapat memberi ia kelegaan yang lain. Malam yang cukup gerah. Apakah hari akan hujan?
“Apakah kau masih tak memiliki satu kalimat saja untukku? Untuk menjawab pertanyaanku?”
Malam sehening ini, satu suara saja dapat menggerakkan sepi. Ia selesai menenggak segelas air putih, seperti selesai menelan sesuatu yang menyempal di tenggorokan.
“Diammu itu, takkan membuat segalanya selesai…”
Padahal ia baru saja selesai menelannya. Ia membuka termos air, menuangkan ke dalam mug yang telah berisi kopi dan sedikit gula. Ada suara denting sendok kecil, beradu.
“Apa kaukira, kopi dapat membuat aku mengerti tentang kelakuanmu, dan memaafkannya?”
Ia berjalan menuju seperangkat kursi rotan tua. Dengarlah, yang paling khas dari rumah panggung ini, derit lantai papan itu, menirukan bunyi setiap langkah kaki manusia, seperti tuts piano yang bernada minor. Biasanya yang paling keras bunyinya, adalah saat kaki berada tepat di atas papan yang rapuh, yang reot, tempat bersarang ribuan rayap. Dan ia berjalan, seperti selalu berada tepat di atas yang reot, di atas yang rapuh. Ia meletakkan kopi panas di atas meja, yang sebenarnya berdebu. Ia sedang tak melirikkan mata atau menolehkan muka ke wajah lelaki tua, beruban, berkacamata, memakai syal, merokok, duduk bersandar seperti seorang juragan yang sekarat. Dan ia berlalu begitu saja. Meninggalkan yang bakal sia-sia.
“Dan nampaknya, kau memang suka melakukan pekerjaan yang sia-sia.”
Ia tahu, bakal sia-sia. Karena ia juga yang memindahkan dari meja, mug yang masih penuh berisi kopi dingin (yang seperti hitam yang beku), setiap pagi. Dan ia melakukan dengan senang hati. Membuang kopi ke tanah (seperti mengembalikan segalanya ke bumi), lalu mencucinya, dan meletakkan semula di rak-rak piring. Sebenarnya ia telah sampai pada satu perasaan bahwa apa yang telah dilakukannya tidaklah sia-sia. Ia merasa puas, saat ia bisa berbuat sesuatu untuk orang lain. Dan itulah ia. Hidup selalu untuk orang lain.
“Aku takkan pernah minum air dari seorang perempuan yang merasa dirinya paling benar, kau pasti tahu itu!”
Ia kembali masuk ke dalam kamar. Dan ia sedang tak ingin mendengar derit pintu yang berulang. Ia merebahkan tubuhnya. Membenarkan letak bantal. Membenarkan rambut panjangnya yang terhimpit badan, dan melemparkannya ke arah dinding di atas kepala. Mengambil guling, dan memeluknya. Apakah ia akan tidur?
“Hmm, aku tahu kau tidak akan pernah bisa tidur. Dan aku takkan pernah membiarkanmu tidur, selama kau masih menjahit mulutmu itu.”
Ia memang tidak pernah bisa tidur. Saat matanya terpejam, pikirannya justru terbangun. Tidur baginya, adalah sebuah pintu yang terbuka. Peristiwa-peristiwa hadir silang sengkarut seperti bayangan-bayangan hitam yang menakutkan. Dan ia selalu tak mampu menutup pintu, sebab ia sudah terlanjur muak mendengar derit pintu.
“Baik, aku tak peduli, kau mau membuka mulut atau tidak. Tapi aku tidak terima kau memperlakukan aku seperti batu. Sudah ratusan malam, kau pergi dan pulang larut. Tak pernah sepatah pun kau pamit padaku.”
Matanya seperti bulatan yang kosong. Ia takut mengatupkannya. Ia masih memeluk guling, seperti memeluk kehampaan. Dan telinganya, terus berdenyut. Apalagi malam sehening ini, selintas suara saja dapat membangunkan sepi.
“Apa kaukira aku tak tahu apa yang kaukerjakan di luar sana? Apa kau menganggap batu yang duduk dalam rumah tua ini, tak punya telinga untuk menangkap isyarat angin? Ini kampung, bukan Jakarta. Apa yang terjadi di ujung tanjung malam ini, malam ini juga kita dapat mengetahuinya. Dan para lelaki itu. Lelaki yang menjeling setiap lewat di depan rumah ini, apakah kaukira aku tak tahu apa makna jelingan itu?”
Telinganya terus berdenyut, seperti ada seekor coro yang terperangkap.
“Dan kau. Kau memang cantik. Masih muda. Satu kapal lelaki pun pasti masih sanggup kaulayani.”
Kini ada beberapa ekor coro lagi yang tiba-tiba menyumpal ke dalam telinganya, menambah denyut.
“Aku memang sudah reot, sama dengan kursi rotan ini. Sudah tak berguna bagi perempuan muda macam kau. Tapi perlu kauingat, bahwa aku pernah menjadi Ayahmu. Menjadi orang tua yang telah membesarkanmu. Kau mestinya harus bersyukur, sebab kau tidak selamanya menjadi gelandangan di perempatan jalan. Aku sudah mengangkat martabatmu!”
Dan menjatuhkannya kembali. Ia hanya bisa menjawabnya dalam hati. Suaranya telah lama hilang. Kini yang tinggal hanya suara hatinya. Dan suara derit pintu yang membuatnya mual, muak, dan miris…
“Dan kau yang menjatuhkannya kembali. Setelah aku reot dan tak mampu memenuhi kebutuhanmu, kau pergi mencari lelaki lain. Kaujual tubuhmu. Kautinggalkan aku dalam rumah terkutuk ini. Apa ini balasanmu?”
Balasan bagi orang yang telah memperkosaku? Denyut telinganya telah kebas, seperti baru saja kemasukan air bah. Ia tak jenak di atas kasur. Tubuhnya seperti dihuni oleh ribuan ular yang mengeliat-geliat. Ia meremas bantal guling, seperti seseorang yang sedang menahan rasa sakit yang nikmat. Dalam kepalanya, ada seorang lelaki yang sedang memainkan daun pintu, memainkan derit pintu…
“Benar, bahwa aku telah menidurimu. Terserah jika kau menganggapnya aku memperkosamu. Dan tersebab itu, istriku kemudian pergi, dan tak kembali. Aku memilihmu dan membiarkan ia pergi dan tak kembali. Tapi apakah tidak setimpal dengan kebaikanku yang memeliharamu sejak seumur jagung? Kini malah kaudiamkan aku. Kaubuang aku secara diam-diam. Kau lari ke dalam pelukan lelaki-lelaki kampung di simpang jalan. Dasar perempuan gembel!”
Dan derit pintu itu terus berulang. Semakin cepat berulang. Tubuhnya menegang, seperti sebatang kayu yang tumbang. Ingatannya membeku pada seraut wajah lelaki yang membuka pintu kamarnya, pada larut malam yang gerimis. Seorang lelaki yang telah ia anggap sebagai pelindungnya, sebagai Ayahnya. Seorang lelaki yang ditinggal pergi istrinya dan tak kembali. Lelaki yang setiap malam duduk di kursi rotan, memandang kepulan asap putih yang keluar dari mulutnya sendiri. Lelaki beruban, berkacamata, dan memakai syal. Lelaki yang mulutnya berbuih, bau belatung…
***
Orang kampung menganggap rumah panggung tua itu berhantu. Jeritan, denting gelas, derak ranjang, dan yang paling jelas derit pintu yang berulang-ulang, adalah suara yang seringkali didengar saat lewat di depan rumah yang terletak di sudut kampung itu. Terlebih, ada di antara mereka, yang melihat sesosok tubuh perempuan setengah tua berpakaian hitam-hitam, yang duduk di tangga rumah sambil menjahit syal. Yang pasti itu bukan sosok seorang perempuan muda. Ada juga yang menyangka, bahwa itu adalah istri yang telah lama pergi, dan kini kembali. Untuk apa ia kembali? Barangkali ia ingin memastikan keadaan suaminya, dan keadaan seorang perempuan muda, yang pernah mereka angkat sebagai anak, sekaligus yang pernah sangat ia benci. Atau, ia sengaja kembali setelah ia menerima kabar tentang kematian misterius yang menimpa suaminya dan anak angkatnya. Keduanya ditemukan oleh penduduk pada suatu pagi, entah pagi yang keberapa setelah kematian mereka, sudah dalam kondisi yang tidak wajar. Lelaki tua itu ditemukan kaku dan membusuk di atas kursi rotan tengah rumah, dengan syal yang terikat erat di batang lehernya. Sementara perempuan muda ditemukan sudah tergantung dalam kamar dengan leher yang terikat selimut. Orang mengira pastilah perempuan itu bunuh diri. Tapi lelaki tua itu. Entahlah.
Sejak itu, keramatlah rumah pangggung tua itu, dengan suara derit pintu yang terus berulang…
***
Pekanbaru, 2005
Marhalim Zaini
Dan ia pulang, setelah larut malam.
“Apa kau mengira, aku tak tahu? Bahkan suara langkahmu, dapat kudengar sejak kau mulai masuk gang di ujung kampung.”
Dan ia membuka pintu kamar. Berderit. Padahal ia sedang tidak ingin mendengar suara derit.
“Apa kau menganggap, aku tak pernah ada? Atau mungkin aku hanya seonggok perabot tua, buku berdebu, sebuah album yang tak sengaja terbuka oleh angin, dan terbiar? Atau aku seperti suara derit pintu kamarmu itu?”
Ia mencampakkan tas tangan di atas meja, brak! Membuka jaket, dan melemparkannya di atas ranjang. Ia tidak sedang menginginkan suara lebih keras dari brak!
“O…begitukah jawabanmu? Ya, aku tak sedih mendengarnya. Bahkan yang lebih keras dari itu. Aku ini kan radio tua yang baik, sesuka hatilah tangan untuk memutarnya pada siaran apapun. Sebuah radio, adalah seorang pelayan yang setia, bukan?”
Ia kini telah bertukar pakaian. Pakaian tidur. Ia belum menutup pintu kamar, sebab ia tidak sedang ingin mendengar suara derit yang berulang.
“Baiklah. Aku tak perlu tahu, ke mana kau pergi setiap malam. Tapi rasanya aku ingin tahu, untuk apa kau pulang larut malam?”
Ia keluar dari kamar menuju dapur. Segelas air putih barangkali dapat memberi ia kelegaan yang lain. Malam yang cukup gerah. Apakah hari akan hujan?
“Apakah kau masih tak memiliki satu kalimat saja untukku? Untuk menjawab pertanyaanku?”
Malam sehening ini, satu suara saja dapat menggerakkan sepi. Ia selesai menenggak segelas air putih, seperti selesai menelan sesuatu yang menyempal di tenggorokan.
“Diammu itu, takkan membuat segalanya selesai…”
Padahal ia baru saja selesai menelannya. Ia membuka termos air, menuangkan ke dalam mug yang telah berisi kopi dan sedikit gula. Ada suara denting sendok kecil, beradu.
“Apa kaukira, kopi dapat membuat aku mengerti tentang kelakuanmu, dan memaafkannya?”
Ia berjalan menuju seperangkat kursi rotan tua. Dengarlah, yang paling khas dari rumah panggung ini, derit lantai papan itu, menirukan bunyi setiap langkah kaki manusia, seperti tuts piano yang bernada minor. Biasanya yang paling keras bunyinya, adalah saat kaki berada tepat di atas papan yang rapuh, yang reot, tempat bersarang ribuan rayap. Dan ia berjalan, seperti selalu berada tepat di atas yang reot, di atas yang rapuh. Ia meletakkan kopi panas di atas meja, yang sebenarnya berdebu. Ia sedang tak melirikkan mata atau menolehkan muka ke wajah lelaki tua, beruban, berkacamata, memakai syal, merokok, duduk bersandar seperti seorang juragan yang sekarat. Dan ia berlalu begitu saja. Meninggalkan yang bakal sia-sia.
“Dan nampaknya, kau memang suka melakukan pekerjaan yang sia-sia.”
Ia tahu, bakal sia-sia. Karena ia juga yang memindahkan dari meja, mug yang masih penuh berisi kopi dingin (yang seperti hitam yang beku), setiap pagi. Dan ia melakukan dengan senang hati. Membuang kopi ke tanah (seperti mengembalikan segalanya ke bumi), lalu mencucinya, dan meletakkan semula di rak-rak piring. Sebenarnya ia telah sampai pada satu perasaan bahwa apa yang telah dilakukannya tidaklah sia-sia. Ia merasa puas, saat ia bisa berbuat sesuatu untuk orang lain. Dan itulah ia. Hidup selalu untuk orang lain.
“Aku takkan pernah minum air dari seorang perempuan yang merasa dirinya paling benar, kau pasti tahu itu!”
Ia kembali masuk ke dalam kamar. Dan ia sedang tak ingin mendengar derit pintu yang berulang. Ia merebahkan tubuhnya. Membenarkan letak bantal. Membenarkan rambut panjangnya yang terhimpit badan, dan melemparkannya ke arah dinding di atas kepala. Mengambil guling, dan memeluknya. Apakah ia akan tidur?
“Hmm, aku tahu kau tidak akan pernah bisa tidur. Dan aku takkan pernah membiarkanmu tidur, selama kau masih menjahit mulutmu itu.”
Ia memang tidak pernah bisa tidur. Saat matanya terpejam, pikirannya justru terbangun. Tidur baginya, adalah sebuah pintu yang terbuka. Peristiwa-peristiwa hadir silang sengkarut seperti bayangan-bayangan hitam yang menakutkan. Dan ia selalu tak mampu menutup pintu, sebab ia sudah terlanjur muak mendengar derit pintu.
“Baik, aku tak peduli, kau mau membuka mulut atau tidak. Tapi aku tidak terima kau memperlakukan aku seperti batu. Sudah ratusan malam, kau pergi dan pulang larut. Tak pernah sepatah pun kau pamit padaku.”
Matanya seperti bulatan yang kosong. Ia takut mengatupkannya. Ia masih memeluk guling, seperti memeluk kehampaan. Dan telinganya, terus berdenyut. Apalagi malam sehening ini, selintas suara saja dapat membangunkan sepi.
“Apa kaukira aku tak tahu apa yang kaukerjakan di luar sana? Apa kau menganggap batu yang duduk dalam rumah tua ini, tak punya telinga untuk menangkap isyarat angin? Ini kampung, bukan Jakarta. Apa yang terjadi di ujung tanjung malam ini, malam ini juga kita dapat mengetahuinya. Dan para lelaki itu. Lelaki yang menjeling setiap lewat di depan rumah ini, apakah kaukira aku tak tahu apa makna jelingan itu?”
Telinganya terus berdenyut, seperti ada seekor coro yang terperangkap.
“Dan kau. Kau memang cantik. Masih muda. Satu kapal lelaki pun pasti masih sanggup kaulayani.”
Kini ada beberapa ekor coro lagi yang tiba-tiba menyumpal ke dalam telinganya, menambah denyut.
“Aku memang sudah reot, sama dengan kursi rotan ini. Sudah tak berguna bagi perempuan muda macam kau. Tapi perlu kauingat, bahwa aku pernah menjadi Ayahmu. Menjadi orang tua yang telah membesarkanmu. Kau mestinya harus bersyukur, sebab kau tidak selamanya menjadi gelandangan di perempatan jalan. Aku sudah mengangkat martabatmu!”
Dan menjatuhkannya kembali. Ia hanya bisa menjawabnya dalam hati. Suaranya telah lama hilang. Kini yang tinggal hanya suara hatinya. Dan suara derit pintu yang membuatnya mual, muak, dan miris…
“Dan kau yang menjatuhkannya kembali. Setelah aku reot dan tak mampu memenuhi kebutuhanmu, kau pergi mencari lelaki lain. Kaujual tubuhmu. Kautinggalkan aku dalam rumah terkutuk ini. Apa ini balasanmu?”
Balasan bagi orang yang telah memperkosaku? Denyut telinganya telah kebas, seperti baru saja kemasukan air bah. Ia tak jenak di atas kasur. Tubuhnya seperti dihuni oleh ribuan ular yang mengeliat-geliat. Ia meremas bantal guling, seperti seseorang yang sedang menahan rasa sakit yang nikmat. Dalam kepalanya, ada seorang lelaki yang sedang memainkan daun pintu, memainkan derit pintu…
“Benar, bahwa aku telah menidurimu. Terserah jika kau menganggapnya aku memperkosamu. Dan tersebab itu, istriku kemudian pergi, dan tak kembali. Aku memilihmu dan membiarkan ia pergi dan tak kembali. Tapi apakah tidak setimpal dengan kebaikanku yang memeliharamu sejak seumur jagung? Kini malah kaudiamkan aku. Kaubuang aku secara diam-diam. Kau lari ke dalam pelukan lelaki-lelaki kampung di simpang jalan. Dasar perempuan gembel!”
Dan derit pintu itu terus berulang. Semakin cepat berulang. Tubuhnya menegang, seperti sebatang kayu yang tumbang. Ingatannya membeku pada seraut wajah lelaki yang membuka pintu kamarnya, pada larut malam yang gerimis. Seorang lelaki yang telah ia anggap sebagai pelindungnya, sebagai Ayahnya. Seorang lelaki yang ditinggal pergi istrinya dan tak kembali. Lelaki yang setiap malam duduk di kursi rotan, memandang kepulan asap putih yang keluar dari mulutnya sendiri. Lelaki beruban, berkacamata, dan memakai syal. Lelaki yang mulutnya berbuih, bau belatung…
***
Orang kampung menganggap rumah panggung tua itu berhantu. Jeritan, denting gelas, derak ranjang, dan yang paling jelas derit pintu yang berulang-ulang, adalah suara yang seringkali didengar saat lewat di depan rumah yang terletak di sudut kampung itu. Terlebih, ada di antara mereka, yang melihat sesosok tubuh perempuan setengah tua berpakaian hitam-hitam, yang duduk di tangga rumah sambil menjahit syal. Yang pasti itu bukan sosok seorang perempuan muda. Ada juga yang menyangka, bahwa itu adalah istri yang telah lama pergi, dan kini kembali. Untuk apa ia kembali? Barangkali ia ingin memastikan keadaan suaminya, dan keadaan seorang perempuan muda, yang pernah mereka angkat sebagai anak, sekaligus yang pernah sangat ia benci. Atau, ia sengaja kembali setelah ia menerima kabar tentang kematian misterius yang menimpa suaminya dan anak angkatnya. Keduanya ditemukan oleh penduduk pada suatu pagi, entah pagi yang keberapa setelah kematian mereka, sudah dalam kondisi yang tidak wajar. Lelaki tua itu ditemukan kaku dan membusuk di atas kursi rotan tengah rumah, dengan syal yang terikat erat di batang lehernya. Sementara perempuan muda ditemukan sudah tergantung dalam kamar dengan leher yang terikat selimut. Orang mengira pastilah perempuan itu bunuh diri. Tapi lelaki tua itu. Entahlah.
Sejak itu, keramatlah rumah pangggung tua itu, dengan suara derit pintu yang terus berulang…
***
Pekanbaru, 2005
Selasa, 23 September 2008
Kisah Cinta Nima
Teguh Winarsho AS
http://www.suarakarya-online.com/
PAGI masih dingin. Embun masih menggantung di dedaunan. Nima membuka pintu rumah majikannya. Ia akan memulai pekerjaannya menyapu halaman rumah itu. Memang masih terlalu pagi. Tidak biasanya ia bekerja sepagi ini. Ada sesuatu yang menganggu pikirannya, beberapa hari terakhir ini. Apa lagi, kalau bukan laki-laki yang baru tinggal di rumah sebelah? Seorang laki-laki muda yang beberapa kali mencuri perhatiannya.
Nima mulai menyapu. Ini pekerjaan rutin setiap hari. Pekerjaan yang membuat tubuhnya tetap kelihatan sehat dan bugar. Tubuh ranum seorang gadis dewasa yang penuh gairah. Tapi rumah sebelah masih sepi. Lampu teras rumah masih menyala. Mungkin laki-laki itu masih tidur. Diam-diam Nima kecewa jika sampai tak ketemu laki-laki itu. Ia sudah telanjur bangun pagi.
Sambil terus menyapu halaman, sesekali Nima memperhatikan rumah sebelah. Berharap pintu rumah sebelah terbuka dan laki-laki itu keluar, seperti biasa mengenakan sarung kotak-kotak dan kaus putih. Nima mendengar selentingan kabar, laki-laki itu tak pernah tidur malam. Begadang dari sore sampai pagi di depan komputer. Laki-laki itu konon seorang penulis. Nima ingin sekali berkenalan dengan laki-laki itu. Atau... ah, mungkin tidak hanya sekadar itu...
Baru satu bulan laki-laki itu menempati rumah sebelah. Sebelumnya rumah itu lama kosong. Nima tidak tahu laki-laki itu tinggal bersama siapa. Hanya sesekali Nima melihat seorang laki-laki setengah baya berperawakan tinggi besar datang ke rumah itu dengan mobil bagus. Kadang laki-laki itu menginap. Tapi yang lebih sering, ia pulang subuh atau tengah malam.
Aha! Laki-laki di rumah sebelah akhirnya keluar. Tak urung Nima gugup dan salah tingkah. Wajahnya mendadak bersemu merah. Laki-laki muda itu membawa cangkir minuman mengepul asap tipis. Sesaat laki-laki itu berhenti di depan pintu, tersenyum menatap Nima lalu menghampiri kursi di teras. Nima membalas senyum laki-laki itu sambil membetulkan ikatan rambutnya. Jantung Nima berdegup keras.
Beberapa hari belakangan ini laki-laki itu sering duduk di kursi teras rumah. Diam-diam Nima menikmati perhatian laki-laki itu pada dirinya. Ia hanya sering merasa tak kuasa menahan gugup dan gemetar tubuhnya. Setidaknya sampai pagi ini, ketika ia masih merasa asing dengan laki-laki itu. Sebab setelah sekian hari laki-laki itu hanya berani menatapnya dari teras rumah, baru dua hari lalu laki-laki itu memberanikan diri menyapa dan mengajak kenalan. Laki-laki itu namanya Irwan. Muda dan tampan.
"Kamu cantik sekali. Siapa namamu?" tanya Irwan setelah mengenalkan namanya. "Nima..." jawab Nima gugup dan pelan. Nima tahu laki-laki di depannya terus menatap dirinya. Tatapannya lembut dan dalam. Membuat Nima semakin gugup ingin cepat-cepat mengakhiri pekerjaannya.
Tapi halaman rumah itu terlalu luas. Ada beberapa pohon besar yang tumbuh di situ membuat halaman cepat kotor. Dedaunan dan ranting kering berserak di mana-mana. Tentu bukan pekerjaan mudah menyulap menjadi bersih dalam waktu singkat. Perlu tenaga ekstra. Tapi tangannya terus gemetar memegang sapu, tak punya tenaga ekstra untuk segera mengakhiri pekerjaannya. Bukan. Bukan karena ia belum sarapan. Ia sudah biasa sarapan di atas pukul sembilan ketika semua pekerjaan selesai dan majikannya berangkat kerja. Itu pun tidak banyak. Ia lebih suka ngemil, makan kue-kue kecil sambil nonton televisi. Laki-laki di teras rumah sebelah itulah yang telah menyedot energi dan perhatiannya.
Esok paginya laki-laki itu sudah duduk di teras rumah. Laki-laki itu langsung menghampiri Nima saat keluar ingin menyapu halaman. Nima sedikit terkejut melihat kemunculan laki-laki itu. Nima berusaha tenang. Tapi tetap saja jantungnya berdebar-debar. Senyum laki-laki itu tampak begitu menawan. Laki-laki itu kembali mengajak ngobrol. Nima menjawab seperlunya dan sesekali mencuri lihat wajah laki-laki itu. Sejak itu Nima sering memikirkan laki-laki itu. Nima bisa merasakan laki-laki itu memberi perhatian lebih pada dirinya.
Tetapi, ah, kadang Nima merasa ragu dengan kesimpulannya. Jangan-jangan itu hanya perasaannya yang berlebihan saja. Sebab laki-laki itu terlalu tampan untuk dirinya. Nima sadar dirinya hanya gadis tamatan SMP. Gadis desa yang baru empat bulan tinggal di Jakarta menjadi pembantu rumah dengan gaji tigaratus limapuluh ribu rupiah setiap bulan. Ya, ya, Nima menyadari semua itu meski ia juga tak bisa membohongi hati kecilnya, ada sesuatu yang menggeliat dan berdesir di hatinya setiap kali berhadapan dengan laki-laki itu.
Tiba-tiba Nima mendengar suara batuk-batuk kecil. Semakin lama semakin keras. Meski tidak melihat, Nima tahu laki-laki itu sedang berjalan menghampirinya. Jantung Nima semakin berdegup kencang. Dahinya berkeringat. Dari tadi Nima memang berharap bisa ketemu laki-laki itu. Tapi entah kenapa begitu ketemu ia tak kuasa menahan gugup.
"Selamat pagi, Nima..." Benar. Laki-laki itu tersenyum menyapa. Kedua tangannya berpegangan pada pagar besi. Wajahnya terlihat bersih dengan kumis tipis di atas bibirnya. Sejurus kemudian laki-laki itu mengeluarkan sebatang rokok lalu menyulutnya. Aroma asap rokok segera mengalir ke hidung Nima.
Sapu di tangan Nima hampir lepas mendengar sapaan laki-laki itu. Jantungnya berdegup lebih kencang dari sebelumnya. Nima ingin membalas, tapi mulutnya tiba-tiba tertutup rapat seperti pintu penjara. Nima terus menyapu sambil menjaga keseimbangan tubuhnya yang entah kenapa tiba-tiba goyah. Tanah yang ia pijak seperti bergelombang tidak rata. Meski begitu Nima berusaha mati-matian untuk tetap tenang, meredam hatinya yang rusuh. Sesekali ia menatap laki-laki itu, ketika pada saat yang sama laki-laki itu juga sedang menatap dirinya. Tatapan keduanya bertemu. Membuat perasaan Nima melambung semakin jauh.
"Saya lihat kamu masih punya banyak waktu luang. Kalau pekerjaamu sudah selesai, maukah kamu membantu pekerjaan di rumah saya? Tidak banyak kok. Paling cuma mengepel lantai, mencuci dan menyetrika baju..." kata Irwan sopan dan ramah. "Lumayan bisa untuk menambah penghasilanmu. Nanti akan saya bicarakan dengan majikanmu, kalau mereka mengizinkan...."
Nima tak membalas ucapan laki-laki itu. Nima terus menyapu. Ia tidak keberatan bekerja di rumah Irwan. Dengan begitu ia malah bisa lebih sering ketemu dengan laki-laki itu. Diam-diam Nima menyesal tadi tak sempat menyisir rambutnya. Membedaki wajahnya. Ah, seperti apakah wajahnya kini? Batin Nima gelisah. Nima berjanji lain kali akan memperhatikan lagi penampilannya. Ia tak mau kelihatan buruk di depan laki-laki itu. Ah...
* * *
ATAS izin majikannya, Nima mulai bekerja di rumah Irwan. Rumah Irwan tampak luas karena tidak banyak perabotan di dalamnya. Rupanya Irwan memang hanya tinggal sendirian di rumah itu. Nima sering heran kenapa Irwan tidak merasa kesepian. Padahal tidak ada temannya yang datang kecuali laki-laki setengah baya berperawakan tinggi besar itu. Laki-laki yang terkesan dingin dan angkuh. Belakangan Nima baru tahu laki-laki itu namanya Reno. Irwan sendiri nyaris tidak pernah keluar rumah karena untuk keperluan makan, ia sudah menggunakan jasa katering.
Hubungan Nima dan Irwan semakin lama semakin dekat. Irwan mulai berani menggoda Nima ketika sedang bekerja. Membuat Nima sering tersipu malu dan merah padam mukanya. Tidak salah jika Nima punya pikiran bahwa Irwan suka dengan dirinya. Nima sendiri sudah lama suka dengan laki-laki itu. Tapi sejauh ini ia hanya memendam perasaannya itu seorang diri.
Suatu hari Irwan menghampiri Nima yang baru selesai menyetrika. Wajah Irwan terlihat tegang. Nima tidak tahu apa yang akan dilakukan Irwan hingga laki-laki itu perlahan-lahan membuka mulutnya mengatakan ingin menikahinya. Nima seperti tidak percaya mendengar ucapan itu. Perasaannya langsung melambung tinggi. Ia tidak hanya akan menjadi pacar Irwan, tapi istrinya! Makanya Nima menurut saja ketika Irwan meraih tubuhnya dibawa ke dalam kamar. Termasuk ketika Irwan mulai melepas pakaiannya satu per satu. Nima benar-benar terlena. Untung, Irwan tidak berbuat lebih dari itu. Laki-laki itu justru menangis dan minta maaf.
Sorenya Nima menyampaikan keinginan Irwan pada majikannya. Majikan Nima tidak keberatan meski mereka masih belum begitu percaya dengan kesungguhan Irwan. Meski tidak kenal dekat dengan Irwan, tapi dari penampilan kesehariannya mereka bisa menilai seperti apa laki-laki itu. Irwan tidak hanya tampan tapi juga berpendidikan. Rasanya tidak masuk akal jika Irwan suka dengan Nima dan bahkan mau menikahinya. Akhirnya Irwan datang sendiri menemui majikan Nima. Kali ini majikan Nima baru percaya.
Beberapa hari kemudian Reno datang ke rumah Irwan. Awalnya mereka ngobrol di ruang tengah sambil nonton televisi. Tapi larut malam keduanya beranjak ke kamar. Bukan untuk tidur. Reno menatap lekat wajah Irwan yang rebahan di atas ranjang. "Jadi kamu serius mau menikah dengan pembantu sebelah?" tanya Reno tiba-tiba.
Irwan menghela nafas berat. "Aku tak punya pilihan. Orang tuaku menuntut agar aku segera menikah."
Reno tak langsung menjawab. Malam terasa sunyi. Hanya detak jam dinding yang terdengar. Reno mengganti lampu kamar menjadi temaram lalu menjatuhkan tubuhnya di samping Irwan. Wajahnya terlihat gelisah dan gusar. "Tapi...."
Belum sempat Reno meneruskan kalimatnya, Irwan lebih dulu memotong. "Kamu tidak usah khawatir. Aku hanya butuh pengakuan orang lain bahwa aku adalah laki-laki normal. Aku menikah seperti orang-orang itu juga menikah. Kamu sendiri punya istri kan? Kenapa aku tidak boleh?" Irwan memiringkan tubuhnya menghadap Reno.
"Aku ngerti. Tapi...." Lagi-lagi Reno tak sempat meneruskan kalimatnya karena tiba-tiba Irwan menutup mulut laki-laki itu dengan jari tangannya. Sesaat keduanya saling tatap dalam hasrat yang terus menggeliat. Sejurus kemudian malam terbadai. Bantal, sprei dan guling berhamburan di lantai.
"Besok aku akan menemui orang tua Nima di kampung untuk melamar..." kata Irwan pelan sambil mengusap peluh di wajahnya.
Malam hening. Sunyi. ***
http://www.suarakarya-online.com/
PAGI masih dingin. Embun masih menggantung di dedaunan. Nima membuka pintu rumah majikannya. Ia akan memulai pekerjaannya menyapu halaman rumah itu. Memang masih terlalu pagi. Tidak biasanya ia bekerja sepagi ini. Ada sesuatu yang menganggu pikirannya, beberapa hari terakhir ini. Apa lagi, kalau bukan laki-laki yang baru tinggal di rumah sebelah? Seorang laki-laki muda yang beberapa kali mencuri perhatiannya.
Nima mulai menyapu. Ini pekerjaan rutin setiap hari. Pekerjaan yang membuat tubuhnya tetap kelihatan sehat dan bugar. Tubuh ranum seorang gadis dewasa yang penuh gairah. Tapi rumah sebelah masih sepi. Lampu teras rumah masih menyala. Mungkin laki-laki itu masih tidur. Diam-diam Nima kecewa jika sampai tak ketemu laki-laki itu. Ia sudah telanjur bangun pagi.
Sambil terus menyapu halaman, sesekali Nima memperhatikan rumah sebelah. Berharap pintu rumah sebelah terbuka dan laki-laki itu keluar, seperti biasa mengenakan sarung kotak-kotak dan kaus putih. Nima mendengar selentingan kabar, laki-laki itu tak pernah tidur malam. Begadang dari sore sampai pagi di depan komputer. Laki-laki itu konon seorang penulis. Nima ingin sekali berkenalan dengan laki-laki itu. Atau... ah, mungkin tidak hanya sekadar itu...
Baru satu bulan laki-laki itu menempati rumah sebelah. Sebelumnya rumah itu lama kosong. Nima tidak tahu laki-laki itu tinggal bersama siapa. Hanya sesekali Nima melihat seorang laki-laki setengah baya berperawakan tinggi besar datang ke rumah itu dengan mobil bagus. Kadang laki-laki itu menginap. Tapi yang lebih sering, ia pulang subuh atau tengah malam.
Aha! Laki-laki di rumah sebelah akhirnya keluar. Tak urung Nima gugup dan salah tingkah. Wajahnya mendadak bersemu merah. Laki-laki muda itu membawa cangkir minuman mengepul asap tipis. Sesaat laki-laki itu berhenti di depan pintu, tersenyum menatap Nima lalu menghampiri kursi di teras. Nima membalas senyum laki-laki itu sambil membetulkan ikatan rambutnya. Jantung Nima berdegup keras.
Beberapa hari belakangan ini laki-laki itu sering duduk di kursi teras rumah. Diam-diam Nima menikmati perhatian laki-laki itu pada dirinya. Ia hanya sering merasa tak kuasa menahan gugup dan gemetar tubuhnya. Setidaknya sampai pagi ini, ketika ia masih merasa asing dengan laki-laki itu. Sebab setelah sekian hari laki-laki itu hanya berani menatapnya dari teras rumah, baru dua hari lalu laki-laki itu memberanikan diri menyapa dan mengajak kenalan. Laki-laki itu namanya Irwan. Muda dan tampan.
"Kamu cantik sekali. Siapa namamu?" tanya Irwan setelah mengenalkan namanya. "Nima..." jawab Nima gugup dan pelan. Nima tahu laki-laki di depannya terus menatap dirinya. Tatapannya lembut dan dalam. Membuat Nima semakin gugup ingin cepat-cepat mengakhiri pekerjaannya.
Tapi halaman rumah itu terlalu luas. Ada beberapa pohon besar yang tumbuh di situ membuat halaman cepat kotor. Dedaunan dan ranting kering berserak di mana-mana. Tentu bukan pekerjaan mudah menyulap menjadi bersih dalam waktu singkat. Perlu tenaga ekstra. Tapi tangannya terus gemetar memegang sapu, tak punya tenaga ekstra untuk segera mengakhiri pekerjaannya. Bukan. Bukan karena ia belum sarapan. Ia sudah biasa sarapan di atas pukul sembilan ketika semua pekerjaan selesai dan majikannya berangkat kerja. Itu pun tidak banyak. Ia lebih suka ngemil, makan kue-kue kecil sambil nonton televisi. Laki-laki di teras rumah sebelah itulah yang telah menyedot energi dan perhatiannya.
Esok paginya laki-laki itu sudah duduk di teras rumah. Laki-laki itu langsung menghampiri Nima saat keluar ingin menyapu halaman. Nima sedikit terkejut melihat kemunculan laki-laki itu. Nima berusaha tenang. Tapi tetap saja jantungnya berdebar-debar. Senyum laki-laki itu tampak begitu menawan. Laki-laki itu kembali mengajak ngobrol. Nima menjawab seperlunya dan sesekali mencuri lihat wajah laki-laki itu. Sejak itu Nima sering memikirkan laki-laki itu. Nima bisa merasakan laki-laki itu memberi perhatian lebih pada dirinya.
Tetapi, ah, kadang Nima merasa ragu dengan kesimpulannya. Jangan-jangan itu hanya perasaannya yang berlebihan saja. Sebab laki-laki itu terlalu tampan untuk dirinya. Nima sadar dirinya hanya gadis tamatan SMP. Gadis desa yang baru empat bulan tinggal di Jakarta menjadi pembantu rumah dengan gaji tigaratus limapuluh ribu rupiah setiap bulan. Ya, ya, Nima menyadari semua itu meski ia juga tak bisa membohongi hati kecilnya, ada sesuatu yang menggeliat dan berdesir di hatinya setiap kali berhadapan dengan laki-laki itu.
Tiba-tiba Nima mendengar suara batuk-batuk kecil. Semakin lama semakin keras. Meski tidak melihat, Nima tahu laki-laki itu sedang berjalan menghampirinya. Jantung Nima semakin berdegup kencang. Dahinya berkeringat. Dari tadi Nima memang berharap bisa ketemu laki-laki itu. Tapi entah kenapa begitu ketemu ia tak kuasa menahan gugup.
"Selamat pagi, Nima..." Benar. Laki-laki itu tersenyum menyapa. Kedua tangannya berpegangan pada pagar besi. Wajahnya terlihat bersih dengan kumis tipis di atas bibirnya. Sejurus kemudian laki-laki itu mengeluarkan sebatang rokok lalu menyulutnya. Aroma asap rokok segera mengalir ke hidung Nima.
Sapu di tangan Nima hampir lepas mendengar sapaan laki-laki itu. Jantungnya berdegup lebih kencang dari sebelumnya. Nima ingin membalas, tapi mulutnya tiba-tiba tertutup rapat seperti pintu penjara. Nima terus menyapu sambil menjaga keseimbangan tubuhnya yang entah kenapa tiba-tiba goyah. Tanah yang ia pijak seperti bergelombang tidak rata. Meski begitu Nima berusaha mati-matian untuk tetap tenang, meredam hatinya yang rusuh. Sesekali ia menatap laki-laki itu, ketika pada saat yang sama laki-laki itu juga sedang menatap dirinya. Tatapan keduanya bertemu. Membuat perasaan Nima melambung semakin jauh.
"Saya lihat kamu masih punya banyak waktu luang. Kalau pekerjaamu sudah selesai, maukah kamu membantu pekerjaan di rumah saya? Tidak banyak kok. Paling cuma mengepel lantai, mencuci dan menyetrika baju..." kata Irwan sopan dan ramah. "Lumayan bisa untuk menambah penghasilanmu. Nanti akan saya bicarakan dengan majikanmu, kalau mereka mengizinkan...."
Nima tak membalas ucapan laki-laki itu. Nima terus menyapu. Ia tidak keberatan bekerja di rumah Irwan. Dengan begitu ia malah bisa lebih sering ketemu dengan laki-laki itu. Diam-diam Nima menyesal tadi tak sempat menyisir rambutnya. Membedaki wajahnya. Ah, seperti apakah wajahnya kini? Batin Nima gelisah. Nima berjanji lain kali akan memperhatikan lagi penampilannya. Ia tak mau kelihatan buruk di depan laki-laki itu. Ah...
* * *
ATAS izin majikannya, Nima mulai bekerja di rumah Irwan. Rumah Irwan tampak luas karena tidak banyak perabotan di dalamnya. Rupanya Irwan memang hanya tinggal sendirian di rumah itu. Nima sering heran kenapa Irwan tidak merasa kesepian. Padahal tidak ada temannya yang datang kecuali laki-laki setengah baya berperawakan tinggi besar itu. Laki-laki yang terkesan dingin dan angkuh. Belakangan Nima baru tahu laki-laki itu namanya Reno. Irwan sendiri nyaris tidak pernah keluar rumah karena untuk keperluan makan, ia sudah menggunakan jasa katering.
Hubungan Nima dan Irwan semakin lama semakin dekat. Irwan mulai berani menggoda Nima ketika sedang bekerja. Membuat Nima sering tersipu malu dan merah padam mukanya. Tidak salah jika Nima punya pikiran bahwa Irwan suka dengan dirinya. Nima sendiri sudah lama suka dengan laki-laki itu. Tapi sejauh ini ia hanya memendam perasaannya itu seorang diri.
Suatu hari Irwan menghampiri Nima yang baru selesai menyetrika. Wajah Irwan terlihat tegang. Nima tidak tahu apa yang akan dilakukan Irwan hingga laki-laki itu perlahan-lahan membuka mulutnya mengatakan ingin menikahinya. Nima seperti tidak percaya mendengar ucapan itu. Perasaannya langsung melambung tinggi. Ia tidak hanya akan menjadi pacar Irwan, tapi istrinya! Makanya Nima menurut saja ketika Irwan meraih tubuhnya dibawa ke dalam kamar. Termasuk ketika Irwan mulai melepas pakaiannya satu per satu. Nima benar-benar terlena. Untung, Irwan tidak berbuat lebih dari itu. Laki-laki itu justru menangis dan minta maaf.
Sorenya Nima menyampaikan keinginan Irwan pada majikannya. Majikan Nima tidak keberatan meski mereka masih belum begitu percaya dengan kesungguhan Irwan. Meski tidak kenal dekat dengan Irwan, tapi dari penampilan kesehariannya mereka bisa menilai seperti apa laki-laki itu. Irwan tidak hanya tampan tapi juga berpendidikan. Rasanya tidak masuk akal jika Irwan suka dengan Nima dan bahkan mau menikahinya. Akhirnya Irwan datang sendiri menemui majikan Nima. Kali ini majikan Nima baru percaya.
Beberapa hari kemudian Reno datang ke rumah Irwan. Awalnya mereka ngobrol di ruang tengah sambil nonton televisi. Tapi larut malam keduanya beranjak ke kamar. Bukan untuk tidur. Reno menatap lekat wajah Irwan yang rebahan di atas ranjang. "Jadi kamu serius mau menikah dengan pembantu sebelah?" tanya Reno tiba-tiba.
Irwan menghela nafas berat. "Aku tak punya pilihan. Orang tuaku menuntut agar aku segera menikah."
Reno tak langsung menjawab. Malam terasa sunyi. Hanya detak jam dinding yang terdengar. Reno mengganti lampu kamar menjadi temaram lalu menjatuhkan tubuhnya di samping Irwan. Wajahnya terlihat gelisah dan gusar. "Tapi...."
Belum sempat Reno meneruskan kalimatnya, Irwan lebih dulu memotong. "Kamu tidak usah khawatir. Aku hanya butuh pengakuan orang lain bahwa aku adalah laki-laki normal. Aku menikah seperti orang-orang itu juga menikah. Kamu sendiri punya istri kan? Kenapa aku tidak boleh?" Irwan memiringkan tubuhnya menghadap Reno.
"Aku ngerti. Tapi...." Lagi-lagi Reno tak sempat meneruskan kalimatnya karena tiba-tiba Irwan menutup mulut laki-laki itu dengan jari tangannya. Sesaat keduanya saling tatap dalam hasrat yang terus menggeliat. Sejurus kemudian malam terbadai. Bantal, sprei dan guling berhamburan di lantai.
"Besok aku akan menemui orang tua Nima di kampung untuk melamar..." kata Irwan pelan sambil mengusap peluh di wajahnya.
Malam hening. Sunyi. ***
Minggu, 21 September 2008
REVOLUSI SUNYI SANG PENYAIR; IQBAL
Nurel Javissyarqi*
Ah, betapa gembira mereka yang hendak memuja apiku!
Tapi aku tak menghendaki telinga zaman sekarang
Akulah suara penyair dari dunia masa depan
Karena zamanku tak pernah memahami maksudku (Iqbal, Rahasia Pribadi).
Di sana, saya melihat betapa malang seorang penyair yang seolah gagal menyuarakan hati nuraninya, dalam kancah usianya mereguk masa melahirkan karya-karya. Sejenis keputusasaan yang menyimpan harapan, entah mimpi bolong atau bergelayutnya awan yang enggan menurunkan hujan. Kala kehidupan membutuhkan seteguk tirta pengusir dahaga di tengah kembaranya.
Tampak jelas penyair itu takkan bisa merangkai kata-kata, memuntahkan isi jiwanya ke dalam lelembaran karya, selain setelah menyetubuhi pengalaman hayatnya. Kesendirianya bukan kedahagaan tanpa guna, serupa pengharapan yang ngambang. Namun sungguh perjuangan itu melahirkannya, meski nampak tidak seberapa, ketika dirinya masih menghirup udara -nyawa.
Sang penyair menuangkan kata-kata, melewati pertimbangan daya simpan, demi masa-masa mendatang –terpenting, sebab takkan sampai hatam waktu memaknai hasratnya. Karena itulah kegagalan masa hidup, kesunyian di saat menjalani kesehariannya, bukanlah tanpa alasan tidak bermakna paripurna. Tetapi ini jalan yang harus ditempuh, kalau menginginkan keabadian kisah hayatnya dikenang sepanjang masa, sejauh kalimah-kalimahnya menyungguhi keyakinan juang.
Sedang yang datang hendak mengenyamnya, mengunyah usianya demi deretan kalimah nilai-nilai kelestarian yang dibangunnya. Seakan embun selalu menghiasi mata fajar, begitu dalam kalbu insan, saat-saat meneguk nuansa nilai yang dihadirkan penyair di setiap malam-malamnya, yang penuh permenungan.
Pada jamannya, melihat sosok penyair laiknya gelandangan tanpa kerjaan, selintas tiada manfaat dirinya, apalagi bagi umat. Namun tidakkah makna jatuh di akhir kalimah, pucuk peristiwa. Dan perasaan itu menghidupkan kalimatnya, hadir lebih nyata, manakala sudah tidak terbebani jasad fana.
Seorang penyair laksana prajurit yang selalu melatih ketangkasan bathin, ketika waktu memanggilnya, ia hadir dengan penuh kesiapaan, mengejawantah jiwanya serupa kalimah tunggal, yang menggerahkan dirinya demi selalu dibahas dikemudian. Ini manfaat, lebih dari sebuah realitas kerja, sebab sudah menjelma energi pergerakan. Ketika kalimah-kalimah yang diutarakan penyair berlesatan, datanglah ruh penunggu kalimah itu seperti bara menyimpan api, sekali tiup menyalakan percik perjuangan.
Siapa yang mampu memahami maksudnya? Sang penyair itu mengutarakan yang terpendam di kala masih bernafas dalam usia ruang-waktu yang sedang dikenyam. Hasratnya sungguh bertubi-tubi melesat tanpa bayangan. Tidakkah kita sadar, mata panah tidak memiliki telinga, tetapi yang mendesing di teling. Matanya melesat ke masa depan, yakni sasaran yang dituju. Dan jarak tempuh yang terlaksana itu dari himpunan nafas-nafas yang disetiai, dirawat melewati nalar merasai. Sehingga dalam lipatan gerak merupakan kesadaran murni, ini lebih jauh dari parade kesadaran, laksana lecutan kilat menghujam, secepat cahaya menembus rambatan udara penciptaan.
Hanya dalam dada penyair
Keindahan dan selubung tabir akan terbuka
(Iqbal, Pesan Bagi Para sastrawan Islam).
Sentakan hebat dari keindahan, berasal dari kelembutan perasaan yang membuka tabir, menyembulkan segala rahasia hayat ke permukaan yang mengagumkan. Kekaguman terbagi dua; yang membawa mati sebuah hasrat sebab tersedot atas apa yang dikagumi. Dan kedua; kekaguman yang semakin meningkatkan suatu kerja, memaknai dengan perasaan wah, yang hadir dengan sendiri sebagaimana kebenaran tanpa suara. Dan saya menempatkan keindahan itu hadir dari sebuah kesunyian pribadi, seperti sapaan dari seorang yang belum kita kenal akrab, dimana tenggang-rasa menempati posisinya sebagi kerahasiaan rasa.
Lewat kelembutan perasaan inilah tabir mulai terbuka, menerobor melewati sela-sela jeruji penjara kesunyian penyair. Iqbal pun berkata dalam lembaran lain, “Gairah penciptaan dia curi dari ruhmu.” Di sini, ia menempati nilai-nilai kehidupannya, semisal makna mendatang. Wajah yang disapa kali ini menemui raut yang sama di lain tempat-waktu perjamuan.
Namun tidakkah perwakilan dari karakter itu lahan di mana penyair mengambil gairah. Bebuah penelitian dari kedekatan yang mengundang ribuan tanya kesunyian. Dan kecurigaan yang tampak itu suatu waktu berbalik menjadi keyakinan, ketika masa-masa ditinggalkan. Sebab manusia takkan mampu berdiam diri tanpa angin sapaan. Maka meski kecurigaan hadir, rindu tetap timbul, kala benar-benar dalam kedamaian, yakni berkah waktu melewati periodenya. Ini kehawatiran yang menghadirkan rindu sebab perasaan ingin diperturutkan. Padahal makna rindu dan hawatir masih remang akan cahaya kepastian, letak masa meminta jatah dimaknai sebagai tempat bekerja.
Kendati selalu terinjak, rumput tak pernah punah
Dan berkali diusapnya kantuk maut dari mata
(Iqbal, Pengingkaran Terhadap Pribadi).
Meskipun bagaimana, ketidakpedulian mereka terhadap kesunyian, rumput tetap hidup dan mereka tak bisa membedakan makna rumput yang berdiri tegak dengan yang ambruk sebab langkah sepatu. Yang jelas kita dapat memetiknya, ia terus hidup takkan punah meski banjir ketidak percayaan atau kemarau penguasa menghabiskan, di suatu waktu tentu berbalik penuh dengan kesegaran jiwa merdeka. Sungguh rerumputan menyungguhi hidupnya, telah siap tidak berdaya mengayomi manusia, namun hewan-gembawa sangat membutuhkannya.
Inilah kekayaan jiwa terambil lewat membungkukkan dirinya, demi mengunyah kesunyian dan makhluk penjaga kantuk atau rerumputan sunyi itu senantiasa tegak di malam segar. Dan angin membisikkan kidungan permai pada telinga wengi, sedangkan manusia takkan mendengarkan nyanyian itu, selain yang mampu membuka tabir seperti merunduknya rerumputan menghadiahkan embun. Embun yang hadir di mata kantuk adalah penjaga kalbu yang tiada wasangka lepas dari kesadaran daun-daun, sampai lidah mentari menghisapnya kembali.
*) Pengelana dari desa Kendal-Kemlagi, Karenggeneng, Lamongan, JaTim.
Ah, betapa gembira mereka yang hendak memuja apiku!
Tapi aku tak menghendaki telinga zaman sekarang
Akulah suara penyair dari dunia masa depan
Karena zamanku tak pernah memahami maksudku (Iqbal, Rahasia Pribadi).
Di sana, saya melihat betapa malang seorang penyair yang seolah gagal menyuarakan hati nuraninya, dalam kancah usianya mereguk masa melahirkan karya-karya. Sejenis keputusasaan yang menyimpan harapan, entah mimpi bolong atau bergelayutnya awan yang enggan menurunkan hujan. Kala kehidupan membutuhkan seteguk tirta pengusir dahaga di tengah kembaranya.
Tampak jelas penyair itu takkan bisa merangkai kata-kata, memuntahkan isi jiwanya ke dalam lelembaran karya, selain setelah menyetubuhi pengalaman hayatnya. Kesendirianya bukan kedahagaan tanpa guna, serupa pengharapan yang ngambang. Namun sungguh perjuangan itu melahirkannya, meski nampak tidak seberapa, ketika dirinya masih menghirup udara -nyawa.
Sang penyair menuangkan kata-kata, melewati pertimbangan daya simpan, demi masa-masa mendatang –terpenting, sebab takkan sampai hatam waktu memaknai hasratnya. Karena itulah kegagalan masa hidup, kesunyian di saat menjalani kesehariannya, bukanlah tanpa alasan tidak bermakna paripurna. Tetapi ini jalan yang harus ditempuh, kalau menginginkan keabadian kisah hayatnya dikenang sepanjang masa, sejauh kalimah-kalimahnya menyungguhi keyakinan juang.
Sedang yang datang hendak mengenyamnya, mengunyah usianya demi deretan kalimah nilai-nilai kelestarian yang dibangunnya. Seakan embun selalu menghiasi mata fajar, begitu dalam kalbu insan, saat-saat meneguk nuansa nilai yang dihadirkan penyair di setiap malam-malamnya, yang penuh permenungan.
Pada jamannya, melihat sosok penyair laiknya gelandangan tanpa kerjaan, selintas tiada manfaat dirinya, apalagi bagi umat. Namun tidakkah makna jatuh di akhir kalimah, pucuk peristiwa. Dan perasaan itu menghidupkan kalimatnya, hadir lebih nyata, manakala sudah tidak terbebani jasad fana.
Seorang penyair laksana prajurit yang selalu melatih ketangkasan bathin, ketika waktu memanggilnya, ia hadir dengan penuh kesiapaan, mengejawantah jiwanya serupa kalimah tunggal, yang menggerahkan dirinya demi selalu dibahas dikemudian. Ini manfaat, lebih dari sebuah realitas kerja, sebab sudah menjelma energi pergerakan. Ketika kalimah-kalimah yang diutarakan penyair berlesatan, datanglah ruh penunggu kalimah itu seperti bara menyimpan api, sekali tiup menyalakan percik perjuangan.
Siapa yang mampu memahami maksudnya? Sang penyair itu mengutarakan yang terpendam di kala masih bernafas dalam usia ruang-waktu yang sedang dikenyam. Hasratnya sungguh bertubi-tubi melesat tanpa bayangan. Tidakkah kita sadar, mata panah tidak memiliki telinga, tetapi yang mendesing di teling. Matanya melesat ke masa depan, yakni sasaran yang dituju. Dan jarak tempuh yang terlaksana itu dari himpunan nafas-nafas yang disetiai, dirawat melewati nalar merasai. Sehingga dalam lipatan gerak merupakan kesadaran murni, ini lebih jauh dari parade kesadaran, laksana lecutan kilat menghujam, secepat cahaya menembus rambatan udara penciptaan.
Hanya dalam dada penyair
Keindahan dan selubung tabir akan terbuka
(Iqbal, Pesan Bagi Para sastrawan Islam).
Sentakan hebat dari keindahan, berasal dari kelembutan perasaan yang membuka tabir, menyembulkan segala rahasia hayat ke permukaan yang mengagumkan. Kekaguman terbagi dua; yang membawa mati sebuah hasrat sebab tersedot atas apa yang dikagumi. Dan kedua; kekaguman yang semakin meningkatkan suatu kerja, memaknai dengan perasaan wah, yang hadir dengan sendiri sebagaimana kebenaran tanpa suara. Dan saya menempatkan keindahan itu hadir dari sebuah kesunyian pribadi, seperti sapaan dari seorang yang belum kita kenal akrab, dimana tenggang-rasa menempati posisinya sebagi kerahasiaan rasa.
Lewat kelembutan perasaan inilah tabir mulai terbuka, menerobor melewati sela-sela jeruji penjara kesunyian penyair. Iqbal pun berkata dalam lembaran lain, “Gairah penciptaan dia curi dari ruhmu.” Di sini, ia menempati nilai-nilai kehidupannya, semisal makna mendatang. Wajah yang disapa kali ini menemui raut yang sama di lain tempat-waktu perjamuan.
Namun tidakkah perwakilan dari karakter itu lahan di mana penyair mengambil gairah. Bebuah penelitian dari kedekatan yang mengundang ribuan tanya kesunyian. Dan kecurigaan yang tampak itu suatu waktu berbalik menjadi keyakinan, ketika masa-masa ditinggalkan. Sebab manusia takkan mampu berdiam diri tanpa angin sapaan. Maka meski kecurigaan hadir, rindu tetap timbul, kala benar-benar dalam kedamaian, yakni berkah waktu melewati periodenya. Ini kehawatiran yang menghadirkan rindu sebab perasaan ingin diperturutkan. Padahal makna rindu dan hawatir masih remang akan cahaya kepastian, letak masa meminta jatah dimaknai sebagai tempat bekerja.
Kendati selalu terinjak, rumput tak pernah punah
Dan berkali diusapnya kantuk maut dari mata
(Iqbal, Pengingkaran Terhadap Pribadi).
Meskipun bagaimana, ketidakpedulian mereka terhadap kesunyian, rumput tetap hidup dan mereka tak bisa membedakan makna rumput yang berdiri tegak dengan yang ambruk sebab langkah sepatu. Yang jelas kita dapat memetiknya, ia terus hidup takkan punah meski banjir ketidak percayaan atau kemarau penguasa menghabiskan, di suatu waktu tentu berbalik penuh dengan kesegaran jiwa merdeka. Sungguh rerumputan menyungguhi hidupnya, telah siap tidak berdaya mengayomi manusia, namun hewan-gembawa sangat membutuhkannya.
Inilah kekayaan jiwa terambil lewat membungkukkan dirinya, demi mengunyah kesunyian dan makhluk penjaga kantuk atau rerumputan sunyi itu senantiasa tegak di malam segar. Dan angin membisikkan kidungan permai pada telinga wengi, sedangkan manusia takkan mendengarkan nyanyian itu, selain yang mampu membuka tabir seperti merunduknya rerumputan menghadiahkan embun. Embun yang hadir di mata kantuk adalah penjaga kalbu yang tiada wasangka lepas dari kesadaran daun-daun, sampai lidah mentari menghisapnya kembali.
*) Pengelana dari desa Kendal-Kemlagi, Karenggeneng, Lamongan, JaTim.
Kuduk
Jurnal Nasional, 21 Sep 2008
Arie MP Tamba
Apa ukuran sebuah puisi yang berhasil? Bila Anda tanyakan ini kepada penyair Acep Zam Zam Noor, maka jawabnya sederhana. ”Sajak itu membuat bulu kuduk saya berdiri!” begitulah kata Acep, yang telah disampaikannya berkali-kali dalam berbagai forum. Hingga, Acep Zam Zam Noor kemudian, di antara teman-temannya penyair, acap kali disindir sebagai penyair ’bulu kuduk’.
Tapi masalah ’bulu kuduk’ ini ternyata mendapat perhatian serius dari Dr Mikihiro Moriyama, yang memberikan kata pengantar untuk buku kumpulan puisi Acep yang mendapatkan penghargaan Khatulistiwa Award 2007, Menjadi Penyair Lagi. Dari uraian Moriyama, jelas bahwa persoalan ’bulu kuduk’ yang meremang saat membaca puisi, dan juga mencipta puisi bagi Acep – tidaklah dimaksudkan untuk ’lucu-lucuan’.
Sebab pemilihan ungkapan ’meremangnya bulu kuduk’ si penyair, ketika menciptakan atau membaca puisi yang bagus, bisa juga ditafsirkan sebagai penjelasan atas beroperasinya subyektivitas seorang pencipta (dan pembaca) ketika berhadapan dengan sebuah puisi. Artinya: jawaban Acep hanya ingin menggarisbawahi maksimalnya subyektivitas dalam penciptaan dan pemaknaan puisi, dengan kata-kata sederhana. Sebagaimana ditegaskan berulang-ulang, oleh para kritikus sastra posmodernis, tentang kemerdekaan penciptaan yang juga melahirkan kebebasan setiap pembacaan.
Dan kemampuan penyair Acep Zam Zam Noor, yang paling menyolok, menurut saya adalah: menyampaikan perenungan mendalam tentang kehidupan, dengan menggunakan metafora alam yang diakrabinya – dalam rangkaian diksi sederhana. Ia begitu piawai menyosokkan refleksi bathinnya, melalui bahasa alam, dan seluruhnya terbujur, tergambar, secara gamblang dan panoramik, dalam hamparan pemandangan alam yang indah.
Simaklah puisi-puisinya yang terkumpul Di Atas Umbria (1999). Salah satu kumpulan puisi Acep yang paling berhasil menurut saya, selain Menjadi Penyair Lagi. Dan salah satu puisi yang saya suka dari Di Atas Umbria adalah:
ULUWATU
Karang-karang terjal menopang keagungan
Dari setiap penjuru angin
Jauh di bawahnya ombak bergelora
Ketika suara gamelan, bersimpuh pada keremangan
Ketika gadis-gadis berkebaya, dengan bunga di telinga
Dengan butir-butir beras di keningnya
Dengan sesaji di tangannya
Berkelebat menguraikan beribu gerak
Di bawah redupnya cahaya matahari
Di kaki langit yang kabur garis batasnya
Kulihat burung-burung mengambang
Kilihat lambaian hijau pohon-pohon kelapa
Kulihat lengkung pantai yang menyisir tepi bumi
Semuanya seperti isyarat dan jawaban
Ketika sunyi bertahta di atas air
Di atas pasir
Ketika biru dan gelap bersahut-sahutan
Di bukit para dewa
Yang ditopang karang-karang terjal itu
Sulur-sulur pohon khusyuk berdoa
Bunga-bunga melepaskan wanginya ke udara
Gamelan sorga meletakkan suaranya di tanah
Gadis-gadis menitipkan gerak dan senyumnya
Pada angin dan guguran daun
Sedang di langit, rakit bintang-bintang mulai berlayar
Malah telah menyempurnakan sunyi
Menjadi sebuah kerajaan
Puisi ini, meski kompleks dengan unsur alam yang dipaparkan melalui satu tangkapan mata yang terus bergerak, tersuguh secara sugestif dan memesona. Hal ini hanya dimungkinkan, oleh kedekatan si penyair dengan berbagai anasir alam itu sendiri, seperti angin, ombak, langit, bintang, pasir, pantai, bumi, pohon-pohon, dll. Hingga, ia begitu mudah ’menangkap’ semuanya itu sebagai rangkaian kehidupan yang dicermati si penyair.
Melalui puisi Uluwatu ini, setiap kali saya serasa terus-terusan menemukan "Bali” yang mendapatkan pengayaan makna secara berkelanjutan. Dalam puisi ini, Acep begitu terampil menyusun lanskap alam sebagai landasan mengisyaratkan makna-makna kehidupan yang teronggok di alam itu sendiri – sebagai potensi pemaknaan. Yang tentu saja, hanya dapat diraih dengan intuisi dan intelektualitas yang dioperasikan Acep.
Kulihat lengkung pantai yang menyisir tepi bumi
Semuanya seperti isyarat dan jawaban
Sublim dan mendedahkan kesungguhan dalam mengimani Tuhan! Tak heran, bila beberapa kritikus menyebutkan Acep juga penyair yang memiliki kedekatan pemikiran dengan para penyair sufistik. Sebab, para penyair sufistik pun sama-sama menjadikan alam sebagai ’bahasa bantuan’ – untuk ikut menyosokkan nilai-nilai ketuhanan – yang diyakini dan setiap kali ingin disegarkan dalam pengalaman puitika.
Dalam hal ini, pendekatan biografis yang semakin jarang digunakan dalam apresiasi sastra, boleh jadi cukup jitu menjelaskan puisi-puisi Acep. Sebagai seorang penyair, yang lahir dan dewasa di likungan pesantren dan pedesaan Jawa Barat – saya menduga – Acep selalu gembira dengan alam pedusunan yang dikaruniakan kepadanya. Dan sampai sekarang, ia enggan meninggalkannya – bahkan dari puisinya.
Arie MP Tamba
Apa ukuran sebuah puisi yang berhasil? Bila Anda tanyakan ini kepada penyair Acep Zam Zam Noor, maka jawabnya sederhana. ”Sajak itu membuat bulu kuduk saya berdiri!” begitulah kata Acep, yang telah disampaikannya berkali-kali dalam berbagai forum. Hingga, Acep Zam Zam Noor kemudian, di antara teman-temannya penyair, acap kali disindir sebagai penyair ’bulu kuduk’.
Tapi masalah ’bulu kuduk’ ini ternyata mendapat perhatian serius dari Dr Mikihiro Moriyama, yang memberikan kata pengantar untuk buku kumpulan puisi Acep yang mendapatkan penghargaan Khatulistiwa Award 2007, Menjadi Penyair Lagi. Dari uraian Moriyama, jelas bahwa persoalan ’bulu kuduk’ yang meremang saat membaca puisi, dan juga mencipta puisi bagi Acep – tidaklah dimaksudkan untuk ’lucu-lucuan’.
Sebab pemilihan ungkapan ’meremangnya bulu kuduk’ si penyair, ketika menciptakan atau membaca puisi yang bagus, bisa juga ditafsirkan sebagai penjelasan atas beroperasinya subyektivitas seorang pencipta (dan pembaca) ketika berhadapan dengan sebuah puisi. Artinya: jawaban Acep hanya ingin menggarisbawahi maksimalnya subyektivitas dalam penciptaan dan pemaknaan puisi, dengan kata-kata sederhana. Sebagaimana ditegaskan berulang-ulang, oleh para kritikus sastra posmodernis, tentang kemerdekaan penciptaan yang juga melahirkan kebebasan setiap pembacaan.
Dan kemampuan penyair Acep Zam Zam Noor, yang paling menyolok, menurut saya adalah: menyampaikan perenungan mendalam tentang kehidupan, dengan menggunakan metafora alam yang diakrabinya – dalam rangkaian diksi sederhana. Ia begitu piawai menyosokkan refleksi bathinnya, melalui bahasa alam, dan seluruhnya terbujur, tergambar, secara gamblang dan panoramik, dalam hamparan pemandangan alam yang indah.
Simaklah puisi-puisinya yang terkumpul Di Atas Umbria (1999). Salah satu kumpulan puisi Acep yang paling berhasil menurut saya, selain Menjadi Penyair Lagi. Dan salah satu puisi yang saya suka dari Di Atas Umbria adalah:
ULUWATU
Karang-karang terjal menopang keagungan
Dari setiap penjuru angin
Jauh di bawahnya ombak bergelora
Ketika suara gamelan, bersimpuh pada keremangan
Ketika gadis-gadis berkebaya, dengan bunga di telinga
Dengan butir-butir beras di keningnya
Dengan sesaji di tangannya
Berkelebat menguraikan beribu gerak
Di bawah redupnya cahaya matahari
Di kaki langit yang kabur garis batasnya
Kulihat burung-burung mengambang
Kilihat lambaian hijau pohon-pohon kelapa
Kulihat lengkung pantai yang menyisir tepi bumi
Semuanya seperti isyarat dan jawaban
Ketika sunyi bertahta di atas air
Di atas pasir
Ketika biru dan gelap bersahut-sahutan
Di bukit para dewa
Yang ditopang karang-karang terjal itu
Sulur-sulur pohon khusyuk berdoa
Bunga-bunga melepaskan wanginya ke udara
Gamelan sorga meletakkan suaranya di tanah
Gadis-gadis menitipkan gerak dan senyumnya
Pada angin dan guguran daun
Sedang di langit, rakit bintang-bintang mulai berlayar
Malah telah menyempurnakan sunyi
Menjadi sebuah kerajaan
Puisi ini, meski kompleks dengan unsur alam yang dipaparkan melalui satu tangkapan mata yang terus bergerak, tersuguh secara sugestif dan memesona. Hal ini hanya dimungkinkan, oleh kedekatan si penyair dengan berbagai anasir alam itu sendiri, seperti angin, ombak, langit, bintang, pasir, pantai, bumi, pohon-pohon, dll. Hingga, ia begitu mudah ’menangkap’ semuanya itu sebagai rangkaian kehidupan yang dicermati si penyair.
Melalui puisi Uluwatu ini, setiap kali saya serasa terus-terusan menemukan "Bali” yang mendapatkan pengayaan makna secara berkelanjutan. Dalam puisi ini, Acep begitu terampil menyusun lanskap alam sebagai landasan mengisyaratkan makna-makna kehidupan yang teronggok di alam itu sendiri – sebagai potensi pemaknaan. Yang tentu saja, hanya dapat diraih dengan intuisi dan intelektualitas yang dioperasikan Acep.
Kulihat lengkung pantai yang menyisir tepi bumi
Semuanya seperti isyarat dan jawaban
Sublim dan mendedahkan kesungguhan dalam mengimani Tuhan! Tak heran, bila beberapa kritikus menyebutkan Acep juga penyair yang memiliki kedekatan pemikiran dengan para penyair sufistik. Sebab, para penyair sufistik pun sama-sama menjadikan alam sebagai ’bahasa bantuan’ – untuk ikut menyosokkan nilai-nilai ketuhanan – yang diyakini dan setiap kali ingin disegarkan dalam pengalaman puitika.
Dalam hal ini, pendekatan biografis yang semakin jarang digunakan dalam apresiasi sastra, boleh jadi cukup jitu menjelaskan puisi-puisi Acep. Sebagai seorang penyair, yang lahir dan dewasa di likungan pesantren dan pedesaan Jawa Barat – saya menduga – Acep selalu gembira dengan alam pedusunan yang dikaruniakan kepadanya. Dan sampai sekarang, ia enggan meninggalkannya – bahkan dari puisinya.
Jumat, 19 September 2008
OUR STYLE
Aini Aviena Violeta
Pagi itu sungguh indah. Matahari bersinar dengan cantiknya. Angin pun berhembus lembut. Burung burung berlompatan dengan riang. Sekerumunan anak-anak perempuan berpakaian seragam tak ingin kalah dengan meledakkan tawa yang dahsyaaat, mereka menyambut pagi dengan super hueboh di kantin sekolah. Empat gadis ter-usil di sekolah menghabiskan waktu senggangnya dengan gossip-gossip panas dan humor-humor gila.
Alexa anak tajir itu mengawali pembicaraan.
“Eh tau ga’ tadi malam gue habis dibeliin nyokap gue berlian harganya…”
“Berapa Xa harganya? Bagus ga’? Terus beli di mana? Aku boleh lihat ga’? Terus kapan ke rumahmu?”
“Stop, stop, stop, stop, Chintia yang super cerewet, gimana gue bisa ngejawab. Pertanyaan loe aja ga’ bisa diitung pake jari.” Sungut Alexa sambil memajukan bibir mungilnya 1 cm.
“Oke, gue jawab pertanyaan loe. Tapi satu aja ya, harga berlian gue 575.000.000,00.”
Nien yang sedang asyik berkutat dengan Kahlil Gibran pujangga favoritnya tersentak kaget.
“Ha…?! 575.000.000,00 hanya untuk sebuah berlian? Bayangkan, uang segitu banyak, bisa buat beli ratusan buku Kahlil Gibran.” Nien mengerutkan keningnya.
“Dari pada 575.000.000,00 buat berlian atau Kahlil Gibran, mending buat beli bola.” Si tomboy yang gibol tersenyum puas, di sertai dengan sorak sorai temannya .
“Huuu… huuuuu…”
Alexa yang tajir and manis, Chintia yang super cerewet namun cerdas, Nien sang puitis, dan Lunnar yang gibol banget, menurut mereka perbedaan itu bukan menjadi permasalahan, tapi bagi mereka perbedaan menjadi kebahagiaan dan warna-warna tersendiri dalam kehidupan mereka.
Bel berbunyi. Kantin yang semula padat penduduk kini sepi pengunjung. Gank Style yang tadinya asyik ngobrol segera meluncur menuju kelas mereka. Waktunya Al-Qur’an Hadits, pelajaran yang paling di takuti oleh Gank Style.
“Lagi lagi Pak Ishaq, guru aneh dan nyebelin.” Batin Alexa jengkel.
“Asssalamu’alaikum”
Semua mata terbelalak. Sebagian murid ada yang mengucek ucek matanya seolah memastikan. Suasana pun hening. Tak ada seorang pun yang menjawab salam itu.
“Assalamu’alaikum” salam itu terulang kembali oleh sosok pria berpeci. Semua murid masih bingung. “Selamat pagi anak-anak. Perkenalkan, saya pak Ahkam guru baru yang akan menggantikan pak Ishaq beberapa hari ini.”
Semua murid mengangguk angguk mengerti. Lalu setelah basa basi sebentar, pak Ahkam melantunkan ayat-ayat suci Al-Qur’an. Semua mata masih terpana. Mereka kagum akan ketampanannya, kesopanannya, serta kewibawaannya. Suasana menjadi hening ketika suara merdu Pak Ahkam melantunkan beberapa ayat suci Al-Qur’an. Burung-burung dan pucuk- pucuk dedaunan seolah ikut hanyut dalam keheningan lantunan ayat-ayat nan suci itu; bagaikan masuk ke seluruh aliran darah meruntuhkan dinding-dinding kesombongan dan kecongkakan. Alexa tak mampu lagi menahan air matanya.
Tanpa terasa jarum jam menunjukkan pukul 08.00. “صدق الله العظيم” Kalimat itu mengakhiri pertemuan perdana Pak Ahkam dengan anak-anak didiknya. Sosok itu pun menghilang dari balik pintu. Satu menit kemudian tangisan Alexa beserta Gank Style meledak histeris entah apa sebab musababnya. Murid-murid yang lain hanya melongo, menyaksikan kejadian langkah itu.
***
Matahari belum terlalu tinggi, ketika Gank Style seperti biasa pergi ke rumah Alexa untuk melihat koleksi berlian yang ia punya. Mereka juga berdandan khas mereka sendiri. Nien dengan sweater manis. Chintia dengan blus warna putih. Lunnar dengan gaya khasnya, kaos sepak bola dan celana pendek selalu menemani hari-harinya.
“Tok… tok… tok…” Chintia mengetuk pintu depan rumah Alexa. Sambil menunggu Alexa untuk segera membuka pintu, Chintia bertanya pada dirinya sendiri.
“Nanti Alexa pake’ baju apa yach ? ”
“Pasti baju baru yang mahal-mahal dech! ” sahut Nien yang dari tadi mengusap-usap buku Kahlil Gibran yang baru saja jatuh.
“And gaul pastinya.” lanjut Chintia.
“Ya iya lah…! Kita kan Gank Style. Ga’ pernah ketinggalan zaman.” tambah lunar.
“Tok… tok… tok…” Tangan Chintia tanpa malas mengetuk ketuk pintu. Batin Chintia akhirnya jengkel juga.
“Alexaaa…! Bukain dong.” Chintia dan Lunnar memanggil Alexa.
Tiba tiba pintu terbuka. Seorang gadis anggun dengan senyum lebarnya yang manis berdiri tepat di ambang pintu.
Ya!!! Itu Alexa!
Dia tampak lebih anggun dengan balutan busana muslim yang menutup rapat aurat yang selalu diumbarnya.
“Haa…!?” Nien, Lunnar dan Chintia berteriak hampir bersamaan.
“Assalamu’alaikum.” Alexa mengucapkan salam. Tapi Lunnar masih melongo. Nien masih mengucek-ucek matanya. Dan Chintia tak berbicara sepatah kata pun.
“Assalamu’alaikum.”
Alexa menunggu jawaban dari teman temannya. Alexa pun mengingatkan mereka.
“Hey...! jawab salam itu hukumnya wajib loh!” Bibir mereka mulai terbuka.
“Wa...’a...la...i...kumm... ssa...lam ”. Mereka semua menjawab salam Alexa meskipun dengan terbata bata.
“Elo kok berubah banget sih?” Tanya Nien sambil garuk garuk kepala.
“Jangan jangan elo berubah 100% gara-gara guru baru itu? yang namanya!?”
Mereka bertiga berpikir keras.
“Pak Ahkaaam!!!” teriak Nien dan kawan-kawan serentak.
“Astaghfirullah, kalian jangan su’udhon gitu dong. Gue cuma ingin menutup aurat. Bukankah menutup aurat itu kewajiban bagi setiap ummat Rasulullah? Dan ini adalah perintah Allah kan?” Alexa bertausiyah di depan teman temannya.
“Tapi kok nggak dari dulu sih berubahnya?” Tanya Chintia dengan muka nano-nano; asam manis asin.
“Seharusnya sih pengen cepet-cepet. Tapi gue masih ragu. Tapi setelah gue coba ternyata wanita lebih anggun jika menutup auratnya serta mengubah perilakunya menjadi orang yang sholihah.” terang Alexa. Kawan-kawannya mengangguk seakan mengerti.
“Oh ya, masuk dulu yuk ....! ”
Alexa mempersilahkan teman-temannya masuk ke dalam rumah mewahnya. Mata ketiga gadis itu terbelalak lagi ketika melihat suasana rumah Alexa yang berubah 90 drajat. Berbeda sekali dengan seminggu lalu ketika mereka bertandang.
Dulu di setiap sudut rumah lukisan-lukisan karya pelukis ternama terpampang. Tapi sekarang, lafal-lafal kaligrafi menghiasi seluruh sudut rumah Alexa.
Mungkin bukan hanya penampilan Alexa, rumah Alexa ataupun sikap Alexa yang berubah. Tapi hati Alexa juga. Lunar merenungi segala perbuatannya. Ia teringat kejadian tiga minggu yang lalu. Kejadian yang membuatnya merasa sangat bersalah, yaitu ketika Ia melempar bola tepat di kepala Pak Ishaq lantaran Lunar di hukum karena tidak mengerjakan PR.
Hati ketiga gadis itu luluh lantah, mereka ingin merubah diri mereka masing-masing agar menjadi lebih baik.
***
Keesokan harinya.
Jarum jam telah menunjukkan pukul 06.30. Biasanya jam segini Gank Style udah nongkrong di kantin atau kalo nggak gitu, keisengan jadi kegiatan ekstrakulikuler mereka. Dan sudah menjadi rutinitas bagi Gank Style…! Jam-jam masuk sekolah adalah saat-saat tebar pesona. Para murid seperti biasa berjajar dan berbaris menunggu Gank terpopuler itu. Sekedar menghilangkan bosan atau sekadar pengen tau apa yang bakal dilakukan Gank Style. Cowok cowok juga menunggu-nunggu Gank Style lewat tepat di hadapannya. Mereka menuturkan, para anggota Gank Style yang cantik-cantik dan sexy mampu mencuci mata sampai puas.
Suara tapak kaki mulai mendekat. Suara itu makin keras. Semua murid pasang mata. Mereka udah yakin kalon ini suara tapak kaki dari 4 gadis Gank Style. Murid-murid terbelalak. Ada yang garuk-garuk kepala, geleng-geleng kepala, mengelus dada bahkan ada yang sempat sempatnya jatuh pingsan.
Gank Style yang biasanya berpakaian ketat nan sexy kini telah terbalut dengan busana muslim. Kini Gank Style telah berganti menjadi Gank Piety .
Subhanallah...**
Lamongan, 2008
Pagi itu sungguh indah. Matahari bersinar dengan cantiknya. Angin pun berhembus lembut. Burung burung berlompatan dengan riang. Sekerumunan anak-anak perempuan berpakaian seragam tak ingin kalah dengan meledakkan tawa yang dahsyaaat, mereka menyambut pagi dengan super hueboh di kantin sekolah. Empat gadis ter-usil di sekolah menghabiskan waktu senggangnya dengan gossip-gossip panas dan humor-humor gila.
Alexa anak tajir itu mengawali pembicaraan.
“Eh tau ga’ tadi malam gue habis dibeliin nyokap gue berlian harganya…”
“Berapa Xa harganya? Bagus ga’? Terus beli di mana? Aku boleh lihat ga’? Terus kapan ke rumahmu?”
“Stop, stop, stop, stop, Chintia yang super cerewet, gimana gue bisa ngejawab. Pertanyaan loe aja ga’ bisa diitung pake jari.” Sungut Alexa sambil memajukan bibir mungilnya 1 cm.
“Oke, gue jawab pertanyaan loe. Tapi satu aja ya, harga berlian gue 575.000.000,00.”
Nien yang sedang asyik berkutat dengan Kahlil Gibran pujangga favoritnya tersentak kaget.
“Ha…?! 575.000.000,00 hanya untuk sebuah berlian? Bayangkan, uang segitu banyak, bisa buat beli ratusan buku Kahlil Gibran.” Nien mengerutkan keningnya.
“Dari pada 575.000.000,00 buat berlian atau Kahlil Gibran, mending buat beli bola.” Si tomboy yang gibol tersenyum puas, di sertai dengan sorak sorai temannya .
“Huuu… huuuuu…”
Alexa yang tajir and manis, Chintia yang super cerewet namun cerdas, Nien sang puitis, dan Lunnar yang gibol banget, menurut mereka perbedaan itu bukan menjadi permasalahan, tapi bagi mereka perbedaan menjadi kebahagiaan dan warna-warna tersendiri dalam kehidupan mereka.
Bel berbunyi. Kantin yang semula padat penduduk kini sepi pengunjung. Gank Style yang tadinya asyik ngobrol segera meluncur menuju kelas mereka. Waktunya Al-Qur’an Hadits, pelajaran yang paling di takuti oleh Gank Style.
“Lagi lagi Pak Ishaq, guru aneh dan nyebelin.” Batin Alexa jengkel.
“Asssalamu’alaikum”
Semua mata terbelalak. Sebagian murid ada yang mengucek ucek matanya seolah memastikan. Suasana pun hening. Tak ada seorang pun yang menjawab salam itu.
“Assalamu’alaikum” salam itu terulang kembali oleh sosok pria berpeci. Semua murid masih bingung. “Selamat pagi anak-anak. Perkenalkan, saya pak Ahkam guru baru yang akan menggantikan pak Ishaq beberapa hari ini.”
Semua murid mengangguk angguk mengerti. Lalu setelah basa basi sebentar, pak Ahkam melantunkan ayat-ayat suci Al-Qur’an. Semua mata masih terpana. Mereka kagum akan ketampanannya, kesopanannya, serta kewibawaannya. Suasana menjadi hening ketika suara merdu Pak Ahkam melantunkan beberapa ayat suci Al-Qur’an. Burung-burung dan pucuk- pucuk dedaunan seolah ikut hanyut dalam keheningan lantunan ayat-ayat nan suci itu; bagaikan masuk ke seluruh aliran darah meruntuhkan dinding-dinding kesombongan dan kecongkakan. Alexa tak mampu lagi menahan air matanya.
Tanpa terasa jarum jam menunjukkan pukul 08.00. “صدق الله العظيم” Kalimat itu mengakhiri pertemuan perdana Pak Ahkam dengan anak-anak didiknya. Sosok itu pun menghilang dari balik pintu. Satu menit kemudian tangisan Alexa beserta Gank Style meledak histeris entah apa sebab musababnya. Murid-murid yang lain hanya melongo, menyaksikan kejadian langkah itu.
***
Matahari belum terlalu tinggi, ketika Gank Style seperti biasa pergi ke rumah Alexa untuk melihat koleksi berlian yang ia punya. Mereka juga berdandan khas mereka sendiri. Nien dengan sweater manis. Chintia dengan blus warna putih. Lunnar dengan gaya khasnya, kaos sepak bola dan celana pendek selalu menemani hari-harinya.
“Tok… tok… tok…” Chintia mengetuk pintu depan rumah Alexa. Sambil menunggu Alexa untuk segera membuka pintu, Chintia bertanya pada dirinya sendiri.
“Nanti Alexa pake’ baju apa yach ? ”
“Pasti baju baru yang mahal-mahal dech! ” sahut Nien yang dari tadi mengusap-usap buku Kahlil Gibran yang baru saja jatuh.
“And gaul pastinya.” lanjut Chintia.
“Ya iya lah…! Kita kan Gank Style. Ga’ pernah ketinggalan zaman.” tambah lunar.
“Tok… tok… tok…” Tangan Chintia tanpa malas mengetuk ketuk pintu. Batin Chintia akhirnya jengkel juga.
“Alexaaa…! Bukain dong.” Chintia dan Lunnar memanggil Alexa.
Tiba tiba pintu terbuka. Seorang gadis anggun dengan senyum lebarnya yang manis berdiri tepat di ambang pintu.
Ya!!! Itu Alexa!
Dia tampak lebih anggun dengan balutan busana muslim yang menutup rapat aurat yang selalu diumbarnya.
“Haa…!?” Nien, Lunnar dan Chintia berteriak hampir bersamaan.
“Assalamu’alaikum.” Alexa mengucapkan salam. Tapi Lunnar masih melongo. Nien masih mengucek-ucek matanya. Dan Chintia tak berbicara sepatah kata pun.
“Assalamu’alaikum.”
Alexa menunggu jawaban dari teman temannya. Alexa pun mengingatkan mereka.
“Hey...! jawab salam itu hukumnya wajib loh!” Bibir mereka mulai terbuka.
“Wa...’a...la...i...kumm... ssa...lam ”. Mereka semua menjawab salam Alexa meskipun dengan terbata bata.
“Elo kok berubah banget sih?” Tanya Nien sambil garuk garuk kepala.
“Jangan jangan elo berubah 100% gara-gara guru baru itu? yang namanya!?”
Mereka bertiga berpikir keras.
“Pak Ahkaaam!!!” teriak Nien dan kawan-kawan serentak.
“Astaghfirullah, kalian jangan su’udhon gitu dong. Gue cuma ingin menutup aurat. Bukankah menutup aurat itu kewajiban bagi setiap ummat Rasulullah? Dan ini adalah perintah Allah kan?” Alexa bertausiyah di depan teman temannya.
“Tapi kok nggak dari dulu sih berubahnya?” Tanya Chintia dengan muka nano-nano; asam manis asin.
“Seharusnya sih pengen cepet-cepet. Tapi gue masih ragu. Tapi setelah gue coba ternyata wanita lebih anggun jika menutup auratnya serta mengubah perilakunya menjadi orang yang sholihah.” terang Alexa. Kawan-kawannya mengangguk seakan mengerti.
“Oh ya, masuk dulu yuk ....! ”
Alexa mempersilahkan teman-temannya masuk ke dalam rumah mewahnya. Mata ketiga gadis itu terbelalak lagi ketika melihat suasana rumah Alexa yang berubah 90 drajat. Berbeda sekali dengan seminggu lalu ketika mereka bertandang.
Dulu di setiap sudut rumah lukisan-lukisan karya pelukis ternama terpampang. Tapi sekarang, lafal-lafal kaligrafi menghiasi seluruh sudut rumah Alexa.
Mungkin bukan hanya penampilan Alexa, rumah Alexa ataupun sikap Alexa yang berubah. Tapi hati Alexa juga. Lunar merenungi segala perbuatannya. Ia teringat kejadian tiga minggu yang lalu. Kejadian yang membuatnya merasa sangat bersalah, yaitu ketika Ia melempar bola tepat di kepala Pak Ishaq lantaran Lunar di hukum karena tidak mengerjakan PR.
Hati ketiga gadis itu luluh lantah, mereka ingin merubah diri mereka masing-masing agar menjadi lebih baik.
***
Keesokan harinya.
Jarum jam telah menunjukkan pukul 06.30. Biasanya jam segini Gank Style udah nongkrong di kantin atau kalo nggak gitu, keisengan jadi kegiatan ekstrakulikuler mereka. Dan sudah menjadi rutinitas bagi Gank Style…! Jam-jam masuk sekolah adalah saat-saat tebar pesona. Para murid seperti biasa berjajar dan berbaris menunggu Gank terpopuler itu. Sekedar menghilangkan bosan atau sekadar pengen tau apa yang bakal dilakukan Gank Style. Cowok cowok juga menunggu-nunggu Gank Style lewat tepat di hadapannya. Mereka menuturkan, para anggota Gank Style yang cantik-cantik dan sexy mampu mencuci mata sampai puas.
Suara tapak kaki mulai mendekat. Suara itu makin keras. Semua murid pasang mata. Mereka udah yakin kalon ini suara tapak kaki dari 4 gadis Gank Style. Murid-murid terbelalak. Ada yang garuk-garuk kepala, geleng-geleng kepala, mengelus dada bahkan ada yang sempat sempatnya jatuh pingsan.
Gank Style yang biasanya berpakaian ketat nan sexy kini telah terbalut dengan busana muslim. Kini Gank Style telah berganti menjadi Gank Piety .
Subhanallah...**
Lamongan, 2008
Merindu Genre Puisi Epik di Jawa Timur
Mashuri*
Peta perpuisian Nasional setelah 2000 memang diwarnai dengan banyaknya puisi gelap yang bersumber dari penyair Jawa Timur. Sederet nama sudah didaftar S Yoga dalam Kompas (Selasa/22 Juli 2008), yang bertajuk: ‘Taman Puisi Gelap Jawa Timur’. Kenyataan itu memang membanggakan. Meski demikian, ada sesuatu yang mengganjal terkait dengan dinamika sastra di Jawa Timur, yakni absennya jenis puisi epik. Padahal secara historis dan kultural, Jawa Timur adalah lumbung puisi epik. Di sisi lain, lewat puisi epik, sastra juga bisa membumi di masyarakatnya sendiri.
Puisi epik seringkali dipahami tidak bersemangat puisi modern oleh kalangan penyair dan sastrawan Indonesia. Pasalnya, epik dianggap terlalu klasik dan memapankan pusat, karena bertumpu pada tokoh-tokoh sentral dan heroik. Padahal jika diurai kembali, lewat epiklah sastra Eropa dan dunia menjadi besar. Tentu saja, anggapan salah kaprah itu harus direvisi ulang. Apalagi di kalangan penyair Indonesia, anggapan itu muncul karena terkait dengan ruang sastra modern Indonesia, yang lebih bertumpu pada majalah dan koran, yang tentu saja sangat terbatas dan tidak memungkinkan mengeksplore kekayaan dan kemungkinan dari epik. Padahal dari puisi epik bisa memungkinkan mencapai banyak hal, baik dari sastra/puisi, maupun dari kultur lebih luas.
Dari sisi kultur, puisi epik bisa mengungkai banyak hal yang tersembunyi dari lapis kesadaran masyarakat, yang tercerabut dari akar jati diri. Apalagi pengaruh luar sudah tak terbendung seperti sekarang ini. Pasalnya, epik selalu mengacu pada sejarah dan ingatan kolektif, yang dari sanalah bisa dirunut tentang berbagai hal di masa lalu dengan persimpangan dan pertemuannya. Dalam konteks ini, puisi epik bisa berupa tafsir kesejarahan yang kontekstual, sesuai dengan zeitgeist/semangat zaman, yang bisa sebagai tawaran/alternatif wacana dari arus hiperreal. Apalagi puisi epik juga bisa menimang banyak bidang, baik itu aras sastra, budaya, sosial, filsafat dan lain-lainnya. Sehingga kebutuhan pada pembacaan sosio-kultur yang holistis, yang pada dasawarsa saat ini sangat dibutuhkan, bisa tercukupi.
Jika dilihat dari segi sastra, bentuk puisi epik memiliki akarnya. Sejarah sastra Indonesia tidak terputus dari akar kesusastraan, yang kerap berupa epik. Dari sinilah, landasan berpuisi/bersastra bisa sambung dengan tradisi kesusastraan yang menjadi akar sastra masyarakat, karena bagaimanapun tidak ada ‘karya yang lahir dari kekosongan’ budaya’ (mengutip pendapat A Teeuw). Ditambah lagi, tradisi puisi Jawa Timur (terutama sastra lisan) sangat bernuansa epik, dengan metrum lama: tembang, dan sampai kini masih sering dijumpai di masyarakat tradisi. Dari sinilah gagasan membumikan sastra Indonesia bisa dimulai. Apalagi selama ini, ada kesan kesusastraan modern kita, tercerabut dari akar tradisinya dan tidak lagi bersentuhan dengan masyarakat yang melahirkannya. Tawaran tentang puisi epik dengan nuansa baru yang berbahasa Indonesia/hibdird, yang mengangkat epik Jawa Timur, merupakan tawaran yang menjanjikan dari segi kreativitas, bahwa yang lawas dan yang modern bisa tersaji bersama dalam sebuah inovasi puisi.
Potensi Puisi Epik
Dalam sejarah sastra Melayu lama, dikenal dengan cerita Panji. Cerita itu ternyata menyebar ke seantero Asia Tenggara, baik itu Tailand, Malaysia, dan Singapura. Ketika diusut, cerita itu berpulang pada kesusastraan Jawa lama, yang bersumber dari kepustakaan kerajaan Kediri di masa lalu, yakni mengangat kisah epos Raden Panji Asmorobangun, raja Daha (sekarang Kediri). Meski cerita Panji itu telah mengalami metamorfosa di ranah seberang, tetapi latarnya masih menyangkut wilayah kemunculannya dan Jawa Timur.
Cerita Panji adalah salah satu contoh epik Jawa Timur, yang ditulis dalam bentuk puisi, meski berkembang pula dalam bentuk prosa di beberapa ranah seberang. Puisi epik yang lebih lama juga dapat kita jumpai dalam beberapa khasanah Jawa Kuno lain, yang tumbuh dan berkembang di Jawa Timur, seperti Pararaton (kisah tentang Ken Arok), Arjunawiwaha (tentang Prabu Airlangga) serta berbagai khasanah lainnya, yang transformasi pengetahuan dan literernya sangat sulit kepada generasi sekarang.
Dalam beberapa pagelaran sastra tradisional, sastra epik dalam bahasa Jawa, masih kerap dipentaskan. Biasanya dalam bentuk tembang, dan sering sebagai pegiring bentuk lakon atau drama. Hal itu karena dalam khasanah sastra tradisional, sastra umumnya ditulis dalam bentuk puisi, dengan beberapa aturan ketat, agar nanti bisa ditembangkan dan diiringi musik. Bisa dijumpai pada pagelaran wayang, ludruk, kentrung dan lain-lainnya.
Dengan adanya berbagai khasanah epik, yang tentu saja sekarang masih hidup dan dihidupi masyarakatnya, maka diperlukan sebuah penulisan kembali khasanah itu dalam bentuk puisi epik. Soal genre puisi epik ini bukan harga mati, tetapi ada beberapa pertimbangan yang perlu dicermati, yang menunjukkan kelebihan genre ini bila digarap bila dibandingkan dengan genre lainnya, semisal prosa. Kelebihan puisi epik adalah:
Pertama, pertimbangan peta perpuisian nasional, yang saat ini cenderung lirik, tanpa menawarkan hal-hal baru, dan terjebak pada homogenitas. Kedua, dinamika kesusastraan jatim. Pertimbangannya, selain puisi surealis dan gelap, tentu harus ada warna lain yang lebih menjanjikan dan memberi warna dan keragaman pada perpuisian Jawa Timur. Ketiga, dinamika kultur. Dengan adanya sentuhan dan tafsir baru pada kekayaan kultur lewat eposnya, maka dialektika budaya akan lebih dinamis karena puisi lebih bersifat psiko-sosial. Ketaksadaran kolektif bisa dirunut muasal dan akarnya. Terlebih lagi, puisi epik dimungkinkan bisa mendekatkan sastra dengan masyarakat, tanpa menurunkan kadar literernya. Selama ini, ada kecenderungan mendekatkan sastra dengan masyarakat/komunitasnya dengan cara menurunkan kadar literernya, yang tentu saja merupakan tindakan ceroboh dan bodoh.
Tentu saja, puisi epik dalam hal ini bukan terpaku pada ihwal normatif semata, tetapi juga merupakan hasil dari ‘eksperimentasi kreatif’ yang menjanjikan tawaran-tawaran baru. Bagaimanapun hakekat sastra adalah ketegangan antara konvensi dan inovasi (mengutip A Teeuw lagi). Dengan demikian, diharapkan muncul puisi epik dengan ruh pembaharuan, yang bisa saja bercorak antiepik, antihero dan lain-lainnya, atau bahkan memunculkan epik baru yang ternyata bisa lebih inspiratif dan imajinatif.
Sementara itu, jika ada penyair yang menulis puisi epik dalam dalam bahasa Jawa/Osing atau Madura, sebagaimana bahasa etnis subkultur Jawa Timur, tentu tidak menjadi soal dan lebih kental warna lokalnya. Namun karena ini menyangkut sumbangsih dalam peta perpuisian Indonesia, maka akan lebih menarik ditulis dalam bahasa Indonesia. Apalagi, spirit lokal pun tetap bisa dicapai dalam bahasa nasional. Selain itu, untuk saat ini, puisi epik berbahasa Indonesia bisa dibilang langka dan tawaran kreatif ini bisa menjadi pionir yang sungguh indah.
*) Artikel ini pernah dimuat di Kompas Jatim.
Peta perpuisian Nasional setelah 2000 memang diwarnai dengan banyaknya puisi gelap yang bersumber dari penyair Jawa Timur. Sederet nama sudah didaftar S Yoga dalam Kompas (Selasa/22 Juli 2008), yang bertajuk: ‘Taman Puisi Gelap Jawa Timur’. Kenyataan itu memang membanggakan. Meski demikian, ada sesuatu yang mengganjal terkait dengan dinamika sastra di Jawa Timur, yakni absennya jenis puisi epik. Padahal secara historis dan kultural, Jawa Timur adalah lumbung puisi epik. Di sisi lain, lewat puisi epik, sastra juga bisa membumi di masyarakatnya sendiri.
Puisi epik seringkali dipahami tidak bersemangat puisi modern oleh kalangan penyair dan sastrawan Indonesia. Pasalnya, epik dianggap terlalu klasik dan memapankan pusat, karena bertumpu pada tokoh-tokoh sentral dan heroik. Padahal jika diurai kembali, lewat epiklah sastra Eropa dan dunia menjadi besar. Tentu saja, anggapan salah kaprah itu harus direvisi ulang. Apalagi di kalangan penyair Indonesia, anggapan itu muncul karena terkait dengan ruang sastra modern Indonesia, yang lebih bertumpu pada majalah dan koran, yang tentu saja sangat terbatas dan tidak memungkinkan mengeksplore kekayaan dan kemungkinan dari epik. Padahal dari puisi epik bisa memungkinkan mencapai banyak hal, baik dari sastra/puisi, maupun dari kultur lebih luas.
Dari sisi kultur, puisi epik bisa mengungkai banyak hal yang tersembunyi dari lapis kesadaran masyarakat, yang tercerabut dari akar jati diri. Apalagi pengaruh luar sudah tak terbendung seperti sekarang ini. Pasalnya, epik selalu mengacu pada sejarah dan ingatan kolektif, yang dari sanalah bisa dirunut tentang berbagai hal di masa lalu dengan persimpangan dan pertemuannya. Dalam konteks ini, puisi epik bisa berupa tafsir kesejarahan yang kontekstual, sesuai dengan zeitgeist/semangat zaman, yang bisa sebagai tawaran/alternatif wacana dari arus hiperreal. Apalagi puisi epik juga bisa menimang banyak bidang, baik itu aras sastra, budaya, sosial, filsafat dan lain-lainnya. Sehingga kebutuhan pada pembacaan sosio-kultur yang holistis, yang pada dasawarsa saat ini sangat dibutuhkan, bisa tercukupi.
Jika dilihat dari segi sastra, bentuk puisi epik memiliki akarnya. Sejarah sastra Indonesia tidak terputus dari akar kesusastraan, yang kerap berupa epik. Dari sinilah, landasan berpuisi/bersastra bisa sambung dengan tradisi kesusastraan yang menjadi akar sastra masyarakat, karena bagaimanapun tidak ada ‘karya yang lahir dari kekosongan’ budaya’ (mengutip pendapat A Teeuw). Ditambah lagi, tradisi puisi Jawa Timur (terutama sastra lisan) sangat bernuansa epik, dengan metrum lama: tembang, dan sampai kini masih sering dijumpai di masyarakat tradisi. Dari sinilah gagasan membumikan sastra Indonesia bisa dimulai. Apalagi selama ini, ada kesan kesusastraan modern kita, tercerabut dari akar tradisinya dan tidak lagi bersentuhan dengan masyarakat yang melahirkannya. Tawaran tentang puisi epik dengan nuansa baru yang berbahasa Indonesia/hibdird, yang mengangkat epik Jawa Timur, merupakan tawaran yang menjanjikan dari segi kreativitas, bahwa yang lawas dan yang modern bisa tersaji bersama dalam sebuah inovasi puisi.
Potensi Puisi Epik
Dalam sejarah sastra Melayu lama, dikenal dengan cerita Panji. Cerita itu ternyata menyebar ke seantero Asia Tenggara, baik itu Tailand, Malaysia, dan Singapura. Ketika diusut, cerita itu berpulang pada kesusastraan Jawa lama, yang bersumber dari kepustakaan kerajaan Kediri di masa lalu, yakni mengangat kisah epos Raden Panji Asmorobangun, raja Daha (sekarang Kediri). Meski cerita Panji itu telah mengalami metamorfosa di ranah seberang, tetapi latarnya masih menyangkut wilayah kemunculannya dan Jawa Timur.
Cerita Panji adalah salah satu contoh epik Jawa Timur, yang ditulis dalam bentuk puisi, meski berkembang pula dalam bentuk prosa di beberapa ranah seberang. Puisi epik yang lebih lama juga dapat kita jumpai dalam beberapa khasanah Jawa Kuno lain, yang tumbuh dan berkembang di Jawa Timur, seperti Pararaton (kisah tentang Ken Arok), Arjunawiwaha (tentang Prabu Airlangga) serta berbagai khasanah lainnya, yang transformasi pengetahuan dan literernya sangat sulit kepada generasi sekarang.
Dalam beberapa pagelaran sastra tradisional, sastra epik dalam bahasa Jawa, masih kerap dipentaskan. Biasanya dalam bentuk tembang, dan sering sebagai pegiring bentuk lakon atau drama. Hal itu karena dalam khasanah sastra tradisional, sastra umumnya ditulis dalam bentuk puisi, dengan beberapa aturan ketat, agar nanti bisa ditembangkan dan diiringi musik. Bisa dijumpai pada pagelaran wayang, ludruk, kentrung dan lain-lainnya.
Dengan adanya berbagai khasanah epik, yang tentu saja sekarang masih hidup dan dihidupi masyarakatnya, maka diperlukan sebuah penulisan kembali khasanah itu dalam bentuk puisi epik. Soal genre puisi epik ini bukan harga mati, tetapi ada beberapa pertimbangan yang perlu dicermati, yang menunjukkan kelebihan genre ini bila digarap bila dibandingkan dengan genre lainnya, semisal prosa. Kelebihan puisi epik adalah:
Pertama, pertimbangan peta perpuisian nasional, yang saat ini cenderung lirik, tanpa menawarkan hal-hal baru, dan terjebak pada homogenitas. Kedua, dinamika kesusastraan jatim. Pertimbangannya, selain puisi surealis dan gelap, tentu harus ada warna lain yang lebih menjanjikan dan memberi warna dan keragaman pada perpuisian Jawa Timur. Ketiga, dinamika kultur. Dengan adanya sentuhan dan tafsir baru pada kekayaan kultur lewat eposnya, maka dialektika budaya akan lebih dinamis karena puisi lebih bersifat psiko-sosial. Ketaksadaran kolektif bisa dirunut muasal dan akarnya. Terlebih lagi, puisi epik dimungkinkan bisa mendekatkan sastra dengan masyarakat, tanpa menurunkan kadar literernya. Selama ini, ada kecenderungan mendekatkan sastra dengan masyarakat/komunitasnya dengan cara menurunkan kadar literernya, yang tentu saja merupakan tindakan ceroboh dan bodoh.
Tentu saja, puisi epik dalam hal ini bukan terpaku pada ihwal normatif semata, tetapi juga merupakan hasil dari ‘eksperimentasi kreatif’ yang menjanjikan tawaran-tawaran baru. Bagaimanapun hakekat sastra adalah ketegangan antara konvensi dan inovasi (mengutip A Teeuw lagi). Dengan demikian, diharapkan muncul puisi epik dengan ruh pembaharuan, yang bisa saja bercorak antiepik, antihero dan lain-lainnya, atau bahkan memunculkan epik baru yang ternyata bisa lebih inspiratif dan imajinatif.
Sementara itu, jika ada penyair yang menulis puisi epik dalam dalam bahasa Jawa/Osing atau Madura, sebagaimana bahasa etnis subkultur Jawa Timur, tentu tidak menjadi soal dan lebih kental warna lokalnya. Namun karena ini menyangkut sumbangsih dalam peta perpuisian Indonesia, maka akan lebih menarik ditulis dalam bahasa Indonesia. Apalagi, spirit lokal pun tetap bisa dicapai dalam bahasa nasional. Selain itu, untuk saat ini, puisi epik berbahasa Indonesia bisa dibilang langka dan tawaran kreatif ini bisa menjadi pionir yang sungguh indah.
*) Artikel ini pernah dimuat di Kompas Jatim.
Rabu, 17 September 2008
Pusara Cinta Az-Zahrah
Novelet Karya: Almania Rohmah*
BAGIAN 1
Tok…! Tok…! “Fatimah, bangun! Sudah jam 03.00 WIB.” Teriak Bundaku.
“Iya Bunda!” Jawabku singkat.
Yach…, begitulah ibuku akrab memanggilku. Fatimah Az Zahrah adalah nama lengkapku. Nama itu pemberian orang tuaku. Kebetulan, orang tuaku merupakan salah seorang tokoh agama di desaku. Tepatnya desa Modo. Semenjak usia dini, orang tuaku sudah mendidikku dengan ajaran-ajaran agama hingga sekarang aku lulus dari SMP 1 Modo.
Untuk melanjutkan ke Sekolah Menengah Atas, orang tuaku sudah memilihkannya untukku. Dan rencananya pagi ini juga, aku akan berangkat ke sana. Seusai sholat Qiyamul Lail, akupun mempersiapkan segala keperluanku sambil menunggu adzan Shubuh.
Beberapa saat kemudian, setelah aku selesai mengerjakan sjolat subuh. Dan saat itu kira-kira matahari telah setinggi badan, aku bersiap-siap untuk berangkat ke calon sekolahku yang baru. Yach, aku hendak mendaftarkan diri di sana.
“Fatimah, ayo sarapan dulu !” Ajak Bunda.
“Sebentar Bunda, aku masih ganti baju.” Sahutku.
Selesai ganti baju, aku pun keluar dari kamar dan menuju meja makan untuk sarapan pagi bersama orang tuaku.
“Sudah jam 7, ayo kita berangkat.” Ajak Abah mengingatkan sudah siang, karena besok pagi sudah ada tes masuk. Kami pun bergegas masuk mobil dan tak lupa barang bawaanku. Dalam hatiku bertanya-tanya, sekolah mana yang sudah dipilih Abah buatku?
Dari kota Babat berjalan ke arah selatan mengikuti jalur utama. Setelah berjalan 28 Km, kami pun memasuki kota Jombang. Dan ternyata perjalanan kami berakhir di depan pintu gerbang Pondok Pesantren Tebu Ireng. Aku merasa senang sekali. Sebab itu adalah keinginanku semenjak kecil. Aku bisa mondok di pesantren tersebut. Baru sekarang inilah, orang tuaku memberikan hadiah sepesial dan berharga atas kelulusanku.
Bunda mengajakku masuk ke pondok pesantren Masruriyah Putri. Dari pintu gerbang pondok, kudapati Mushola dan di sebelahnya ruang kantor. Aku yang begitu awam dengan tempat ini, hanya bisa mengikuti langkah Bunda. Kami pun menuju keruang kantor. Ternyata semua pengurus di dalamnya sedang disibukkan dengan aktivitasnya masing-masing. Tiba-tiba salah seorang di antara mereka ada yang menghampiri kami setelah mendengar salam dari kami.
“Oh Ibu, silahkan duduk!” Sapa seorang gadis pada bundaku. Tampaknya gadis itu sudah kenal dengan Bunda.
“Fatimah, ini mbak Fiqo, ketua umum di pondok pesantren ini.” Bunda mengenalkan aku pada gadis yang begitu asing buatku itu. Dan kami pun saling berjabat tangan.
“Jadi, ini anak Ibu yang akan mondok di sini?” Terkanya padaku.
“Iya Mbak !” Jawab Bunda singkat.
“Kalau begitu, mari saya antar ke kamar A” Ajaknya. Kami pun berjalan ke lantai atas untuk melihat kamarku. Bangunan yang dirancang seperti huruf “U” dan hanya bersusun satu. Kamar “A” berada tepat di ujung paling utara.
Setelah seharian, Bunda pun minta pamit padaku.
“Fatimah, apa kamu tidak ingin bertemu dengan Abah kamu sebelum kami pulang?” Saran Bunda padaku.
“Iya Bunda!” Jawabku singkat.
Kami pun menuju ndalem pengasuh pondok pesantren “Masruriyah Putri”. Selang beberapa menit, Abah minta pamit padaku karena akan ada pengajian, malam ini di desaku.
BAGIAN 2
Malam pertama di pondok pesantren ini, aku begitu juga semua santri lama maupun baru berkumpul bersama pengurus di dalam Mushola guna membacakan tata tertib pondok pesantren dan dilanjutkan Tausyiyah dari Ustadz pengasuh pondok pesantren.
Laju jam begitu lambat, memang kenyataan lebih pahit dibandingkan dengan khayalan. Dulu aku sangat berharap bisa mondok di sini. Namun setelah aku di sini, hari pertama saja aku sudah mulai bosan. Apalagi seterusnya.
Dinginnya hawa angin malam dan alas tidur yang tipis membuatku masuk angina. Sehingga dalam waktu semalam saja aku harus bolak-balik ke kamar mandi dan naik turun tangga sampai lima kali. Dalam benakku, dalam seminggu saja mungkin bisa turun 5 kilo berat badanku kalau setiap malam begini terus. Jadi nggak perlu buang uang buat biaya diet donk!
Adzan Subuh pun berkumandang. Namun mataku terasa berat untuk dibuka, setelah begadang semalaman di kamar. Dan usai sholat Shubuh, aku pun tidur lagi.
“Fatimah, apa kamu nggak ikut tes hari ini?” Rina mencoba membangunkanku.
“Emangnya sekarang sudah jam berapa Rin?” Tanyaku balik.
“Jam 07. 45 WIB” Jawabnya.
“Aduh…! Gimana nich, jam 8 kan sudah dimulai. 15 menit lagi aku harus sampai ke sekolah.” Pagi hari itu, cuma kuawali dengan cuci muka dan menggosok gigi. Kemudian memakai baju seragam. Tapi aku belum tahu pake’ seragam apa untuk hari Senin ini. Aku pun berlari keluar kamar. Aku melihat tinggal ada beberapa temanku yang sedang memakai sepatu dan siap pergi kesekolah. Dan aku akhirnya tahu, untuk tes kali ini memakai seragam putih dan abu-abu. Di halaman pondok sudah tidak kudapati teman-temanku lagi. Di luar gerbang aku pun bingung. Harus berjalan ke arah mana untuk menuju ke SMA A.W.H? Kudapati seorang lelaki berjalan dari arah utara.
“Maaf Mas, SMA A.W.H itu di sebelah mana?” Tanyaku.
“Mari saya antar!” Tawarnya.
Aku yang masih lugu menolak tawarannya. Di benakku sempat terpikirkan “Bagaimana jika aku bukannya kesekolah malah ketempat yang lain?” Aku pun berjalan asal neronyong aja. Berlawanan dengannya.
“Mbak, mau ke mana? SMA A. W. H itu di sebelah sana. Kalau Mbak lewat situ nanti bingung.” Sarannya seraya menunjukkan telunjukknya ke suatu arah tertentu.
“Dari gang sebelah jembatan itu lurus saja, lalu pean Tanya disana kalau ada perempatan” Himbaunya lebih lanjut.
Aku pun berbalik arah sambil menundukkan kepala karena merasa malu dengannya. Dan sesampainya di SMA A. W. H aku pun menemui pengawas tes dan meminta izin untuk masuk ke ruangan. Namun beliau menolak dan menyuruh aku mengerjakan soal tes di depan ruangan karena di dalam tidak ada bangku kosong lagi.
Dari ruang sebelah, seorang pengawas keluar dan melangkah ke arahku. Alngkah terkejutnya aku. Ternyata lelaki itu juga ada di sini. Aku pun menarik nafas dalam-dalam dan megeluarkannya dengan cepat. Aku yang masih merasa malu segera menutup mukaku dengan kerudung sambil menundukkan kepalaku. Andai tadi aku tak menolak tawarannya, aku takkan merasa semalu ini. Ternyata dia ada perlu dengan pengawas yang ada di ruanganku.
Selesai tes, aku sengaja menunggu Rina keluar agar aku bisa pulang bareng dengannya. Tidak lama kemudian, kudapati Rina baru saja keluar dari ruangnya.
“Rina, tunggu aku!” Teriakku.
Rina pun menampakkan senyumnya dan menanti kedatanganku.
“Bagaimana Fatimah? kamu tadi datang nggak telat kan?” Tanya Rina.
“Iya sich. Mana aku belum tahu lagi di mana SMA A.W.H itu.” Ujarku sedikit kesal.
“Maaf Fatimah, kalau tadi pagi aku nggak nunggu kamu.” Sesal Rina.
“Nggak apa-apa kok Rin. Akunya aja sich yang malas bangun” Sadarku.
“Lho Rin, kita mau ke mana? Kok lewat sini? Apa nggak salah?” Sangkalku.
“Emangnya kamu tadi lewat mana?” Tanyanya balik padaku.
“Sebelah sana!” Tunjukku. Yang ternyata tak sengaja aku menunjuk ke belakang dan mengenai tangan seseorang yang ada di belakangku. Dan…...
“Subhanallah, itu tangan seorang guru yang ngajar di SMA A. W. H.” Aku kaget.
“Maaf Pak, maaf!” Himbauku
“Nggak apa-apa. Tolong berikan surat ini pada Mas Azhar di pondok Mastra.”
“Iya Pak.” Sahutku.
“MASTRA”, singkatan dari “Masruriyah Putra”. Di depan pintu gerbang itu, aku mencoba menyampaikan amanat dari Pak Guru. “Bisa betemu dengan Mas Azhar?”
“Aduh….! Kenapa aku harus bertemu lelaki itu lagi?” Kesalku dalam hati.
“Ada apa?” Tanyanya padaku dan Rina.
“Bisa bertemu dengan Mas Azhar?” Tanyaku.
“Iya ada apa?” Sahutnya.
“Mas Azharnya mana?” Tanyaku balik.
“Akulah Mas Azhar!” Ujar kesalnya.
“Ini Pak, dapat surat dari sekolah.” Tukasku.
“Ya Allah, mengapa aku meski berhadapan dengan orang yang menjengkelkan seperti beliau?” Degub batinku sekali lagi.
BAGIAN 3
Tepat di hari Kamis malam Jum’at, ada Diniyah dan jamaah sholat Isya’. Saat itu, aku duduk di depan teras kamarku sambil menghafal 100 kosakata setiap hari, yang sudah menjadi kewajiban di pondok pesantren ini. Dengan jelas kudengar suara lantunan ayat-ayat Al-Qur’an yang mampu menembus relung mercu qolbuku yang membeku.
“Wahai sang Khaliq, insan seperti apakah yang pantas engkau anugerahi suara sesempurna itu?” Pertanyaan itu tiba-tiba muncul dari dalam hati kecilku. Entah, aku tak tau, mengapa ungkapan itu melingkupi batinku.
“Jiwa yang sesuci apakah yang pantas mendampinginya di kala suka maupun dukanya?” Dengan bertubi-tubi, pertanyaan-pertanyaan seperti itu datang dari dalam hatiku. Sesekali bening bola mataku meneteskan embun haru di hamparan pipiku. Membasah kering kulitku.
“Ada apa Fatimah? Mengapa kamu menangis?” Suara Rina mengagetkanku.
“Nggak ada apa-apa kok Rin!” Jawabku singkat sambil menyeka air mataku.
“Kamu sendiri kok belum tidur Rin?” Tanyaku balik.
“Aku mau ke kamar mandi!” Jawabnya.
“Mau kuantar Rin?” Tawarku.
“Nggak usah, kamu tidur aja sekarang.” Sarannya.
BAGIAN 4
Sewaktu aku dan Rina berangkat ke sekolah, ada seseorang yang iseng denganku.
“Rin, kenalin donk, aku sama temen kamu!” Ledeknya.
“Hai cantik, boleh nggak aku kenalan?” Orang itu menghampiriku.
“Ach…!” Teriakku.
Dia menarik kerudungku, hingga rambut panjangku terurai. Aku menangis di pangkuan Rina. Dan tak kusangka, Mas Azhar datang menghampiriku sambil mengambilkan kerudungku yang terjatuh. Kebetulan, saat itu, Bunda dan Abah datang membesukku. Aku pun membatalkan niatku tuk pergi ke sekolah dan masih trauma dengan kejadian tadi. Semenjak kejadian itu, setiap aku bertemu dengan Mas Azhar, beliau selalu tersenyum padaku.
BAGIAN 5
Suatu hari, di perjalanan pulang sekolah. Tepat di belakang asrama putra. Seorang anak lelaki menyapaku.
“Mbak Fatimah!” Terkanya.
“Iya, ada apa?” Tanyaku yang sama sekali tak kenal dengannya.
“Ini buat Mbak Fatima !” Ucapnya sambil menyodorkan surat padaku.
Sesampai di pondok, aku menuju ke kamar mandi, untuk membaca surat itu. Awal kubuka surat, aku langsung mencari nama penulisnya. Ternyata tertera nama Mas Azhar. Aku merasa antara percaya dan tidak percaya. Hatiku gamang. Mana mungkin Mas Azhar nulis surat buatku. Dalam surat itu, hanya satu kata yang tertulis dengan jelas “Ana Ukhibbu Ila Anti”. Aku yang sebelumnya belum pernah mengenal kata cinta merasa bingung harus berbuat apa? Beliau memberi pilihan padaku. Jika aku menerima, aku akan memenggilnya Abi. Itu sudah cukup menjadi jawaban atas perasaanku.
Suara mikrophone mengagetkanku. Aku dipanggil ke kantor karena ada telepon. Dan aku pun bergegas datang ke kantor.
“Assalamu’alaikum!” Sapaku.
“Wa’alaikum salam, Fatimah! Ini aku, Azhar.” Terangnya.
“Apa? Mas Azhar?” Kagetku dalam hati.
“Apa jawabanmu?” Tanyanya lagi.
“I….iya, Abi.” Jawabku singkat sambil terbata.
“Alhamdulillah, mudah-mudahan ini bukan main-main. Aku ingin memilikimu untuk di dunia dan akhiratku.”
“Umi, entar malam ada Mudarrosah. Abi ingin Umi merupakan salah seorang yang selalu setia mendengarkan Abi ngaji.” Pintanya.
“Insya Allah Abi.” Jawabku.
“Assalamu’alaikum.” Beliau mengakhiri teleponnya.
Aku duduk di depan kamarku. Aku merasa tak percaya dengan apa yang sedang terjadi saat itu, hingga seorang pengurus mengagetkanku.
“Hayo! Ngelamunin siapa?” Tanya Mbak Iim.
“Ach ! Mbak Iim bisa aja!” Elakku.
“Ternyata suara itu milik Mas Azhar. Beberapa malam lalu, dalam setiap lantunan ayat-ayat Al-Qur’an yang dibacakannya, aku selalu berdoa terus menerus diiringi deraian air mata. Hanya satu yang kuharapkan jikalau memang Mas Azhar itu benar-benar jodohku, jadikanlah dia yang terbaik buat dunia dan akhiratku. Maka ridhoilah kami mengikuti sunnah Rasul-Mu dan menyempurnakan separo agamaku.” Gumam kecilku dalam hati.
Hubungan kami berjalan hanya melalui surat dan telepon saja. Bahkan dengan bertatap muka di jalan itu sudah lebih cukup tuk melepas rasa rindu kami.
Semenjak saat itu, dalam sholat Qiyamul Lailku, aku melupakan untuk kebaikanku dan keluargaku. Aku hanya berdo’a untuk Mas Azhar dan tak ada yang lain. Bahkan setiap ada mudarrosah, akulah pendengar setia yang tak mau ketinggalan. Sebab Mas Azhar selalu mengingatkanku melalui telepon, setiap ada mudarrosah di masjid bagi santri yang khufadz Al-Qur’an di sana.
Setelah berjalan selama 3 tahun, aku baru tahu kalau Mas Azhar itu masih keponakan Ustadz Pengasuh pondok pesantrenku. Dan dia di sini memang sedang menyelesaikan khufadznya.
BAGIAN 6
Cukup lama sudah aku dan Mas Azhar menjalin hubungan cinta saat itu. Kami pun merasa banyak kesamaan satu sama lain. Dan dalam hati kami yakin, kalau kita memang sudah jodoh sehingga di akhir semester kelas III, Mas Azhar minta izin padaku, katanya mau ngajar di pondok pesantren di Jepara yang diasuh oleh pamannya sendiri. Hanya satu pintanya padaku “Umi, do’akan Abi ya!”
“Iya Abi, Umi hanya bisa berdoa buat keberhasilan Abi.” Jawabku pasrah.
Setelah tiga bulan kepergian Mas Azhar Ke Jepara, aku tak lagi mendengarkan kegiatan mudarrosah di Masjid “MASTRA”. Aku mendengar kabar, dia akan dijodohkan dengan anak Kiyai di Yogyakarta. Di saat itu aku harus bergelut dengan ujian-ujian sekolah tuk menentukan keberhasilanku. Tiga tahun sudah, aku berjalan mengenyam pendidikan di pondok pesantren Tebu Ireng. Dan hanya dalam tiga hari inilah seluruh masa depanku, aku pertaruhkan..
Hatiku mungkin sudah tak berbentuk lagi. Aku merasa dihianati kesetiaanku. Aku merasa tak berdaya bangkit kembali untuk menghadapi hari esok. Setiap hari tiada nama y6ang kusebut kecuali nama Mas Azhar. Namun, kini sang Kholiq benar-benar menunjukkan keputusannya. Aku mencintai seseorang yang bukan ditakdirkan menjadi jodohku. Aku berupaya meyakinkan pikiranku sendiri dan pernah terbersit rasa syu’udhon terhadap Tuhanku.
Aku berupaya melupakan kenanganku bersama Mas Azhar dengan membakar semua surat darinya. Setelah pengumuman lulus, Aku sengaja pindah ke pesantren lain. Dan membiarkan kenanganku terkubur di sana. Tambak Beras menjadi pilihanku. Aku memilih Fakultas Tarbiyah di kampus UNDAR dan tinggal di pesantren Al-Lathifiyah 1. Aku mencoba membuka lembaran baru di kehidupanku.
BAGIAN 7
Sebelum kegiatan kuliah di mulai, aku mencoba mengisi hari-hariku dengan kegiatan-kegiatan yang positif. Salah satunya menjadi peserta FMP 3 (Forum Musyawarah Pondok Pesantren Putri) se- Jawa Timur, yang diadakan di Pondok pesantren Lirboyo, Kediri.
Selama kegiatan Bahtsul Masa’il berlangsung, beberapa pendapatku memaksa salah seorang Mushollah muda memancing egoku tuk memberikan alasan-alasan di balik pendapatku itu. Di sana aku juga mendapatkan teman baru yang berasal dari beberapa pondok pesantren yang ada di Jawa Timur.
Sepulang dari Bahtsul Masa’il, seketika itu aku sakit selama tiga hari di pesantren. Sesaat aku teringat Mas Azhar sehingga membuatku meneteskan air mata. Aku berkali-kali berupaya meyakinkan batinku. “Kau bukanlah wujud yang diciptakan dari tulang rusuknya!”. Hingga aku pun yakin bahwa di atas kesempurnaan Mas Azhar ada yang lebih sempurna lagi.
Di hari Senin, aku masuk kuliah dari jam pertama hingga akan jam terakhir. Hari itu tidak ada dosen yang mengajar. Aku sedikit kecewa.
“Buat apa bayar kuliah mahal-mahal kalau ternyata di sini Cuma main-main saja.” Keluhku dalam hati.
“Fatimah! Ada Ustadz Rofiq datang.” Teriak Ima padaku yang sedang ada di dalam perpustakaan kampus. Aku langsung keluar dan bergegas masuk keruang kelasku.
“Assalamu’alaikum!” Sapaku yang masuk telat ke ruangan.
“Wa’alaiku salam.”
“Subhanallah, bukankah ini yang kemarin debat denganku di seminar Bahstul Masa’ail?” Aku kaget setelah melihat wajahnya.
Aku pun segera mencari tempat duduk sambil Pak Rofiq terus memandangiku. Aku hanya bisa berdo’a supaya beliau jangan sampai mengenaliku.
“Ima, apa aku nggak salah, itukan orang yang kemarin ada di musyawarah.” Tanyaku meyakinkan.
“Iya Fat, beliau adiknya Rektor di sini. Ustadz Hanafi Arief. Dulu dia menyelesaikan S-2 nya di Al-Azhar Kairo.” Jelas Ima.
“Beliau ke marin di musyawaroh. Aku rasa menggantikan abahnya seorang pengasuh pondok “Mamba’ul Ma’arif di Denanyar yang mungkin tidak bisa hadir dikarenakan ada halangan.” himbaunya lagi.
Pelajaran yang diterangkan tak masuk ke dalam otakku. Aku hanya menundukkan kepala dan berharap jam kuliah segera usai.
Akihirnya beliau pun mengakhiri mata kuliah hari ini. Sengaja aku keluar telat. Menunggu suasana hingga sepi dan Ustadz Rofiq segera berlalu. Aku pun beranjak keluar. Namun perkiraanku salah. Di samping tiang teras depan ruanganku, kudapati Ustadz Rofiq membelakangiku.
“Mari Ustadz!” Pamitku. Namun suara beliau menghentikan langkahku.
“Apa benar kamu yang ikut di musyawaroh Bahstul Masa’ail kemarin?” Tanya Pak Rofiq.
“Iya Ustadz, ada apa?” Tanyaku balik.
“Apa kamu sudah dapatkan buku hasil Bahstul Masa’ail kemarin?” Tanyanya.
“Belum Ustadz. Kemarin saya tanya sama pengurus harian, katanya sih sedang diproses.”, Ungkapku.
“Kemarin aku sudah dapatkan buku itu. Kalau kamu mau pinjam, besok aku bawakan!” Tawarnya.
“Terima kasih banyak Ustadz!” Balasku.
Aku pikir beliau memang sengaja menunggu aku keluar.
BAGIAN 8
Keesokan harinya, telepon dari nomor yang tak kukenal menghubungiku.
“Asalamu’alaikum.” Sapaku ringan.
“Wa’alikum salam, Fat! Kalau kamu mau ambil bukunya, silahkan ke kantor FAI”. Perintahnya.
Kemudian teleponnya dimatikan. Namun aku bingung, buku apa yang dimaksud? Tanpa basa-basi, aku pun segera menuju ke kantor FAI.
“Assalamu’alaikum.” Sapaku minta diizinkan masuk.
“Wa’alikum salam, ada perlu apa?” Tanya seorang TU di sana.
“Fatimah, ini bukunya!” Sahut seseorang yang ada di sampingku. Ternyata suara itu milik Ustadz Rofiq.
“Tolong dirawat ya!” Pesannya.
“Baik Ustadz!” Aku meyakinkan.
Ternyata nomor yang tadi pagi itu milik Ustadz Rofiq. Dalam hatiku selalu berharap mudah-mudahan beliau tidak ada maksud yang lain. Tiba-tiba hand poneku memberi isyarat bahwa ada pesan yang masuk.
“Rawatlah aku sebagaimana merawat diri kamu sendiri.”
Apa maksud dari pesan ini? Dalam buku itu kutemukan secarik kertas yang menyatakan beliau ingin mengenal aku lebih jauh atau dengan istilah Ta’aruf. Beliau berterus terang merasa kagum padaku. “Fatimah Az-Zahra nama yang sesuai dengan kepribadianmu. Sebagaimana Rasulullah memberi nama pada putri kesayangan beliau Fatimah Az-Zahra yang tak dapat dilukiskan dengan kata-kata dan dikenang sepanjang masa.”.kata-kata itulah yang masih memberkas dalam ingatanku. Aku menghela nafas panjang antara menjawab iya atau tidak.
Akupun bertanya-tanya. ”Apakah ini jawaban atas do’a-do’aku selama ini?”
Aku pun mulai bisa menerima semua ini. Mungkin Mas Azhar belum yang terbaik buat dunia dan akhiratku.
Selang satu minggu, aku baru mengiyakan hubunganku dengan Ustadz Rofiq. Aku merasa telah mendapatkan kesempurnaan sinar surya milikku kembali, setelah beberapa saat terjadi gerhana dalam bumi cintaku.
Setelah 6 bulan melakukan ta’aruf dengan Pak Rofiq, kami merasa saling ada kecocokan, sehingga Pak Rorfiq sendiri tak ingin niatan ta’aruf ini menjadi ladang maksiat. Beliau ingin menghalalkan aku dipandangannya. Sehingga tepat saat aku semester tiga nanti, di bulan Syawwal, akad nikah kami akan dilangsungkan.
BAGIAN 9
Di waktu liburan semester II, aku memutuskan untuk pulang ke rumah. Kali ini aku memilih naik bus tujuan babat, karena Abah sedang disibukkan dengan pekerjaannya.
Setelah menunggu selama 3 menit, akhirnya datang bus dari arah selatan. Aku memberi isyarat pada sopirnya, sehingga bus berhenti di hadapanku. Di dalam bus, aku berusaha mencari tempat duduk yang kosong.
“Mbak Fatimah!” Teriak seorang lelaki yang usianya lebih muda dariku. Aku merasa mengenali wajah itu dan kebetulan d isampingnya masih kosong. Aku pun berjalan mendekat ke arahnya.
“Boleh aku duduk!” Pintaku.
“Silahkan mbak. Silahkan…..!” Jawabnya.
“Emh…kamu kan yang dulu selalu mengantar surat buatku dari Mas Azhar kan!” Terkaku.
“Iya mbak. Aku Adhim, adiknya Mas Azhar.” Jelasnya.
“Apa…? Kamu adiknya Mas Azhar?” Kagetku. Aku baru tau kalau yang selama ini menjadi perantara aku dan Mas Azhar itu ternyata adik kandungnya sendiri.
“Bagaimana kabar Mas Azhar? Apa dia sudah menikah?” Tanyaku tentang Mas Azhar.
“Mas Azhar baik-baik saja. Sebenarnya kepergiannya ke Jepara ingin mewujudkan cita-citanya bersama Mbak Fatimah.” Tutur Adhim memelas.
“Maksud kamu apa Adhim?” Tanyaku penasaran.
“Sebenarnya perjodohan itu sendiri Mas Azhar tidak pernah menghendakinya. Mas Azhar pinjam uang dari Paman Jamal untuk membeli sepeda motor untuk ngajar di sana agar bisa lebih leluasa, demi mewujudkan impiannya semenjak kecil yaitu memiliki pondok pesantren sendiri. Dan suatu ketika, Mas Azhar akan menjemput Mbak Fatimah,namun Mbak Fatimah menghilang entah kemana? saebenarnya Mas Azhar selalu menyuruhku mencari tau tentang keberadaan Mbak Fatimah?” Tuturnya panjang lebar.
“Sebenarnya selama ini siapa sich yang berkhianat? Aku atau dia?” Pikirku dalam hati. Aku hanya terdiam mendengar penjelasan dari Adhim yang terus disertai rasa penyesalan dari dalam hatiku dan disertai deraian air mata yang terus mengalir begitu saja tanpa kusadari.
“A…aku sekarang kuliah di tambak beras.”. Jawabku sambil terbata mengenai keberadaanku.
“Aku sangat berharap Mbak Fatimah benar-benar bisa menjadi kakakku, karena aku tau hanya Mbak Fatimah yang bisa menjadi support bagi Mas Azhar dalam mewujudkan impiannya.” Beber Adhim.
Bus hampir sampai di depan gang rumahku. Aku meminta Adhim tuk mencatat nomor hand phoneku.
“Adhim! Apa kamu tidak ingin mampir ke rumahku barang sebentar?” Tawarku sebelum turun.
“Terima kasih mbak. Tapi aku harus ke Jepara sekarang.” Ungkapnya.
“Salam buat Mas Azhar.” Pintaku sembari turun dari bus.
Setelah satu tahun, aku baru tau kebenarannya. Ternyata selama ini akulah yang berkhianat pada Mas Azhar. Aku merasa tak pantas mendapatkan Mas Azhar. Ingin rasanya aku bersimpuh di pangkuannya tuk mendapatkan belas kasihnya. Namun aku terlanjur menjalin hubungan dengan Pak Rofiq. Aku nggak mungkin membatalkan pernikahanku yang tinggal 2 bulan lagi. Apalagi Ustadz Rofiq putra dari pengasuh pondok pesantren di Denanyar. Alangkah dholimnya aku jika sampai membatalkan pernikahanku dengan Ustadz Rofiq.
BAGIAN 10
Malam ini, aku benar-benar selalu memikirkan Mas Azhar dan berharap andai waktu bisa diputar ke belakang, maka akan aku pertahankan janjiku bersama Mas Azhar.
Kudapati hand phoneku berdering, nomor Adhim memanggil.
“Assalamu’alaikum!” Sapaku.
“Wa’alaikum salam! Mbak Fatimah, Mas Azhar pingin ngomong sama Mbak.” Tutur Adhim.
“Baiklah!” Jawabku dengan sedikit rasa ragu mendengar kembali suara Mas Azhar.
“Assalamu’alaikum Umi!” Sapa Mas Azhar.
“Wa’alaikum salam Abi!” Jawabku terbata sambil meneteskan air mata. Dan aku pun mendengar suara Mas Azhar menarik air yang ada di hidungnya keras. Aku yakin Mas Azhar sekarang pun pasti meneteskan air mata. Perasaan rindu dan kesal bercampur jadi satu.
“ Umi, mengapa Umi tidak minta izin sama Abi kalau akan pindah ke pesantren lain? Aku hampir merasa patah semangat mewujudkan impian bersama Umi.” Kesalnya dengan sedikit emosi.
“Maafkan Umi, Abi! Umi merasa skait hati ketika mendengar Abi kan dijodohkan.” Terangku.
“Adhim kan sudah bercerita sama Umi, kalau perjodohan itu nihil dan hingga kini Abi sendiri masih cinta sam Umi. Tak ada yang lain.” Beber Mas Azhar menyakinkanku.
“Umi jangan pernah behenti berdo’a untuk keberhasilan Abi ya…!” Pinta Mas Azhar.
“Aku nggak mungkin bilang sama Mas Azhar terutama rencana pernikahanku.” Sesalku dalam hati.
“Iya Abi !” Jawabku
“Sudah dulu ya Umi, aku ada jam negajar diniyah sekarang. Assalamu’alaikum.” Mas Azhar mengakhiri teleponnya.
Ternyata keinginan mas Azhar begitu kuat padaku. Apa yang meski aku perbuat?
BAGIAN 11
Setelah satu minggu pertemuanku dengan Adhim, ternyata dia berupaya menemuiku di kampus. Kami pun berbincang-bincang di bawah pohon beringin. Perbicangan kami dikaitkan dengan Mas Azhar. Di tengah-tengah perbincangan kami, tiba-tiba Ustadz Rofiq menghampiriku. Aku yakin baru kali ini beliau melihat aku berani ngobrol berdua dengan seorang laki-laki.
“ Maaf Fatimah Siap Dia?”
“ Kenalkan Adhim. Ini Ustadz Rifiq”
Aku merasa canggung mengenalkan Adhim pada ustadz Rofiq. Tapi harus bagaimana lagi. Aku sudah kepalng tanggung.
“ Ustadz, ini Adhim. Dia adik sepupuku.” Aku mengenalkan ustadz Rofiq pada Adhim dan mereka pun saling berjabat tangan satu sama lain.
Aku melihat wajah Adhim menyimpan 1000 tanda tanya. Akhirnya ustadz Rofiq pun minta izin untuk udzur diri dari aku dan Adhim. Katanya ada rapat dosen. Dan beliaupun berlalu.
Aku mencoba menjelaskan pelan-pelan pada Adhim agar dia tidak menilai yang bukan-bukan tentang aku.
“ Adhim, itu tadi ustadz Rofiq. Dia calon suamiku. Rencananya kami akan melangsungkan akad nikah di bulan syawal depan. Aku minta kamu jangan berfikir tentang aku yang bukan-bukan. Aku benar-benar sakit hati mendengar perjodohan Mas Azhar. Namun bukan berarti ustadz Rofiq sebagai pelarianku. Butuh waktu lama untuk membuka pintu hatiku kembali. Dan sekarang, di kala aku akan mencoretkan pena di lembaran baruku, ternyata lembaran lama menunjukkan ketulusannya. Jadi apa yang harus kuperbuat Adhim? Pantaskah aku mendapatkan Mas Azhar, sedangkan aku telah menghianati cintanya?” Tuturku menyakinkan Adhim.
* * *
Di lain waktu, pengurus pondok mencoba menghubungi keluargaku untuk memberikan kabar mengenai keadaanku sekarang. Saat itu aku sedang sakit. Aku pingsan untuk beberapa saat. Gelapnya malam dan kawasan hutan yang kondisi jalannya naik turun dan tikungan tanpa difasilitasi penerangan di sepanjang jalan Babat – Jombang tak menyiutkan niat kedua orang tuaku untuk segera berada di sisiku.
Sesampai kedua orang tuaku di RS Hj. Jasin Jombang, mereka segera ke ruang ICU dan memelukku erat.
“ Bunda! Bunda! “ Gumanku yang baru saja sadar dari pingsan.
“Fatimah, Alhamdulillah Dok, Fatimah sudah sadar.” Syukur Bunda dan Abah yang segera memanggil dokter untukku.
Setelah memeriksa kondisiku, beliau mengajak abah keruang kerjanya.
“ Maaf Pak, saya ingin meminta persetujuan untuk melakukan foto Rounsent pada anak Bapak, saya rasa itu jalan terakhir tuk memastikan penyeban sakitnya anak Bapak” Jelas Dokter.
“ Baiklah Dok, saya pasrah pada Dokter. Lakukanlah yang terbaik buat anak saya” Pasrah Abah.
Tepat pukul delapan malam dilakuakn foto Rounsent padaku. Setelah menunggu satu jam kemudian, penyakitku baru terdeteksi. Ternyata aku mengindap kanker otak stadium 4. Kedua orang tuaku tidak henti-hentinya membacakan ayat-ayat Al-Qur’an dan memanjatkan do’a untuk kesembuhanku.
Sebelum dokter memutuskan langkah seterusnya, jam 11.35 aku menghembuskan nafas terakhirku dan menutup catatan malaikat Roqib dan Atid di sepanjang hidupku. Kedua orang tuaku tak mampu menerima takdir yang telah dituliskan padaku.
Di dalam saku baju yang kukenakan, ada secarik kertas dan itu adalah curahan dalam qolbuku.
Kujalani hari yang penuh dengan kepedihan
Kurangkai kisah yang penuh dengan kesedihan
Hati ini sudah tak mampu untuk bertahan
Tapi apalah daya, ini kehendak Tuhan
Ingin aku meraung-raung dalam sepi
Diri ini sudah tak bertahan lagi
Untuk menjalani hidup yang seperti ini
Kutertawa untuk semua
Kuberi canda untuk mereka
Dan kuceria dalam tangis tak nyata
Hanya dalam kesabaran di hati
Aku bisa bertahan hingga kini
Waktuku harus menyimpan seribu duka
- di palung hati
Oh….Tuhan, tabahkanlah hatiku
Kuatkanlah imanku
Agar aku bisa menyimpan semua dukaku
Hingga tak ada seorang pun yang tahu
Akan pedih perih batinku.
Dan biarlah semua ini menjadi pusara cinta
- abadiku
Terpancar di batu nisan hidupku
Setelah membacanya mereka merasa meyesal karena tak pernah mengetahui akan kepedihan hatiku. Suasana hening pun mencuak menjadi tangis dan sendu, di tengah-tengah seruan takbir di seluruh penjuru.
Acara pemakamanku dilakasanakan setelah sholat Id. Orang tuaku segera memberi kabar ke keluarga ustadz Rofiq di Denanyar. Mereka pun segera datang ke rumah sakit dan mengantarkan jenazahku ke rumah dukaku.
Setelah apa yang diimpikannya terwujud, Mas Azhar segera mencariku di pesantren. Namun beliau tidak menemukanku di sana. Beliau pun akhirnya bergegas beranjak dari tempat itu. Dan menuju rumahku tanpa pulang terlebih dahulu. Dari situ beliau tahu akan kematianku. Akan tetapi beliau sebelumnya belum mengerti akan kematianku. Bahkan saat acara pembacaan ceramah sebelum keberangkatanku ke persemayaman terakhirku membuat Mas Azhar bertanya-tanya.
“Jenazah siapa yang berada dibalik keranda itu?” ujarnya dalam hati.
Setelah Mas Azhar mengetahui bahwa itu adalah jenazahku, beliau tertekuk layu di bawah kerandaku. Kedua matanya berkaca-kaca. Dan sejenak kemudian meneteskan air mata.
Acara pemakaman pun segera dimuali. Mas Azhar minta izin untuk ikut andil membawa keranda itu. Di bagian depan ada seorang yang asing bagi Mas Azhar. Namun yang sebelahnya Abah Fatimah. Mas Azhar tepat di belakang Abah Fatimah. Dan di sebelah Mas Azhar, Adhim ikut ambil bagian juga. Mereka semua membawa usungan keranda itu ke makam yang jaraknya + 1 KM. Mas Azhar merasa kelelahan. Dan beliau pun akhirnya digantikan dengan yang lain. Tidak lama kemudian, Mas Azhar melihat Abah Fatimah kelelahan. Akhirnya beliau mengantikannya.
Usai acara pemakaman, Mas Azhar sengaja berhenti dan ngobrol-ngobor dengan keluarga Fatimah. Belia bertanya panjang lebar akan sebab musabab kematianku. Dalam hati beliau terbersit goresan keluh yang begitu memilu.
“Mengapa semua harapan yang kulambungkan tinggi kini harus berakhir turun ke bumi? Adakah sepercik keikhlasan hati darinya meski hanya sebiji sawi?”
Dari pemakamanku itulah, Mas Azhar kenal ustadz Rofiq melalui Adhim. Dan ternyata dia orang yang tadi ikut membawa jenazah di depan. Dan beliau pun akhirnya tahu akan rencana pernikahanku dan ustadz Rofiq di bulan syawal ini.
Mas Azhar melihat wajah ustadz Rofiq menunjukkan kedukaannya. Beliau pun menajadi akrab dengan ustadz Rofiq karena merasakan kedukaan yang sama.
Setelah kepergianku, ustadz Rofiq pun akhirnya menikah dengan putri seorang pengasuh pondok pesantren “Al-Falah” Trenceng Tulungangung. Sedangkan Mas Azhar memutuskan membina pesantrennya sendiri. Pesantren itu di khususkan bagi santri putra yang ingin khufadz.
Entah apa yang terjadi hari itu? Saat perjalanan menuju sekolah, Mas Azhar mengalami musibah. Beliau ditabrak seorang geng motor yang sedang mengebut di jalan raya. Dan akhirnya, Mas Azhar mengakhiri hidupnya dengan kata ….… “Allahu Akbar !!!”
---
Novelet ini kupersembahkan kepada Kedua orang tua yang tercinta. Dan Mbah ibu & Bu Nyai Muda yang sebagai suri tauladan bagiku yang sekarang menunaikan ibadah umroh di bulan Romadhon pada tahun 2008.
---
*)Almania Rohmah lahir di Lamongan, 12 April 1987. Lulus pendidikan MI di Dandang Pucang Telu Kalitengah Lamongan tahun 2000, MTs Putra-Putri Simo 2003, MA Matholi’ul Anwar 2006, dan sekarang masih menyelesaikan strata satu di Unisda Lamongan.
Penulis hobinya menjajaki berbagai macam pondok pesantren baik regional maupun nasional. Selama tujuh tahun ngangsu kaweruh di Pondok Pesantren Matholi’ul Anwar. Kini ia berdomisili di Pondok Pesantren Matholi’ul Anwar. Alamat aslinya desa Prambon, Pucangtelu, Kalitengah, Lamongan, JaTim.
BAGIAN 1
Tok…! Tok…! “Fatimah, bangun! Sudah jam 03.00 WIB.” Teriak Bundaku.
“Iya Bunda!” Jawabku singkat.
Yach…, begitulah ibuku akrab memanggilku. Fatimah Az Zahrah adalah nama lengkapku. Nama itu pemberian orang tuaku. Kebetulan, orang tuaku merupakan salah seorang tokoh agama di desaku. Tepatnya desa Modo. Semenjak usia dini, orang tuaku sudah mendidikku dengan ajaran-ajaran agama hingga sekarang aku lulus dari SMP 1 Modo.
Untuk melanjutkan ke Sekolah Menengah Atas, orang tuaku sudah memilihkannya untukku. Dan rencananya pagi ini juga, aku akan berangkat ke sana. Seusai sholat Qiyamul Lail, akupun mempersiapkan segala keperluanku sambil menunggu adzan Shubuh.
Beberapa saat kemudian, setelah aku selesai mengerjakan sjolat subuh. Dan saat itu kira-kira matahari telah setinggi badan, aku bersiap-siap untuk berangkat ke calon sekolahku yang baru. Yach, aku hendak mendaftarkan diri di sana.
“Fatimah, ayo sarapan dulu !” Ajak Bunda.
“Sebentar Bunda, aku masih ganti baju.” Sahutku.
Selesai ganti baju, aku pun keluar dari kamar dan menuju meja makan untuk sarapan pagi bersama orang tuaku.
“Sudah jam 7, ayo kita berangkat.” Ajak Abah mengingatkan sudah siang, karena besok pagi sudah ada tes masuk. Kami pun bergegas masuk mobil dan tak lupa barang bawaanku. Dalam hatiku bertanya-tanya, sekolah mana yang sudah dipilih Abah buatku?
Dari kota Babat berjalan ke arah selatan mengikuti jalur utama. Setelah berjalan 28 Km, kami pun memasuki kota Jombang. Dan ternyata perjalanan kami berakhir di depan pintu gerbang Pondok Pesantren Tebu Ireng. Aku merasa senang sekali. Sebab itu adalah keinginanku semenjak kecil. Aku bisa mondok di pesantren tersebut. Baru sekarang inilah, orang tuaku memberikan hadiah sepesial dan berharga atas kelulusanku.
Bunda mengajakku masuk ke pondok pesantren Masruriyah Putri. Dari pintu gerbang pondok, kudapati Mushola dan di sebelahnya ruang kantor. Aku yang begitu awam dengan tempat ini, hanya bisa mengikuti langkah Bunda. Kami pun menuju keruang kantor. Ternyata semua pengurus di dalamnya sedang disibukkan dengan aktivitasnya masing-masing. Tiba-tiba salah seorang di antara mereka ada yang menghampiri kami setelah mendengar salam dari kami.
“Oh Ibu, silahkan duduk!” Sapa seorang gadis pada bundaku. Tampaknya gadis itu sudah kenal dengan Bunda.
“Fatimah, ini mbak Fiqo, ketua umum di pondok pesantren ini.” Bunda mengenalkan aku pada gadis yang begitu asing buatku itu. Dan kami pun saling berjabat tangan.
“Jadi, ini anak Ibu yang akan mondok di sini?” Terkanya padaku.
“Iya Mbak !” Jawab Bunda singkat.
“Kalau begitu, mari saya antar ke kamar A” Ajaknya. Kami pun berjalan ke lantai atas untuk melihat kamarku. Bangunan yang dirancang seperti huruf “U” dan hanya bersusun satu. Kamar “A” berada tepat di ujung paling utara.
Setelah seharian, Bunda pun minta pamit padaku.
“Fatimah, apa kamu tidak ingin bertemu dengan Abah kamu sebelum kami pulang?” Saran Bunda padaku.
“Iya Bunda!” Jawabku singkat.
Kami pun menuju ndalem pengasuh pondok pesantren “Masruriyah Putri”. Selang beberapa menit, Abah minta pamit padaku karena akan ada pengajian, malam ini di desaku.
BAGIAN 2
Malam pertama di pondok pesantren ini, aku begitu juga semua santri lama maupun baru berkumpul bersama pengurus di dalam Mushola guna membacakan tata tertib pondok pesantren dan dilanjutkan Tausyiyah dari Ustadz pengasuh pondok pesantren.
Laju jam begitu lambat, memang kenyataan lebih pahit dibandingkan dengan khayalan. Dulu aku sangat berharap bisa mondok di sini. Namun setelah aku di sini, hari pertama saja aku sudah mulai bosan. Apalagi seterusnya.
Dinginnya hawa angin malam dan alas tidur yang tipis membuatku masuk angina. Sehingga dalam waktu semalam saja aku harus bolak-balik ke kamar mandi dan naik turun tangga sampai lima kali. Dalam benakku, dalam seminggu saja mungkin bisa turun 5 kilo berat badanku kalau setiap malam begini terus. Jadi nggak perlu buang uang buat biaya diet donk!
Adzan Subuh pun berkumandang. Namun mataku terasa berat untuk dibuka, setelah begadang semalaman di kamar. Dan usai sholat Shubuh, aku pun tidur lagi.
“Fatimah, apa kamu nggak ikut tes hari ini?” Rina mencoba membangunkanku.
“Emangnya sekarang sudah jam berapa Rin?” Tanyaku balik.
“Jam 07. 45 WIB” Jawabnya.
“Aduh…! Gimana nich, jam 8 kan sudah dimulai. 15 menit lagi aku harus sampai ke sekolah.” Pagi hari itu, cuma kuawali dengan cuci muka dan menggosok gigi. Kemudian memakai baju seragam. Tapi aku belum tahu pake’ seragam apa untuk hari Senin ini. Aku pun berlari keluar kamar. Aku melihat tinggal ada beberapa temanku yang sedang memakai sepatu dan siap pergi kesekolah. Dan aku akhirnya tahu, untuk tes kali ini memakai seragam putih dan abu-abu. Di halaman pondok sudah tidak kudapati teman-temanku lagi. Di luar gerbang aku pun bingung. Harus berjalan ke arah mana untuk menuju ke SMA A.W.H? Kudapati seorang lelaki berjalan dari arah utara.
“Maaf Mas, SMA A.W.H itu di sebelah mana?” Tanyaku.
“Mari saya antar!” Tawarnya.
Aku yang masih lugu menolak tawarannya. Di benakku sempat terpikirkan “Bagaimana jika aku bukannya kesekolah malah ketempat yang lain?” Aku pun berjalan asal neronyong aja. Berlawanan dengannya.
“Mbak, mau ke mana? SMA A. W. H itu di sebelah sana. Kalau Mbak lewat situ nanti bingung.” Sarannya seraya menunjukkan telunjukknya ke suatu arah tertentu.
“Dari gang sebelah jembatan itu lurus saja, lalu pean Tanya disana kalau ada perempatan” Himbaunya lebih lanjut.
Aku pun berbalik arah sambil menundukkan kepala karena merasa malu dengannya. Dan sesampainya di SMA A. W. H aku pun menemui pengawas tes dan meminta izin untuk masuk ke ruangan. Namun beliau menolak dan menyuruh aku mengerjakan soal tes di depan ruangan karena di dalam tidak ada bangku kosong lagi.
Dari ruang sebelah, seorang pengawas keluar dan melangkah ke arahku. Alngkah terkejutnya aku. Ternyata lelaki itu juga ada di sini. Aku pun menarik nafas dalam-dalam dan megeluarkannya dengan cepat. Aku yang masih merasa malu segera menutup mukaku dengan kerudung sambil menundukkan kepalaku. Andai tadi aku tak menolak tawarannya, aku takkan merasa semalu ini. Ternyata dia ada perlu dengan pengawas yang ada di ruanganku.
Selesai tes, aku sengaja menunggu Rina keluar agar aku bisa pulang bareng dengannya. Tidak lama kemudian, kudapati Rina baru saja keluar dari ruangnya.
“Rina, tunggu aku!” Teriakku.
Rina pun menampakkan senyumnya dan menanti kedatanganku.
“Bagaimana Fatimah? kamu tadi datang nggak telat kan?” Tanya Rina.
“Iya sich. Mana aku belum tahu lagi di mana SMA A.W.H itu.” Ujarku sedikit kesal.
“Maaf Fatimah, kalau tadi pagi aku nggak nunggu kamu.” Sesal Rina.
“Nggak apa-apa kok Rin. Akunya aja sich yang malas bangun” Sadarku.
“Lho Rin, kita mau ke mana? Kok lewat sini? Apa nggak salah?” Sangkalku.
“Emangnya kamu tadi lewat mana?” Tanyanya balik padaku.
“Sebelah sana!” Tunjukku. Yang ternyata tak sengaja aku menunjuk ke belakang dan mengenai tangan seseorang yang ada di belakangku. Dan…...
“Subhanallah, itu tangan seorang guru yang ngajar di SMA A. W. H.” Aku kaget.
“Maaf Pak, maaf!” Himbauku
“Nggak apa-apa. Tolong berikan surat ini pada Mas Azhar di pondok Mastra.”
“Iya Pak.” Sahutku.
“MASTRA”, singkatan dari “Masruriyah Putra”. Di depan pintu gerbang itu, aku mencoba menyampaikan amanat dari Pak Guru. “Bisa betemu dengan Mas Azhar?”
“Aduh….! Kenapa aku harus bertemu lelaki itu lagi?” Kesalku dalam hati.
“Ada apa?” Tanyanya padaku dan Rina.
“Bisa bertemu dengan Mas Azhar?” Tanyaku.
“Iya ada apa?” Sahutnya.
“Mas Azharnya mana?” Tanyaku balik.
“Akulah Mas Azhar!” Ujar kesalnya.
“Ini Pak, dapat surat dari sekolah.” Tukasku.
“Ya Allah, mengapa aku meski berhadapan dengan orang yang menjengkelkan seperti beliau?” Degub batinku sekali lagi.
BAGIAN 3
Tepat di hari Kamis malam Jum’at, ada Diniyah dan jamaah sholat Isya’. Saat itu, aku duduk di depan teras kamarku sambil menghafal 100 kosakata setiap hari, yang sudah menjadi kewajiban di pondok pesantren ini. Dengan jelas kudengar suara lantunan ayat-ayat Al-Qur’an yang mampu menembus relung mercu qolbuku yang membeku.
“Wahai sang Khaliq, insan seperti apakah yang pantas engkau anugerahi suara sesempurna itu?” Pertanyaan itu tiba-tiba muncul dari dalam hati kecilku. Entah, aku tak tau, mengapa ungkapan itu melingkupi batinku.
“Jiwa yang sesuci apakah yang pantas mendampinginya di kala suka maupun dukanya?” Dengan bertubi-tubi, pertanyaan-pertanyaan seperti itu datang dari dalam hatiku. Sesekali bening bola mataku meneteskan embun haru di hamparan pipiku. Membasah kering kulitku.
“Ada apa Fatimah? Mengapa kamu menangis?” Suara Rina mengagetkanku.
“Nggak ada apa-apa kok Rin!” Jawabku singkat sambil menyeka air mataku.
“Kamu sendiri kok belum tidur Rin?” Tanyaku balik.
“Aku mau ke kamar mandi!” Jawabnya.
“Mau kuantar Rin?” Tawarku.
“Nggak usah, kamu tidur aja sekarang.” Sarannya.
BAGIAN 4
Sewaktu aku dan Rina berangkat ke sekolah, ada seseorang yang iseng denganku.
“Rin, kenalin donk, aku sama temen kamu!” Ledeknya.
“Hai cantik, boleh nggak aku kenalan?” Orang itu menghampiriku.
“Ach…!” Teriakku.
Dia menarik kerudungku, hingga rambut panjangku terurai. Aku menangis di pangkuan Rina. Dan tak kusangka, Mas Azhar datang menghampiriku sambil mengambilkan kerudungku yang terjatuh. Kebetulan, saat itu, Bunda dan Abah datang membesukku. Aku pun membatalkan niatku tuk pergi ke sekolah dan masih trauma dengan kejadian tadi. Semenjak kejadian itu, setiap aku bertemu dengan Mas Azhar, beliau selalu tersenyum padaku.
BAGIAN 5
Suatu hari, di perjalanan pulang sekolah. Tepat di belakang asrama putra. Seorang anak lelaki menyapaku.
“Mbak Fatimah!” Terkanya.
“Iya, ada apa?” Tanyaku yang sama sekali tak kenal dengannya.
“Ini buat Mbak Fatima !” Ucapnya sambil menyodorkan surat padaku.
Sesampai di pondok, aku menuju ke kamar mandi, untuk membaca surat itu. Awal kubuka surat, aku langsung mencari nama penulisnya. Ternyata tertera nama Mas Azhar. Aku merasa antara percaya dan tidak percaya. Hatiku gamang. Mana mungkin Mas Azhar nulis surat buatku. Dalam surat itu, hanya satu kata yang tertulis dengan jelas “Ana Ukhibbu Ila Anti”. Aku yang sebelumnya belum pernah mengenal kata cinta merasa bingung harus berbuat apa? Beliau memberi pilihan padaku. Jika aku menerima, aku akan memenggilnya Abi. Itu sudah cukup menjadi jawaban atas perasaanku.
Suara mikrophone mengagetkanku. Aku dipanggil ke kantor karena ada telepon. Dan aku pun bergegas datang ke kantor.
“Assalamu’alaikum!” Sapaku.
“Wa’alaikum salam, Fatimah! Ini aku, Azhar.” Terangnya.
“Apa? Mas Azhar?” Kagetku dalam hati.
“Apa jawabanmu?” Tanyanya lagi.
“I….iya, Abi.” Jawabku singkat sambil terbata.
“Alhamdulillah, mudah-mudahan ini bukan main-main. Aku ingin memilikimu untuk di dunia dan akhiratku.”
“Umi, entar malam ada Mudarrosah. Abi ingin Umi merupakan salah seorang yang selalu setia mendengarkan Abi ngaji.” Pintanya.
“Insya Allah Abi.” Jawabku.
“Assalamu’alaikum.” Beliau mengakhiri teleponnya.
Aku duduk di depan kamarku. Aku merasa tak percaya dengan apa yang sedang terjadi saat itu, hingga seorang pengurus mengagetkanku.
“Hayo! Ngelamunin siapa?” Tanya Mbak Iim.
“Ach ! Mbak Iim bisa aja!” Elakku.
“Ternyata suara itu milik Mas Azhar. Beberapa malam lalu, dalam setiap lantunan ayat-ayat Al-Qur’an yang dibacakannya, aku selalu berdoa terus menerus diiringi deraian air mata. Hanya satu yang kuharapkan jikalau memang Mas Azhar itu benar-benar jodohku, jadikanlah dia yang terbaik buat dunia dan akhiratku. Maka ridhoilah kami mengikuti sunnah Rasul-Mu dan menyempurnakan separo agamaku.” Gumam kecilku dalam hati.
Hubungan kami berjalan hanya melalui surat dan telepon saja. Bahkan dengan bertatap muka di jalan itu sudah lebih cukup tuk melepas rasa rindu kami.
Semenjak saat itu, dalam sholat Qiyamul Lailku, aku melupakan untuk kebaikanku dan keluargaku. Aku hanya berdo’a untuk Mas Azhar dan tak ada yang lain. Bahkan setiap ada mudarrosah, akulah pendengar setia yang tak mau ketinggalan. Sebab Mas Azhar selalu mengingatkanku melalui telepon, setiap ada mudarrosah di masjid bagi santri yang khufadz Al-Qur’an di sana.
Setelah berjalan selama 3 tahun, aku baru tahu kalau Mas Azhar itu masih keponakan Ustadz Pengasuh pondok pesantrenku. Dan dia di sini memang sedang menyelesaikan khufadznya.
BAGIAN 6
Cukup lama sudah aku dan Mas Azhar menjalin hubungan cinta saat itu. Kami pun merasa banyak kesamaan satu sama lain. Dan dalam hati kami yakin, kalau kita memang sudah jodoh sehingga di akhir semester kelas III, Mas Azhar minta izin padaku, katanya mau ngajar di pondok pesantren di Jepara yang diasuh oleh pamannya sendiri. Hanya satu pintanya padaku “Umi, do’akan Abi ya!”
“Iya Abi, Umi hanya bisa berdoa buat keberhasilan Abi.” Jawabku pasrah.
Setelah tiga bulan kepergian Mas Azhar Ke Jepara, aku tak lagi mendengarkan kegiatan mudarrosah di Masjid “MASTRA”. Aku mendengar kabar, dia akan dijodohkan dengan anak Kiyai di Yogyakarta. Di saat itu aku harus bergelut dengan ujian-ujian sekolah tuk menentukan keberhasilanku. Tiga tahun sudah, aku berjalan mengenyam pendidikan di pondok pesantren Tebu Ireng. Dan hanya dalam tiga hari inilah seluruh masa depanku, aku pertaruhkan..
Hatiku mungkin sudah tak berbentuk lagi. Aku merasa dihianati kesetiaanku. Aku merasa tak berdaya bangkit kembali untuk menghadapi hari esok. Setiap hari tiada nama y6ang kusebut kecuali nama Mas Azhar. Namun, kini sang Kholiq benar-benar menunjukkan keputusannya. Aku mencintai seseorang yang bukan ditakdirkan menjadi jodohku. Aku berupaya meyakinkan pikiranku sendiri dan pernah terbersit rasa syu’udhon terhadap Tuhanku.
Aku berupaya melupakan kenanganku bersama Mas Azhar dengan membakar semua surat darinya. Setelah pengumuman lulus, Aku sengaja pindah ke pesantren lain. Dan membiarkan kenanganku terkubur di sana. Tambak Beras menjadi pilihanku. Aku memilih Fakultas Tarbiyah di kampus UNDAR dan tinggal di pesantren Al-Lathifiyah 1. Aku mencoba membuka lembaran baru di kehidupanku.
BAGIAN 7
Sebelum kegiatan kuliah di mulai, aku mencoba mengisi hari-hariku dengan kegiatan-kegiatan yang positif. Salah satunya menjadi peserta FMP 3 (Forum Musyawarah Pondok Pesantren Putri) se- Jawa Timur, yang diadakan di Pondok pesantren Lirboyo, Kediri.
Selama kegiatan Bahtsul Masa’il berlangsung, beberapa pendapatku memaksa salah seorang Mushollah muda memancing egoku tuk memberikan alasan-alasan di balik pendapatku itu. Di sana aku juga mendapatkan teman baru yang berasal dari beberapa pondok pesantren yang ada di Jawa Timur.
Sepulang dari Bahtsul Masa’il, seketika itu aku sakit selama tiga hari di pesantren. Sesaat aku teringat Mas Azhar sehingga membuatku meneteskan air mata. Aku berkali-kali berupaya meyakinkan batinku. “Kau bukanlah wujud yang diciptakan dari tulang rusuknya!”. Hingga aku pun yakin bahwa di atas kesempurnaan Mas Azhar ada yang lebih sempurna lagi.
Di hari Senin, aku masuk kuliah dari jam pertama hingga akan jam terakhir. Hari itu tidak ada dosen yang mengajar. Aku sedikit kecewa.
“Buat apa bayar kuliah mahal-mahal kalau ternyata di sini Cuma main-main saja.” Keluhku dalam hati.
“Fatimah! Ada Ustadz Rofiq datang.” Teriak Ima padaku yang sedang ada di dalam perpustakaan kampus. Aku langsung keluar dan bergegas masuk keruang kelasku.
“Assalamu’alaikum!” Sapaku yang masuk telat ke ruangan.
“Wa’alaiku salam.”
“Subhanallah, bukankah ini yang kemarin debat denganku di seminar Bahstul Masa’ail?” Aku kaget setelah melihat wajahnya.
Aku pun segera mencari tempat duduk sambil Pak Rofiq terus memandangiku. Aku hanya bisa berdo’a supaya beliau jangan sampai mengenaliku.
“Ima, apa aku nggak salah, itukan orang yang kemarin ada di musyawarah.” Tanyaku meyakinkan.
“Iya Fat, beliau adiknya Rektor di sini. Ustadz Hanafi Arief. Dulu dia menyelesaikan S-2 nya di Al-Azhar Kairo.” Jelas Ima.
“Beliau ke marin di musyawaroh. Aku rasa menggantikan abahnya seorang pengasuh pondok “Mamba’ul Ma’arif di Denanyar yang mungkin tidak bisa hadir dikarenakan ada halangan.” himbaunya lagi.
Pelajaran yang diterangkan tak masuk ke dalam otakku. Aku hanya menundukkan kepala dan berharap jam kuliah segera usai.
Akihirnya beliau pun mengakhiri mata kuliah hari ini. Sengaja aku keluar telat. Menunggu suasana hingga sepi dan Ustadz Rofiq segera berlalu. Aku pun beranjak keluar. Namun perkiraanku salah. Di samping tiang teras depan ruanganku, kudapati Ustadz Rofiq membelakangiku.
“Mari Ustadz!” Pamitku. Namun suara beliau menghentikan langkahku.
“Apa benar kamu yang ikut di musyawaroh Bahstul Masa’ail kemarin?” Tanya Pak Rofiq.
“Iya Ustadz, ada apa?” Tanyaku balik.
“Apa kamu sudah dapatkan buku hasil Bahstul Masa’ail kemarin?” Tanyanya.
“Belum Ustadz. Kemarin saya tanya sama pengurus harian, katanya sih sedang diproses.”, Ungkapku.
“Kemarin aku sudah dapatkan buku itu. Kalau kamu mau pinjam, besok aku bawakan!” Tawarnya.
“Terima kasih banyak Ustadz!” Balasku.
Aku pikir beliau memang sengaja menunggu aku keluar.
BAGIAN 8
Keesokan harinya, telepon dari nomor yang tak kukenal menghubungiku.
“Asalamu’alaikum.” Sapaku ringan.
“Wa’alikum salam, Fat! Kalau kamu mau ambil bukunya, silahkan ke kantor FAI”. Perintahnya.
Kemudian teleponnya dimatikan. Namun aku bingung, buku apa yang dimaksud? Tanpa basa-basi, aku pun segera menuju ke kantor FAI.
“Assalamu’alaikum.” Sapaku minta diizinkan masuk.
“Wa’alikum salam, ada perlu apa?” Tanya seorang TU di sana.
“Fatimah, ini bukunya!” Sahut seseorang yang ada di sampingku. Ternyata suara itu milik Ustadz Rofiq.
“Tolong dirawat ya!” Pesannya.
“Baik Ustadz!” Aku meyakinkan.
Ternyata nomor yang tadi pagi itu milik Ustadz Rofiq. Dalam hatiku selalu berharap mudah-mudahan beliau tidak ada maksud yang lain. Tiba-tiba hand poneku memberi isyarat bahwa ada pesan yang masuk.
“Rawatlah aku sebagaimana merawat diri kamu sendiri.”
Apa maksud dari pesan ini? Dalam buku itu kutemukan secarik kertas yang menyatakan beliau ingin mengenal aku lebih jauh atau dengan istilah Ta’aruf. Beliau berterus terang merasa kagum padaku. “Fatimah Az-Zahra nama yang sesuai dengan kepribadianmu. Sebagaimana Rasulullah memberi nama pada putri kesayangan beliau Fatimah Az-Zahra yang tak dapat dilukiskan dengan kata-kata dan dikenang sepanjang masa.”.kata-kata itulah yang masih memberkas dalam ingatanku. Aku menghela nafas panjang antara menjawab iya atau tidak.
Akupun bertanya-tanya. ”Apakah ini jawaban atas do’a-do’aku selama ini?”
Aku pun mulai bisa menerima semua ini. Mungkin Mas Azhar belum yang terbaik buat dunia dan akhiratku.
Selang satu minggu, aku baru mengiyakan hubunganku dengan Ustadz Rofiq. Aku merasa telah mendapatkan kesempurnaan sinar surya milikku kembali, setelah beberapa saat terjadi gerhana dalam bumi cintaku.
Setelah 6 bulan melakukan ta’aruf dengan Pak Rofiq, kami merasa saling ada kecocokan, sehingga Pak Rorfiq sendiri tak ingin niatan ta’aruf ini menjadi ladang maksiat. Beliau ingin menghalalkan aku dipandangannya. Sehingga tepat saat aku semester tiga nanti, di bulan Syawwal, akad nikah kami akan dilangsungkan.
BAGIAN 9
Di waktu liburan semester II, aku memutuskan untuk pulang ke rumah. Kali ini aku memilih naik bus tujuan babat, karena Abah sedang disibukkan dengan pekerjaannya.
Setelah menunggu selama 3 menit, akhirnya datang bus dari arah selatan. Aku memberi isyarat pada sopirnya, sehingga bus berhenti di hadapanku. Di dalam bus, aku berusaha mencari tempat duduk yang kosong.
“Mbak Fatimah!” Teriak seorang lelaki yang usianya lebih muda dariku. Aku merasa mengenali wajah itu dan kebetulan d isampingnya masih kosong. Aku pun berjalan mendekat ke arahnya.
“Boleh aku duduk!” Pintaku.
“Silahkan mbak. Silahkan…..!” Jawabnya.
“Emh…kamu kan yang dulu selalu mengantar surat buatku dari Mas Azhar kan!” Terkaku.
“Iya mbak. Aku Adhim, adiknya Mas Azhar.” Jelasnya.
“Apa…? Kamu adiknya Mas Azhar?” Kagetku. Aku baru tau kalau yang selama ini menjadi perantara aku dan Mas Azhar itu ternyata adik kandungnya sendiri.
“Bagaimana kabar Mas Azhar? Apa dia sudah menikah?” Tanyaku tentang Mas Azhar.
“Mas Azhar baik-baik saja. Sebenarnya kepergiannya ke Jepara ingin mewujudkan cita-citanya bersama Mbak Fatimah.” Tutur Adhim memelas.
“Maksud kamu apa Adhim?” Tanyaku penasaran.
“Sebenarnya perjodohan itu sendiri Mas Azhar tidak pernah menghendakinya. Mas Azhar pinjam uang dari Paman Jamal untuk membeli sepeda motor untuk ngajar di sana agar bisa lebih leluasa, demi mewujudkan impiannya semenjak kecil yaitu memiliki pondok pesantren sendiri. Dan suatu ketika, Mas Azhar akan menjemput Mbak Fatimah,namun Mbak Fatimah menghilang entah kemana? saebenarnya Mas Azhar selalu menyuruhku mencari tau tentang keberadaan Mbak Fatimah?” Tuturnya panjang lebar.
“Sebenarnya selama ini siapa sich yang berkhianat? Aku atau dia?” Pikirku dalam hati. Aku hanya terdiam mendengar penjelasan dari Adhim yang terus disertai rasa penyesalan dari dalam hatiku dan disertai deraian air mata yang terus mengalir begitu saja tanpa kusadari.
“A…aku sekarang kuliah di tambak beras.”. Jawabku sambil terbata mengenai keberadaanku.
“Aku sangat berharap Mbak Fatimah benar-benar bisa menjadi kakakku, karena aku tau hanya Mbak Fatimah yang bisa menjadi support bagi Mas Azhar dalam mewujudkan impiannya.” Beber Adhim.
Bus hampir sampai di depan gang rumahku. Aku meminta Adhim tuk mencatat nomor hand phoneku.
“Adhim! Apa kamu tidak ingin mampir ke rumahku barang sebentar?” Tawarku sebelum turun.
“Terima kasih mbak. Tapi aku harus ke Jepara sekarang.” Ungkapnya.
“Salam buat Mas Azhar.” Pintaku sembari turun dari bus.
Setelah satu tahun, aku baru tau kebenarannya. Ternyata selama ini akulah yang berkhianat pada Mas Azhar. Aku merasa tak pantas mendapatkan Mas Azhar. Ingin rasanya aku bersimpuh di pangkuannya tuk mendapatkan belas kasihnya. Namun aku terlanjur menjalin hubungan dengan Pak Rofiq. Aku nggak mungkin membatalkan pernikahanku yang tinggal 2 bulan lagi. Apalagi Ustadz Rofiq putra dari pengasuh pondok pesantren di Denanyar. Alangkah dholimnya aku jika sampai membatalkan pernikahanku dengan Ustadz Rofiq.
BAGIAN 10
Malam ini, aku benar-benar selalu memikirkan Mas Azhar dan berharap andai waktu bisa diputar ke belakang, maka akan aku pertahankan janjiku bersama Mas Azhar.
Kudapati hand phoneku berdering, nomor Adhim memanggil.
“Assalamu’alaikum!” Sapaku.
“Wa’alaikum salam! Mbak Fatimah, Mas Azhar pingin ngomong sama Mbak.” Tutur Adhim.
“Baiklah!” Jawabku dengan sedikit rasa ragu mendengar kembali suara Mas Azhar.
“Assalamu’alaikum Umi!” Sapa Mas Azhar.
“Wa’alaikum salam Abi!” Jawabku terbata sambil meneteskan air mata. Dan aku pun mendengar suara Mas Azhar menarik air yang ada di hidungnya keras. Aku yakin Mas Azhar sekarang pun pasti meneteskan air mata. Perasaan rindu dan kesal bercampur jadi satu.
“ Umi, mengapa Umi tidak minta izin sama Abi kalau akan pindah ke pesantren lain? Aku hampir merasa patah semangat mewujudkan impian bersama Umi.” Kesalnya dengan sedikit emosi.
“Maafkan Umi, Abi! Umi merasa skait hati ketika mendengar Abi kan dijodohkan.” Terangku.
“Adhim kan sudah bercerita sama Umi, kalau perjodohan itu nihil dan hingga kini Abi sendiri masih cinta sam Umi. Tak ada yang lain.” Beber Mas Azhar menyakinkanku.
“Umi jangan pernah behenti berdo’a untuk keberhasilan Abi ya…!” Pinta Mas Azhar.
“Aku nggak mungkin bilang sama Mas Azhar terutama rencana pernikahanku.” Sesalku dalam hati.
“Iya Abi !” Jawabku
“Sudah dulu ya Umi, aku ada jam negajar diniyah sekarang. Assalamu’alaikum.” Mas Azhar mengakhiri teleponnya.
Ternyata keinginan mas Azhar begitu kuat padaku. Apa yang meski aku perbuat?
BAGIAN 11
Setelah satu minggu pertemuanku dengan Adhim, ternyata dia berupaya menemuiku di kampus. Kami pun berbincang-bincang di bawah pohon beringin. Perbicangan kami dikaitkan dengan Mas Azhar. Di tengah-tengah perbincangan kami, tiba-tiba Ustadz Rofiq menghampiriku. Aku yakin baru kali ini beliau melihat aku berani ngobrol berdua dengan seorang laki-laki.
“ Maaf Fatimah Siap Dia?”
“ Kenalkan Adhim. Ini Ustadz Rifiq”
Aku merasa canggung mengenalkan Adhim pada ustadz Rofiq. Tapi harus bagaimana lagi. Aku sudah kepalng tanggung.
“ Ustadz, ini Adhim. Dia adik sepupuku.” Aku mengenalkan ustadz Rofiq pada Adhim dan mereka pun saling berjabat tangan satu sama lain.
Aku melihat wajah Adhim menyimpan 1000 tanda tanya. Akhirnya ustadz Rofiq pun minta izin untuk udzur diri dari aku dan Adhim. Katanya ada rapat dosen. Dan beliaupun berlalu.
Aku mencoba menjelaskan pelan-pelan pada Adhim agar dia tidak menilai yang bukan-bukan tentang aku.
“ Adhim, itu tadi ustadz Rofiq. Dia calon suamiku. Rencananya kami akan melangsungkan akad nikah di bulan syawal depan. Aku minta kamu jangan berfikir tentang aku yang bukan-bukan. Aku benar-benar sakit hati mendengar perjodohan Mas Azhar. Namun bukan berarti ustadz Rofiq sebagai pelarianku. Butuh waktu lama untuk membuka pintu hatiku kembali. Dan sekarang, di kala aku akan mencoretkan pena di lembaran baruku, ternyata lembaran lama menunjukkan ketulusannya. Jadi apa yang harus kuperbuat Adhim? Pantaskah aku mendapatkan Mas Azhar, sedangkan aku telah menghianati cintanya?” Tuturku menyakinkan Adhim.
* * *
Di lain waktu, pengurus pondok mencoba menghubungi keluargaku untuk memberikan kabar mengenai keadaanku sekarang. Saat itu aku sedang sakit. Aku pingsan untuk beberapa saat. Gelapnya malam dan kawasan hutan yang kondisi jalannya naik turun dan tikungan tanpa difasilitasi penerangan di sepanjang jalan Babat – Jombang tak menyiutkan niat kedua orang tuaku untuk segera berada di sisiku.
Sesampai kedua orang tuaku di RS Hj. Jasin Jombang, mereka segera ke ruang ICU dan memelukku erat.
“ Bunda! Bunda! “ Gumanku yang baru saja sadar dari pingsan.
“Fatimah, Alhamdulillah Dok, Fatimah sudah sadar.” Syukur Bunda dan Abah yang segera memanggil dokter untukku.
Setelah memeriksa kondisiku, beliau mengajak abah keruang kerjanya.
“ Maaf Pak, saya ingin meminta persetujuan untuk melakukan foto Rounsent pada anak Bapak, saya rasa itu jalan terakhir tuk memastikan penyeban sakitnya anak Bapak” Jelas Dokter.
“ Baiklah Dok, saya pasrah pada Dokter. Lakukanlah yang terbaik buat anak saya” Pasrah Abah.
Tepat pukul delapan malam dilakuakn foto Rounsent padaku. Setelah menunggu satu jam kemudian, penyakitku baru terdeteksi. Ternyata aku mengindap kanker otak stadium 4. Kedua orang tuaku tidak henti-hentinya membacakan ayat-ayat Al-Qur’an dan memanjatkan do’a untuk kesembuhanku.
Sebelum dokter memutuskan langkah seterusnya, jam 11.35 aku menghembuskan nafas terakhirku dan menutup catatan malaikat Roqib dan Atid di sepanjang hidupku. Kedua orang tuaku tak mampu menerima takdir yang telah dituliskan padaku.
Di dalam saku baju yang kukenakan, ada secarik kertas dan itu adalah curahan dalam qolbuku.
Kujalani hari yang penuh dengan kepedihan
Kurangkai kisah yang penuh dengan kesedihan
Hati ini sudah tak mampu untuk bertahan
Tapi apalah daya, ini kehendak Tuhan
Ingin aku meraung-raung dalam sepi
Diri ini sudah tak bertahan lagi
Untuk menjalani hidup yang seperti ini
Kutertawa untuk semua
Kuberi canda untuk mereka
Dan kuceria dalam tangis tak nyata
Hanya dalam kesabaran di hati
Aku bisa bertahan hingga kini
Waktuku harus menyimpan seribu duka
- di palung hati
Oh….Tuhan, tabahkanlah hatiku
Kuatkanlah imanku
Agar aku bisa menyimpan semua dukaku
Hingga tak ada seorang pun yang tahu
Akan pedih perih batinku.
Dan biarlah semua ini menjadi pusara cinta
- abadiku
Terpancar di batu nisan hidupku
Setelah membacanya mereka merasa meyesal karena tak pernah mengetahui akan kepedihan hatiku. Suasana hening pun mencuak menjadi tangis dan sendu, di tengah-tengah seruan takbir di seluruh penjuru.
Acara pemakamanku dilakasanakan setelah sholat Id. Orang tuaku segera memberi kabar ke keluarga ustadz Rofiq di Denanyar. Mereka pun segera datang ke rumah sakit dan mengantarkan jenazahku ke rumah dukaku.
Setelah apa yang diimpikannya terwujud, Mas Azhar segera mencariku di pesantren. Namun beliau tidak menemukanku di sana. Beliau pun akhirnya bergegas beranjak dari tempat itu. Dan menuju rumahku tanpa pulang terlebih dahulu. Dari situ beliau tahu akan kematianku. Akan tetapi beliau sebelumnya belum mengerti akan kematianku. Bahkan saat acara pembacaan ceramah sebelum keberangkatanku ke persemayaman terakhirku membuat Mas Azhar bertanya-tanya.
“Jenazah siapa yang berada dibalik keranda itu?” ujarnya dalam hati.
Setelah Mas Azhar mengetahui bahwa itu adalah jenazahku, beliau tertekuk layu di bawah kerandaku. Kedua matanya berkaca-kaca. Dan sejenak kemudian meneteskan air mata.
Acara pemakaman pun segera dimuali. Mas Azhar minta izin untuk ikut andil membawa keranda itu. Di bagian depan ada seorang yang asing bagi Mas Azhar. Namun yang sebelahnya Abah Fatimah. Mas Azhar tepat di belakang Abah Fatimah. Dan di sebelah Mas Azhar, Adhim ikut ambil bagian juga. Mereka semua membawa usungan keranda itu ke makam yang jaraknya + 1 KM. Mas Azhar merasa kelelahan. Dan beliau pun akhirnya digantikan dengan yang lain. Tidak lama kemudian, Mas Azhar melihat Abah Fatimah kelelahan. Akhirnya beliau mengantikannya.
Usai acara pemakaman, Mas Azhar sengaja berhenti dan ngobrol-ngobor dengan keluarga Fatimah. Belia bertanya panjang lebar akan sebab musabab kematianku. Dalam hati beliau terbersit goresan keluh yang begitu memilu.
“Mengapa semua harapan yang kulambungkan tinggi kini harus berakhir turun ke bumi? Adakah sepercik keikhlasan hati darinya meski hanya sebiji sawi?”
Dari pemakamanku itulah, Mas Azhar kenal ustadz Rofiq melalui Adhim. Dan ternyata dia orang yang tadi ikut membawa jenazah di depan. Dan beliau pun akhirnya tahu akan rencana pernikahanku dan ustadz Rofiq di bulan syawal ini.
Mas Azhar melihat wajah ustadz Rofiq menunjukkan kedukaannya. Beliau pun menajadi akrab dengan ustadz Rofiq karena merasakan kedukaan yang sama.
Setelah kepergianku, ustadz Rofiq pun akhirnya menikah dengan putri seorang pengasuh pondok pesantren “Al-Falah” Trenceng Tulungangung. Sedangkan Mas Azhar memutuskan membina pesantrennya sendiri. Pesantren itu di khususkan bagi santri putra yang ingin khufadz.
Entah apa yang terjadi hari itu? Saat perjalanan menuju sekolah, Mas Azhar mengalami musibah. Beliau ditabrak seorang geng motor yang sedang mengebut di jalan raya. Dan akhirnya, Mas Azhar mengakhiri hidupnya dengan kata ….… “Allahu Akbar !!!”
---
Novelet ini kupersembahkan kepada Kedua orang tua yang tercinta. Dan Mbah ibu & Bu Nyai Muda yang sebagai suri tauladan bagiku yang sekarang menunaikan ibadah umroh di bulan Romadhon pada tahun 2008.
---
*)Almania Rohmah lahir di Lamongan, 12 April 1987. Lulus pendidikan MI di Dandang Pucang Telu Kalitengah Lamongan tahun 2000, MTs Putra-Putri Simo 2003, MA Matholi’ul Anwar 2006, dan sekarang masih menyelesaikan strata satu di Unisda Lamongan.
Penulis hobinya menjajaki berbagai macam pondok pesantren baik regional maupun nasional. Selama tujuh tahun ngangsu kaweruh di Pondok Pesantren Matholi’ul Anwar. Kini ia berdomisili di Pondok Pesantren Matholi’ul Anwar. Alamat aslinya desa Prambon, Pucangtelu, Kalitengah, Lamongan, JaTim.
Langganan:
Postingan (Atom)
A Rodhi Murtadho
A. Ginandjar Wiludjeng
A. Junianto
A. Kurnia
A. Qorib Hidayatullah
A. Yusrianto Elga
A.S Laksana
A’yat Khalili
Aang Fatihul Islam
Abdul Azis Sukarno
Abdul Aziz Rasjid
Abdul Hadi WM
Abdul Kadir Ibrahim
Abdul Malik
Abdul Razak
Abdul Rosyid
Abdul Wahab
Abdurrahman Wahid
Abu Salman
Acep Iwan Saidi
Acep Zamzam Noor
Adam Chiefni
Ade P. Nasution
Adhitia Armitriant
Adi Prasetyo
Adrizas
AF. Tuasikal
Afriza Hanifa
Afrizal Malna
Agama Para Bajingan
Agnes Rita Sulistyawaty
Aguk Irawan M.N.
Agus B. Harianto
Agus Buchori
Agus R. Sarjono
Agus R. Subagyo
Agus Sulton
Agus Sunyoto
Ahda Imran
Ahid Hidayat
Ahmad Baso
Ahmad Faishal
Ahmad Fatoni
Ahmad Hasan MS
Ahmad Kekal Hamdani
Ahmad Khotim Muzakka
Ahmad Muchlish Amrin
Ahmad Naufel
Ahmad Rofiq
Ahmad S. Zahari
Ahmad Syauqi Sumbawi
Ahmad Yulden Erwin
Ahmad Zaini
Ahmadun Yosi Herfanda
Ahsanu Nadia
Aini Aviena Violeta
Ainul Fiah
Ajip Rosidi
Akhiriyati Sundari
Akhmad Muhaimin Azzet
Akhmad Sekhu
Akhmad Sofyan Hadi
Akhmad Taufiq
Akhudiat
Akmal Nasery Basral
Alam Terkembang
Alang Khoiruddin
Alex R. Nainggolan
Alfian Dippahatang
Ali Audah
Ali Mahmudi CH
Ali Rif’an
Almania Rohmah
Ami Herman
Amien Wangsitalaja
Aminah
Aminullah HA.Noor
Amir Sutaarga
Anam Rahus
Anata Siregar
Andari Karina Anom
Andina Dwifatma
Andong Buku #3
Andre Mediansyah
Andri Awan
Anett Tapai
Anggie Melianna
Anindita S Thayf
Anis Ceha
Anjrah Lelono Broto
Anton Bae
Anton Kurnia
Anton Wahyudi
Anwar Nuris
Ardi Bramantyo
Ardus M Sawega
Arie MP Tamba
Arie Yani
Arief Joko Wicaksono
Arief Junianto
Ariera
Arif Bagus Prasetyo
Aris Kurniawan
Arman A.Z.
Arswendo Atmowiloto
Arti Bumi Intaran
AS Sumbawi
Asarpin
Asep Sambodja
Asmaul Fauziyah
Asti Musman
Atafras
Awalludin GD Mualif
Ayu Wulan Sari
Aziz Abdul Gofar
Azizah Hefni
Bagus Takwin
Bahrul Ulum A. Malik
Balada
Bale Aksara
Balok Sf
Bambang Kempling
Bamby Cahyadi
Bandung Mawardi
Beni Setia
Benny Arnas
Benny Benke
Beno Siang Pamungkas
Bentara Budaya Yogyakarta
Berita
Berita Duka
Berita Koran
Bernando J Sujibto
Berthold Damshauser
BI Purwantari
Binhad Nurrohmat
Bobby Gunawan
Bonari Nabonenar
Brunel University London
Budaya
Budi Darma
Budi P. Hatees
Budiman S. Hartoyo
Burhanuddin Bella
Camelia Mafaza
Catatan
Cerbung
Cerpen
Chairul Akhmad
Chamim Kohari
Chavchay Syaifullah
Cover Buku
Cucuk Espe
D. Zaini Ahmad
D. Zawawi Imron
Dadang Ari Murtono
Dahta Gautama
Daisuke Miyoshi
Damhuri Muhammad
Dami N. Toda
Damiri Mahmud
Danarto
Daniel Paranamesa
Danusantoso
Dareen Tatour
Darju Prasetya
David Kuncara
Denny Mizhar
Denza Perdana
Desi Sommalia Gustina
Desiana Medya A.L
Dewan Kesenian Lamongan (DKL)
Dewi Indah Sari
Dewi Susme
Dian Sukarno
Didik Harianto
Didik Kusbiantoro
Dina Jerphanion
Dina Oktaviani
Dinas Kebudayaan dan Pariwisata (Disbudpar) Jawa Timur
Dipo Handoko
Diyah Errita Damayanti
Djoko Pitono
Djoko Saryono
Doddy Wisnu Pribadi
Dody Kristianto
Dody Yan Masfa
Donny Anggoro
Donny Syofyan
Dorothea Rosa Herliany
Dr Junaidi SS MHum
Dwi Cipta
Dwi Fitria
Dwi Pranoto
Dwi Wiyana
Dyah Ratna Meta Novia
Dyah Sulistyorini
Ecep Heryadi
Eddy Pranata PNP
Edeng Syamsul Ma’arif
Eep Saefulloh Fatah
EH Kartanegara
Eka Budianta
Eka Kurniawan
Eko Hendrawan Sofyan
Eko Hendri Saiful
Eko Windarto
Elnisya Mahendra
Elva Lestary
Emha Ainun Nadjib
Emil WE
Endah Sulwesi
Endo Suanda
Eppril Wulaningtyas R
Esai
Evan Ys
F. Moses
F. Rahardi
Fadlillah Malin Sutan
Fahmi Faqih
Fahrudin Nasrulloh
Faisal Kamandobat
Fajar Kurnianto
Fanani Rahman
Fanny Chotimah
Fatah Anshori
Fatah Yasin Noor
Febby Fortinella Rusmoyo
Felix K. Nesi
Festival Sastra Gresik
Gabriel Garcia Marquez
Galang Ari P.
Galuh Tulus Utama
Gampang Prawoto
Gandra Gupta
Ganug Nugroho Adi
Gerson Poyk
Ghassan Kanafani
Gita Nuari
Gita Pratama
Goenawan Mohamad
Grathia Pitaloka
Gunoto Saparie
H.B. Jassin
Habibullah
Hadi Napster
Hadriani Pudjiarti
Halim HD
Halimi Zuhdy
Hamberan Syahbana
Han Gagas
Hanibal W. Y. Wijayanta
Hardi
Haris del Hakim
Haris Saputra
Harri Ash Shiddiqie
Hartono Harimurti
Hary B Kori’un
Hasan Aspahani
Hasan Junus
Hasif Amini
Hasnan Bachtiar
Hasta Indriyana
HE. Benyamine
Hendra Junaedi
Hendra Makmur
Heri CS
Heri Latief
Heri Listianto
Herman RN
Herry Lamongan
Heru CN
Heru Nugroho
Hikmat Gumelar
HL Renjis Magalah
Hudan Nur
Hujuala Rika Ayu
Huminca Sinaga
IBM. Dharma Palguna
Ibnu Wahyudi
Ida Farida
Idris Pasaribu
Ignas Kleden
Ignatius Haryanto
Iksan Basoeky
Ilham Khoiri
Imam Cahyono
Imam Muhtarom
Imam Nawawi
Imamuddin SA
Iman Budhi Santosa
Imron Rosyid
Imron Tohari
Indiar Manggara
Indra Intisa
Indra Tjahyadi
Indra Tranggono
Indrian Koto
Ira Puspitaningsih
Irfan Budiman
Isbedy Stiawan Z.S.
Iskandar Noe
Iskandar Zulkarnain
Ismail Marzuki
Iva Titin Shovia
Iwan Kurniawan
Jabbar Abdullah
Jafar Fakhrurozi
Jalan Raya Simo Sungelebak
Jamal D. Rahman
Jamal T. Suryanata
Javed Paul Syatha
Jayaning S.A
JILFest 2008
Jody Setiawan
Johan Edy Raharjo
Johannes Sugianto
Joko Pinurbo
Joko Sandur
Joni Ariadinata
Jual Buku
Jual Buku Paket Hemat
Juan Kromen
Julika Hasanah
Jurnalisme Sastrawi
Jusuf AN
Juwairiyah Mawardy
Ka’bati
Karanggeneng
Karya Lukisan: Andry Deblenk
Kasnadi
Keith Foulcher
Kemah Budaya Panturan (KBP)
Khansa Arifah Adila
Khoirul Inayah
Khoirul Rosyadi
Khudori Husnan
Ki Ompong Sudarsono
Kirana Kejora
Komplek Gor Kamantren Paciran Lamongan
Komunitas Deo Gratias
Komunitas Sastra Ilalang Indonesia
Korrie Layun Rampan
Kostela
Kritik Sastra
Kukuh S Wibowo
Kurnia Effendi
Kurniawan
Kuswaidi Syafi'ie
L.N. Idayanie
Laili Rahmawati
Lamongan
Lan Fang
Langgeng Widodo
Lathifa Akmaliyah
Leila S. Chudori
Lely Yuana
Lembaga Pengembangan Pembelajaran dan Penjaminan Mutu (LP3M) Universitas Jember
Liestyo Ambarwati Khohar
Lina Kelana
Linda Sarmili
Liza Wahyuninto
Lucia Idayanie
Lukman A Sya
Lutfiah
Lynglieastrid Isabellita
M Arman AZ
M Ismail
M Thobroni
M. Afifuddin
M. Arwan Hamidi
M. Lukluk Atsmara Anjaina
M. Lutfi
M. Luthfi Aziz
M. Nurdin
M. Yoesoef
M.D. Atmaja
M.S. Nugroho
Mahendra Cipta
Mahmud Jauhari Ali
Mahmud Syaltut Usfa
Mahmudi Arif Dahlan
Malam Apresiasi Seni Tanahmerah Ponorogo
Malkan Junaidi
Maman S. Mahayana
Mardi Luhung
Marhalim Zaini
Martin Aleida
Maruli Tobing
Mas Ruscita
Mashuri
Masuki M. Astro
Matroni
Matroni Muserang
Media: Crayon on Paper
Membongkar Mitos Kesusastraan Indonesia
MG. Sungatno
Mh Zaelani Tammaka
Mia Arista
Mia El Zahra
Mikael Johani
Misbahus Surur
Misran
Mohamad Ali Hisyam
Mohammad Eri Irawan
Much. Khoiri
Muh. Muhlisin
Muhammad Al-Fayyadl
Muhammad Amin
Muhammad Aris
Muhammad Muhibbuddin
Muhammad Rain
Muhammad Taufiqurrohman
Muhammad Yasir
Muhammad Zuriat Fadil
Muhammadun
Muhammadun AS
Muhidin M Dahlan
Mujtahid
Mujtahidin Billah
Mukti Sutarman Espe
Mulyadi SA
Mulyosari Banyuurip Ujungpangkah Gresik
Munawir Aziz
Musfarayani
Musfi Efrizal
Nafisatul Husniah
Nandang Darana
Naskah Teater
Nelson Alwi
Ni Made Purnamasari
Nikmatus Sholikhah
Nina Herlina Lubis
Nina Susilo
Ning Elia
Noor H. Dee
Noval Jubbek
Novel-novel berbahasa Jawa
Novelet
Nunuy Nurhayati
Nur Azizah
Nur Hamzah
Nur Kholiq
Nurdin Kalim
Nurel Javissyarqi
Nurul Aini
Nurul Anam
Nurul Komariyah
Nuryana Asmaudi SA
Nyoman Tusthi Eddy
Obrolan
Okty Budiati
Orasi Budaya Akhir Tahun 2018
Otto Sukatno CR
Oyos Saroso H.N.
Pagan Press
Pagelaran Musim Tandur
Palupi Panca Astuti
Parimono V / 40 Plandi Jombang
Pawang Surya Kencana
PDS H.B. Jassin
Petrus Nandi
Politik
Politik Sastra
Pradana Boy ZTF
Pramoedya Ananta Toer
Pramono
Pringadi AS
Prof Dr Fabiola D. Kurnia
Prosa
Puisi
Puji Santosa
Puji Tyasari
Puput Amiranti N
Purnawan Andra
Purnawan Kristanto
Pusat Dokumentasi Sastra H.B. Jassin
Pustaka Ilalang Group
PUstaka puJAngga
Putu Wijaya
Qaris Tajudin
R. Ng. Ronggowarsito
Rachmad Djoko Pradopo
Radhar Panca Dahana
Rahmat Kemat Hidayatullah
Rahmat Sularso Nh
Rakai Lukman
Rakhmat Giryadi
Rasanrasan Boengaketji
Raudal Tanjung Banua
Redland Movie
Reiny Dwinanda
Resensi
Rialita Fithra Asmara
Ribut Wijoto
Riki Dhamparan Putra
Riki Utomi
Ririe Rengganis
Risang Anom Pujayanto
Riyon Fidwar
Robin Al Kautsar
Robin Dos Santos Soares
Rodli TL
Rofiqi Hasan
Roso Titi Sarkoro
Rozi Kembara
Rukardi
Rumah Budaya Pantura (RBP)
Rusmanadi
S Yoga
S. Jai
S.W. Teofani
Sabrank Suparno
Sahaya Santayana
Saiful Amin Ghofur
Saiful Anam
Sainul Hermawan
Sajak
Salamet Wahedi
Salman S. Yoga
Samsudin Adlawi
Samsul Anam
Sanggar Lukis Alam
Sanggar Pasir
Sanggar Rumah Ilalang KSII
Santi Puji Rahayu
Sapardi Djoko Damono
Saroni Asikin
Sartika Dian Nuraini
Sastra dan Kuasa Simbolik
Sastra Jawa Timur
Satmoko Budi Santoso
Saut Situmorang
Sayyid Fahmi Alathas
SelaSastra #24 di Boenga Ketjil Jombang
SelaSastra Boenga Ketjil
SelaSastra Boenga Ketjil #33
Seno Gumira Ajidarma
Seno Joko Suyono
Sergi Sutanto
Setia Naka Andrian
Shiny.ane el’poesya
Sholihul Huda
Sigit Susanto
Sihar Ramses Simatupang
Sinopsis
Siti Khoeriyah
Siti Muyassarotul Hafidzoh
Siti Sa’adah
Siwi Dwi Saputra
Siwi Dwi Saputro
Sjifa Amori
Slamet Rahardjo Rais
Soegiharto
Sofyan RH. Zaid
Soni Farid Maulana
Sony Prasetyotomo
Sosiawan Leak
Spectrum Center Press
Sri Weni
Sri Wintala Achmad
Suci Ayu Latifah
Sucipto Hadi Purnomo
Sudirman
Sugi Lanus
Sukron Ma’mun
Sulaiman Djaya
Sunaryono Basuki Ks
Sungatno
Sungging Raga
Sunlie Thomas Alexander
Sunu Wasono
Supriyadi
Surya Lesmana
Suryanto Sastroatmodjo
Susianna
Sutardji Calzoum Bachri
Sutejo
Suyanto
Syaf Anton Wr
Syaifuddin Gani
Syaiful Amin
Syarif Wadja Bae
Sylvianita Widyawati
TanahmeraH ArtSpace
Tarmuzie (1961-2019)
Taufiq Ismail
Taufiq Wr. Hidayat
Teguh Presetyo
Teguh Setiawan
Teguh Winarsho AS
Temu Penyair Timur Jawa
Tengsoe Tjahjono
Tia Setiadi
Tirto Suwondo
Tita Tjindarbumi
Tjahjono Widarmanto
Tjahjono Widijanto
Toko Buku Murah PUstaka puJAngga Lamongan
Tosa Poetra
Tri Nurdianingsih
Triyanto Triwikromo
TS Pinang
Tu-ngang Iskandar
Tulus S
Ulul Azmiyati
Umar Fauzi
Umar Fauzi Ballah
Umar Kayam
Umbu Landu Paranggi
Universitas Indonesia
Universitas Jember
Usman Arrumy
Utari Tri Prestianti
Viddy AD Daery
Virdika Rizky Utama
W Haryanto
W.S. Rendra
Wahyu Prasetya
Wan Anwar
Wawan Eko Yulianto
Wawancara
Wina Bojonegoro
Wita Lestari
Wong Wing King
Wowok Hesti Prabowo
Xu Xi (Sussy Komala)
Y. Thendra BP
Y. Wibowo
Yanusa Nugroho
Yasraf Amir Piliang
Yayat R. Cipasang
Yohanes Sehandi
Yona Primadesi
Yopi Setia Umbara
Yudhi Herwibowo
Yudi Latif
Yusri Fajar
Yusuf Ariel Hakim
Yuval Noah Harari
Zacky Khairul Uman
Zainuddin Sugendal
Zamakhsyari Abrar
Zawawi Se
Zed Abidien
Zehan Zareez
Zhaenal Fanani
Zubaidi Khan
Zuniest