Minggu, 24 Agustus 2008

Agama, Bunuh Diri Hakekat dan Habermas

(Pentas Teater Keluarga ‘Alibi’)
Mashuri

Seorang lelaki di panggung, dengan setting: satu kursi, satu ranjang, sejumlah pakaian di gantungan, sekat ruang putih, juga tabir hitam. Ia berbicara sendiri, tentang siapa dan apa saja yang menyangkut soal korupsi. Ia beralibi tentang sikapnya, tentang pilihan hidupnya, tentang hubungan-hubungannya dengan orang-orang di sekitarnya, juga keluarga. Ia berbicara tentang harapan-harapan, frustasi, mimpi, juga ideologi.

Kesan itu mungkin yang terasa pertama-tama dari pementasan Alibi oleh Teater Keluarga di Fakultas Sastra Universitas Airlangga, 6 November 2004, Minggu Pon. Sepertinya tak ada yang menarik dari pementasan ini, kecuali nama-nama pekerja teater di belakangnya: aktor tunggal berbakat F Azis Manna, sutradara idealis S Jai, serta pemusik eksperimental Widi Asy’ari.

Tetapi Benarkah demikian?
Kegilaan! Mungkin itu kata-kata yang pertama harus diungkapkan terhadap penggarapan teater ini. Bukan hanya karena si tokoh berbicara sendiri dan identik dengan ‘orang gila’, bukan pula karena durasinya yang na’udzubillah sampai tiga jam lebih, tetapi kegilaan yang terjadi bermuara pada cakupan gagasan yang ingin disampaikan, eksplorasi, kualitas pementasan serta proses yang dilalui dalam penggarapan dengan konsep ‘teater terbuka’ dan berdarah-darah.

Kegilaan ini menjadi penting, manakala segala ihwal kesadaran tak bisa ditundukkan dalam sistem relasi biasa, tetapi melingkar sendiri, dalam ruang-ruang sendiri, pribadi, pada ego. Kegilaan ini menjadi penting, ketika realitas di luar diri demikian menakutkan atau memabukkan, lalu ditarik ke muasalnya: alam persepsi, kemudian dilontarkan kembali seperti peluru yang keluar dari satu moncong senjata. Lompatan pikiran, retak kesadaran diri dan lingkungan, dan gugatan yang muncul dari ego sebagai sentral meski tak utuh dalam satu peran dan satu bahasa, seakan menjadi universalitas bahasa yang absah untuk memberi jawab, menolak, mungkin berdialektik, dengan realitas di luar diri yang berhumbalang, mencekam, centang perenang dan berpretensi untuk merenggut kedirian dalam lingkup kebiasaan dan sistem yang ada.

Kebiasaan memang riskan pada kesadaran. Realitas kadang tak bisa dinalar dengan idealitas. Dalam kebiasaan, ada alur yang linear dari nalar untuk tak menolak dari rangkaian impulse diri, sehingga tak ada perlawanan yang berarti, meski pada hakekatnya kebiasaan itu ditempias dari hasrat hakiki manusia, kemurnian. Di titik ini, konsepsi korupsi yang menjadi landasan dari pentas Alibi mendapatkan penekanannya. Ternyata, ada dosa sosial yang telah mengakar dalam bangun kesadaran kolektif, yang terlegitimasi dan mendapatkan pengabsahan dari khalayak. Ada anggapan, karena sebuah tindakan keliru adalah kebiasaan, dosa terampuni dengan sendirinya.

Dan agama, seperti jauh tertinggal di belakang, jika ia hanya berkutat pada masalah dogma, serta verbalisasi hukum tentang halal haram dan teks-teks yang ada hanya alat justifikasi pada tindakan formal. Ia tak mampu menjangkau nalar samar yang terpatri di balik sebuah kebiasaan, karena hukum lebih dipahami dalam kerigidannya pada penafsiran teks-teks agama dalam sebuah tafsir kering. Tak ada refleksi, introspeksi dan mengembalikan nalar pada muasal dari kehadiran agama, yang menyejarah; terkait dengan bumi, bermain dalam lingkar fenomena, tetapi mampu menjadi dasar kesadaran diri.

Pada titik inilah, kehadiran agama seharusnya bukan hanya dipahami dalam konteks profetiknya, tetapi pada konteks mistiknya. Agama yang mempribadi dan bisa menjadi tumpuan dari segala tindakan, dan tanggung jawab diri. Agama yang tidak hanya berpretensi mengubah dunia, dan kadang terjebak di dalamnya, tetapi agama yang dimulai dari diri, kesadaran alter ego dan wujud hakiki dari manusia.***

Alibi bukan tarik ulur antara profetik dan mistik dalam pemikiran Muhammad Iqbal; bukan lubang hitam tanpa tawaran; bulan sumur tanpa dasar yang memusar dalam suara-suara asing, gaung asing dan lorong tak berkesudahan; bukan pula mimpi-mimpi asing yang tak berdasar; ular-ular yang menghuni ketaksadaran; Alibi berkutat di arus kesadaran dan ketaksadaran: saat wujud rumpang dan ruh raib Alibi adalah wilayah kemungkinan dan sipapaun diajak ke dalamnya untuk mencecapi hikmat dari eksistensi, sekaligus meniadakannya, ketika diri diancam dan harus menenggelamkan, menggelapkan dan mewujuidkan angan di wilayah yang paling ekstrim. Sebuah titik yang bisa menjelma awal manusia sekaligus mengakhirinya.

Di sinilah jalan alternatif merebut kebenaran! Tapi bukan jalan kelima dalam perspektif Al Ghazali, bukan jalan nabi-nabi, bukan Al Hallaj. Keberanan memang bukan di sana dan di sini, tapi segala lingkaran berawal dari satu titik. Inilah pilar penegak keadilan; kerna keadilan bukan terberi dan harus disergap dan diwujudkan; ia tidak turun dari langit, tapi harus ditumbuhkan dari bumi, dari diri. Inilah kekuatan kelima dari kontrol sosial, setelah trias politika Montesque dan pers; kekuatan yang tidak hanya tegak menjulang—tapi rapuh dalam kontradiksi; seperti wujud realitas yang berhumbalang!

Inilah inti antroposentrisme; tapi bukan manusia dalam wujud insan kamil, bukan jiwa terbelah schizofresnia; kerak retak dan utuh tak lebih dari persepsi dan Alibi menabrakan keduanya dalam dimensi yang tak dibayangkan siapapun; seperti seorang paranoid yang kehilangan kepercayaan, seperti ‘tuhan’ yang ingin menegakkan keadilan.

Dan Alibi tidak berhenti seperti induk ayam yang ingin mengendalikan anak-anaknya dari ancaman elang; Alibi bukan pertapaan sepi. Alibi seperti tubuh yang melindungi ruh dari tangan maut; inilah perjuangan sejati manusia untuk mengukuhkan jati dirinya sebagai manusia, meski dengan diri tercambuk, dengan diri lantak: karena inilah bunuh diri sejati. Sebuah bunuh diri tuk satu keyakinan.

Bunuh diri ‘Alibi’ melampaui bunuh diri kreatif karena ‘hukuman dewa-dewa’ seperti Camus; ini bunuh diri hakekat! Kerna takdir, nasib; bukan sekedar pemberian; ia hujan yang bisa ditolak atau dibiarkan; atau kedua-duanya; kerna pilihan ada pada manusia. Dan perubahan, bukan terberi; ia harus dinistakan dari tangan, direnggutkan dan diwujudkan. Perubahan bukan pemberian langit tapi diperjuangkan!

Tapi pertaruhan Alibi bukan nilai-nilai, bukan slogan, bukan baik benar; Alibi ingin bertaruh tentang ruang-ruang sendiri, ruang-ruang sosial yang diasingkan; ruang yang bermain dalam wilayah ambang; pertaruhannya bukan pada lingkar di luar atau di dalam; bukan agama, bukan dogma; bukan ‘pikiran-pikiran’ yang membatasi; bukan segalanya yang menafikan kebebasan; Alibi ingin membuka tali, mengajak samadi dari gemuruh tak tentu; menguliti kulit kepalsuan; Alibi lebih dari ‘alat pengaman’ dari cengkeraman tangan-tangan liar, tangan yang tidak hanya ‘membunuh’ tapi memabukkan dengan sejuta godaan!***

Gugatan yang dilakukan dalam pementasan ini memberi semacam tawaran, tentang sebuah percakapan tak selesai —menggantung di aras kesadaran— apalagi arah dari pementasan ini pada ‘estetika terlibat’ tapi bukan dalam pengertian estetika terlibat Marxis secara sosial, tetapi ‘terlibat’ dalam pengertian pementasan, dengan melibatkan penonton dalam ruang dialog, ikut bermain, dan sama-sama ikut merasakan meski sebenarnya juga diasingkan dari ruang sehari-hari, memasuki ruang pribadi Tokoh Lelaki.

Dari sinilah, ada pembalikan dari konsepsi estetika Berthold Brecht. Brecht menggunakan alienation effect (efek pengasingan) untuk berdialog dengan penonton. Dengan teknik itu, Brecht ‘mengasingkan’ penonton dari pertunjukan teater, sehingga mencegah munculnya identifikasi emosional dari penonton terhadap pertunjukan. Menurutnya, jika dibiarkan adanya identifikasi emosional dari penonton, bisa mematikan daya kritis mereka. Hal itu karena pertunjukan teater bukan sebuah kesatuan organik yang menghipnotis penonton selama berlangsungnya pertunjukan. Teater adalah produk panggung dan menyisakan teror, serta pikiran-pikiran yang menghantu. Ini jelas bermula dari konsep teater epik.

Karena Alibi bukan teater epik, bahkan terkesan anti-epik dari narasi yang dibangun, penonton tidak dituntun dalam identifikasi, melainkan diajak terlibat dalam satu ruang dan satu waktu; yakni WIBP (Waktu Indonesia Bagian Panggung). Jika Tokoh Lelaki berbicara, ia tak sekedar berbicara sendiri, pada dirinya sendiri, tetapi ia berbicara pada penonton, pada audiens. Bahkan, audiens diajak untuk ikut bermain, ruang melebar, menembus batas antara aktor dan penonton. Mungkin konsep teater etnik menjadi acuan dalam hal ini, dengan berusaha mendialogkan konsep teater realis (dengan monolog) dengan etnis yang kuat di pelisanan dan memunculkan konsep teater baru.

Pada sisi inilah, ada indikasi bahwa teater ini yang bisa dinyatakan sebagai sebuah ‘bahasa’, sebagai tindak komunikasi. Asumsi ini bermula dari konsepsi Juergen Habermas, bahwa teater sebagai ‘tindakan rasional yang bertujuan’; dan dipahami sebagai tindakan praksis, sebagai strategi kritik yang bersifat emansipatorik. Ada pola simbolik interaksi yang bermula dari realitas tapi tak berhenti. Adalah cukup penting jika tidak menyamakan ‘sistem yang mengatur dirinya sendiri yang tujuannya menyingkirkan kesadaran anggota yang bersatu dengannya’ dengan dunia kehidupan: dunia kesadaran dan aksi komunikatif. Ada upaya peninjauan struktur (khususnya bahasa dan aksi komunikatif, serta kesadaran moral) dunia kehidupan.

Alibi yang membuka ruang dialog dengan audiens, meski sebenarnya digagas dalam bentuk monolog, memang sebagai upaya dari komunikasi itu, lewat bahasa yang tak hanya merangkum identitas kultural, tetapi disertai dengan berbagai persoalan. Habermas sendiri menemukan sifat dasar bahasa sebagai sarana komunikasi terdapat dalam pengertian bahwa bahwa pembicara maupun pendengar suatu percakapan secara apriori berminat untuk saling memahami. Saling memahami berarti ada kesepakatan di antara kedua pihak; kesepakatan mensyaratkan adanya pengenalan antar-subjektif terhadap keabsahan terhadap topik dan gagasan. Dalam proses ini, masing-masing pihak bercermin tentang posisi mereka dalam komunikasi.

Pada titik ini, struktur ‘bahasa’ menempati sifatnya yang paling cerdas: hermeneutik. Ia memanggil pihak lain untuk terlibat dalam interpretasi pada setiap tataran, dan dari sini meningkatkan pemahaman diri setiap peserta akibat interaksi. Pada titik inilah tujuan bahasa sebenarnya, sehingga agar aspek komunikatif berhasil harus ada konsensus. Jika komunikasi tak berhasil, dalam arti tak ada kesalingpemahaman antar-subjek, bahasa diidentifikasi sedang mengalami pembusukan. Bahasa didiagnosa: sedang sakit.

Dan simbol wayang, juga tema korupsi, bisa menjadi konsensus dalam ‘tindak komunikasi’ itu dalam bingkai kultur dan sosial dari pentas Alibi, meski ada pula bahasa lainnya yang juga bisa dianggap sebagai konsensus, bahkan untuk judul Alibi sendiri. Tetapi jika ‘percakapan’ yang ditawarkan Alibi tak dipahami, ini bisa diandaikan ada sesuatu yang kronis dalam proses dialektika. Namun, jika melihat pementasannya yang komunikatif dan nyaris realis, maka yang diandaikan tak mampu mengenali dan memahami konsensus ‘bahasa’ itu, sangat mungkin datang dari audiens; ada indikasi bahwa audiens sudah terbiasa dengan ‘dosa sosial’ dan ‘penyakit kultur’, sehingga mengganggapnya sebagai sebuah kebiasaan, sebuah budaya.

Pada titik ini, mungkin yang paling tepat adalah mengkomunikasikan antara realitas di luar diri dan di dalam diri; dalam sebuah alur kejernihan. Aspek spiritualitas dari agama menjadi tak terelakan, karena di batas ini, ada sebuah tawaran terkait dengan ‘sangkan paran’ dan mengenalkan manusia pada muasalnya, yang berbicara tentang kesejatian. Pada titik inilah ekspresi estetik dan religiusitas bertemu, untuk membongkar kesadaran yang dipalsukan. (*)

Tidak ada komentar:

A Rodhi Murtadho A. Ginandjar Wiludjeng A. Junianto A. Kurnia A. Qorib Hidayatullah A. Yusrianto Elga A.S Laksana A’yat Khalili Aang Fatihul Islam Abdul Azis Sukarno Abdul Aziz Rasjid Abdul Hadi WM Abdul Kadir Ibrahim Abdul Malik Abdul Razak Abdul Rosyid Abdul Wahab Abdurrahman Wahid Abu Salman Acep Iwan Saidi Acep Zamzam Noor Adam Chiefni Ade P. Nasution Adhitia Armitriant Adi Prasetyo Adrizas AF. Tuasikal Afriza Hanifa Afrizal Malna Agama Para Bajingan Agnes Rita Sulistyawaty Aguk Irawan M.N. Agus B. Harianto Agus Buchori Agus R. Sarjono Agus R. Subagyo Agus Sulton Agus Sunyoto Ahda Imran Ahid Hidayat Ahmad Baso Ahmad Faishal Ahmad Fatoni Ahmad Hasan MS Ahmad Kekal Hamdani Ahmad Khotim Muzakka Ahmad Muchlish Amrin Ahmad Naufel Ahmad Rofiq Ahmad S. Zahari Ahmad Syauqi Sumbawi Ahmad Yulden Erwin Ahmad Zaini Ahmadun Yosi Herfanda Ahsanu Nadia Aini Aviena Violeta Ainul Fiah Ajip Rosidi Akhiriyati Sundari Akhmad Muhaimin Azzet Akhmad Sekhu Akhmad Sofyan Hadi Akhmad Taufiq Akhudiat Akmal Nasery Basral Alam Terkembang Alang Khoiruddin Alex R. Nainggolan Alfian Dippahatang Ali Audah Ali Mahmudi CH Ali Rif’an Almania Rohmah Ami Herman Amien Wangsitalaja Aminah Aminullah HA.Noor Amir Sutaarga Anam Rahus Anata Siregar Andari Karina Anom Andina Dwifatma Andong Buku #3 Andre Mediansyah Andri Awan Anett Tapai Anggie Melianna Anindita S Thayf Anis Ceha Anjrah Lelono Broto Anton Bae Anton Kurnia Anton Wahyudi Anwar Nuris Ardi Bramantyo Ardus M Sawega Arie MP Tamba Arie Yani Arief Joko Wicaksono Arief Junianto Ariera Arif Bagus Prasetyo Aris Kurniawan Arman A.Z. Arswendo Atmowiloto Arti Bumi Intaran AS Sumbawi Asarpin Asep Sambodja Asmaul Fauziyah Asti Musman Atafras Awalludin GD Mualif Ayu Wulan Sari Aziz Abdul Gofar Azizah Hefni Bagus Takwin Bahrul Ulum A. Malik Balada Bale Aksara Balok Sf Bambang Kempling Bamby Cahyadi Bandung Mawardi Beni Setia Benny Arnas Benny Benke Beno Siang Pamungkas Bentara Budaya Yogyakarta Berita Berita Duka Berita Koran Bernando J Sujibto Berthold Damshauser BI Purwantari Binhad Nurrohmat Bobby Gunawan Bonari Nabonenar Brunel University London Budaya Budi Darma Budi P. Hatees Budiman S. Hartoyo Burhanuddin Bella Camelia Mafaza Catatan Cerbung Cerpen Chairul Akhmad Chamim Kohari Chavchay Syaifullah Cover Buku Cucuk Espe D. Zaini Ahmad D. Zawawi Imron Dadang Ari Murtono Dahta Gautama Daisuke Miyoshi Damhuri Muhammad Dami N. Toda Damiri Mahmud Danarto Daniel Paranamesa Danusantoso Dareen Tatour Darju Prasetya David Kuncara Denny Mizhar Denza Perdana Desi Sommalia Gustina Desiana Medya A.L Dewan Kesenian Lamongan (DKL) Dewi Indah Sari Dewi Susme Dian Sukarno Didik Harianto Didik Kusbiantoro Dina Jerphanion Dina Oktaviani Dinas Kebudayaan dan Pariwisata (Disbudpar) Jawa Timur Dipo Handoko Diyah Errita Damayanti Djoko Pitono Djoko Saryono Doddy Wisnu Pribadi Dody Kristianto Dody Yan Masfa Donny Anggoro Donny Syofyan Dorothea Rosa Herliany Dr Junaidi SS MHum Dwi Cipta Dwi Fitria Dwi Pranoto Dwi Wiyana Dyah Ratna Meta Novia Dyah Sulistyorini Ecep Heryadi Eddy Pranata PNP Edeng Syamsul Ma’arif Eep Saefulloh Fatah EH Kartanegara Eka Budianta Eka Kurniawan Eko Hendrawan Sofyan Eko Hendri Saiful Eko Windarto Elnisya Mahendra Elva Lestary Emha Ainun Nadjib Emil WE Endah Sulwesi Endo Suanda Eppril Wulaningtyas R Esai Evan Ys F. Moses F. Rahardi Fadlillah Malin Sutan Fahmi Faqih Fahrudin Nasrulloh Faisal Kamandobat Fajar Kurnianto Fanani Rahman Fanny Chotimah Fatah Anshori Fatah Yasin Noor Febby Fortinella Rusmoyo Felix K. Nesi Festival Sastra Gresik Gabriel Garcia Marquez Galang Ari P. Galuh Tulus Utama Gampang Prawoto Gandra Gupta Ganug Nugroho Adi Gerson Poyk Ghassan Kanafani Gita Nuari Gita Pratama Goenawan Mohamad Grathia Pitaloka Gunoto Saparie H.B. Jassin Habibullah Hadi Napster Hadriani Pudjiarti Halim HD Halimi Zuhdy Hamberan Syahbana Han Gagas Hanibal W. Y. Wijayanta Hardi Haris del Hakim Haris Saputra Harri Ash Shiddiqie Hartono Harimurti Hary B Kori’un Hasan Aspahani Hasan Junus Hasif Amini Hasnan Bachtiar Hasta Indriyana HE. Benyamine Hendra Junaedi Hendra Makmur Heri CS Heri Latief Heri Listianto Herman RN Herry Lamongan Heru CN Heru Nugroho Hikmat Gumelar HL Renjis Magalah Hudan Nur Hujuala Rika Ayu Huminca Sinaga IBM. Dharma Palguna Ibnu Wahyudi Ida Farida Idris Pasaribu Ignas Kleden Ignatius Haryanto Iksan Basoeky Ilham Khoiri Imam Cahyono Imam Muhtarom Imam Nawawi Imamuddin SA Iman Budhi Santosa Imron Rosyid Imron Tohari Indiar Manggara Indra Intisa Indra Tjahyadi Indra Tranggono Indrian Koto Ira Puspitaningsih Irfan Budiman Isbedy Stiawan Z.S. Iskandar Noe Iskandar Zulkarnain Ismail Marzuki Iva Titin Shovia Iwan Kurniawan Jabbar Abdullah Jafar Fakhrurozi Jalan Raya Simo Sungelebak Jamal D. Rahman Jamal T. Suryanata Javed Paul Syatha Jayaning S.A JILFest 2008 Jody Setiawan Johan Edy Raharjo Johannes Sugianto Joko Pinurbo Joko Sandur Joni Ariadinata Jual Buku Jual Buku Paket Hemat Juan Kromen Julika Hasanah Jurnalisme Sastrawi Jusuf AN Juwairiyah Mawardy Ka’bati Karanggeneng Karya Lukisan: Andry Deblenk Kasnadi Keith Foulcher Kemah Budaya Panturan (KBP) Khansa Arifah Adila Khoirul Inayah Khoirul Rosyadi Khudori Husnan Ki Ompong Sudarsono Kirana Kejora Komplek Gor Kamantren Paciran Lamongan Komunitas Deo Gratias Komunitas Sastra Ilalang Indonesia Korrie Layun Rampan Kostela Kritik Sastra Kukuh S Wibowo Kurnia Effendi Kurniawan Kuswaidi Syafi'ie L.N. Idayanie Laili Rahmawati Lamongan Lan Fang Langgeng Widodo Lathifa Akmaliyah Leila S. Chudori Lely Yuana Lembaga Pengembangan Pembelajaran dan Penjaminan Mutu (LP3M) Universitas Jember Liestyo Ambarwati Khohar Lina Kelana Linda Sarmili Liza Wahyuninto Lucia Idayanie Lukman A Sya Lutfiah Lynglieastrid Isabellita M Arman AZ M Ismail M Thobroni M. Afifuddin M. Arwan Hamidi M. Lukluk Atsmara Anjaina M. Lutfi M. Luthfi Aziz M. Nurdin M. Yoesoef M.D. Atmaja M.S. Nugroho Mahendra Cipta Mahmud Jauhari Ali Mahmud Syaltut Usfa Mahmudi Arif Dahlan Malam Apresiasi Seni Tanahmerah Ponorogo Malkan Junaidi Maman S. Mahayana Mardi Luhung Marhalim Zaini Martin Aleida Maruli Tobing Mas Ruscita Mashuri Masuki M. Astro Matroni Matroni Muserang Media: Crayon on Paper Membongkar Mitos Kesusastraan Indonesia MG. Sungatno Mh Zaelani Tammaka Mia Arista Mia El Zahra Mikael Johani Misbahus Surur Misran Mohamad Ali Hisyam Mohammad Eri Irawan Much. Khoiri Muh. Muhlisin Muhammad Al-Fayyadl Muhammad Amin Muhammad Aris Muhammad Muhibbuddin Muhammad Rain Muhammad Taufiqurrohman Muhammad Yasir Muhammad Zuriat Fadil Muhammadun Muhammadun AS Muhidin M Dahlan Mujtahid Mujtahidin Billah Mukti Sutarman Espe Mulyadi SA Mulyosari Banyuurip Ujungpangkah Gresik Munawir Aziz Musfarayani Musfi Efrizal Nafisatul Husniah Nandang Darana Naskah Teater Nelson Alwi Ni Made Purnamasari Nikmatus Sholikhah Nina Herlina Lubis Nina Susilo Ning Elia Noor H. Dee Noval Jubbek Novel-novel berbahasa Jawa Novelet Nunuy Nurhayati Nur Azizah Nur Hamzah Nur Kholiq Nurdin Kalim Nurel Javissyarqi Nurul Aini Nurul Anam Nurul Komariyah Nuryana Asmaudi SA Nyoman Tusthi Eddy Obrolan Okty Budiati Orasi Budaya Akhir Tahun 2018 Otto Sukatno CR Oyos Saroso H.N. Pagan Press Pagelaran Musim Tandur Palupi Panca Astuti Parimono V / 40 Plandi Jombang Pawang Surya Kencana PDS H.B. Jassin Petrus Nandi Politik Politik Sastra Pradana Boy ZTF Pramoedya Ananta Toer Pramono Pringadi AS Prof Dr Fabiola D. Kurnia Prosa Puisi Puji Santosa Puji Tyasari Puput Amiranti N Purnawan Andra Purnawan Kristanto Pusat Dokumentasi Sastra H.B. Jassin Pustaka Ilalang Group PUstaka puJAngga Putu Wijaya Qaris Tajudin R. Ng. Ronggowarsito Rachmad Djoko Pradopo Radhar Panca Dahana Rahmat Kemat Hidayatullah Rahmat Sularso Nh Rakai Lukman Rakhmat Giryadi Rasanrasan Boengaketji Raudal Tanjung Banua Redland Movie Reiny Dwinanda Resensi Rialita Fithra Asmara Ribut Wijoto Riki Dhamparan Putra Riki Utomi Ririe Rengganis Risang Anom Pujayanto Riyon Fidwar Robin Al Kautsar Robin Dos Santos Soares Rodli TL Rofiqi Hasan Roso Titi Sarkoro Rozi Kembara Rukardi Rumah Budaya Pantura (RBP) Rusmanadi S Yoga S. Jai S.W. Teofani Sabrank Suparno Sahaya Santayana Saiful Amin Ghofur Saiful Anam Sainul Hermawan Sajak Salamet Wahedi Salman S. Yoga Samsudin Adlawi Samsul Anam Sanggar Lukis Alam Sanggar Pasir Sanggar Rumah Ilalang KSII Santi Puji Rahayu Sapardi Djoko Damono Saroni Asikin Sartika Dian Nuraini Sastra dan Kuasa Simbolik Sastra Jawa Timur Satmoko Budi Santoso Saut Situmorang Sayyid Fahmi Alathas SelaSastra #24 di Boenga Ketjil Jombang SelaSastra Boenga Ketjil SelaSastra Boenga Ketjil #33 Seno Gumira Ajidarma Seno Joko Suyono Sergi Sutanto Setia Naka Andrian Shiny.ane el’poesya Sholihul Huda Sigit Susanto Sihar Ramses Simatupang Sinopsis Siti Khoeriyah Siti Muyassarotul Hafidzoh Siti Sa’adah Siwi Dwi Saputra Siwi Dwi Saputro Sjifa Amori Slamet Rahardjo Rais Soegiharto Sofyan RH. Zaid Soni Farid Maulana Sony Prasetyotomo Sosiawan Leak Spectrum Center Press Sri Weni Sri Wintala Achmad Suci Ayu Latifah Sucipto Hadi Purnomo Sudirman Sugi Lanus Sukron Ma’mun Sulaiman Djaya Sunaryono Basuki Ks Sungatno Sungging Raga Sunlie Thomas Alexander Sunu Wasono Supriyadi Surya Lesmana Suryanto Sastroatmodjo Susianna Sutardji Calzoum Bachri Sutejo Suyanto Syaf Anton Wr Syaifuddin Gani Syaiful Amin Syarif Wadja Bae Sylvianita Widyawati TanahmeraH ArtSpace Tarmuzie (1961-2019) Taufiq Ismail Taufiq Wr. Hidayat Teguh Presetyo Teguh Setiawan Teguh Winarsho AS Temu Penyair Timur Jawa Tengsoe Tjahjono Tia Setiadi Tirto Suwondo Tita Tjindarbumi Tjahjono Widarmanto Tjahjono Widijanto Toko Buku Murah PUstaka puJAngga Lamongan Tosa Poetra Tri Nurdianingsih Triyanto Triwikromo TS Pinang Tu-ngang Iskandar Tulus S Ulul Azmiyati Umar Fauzi Umar Fauzi Ballah Umar Kayam Umbu Landu Paranggi Universitas Indonesia Universitas Jember Usman Arrumy Utari Tri Prestianti Viddy AD Daery Virdika Rizky Utama W Haryanto W.S. Rendra Wahyu Prasetya Wan Anwar Wawan Eko Yulianto Wawancara Wina Bojonegoro Wita Lestari Wong Wing King Wowok Hesti Prabowo Xu Xi (Sussy Komala) Y. Thendra BP Y. Wibowo Yanusa Nugroho Yasraf Amir Piliang Yayat R. Cipasang Yohanes Sehandi Yona Primadesi Yopi Setia Umbara Yudhi Herwibowo Yudi Latif Yusri Fajar Yusuf Ariel Hakim Yuval Noah Harari Zacky Khairul Uman Zainuddin Sugendal Zamakhsyari Abrar Zawawi Se Zed Abidien Zehan Zareez Zhaenal Fanani Zubaidi Khan Zuniest