Minggu, 31 Agustus 2008

Puisi-Puisi Tjahjono Widijanto

Jurnal Nasional, 03, 08, 2008
BISMA

“telah kusediakan hari dan pengantinku sendiri…!”

desir pasir di gigir ini menyimpan rahasianya sendiri
ramalan musim berbiak sejarah melata di selakang waktu
memintal kembali tekstur buram rajah nasib lancip di urat nadi

tak ada waktu untuk kembali
seonggok jubah kelabu, mahkota terbelah
mengubur syahwat yang juga gelisah

jagat dalam tatapan lensa tua terbungkuk-bungkuk
menanggung riwayat larut oleh hujan
yang mendadak berubah lempeng logam

seperti memahat batu yang tak henti belajar beku
tafakur serupa bayang-bayang kastil purba
dalam tatapan letih mata malaikat tua
yang perlahan-lahan mendengkur

tak ada yang dapat dilakukan kecuali mentakzim sunyi
angslup ke dasar jantung dalam gelora gemuruh
sesaat setelah tabik terakhir
dalam sayatan yang juga terakhir

Ngawi, 2007



ARAFAH

entah siapa menyuruhku menghitung kembali tulang igaku, tetap saja hilang satu
berjuta yang lain juga mencari tak ketemu-temu sebelum pada senja yang mendekati gelap ia datang sendiri mengetuk pintu pelan-pelan

“apa kabarmu? lama tak jumpa akhirnya rambutmu memutih juga seperti kabut yang cuma sesekali sambang di dini hari”

aku menjawabnya dalam keisengan anak remaja mengingat cinta pertamanya
“cipir godhong tela, kau tak mampir hatiku jadi nelangsa!”

aku tak tahu mengapa gigir bukit ini begitu bersedia menyediakan altarnya untuk kebisuan yang kering, menyimpan rendevous mefosil dalam urut-urutan waktu bergerak mengambang dalam musim yang tak pernah ditumbuhi gerimis

dan kini kenduri ini dimulai lagi, orang-orang kembali menghitung tulang-tulang rusuknya. tetap saja hilang satu, mencari dalam lipatan baju, saku celana, jaket atau kaos kaki yang cuma sesekali di cuci.

2007



DEPAN KA’BAH

seperti pemula dalam panggung yang gagal
aku mabuk memimpikan pengunjung yang
setia memberikan tepuk tangannya.
yang kulihat cuma kenangan-kenangan tua, beruban.
menyendiri menunggui cintanya yang hilang sia-sia

kenapa kau seret aku seperti darwis dilanda mabuk tak tuntas-tuntas
sedang aku tak pandai menari?
setelah kau jeret laherku dan rontokkan tulang-tulangku
tak ada lagi yang bisa kubagi, tinggal asin keringat
yang dapat kau peras sebagai maharku untukmu
dan sebelum kau copot biji mataku
biarkan aku mencakar-cakarmu

2007



GERIMIS DI TAN’IM

seperti dalam lurung dengan seribu pintu terkunci
aku hanya bisa membayangkanmu, samara-samar
sekali ini ada gerimis, di dalamnya aku berlari-lari
mengejar bayang-bayang sendiri
bayang-bayang yang membelah diri
berkelebatan, berjumpalitan, bertubrukan
menjadi sempalan-sempalan tak terbaca
sempalan-sempalan yang meleleh kembali jadi sperma
meluncur mencari kembali liang-liangnya

di tan’im ini kau serupa jagal
membelah leher, mengelupas tempurung
yang menyimpan rahasia api ,buah larangan, juga ular
ular yang mendesis dalam lolong panjang
sempurna seperti malam yang terbelah
dengan bulan yang menggigil di atasnya

di tan’im ini aku gagal menguntitmu
tali yang kusediakan untuk menjeratmu
malahan mencekik leherku sendiri
dan bayang-bayangku yang menariknya,
pelan-pelan, seinci demi seinci
aku sekarat dalam senyummu

Tan’im, 2007/2008



PASUNG

tak ada lemut hanya derit jangkrik desir ular dalam urat perut. mereguk sungai
memahat riwayat nasib. ingatan lari pada tali gantungan meringis di sela-sela dingin yang terbatuk-batuk
tak ada kabar di sini cuma bulan menyisakan sedikit cahayanya angin mengabarkan busuk semboja bersama langit yang menjerit

“jangan berontak hikmati kekal asing ini!”

tak ada waktu untuk mendongeng sehabis percakapan selepas malam yang payah
gagak senggama di nadimu berbiak musim dan kematian riuh silih berganti
jalanan membara oleh geram demonstran sesekali dikuyupi tik-tak bom di jakun
tak ada pangeran dan kereta perang menggempur sarang nasib sialan ini, don kisot telah lama berpulang di selakang ibunya.

bila kau temukan sebilah sangkur dalam mimpimu rajah
suratan kisah pada kulit jangat banjir asin keringatmu geram
nyeri kerongkongmu akan menjelma erang birahi penyair mabuk dan sekarat

Jakarta, 002/005



KWATRIN-KWATRIN GERIMIS BULAN SEIRIS

1.
di ujung gerimis bulan seiris tak lagi mampu membaca isyarat
sedang subuh semalaman protes pada embun
yang terlampau setia mendekap bumi
meski kabut masih ingin bersetubuh dengannya

2.
sepanjang ini tak ada yang pernah mengerti
tentang musim yang setia menderu
batu-batu tafakur mendengar requiem daun
memeluk bumi dengan bau kembang pecah putiknya

3.
selalu kau tak pernah mau percaya
ketika pernah dibisikkan pada hari-hari
mengapa harus ditulis sepenggal sajak
menjerit disembelih pagi tenggelam di palung kali

4.
apakah perlu kita mengadu pada perdu
setelah gagal meraih matahari
bersama sebilah galah tua, lapuk tangkainya
bulan sungsang tangsang dipucuk bambu

5.
selalu ada yang mencoba setia pada sebaris sajak
yang lelah ditulis selepas senja bersama kunang-kunang
gelisah mencemburu nyala api
meringkuk di ladang kehilangan petani

6.
dalam nadi horizon dan candikala bertemu
ayat-ayat bangkit dari tidur bersama pelafal kehilangan lidah
roh yang bernyanyi bersama separuh malam, separuh bulan
hujan layu di sisa malam

Ngawi, 2005



SUKUH

Ceruk liat.
Seribu urat mengeram di sini
ini pelabuhanku. Persinggahan tanpa loket dan penjual karcis
di pinggulku tersimpan rahasia api
api,api! aku membakarmu!

Liang yang tak pernah padam. Lampu terang
rambu-rambu tentang nikmat buah larangan
: jangan tinggalkan aku
aku tak bisa ranggas sendiri
seribu sungai berpusar dalam perut
riak- gelegak merambah menerjang bulu-bulu pohon

Berlatihlah jadi nahkoda
menyaisi perahu oleng ditimpuk badai
hanyut ke rawa-rawa juga hutan
pohon-pohon dengan sulur mengkilap
goa-goa pertemuan yang bacin
tempat matahari menyembunyikan rembesan cahaya
basah oleh ludah dan air mata
awal sepenggal kitab riwayat
fosil coklat liat

Jasad dengan bau lumpur dan humus
sebermula kenangan di mulai
julangan bukit cadas
terjal
mengacung
batu-batu tersusun dengan angkuh
pelaminan abadi

002/2006



HIKAYAT KOTA

Ingin kuledakkan matahari pada pusar-pusarmu. Kota akan jadi mimpi yang sibuk dengan tafsir tak pernah usai. Diam-diam kubayangkan Tuhan berbisik: bukalah! maka semoga terbuka pintumu.

Seorang anak di seberang jalan dengan kaki telanjang dituntun ibunya tak juga memberimu senyuman, berlutut dengan cara ganjil pada batas trotoar kota: matahari itu milikku dan milikmu, tapi kapan kita berbagi?

Tak ada siapa-siapa di sini. Orang cuma bicara dengan wajah asing sambil membayangkan kampung halaman setelah bertahun-tahun melipatnya pada saku celana.
Orang-orang segera jadi tua dan pemurung di sini. Mengembara serupa ahasveros kehilangan jejaknya sendiri, menemukan seutas tali gantungan saat sepatu terkoyak dan gerimis berubah jadi bongkahan api menerpa wajah kepala dan kita merayap keluar dari rahim waktu

Tak ada yang sempat menyebutkan nama di sini.
Tuhan dibayangkan turun sebagai bocah jahil, bermain-main pada sisa lapangan rumput di batas-batas jalan dan berfirman, jadilah kalian kanak-kanak kembali, ayo kita bikin manusia, pasar, kota, dunia dengan fantasi cilikmu sesukamu!

Tak ada yang dapat mengeja namanya sendiri di sini. Orang-orang sibuk menggambar wajah sendiri pada lempung yang makin hari makin mengering sambil bersama-sama menyanyikan himne perkabungan bersama kelebet bendera yang turut menjadi sayu
esoknya anak-anak beramai-ramai mendulang kubur bapa-ibunya dan berkata

“papa, mama ajari kami bunuh diri!”

Ngawi-Surabaya, 003/006

Jumat, 29 Agustus 2008

LELAP

Dewi Indah Sari

Malam telah tiba siang telah berlalu;
Jika malam telah datang, senja pun berlalu
melenyapkan mentari,
menenggelamkan ke ufuk paling purbawi,
munculkan bulan, menyinari seluruh alam.

Sejenak melepas semua yang ada dalam fikiran
rebahkan tubuh di tempat pembaringan
rasakan tidur, merasakan kebisuan malam.

Sunyi….sunyi….tiada suara …
tiada pembicaraan apapun. Lelap…
begitu nyenyak, tiada hal aku fikirkan;
ku sedang berada di bawa sadar penciptaan.

MASA ITU

Tri Nurdianingsih

Di sela kehawatiran
aku masih terbiasa memandangmu
bahkan dengan sebuah rindu.

Kini ku meratap sambil tatap ke segala jagad
hanya ku lakukan untukmu berjabat
hingga pagi ini kasih menanti
seperti tak kuasa hati berganti
pudar dari tali-temali pengikat hati.

Dan sungguh nalarku jua masih mampu
melabukan diam denganmu
mengganti hari, bulan serta harapan.

Akankah dirimu masih membayang?
Takkan ku biarkan semua jadi angan
karenamu kasih, aku masih mampu berdiri
meski tegak tanpa arti;

dan tenggelam menuai mimpi
berakhir bersama kenangan sepi
berkasih kini, ku labu sendiri.

RATAPAN SEORANG INSAN

Nurul Aini

Ketika cahaya bulan telah redup
ketika malam makin kelam, atau
sama disaat ilalang ditelan mentari
buat sinaran mata tak terpancar lagi;
seorang insan terlelap tiada daya
lukiskan impian-impian tanya.

Kehampaan terasa dalam jiwa
kesunyian pun mencekam kalbu,
dan sang waktu kian membisu;
ku tak tahu yang terjadi malam itu.

Raut wajah penuh noda, lalu ingin berkaca
namun cermin telah pecah berkeping
kepingan itu menyayat jiwa kering
hingga diriku terkapar di lorongan sinting.

DIALOG MALAM

Santi Puji Rahayu

Gemuruh ombak tak urung pecahkan karang
berbisik angin malam mengusir kesenyapan,
menutup tirai terang di lelap mimpi, ku terusik
ku buka jendela hatiku di tengah sepi, sejenak
berbunga rindu, harum mekar sungguh.

Ku berlari ke taman surga;
di depan mataku bercuci jiwa raga
usap lalu teteskan butiran cahaya.

Jauh dalam samudera sanubari
ku ucap salam nawaitu
ku ketuk pintu dua kali
kemudian terbuka lebar rahmat-Mu.

Terlepas bebaju duniawiku
ku pecahkan pepuing gelas derita dunia
ku tuang air kalbu, pasrah segenap jiwa raga.

Ku tanyakan segala solusi pada-Mu;
Akankah kau selalu iringi jalanku?
Jawablah segala kebisuan, kebodohanku
yang selalu paling tahu.

Tegakkan jiwa rapuh ini seperti langit-Mu
tinggi tanpa tiang, meski didera angin taupan.
Oh, temani hatiku, sedingin angin kelahiranku.

SETAN DI TENGAH INSAN

Lutfiah

Seiring detak lonceng terdengar
lantunan takbir, tahmid dan tahlil
menggema bersatuan adzan,
ingatku kewajiban seorang insan.

Sendiri sepuluh, seratus, seribu, sejuta
bahkan semuanya, telah membentuk shaf
untuk tunaikan sholat, namun tak kuasa
karena syetan. Kemudian mereka berkata:

“Wahai syetan, terkutuklah kalu
yang selalu halangi jalanku
untuk menuju rotasi kehidupan. Aku tak rela
atas semua perbuatanmu.”

Syetan pun berjawab senyuman
dan ngeloyor pergi tingalkan
yang masih terpaku
di atas sajadah kesucian.

31 mei 2006

LEMBAYUNG CINTA

Mia Arista

Andai ku dapat terbang ke langit biru
pastikan menangkap lega;
ku petik bintang yang ku puja
di dalam lamunan jiwa
lantas sepintas wajahmu melintas
hingga membuatku terjaga.

Daun lembayung menguak kisah
yang tak pernah ada di kisah;
Ku telusuri samudra biru
dari hitam jadi kelabu
getaran warna makin kuat
saat kau katakan cinta
dan debaran ini semakin kencang
kala kau terdiam membisu,
tatap wajah gemetaranku
mengukir parasmu,
tentang lebamyung jingga kan tumbuh.

AKU DAN KEHANCURAN

Aminah

Dunia masih enggan menatapku,
entah sampai kapan, saat ini masih sendiri.
Berjalan diriku tanpa sapa juga teguran.
Sepi, sepi ini jadi indah ternikmati
dengan deretan luka mencabik hati.

Kesendirianku menyenangkan
dengan dibayangi ejekan angin
menyempurnakan kehancuran cermin.

Rabu, 27 Agustus 2008

Sejarah Media dan Industri Kematian

A. Qorib Hidayatullah

Tak banyak yang diharapkan dihari itu. Seluruh sudut terkecil kota lengang, sepi, bercampur getir. Suasana itu konstruk media yang over gembar-gembor kematian H.M. Soeharto, mantan Presiden ke-2 RI. Minggu, 27 Januari 2008, Bapak Pembangunan tersebut mangkat selamanya keharibaan Tuhan. Seluruh media, baik elektronik maupun cetak berebut informasi saling mengup-date berita kematian Soeharto.

Dalam kolom-kolom media cetak tak kosong dari ulasan-ulasan obituari. Di TV beragam program reportase kematian Soeharto ditayangkan. Ada yang wawancara langsung kepada tokoh politik (Amin Rais), budayawan (Cak Nun), hingga aktivis mahasiswa 1998 (Fadjroel Rahman), dan banyak lainnya.

Selain itu, pampangan iklan disetiap media cetak maupun elektronik saling berdesakan untuk dimuat. Iklan tersebut terlansir bukan ihwal komersial produk atau promosi barang, melainkan iklan yang berisi garitan kalimat belasungkawa pada penguasa orde baru selama 32 tahun memimpin bangsa Indonesia.

Bahkan, salah satu media cetak terlengkap, Kompas 28 Januari 2008, yang memiliki slogan “Lintas Generasi” itu menyediakan edisi khusus laporan kematian Soeharto. Pembaca setia Kompas pada hari itu disuguhi hingga nyaris “muntah” akan berita kematian Soeharto.

Rubrik opini Kompas pun, dikolom paling atas tergambar kartun Soeharto. Disana tertera kartun ilustratif yang apabila ditangkap pesannya: “Pak Harto mengangkat tangan laiknya hormat kepada SBY, seraya berbicara ‘selamat tinggal Indonesia, selamat tinggal sanak-saudara, selamat tinggal anak cucu’.” Kolom Tajuk Rencana pun ditiap-tiap media dihiasi peristiwa mangkatnya Soeharto.

Simak misalkan, opini Kompas (28/01/2008) mengulas kematian Seoharto. “Merenungi Kematian”, tulisan A Sudiarja (Dekan Fak. Teologi Universitas Sanata Dharma, Yogyakarta) membikin saya terkesan. Tulisan opini itu menggambarkan betapa wajar bila seseorang mati ditaburi bunga Tulip, sebab “Bunga Tulip itu hidup”, kata Hideo kepada Takichiro (dalam novel Yasunari Kawabata, The Old Capital —1962—).

Meski media membombardir berita kematian Soeharto, saya tak terlalu banyak mengikutinya. Pikir saya, itu sudah keterlaluan. Media ditengarai mereduksi inti kematian yang lazimnya direnungi dan diratapi. Seakan peristiwa kematian menjadi lahan basah sebagai “industri kematian” bagi media dengan meraup keuntungan nan fantastis. Iklan belasungkawa pada Soeharto yang nangkring dimedia, kalau dibaca dari segi profit, jelas akan memberi untung besar pada media tersebut.

Senin, 25 Agustus 2008

Perjuangan Mengangkat Sastra Pinggiran

Musfi Efrizal*

Puisiku bukan batu Rubi ataupun Zamrud, Puisiku adalah debu, namun debu Karbala (Fuzuli, 1556)

Sastra jurnal memang jarang diperbincangkan oleh masyarakat pengkaji dan penikmat sastra. Hal ini dikarenakan sastra lebih populer lewat media koran atau buku (baca : sastra koran dan sastra buku). Tidak mengherankan jika muncul pernyataan “jangan sebagai seorang pengarang/pujangga/penyair apabila karyanya belum dimuat di koran”. Hal ini jelas sangat mendeskreditkan sekaligus melecehkan beberapa penulis yang berada di daerah pedalaman atau pinggiran.

Polemik sastra kota dan sastra pinggiran memang sempat didengungungkan, namun yang penting untuk disoroti adalah kualitas karya yang dihasilkan. Sastra pinggiran dengan segala kekurangannya bukan berarti kualitasnya rendahan, pun demikian meskipun sastra kota dengan segala hal yang dapat dijangkaunya dan didukung oleh upaya saling mengangkat nama di antara para penulis belum tentu karya mereka berkualitas.

Jurnal Kebudayaan The Sandour yang sudah menerbitkan edisi III merupakan salah satu upaya untuk mengangkat sastra pinggiran tersbut. Sarat lelah letih kadang memang harus dirasakan untuk mengais remah-remah karya para penulis kecil yang tidak pernah bermimpi karyanya akan dipublikasikan apalagi sampai dibukukan meskipun lewat jurnal.

Secara garis besar Jurnal Kebudayaan The Sandour edisi III ini dipilah menjadi lima bagian. Bagian pertama memuat puisi, puisi-puisi yang ditampilkan yaitu karya dari Budhi Setyawan, Raudal Tanjung Banua, S. Yoga, Kirana Kejora, Alfiyan Harfi, Jibna Sudiryo, Dadang Ari Murtono, Saiful Bakri, Suyitno Ethexs, Jr Dasamuka, Dody Kristianto, Ach. Muchtar Ansyori, dan A. Ginanjar Wilujeng.

Bagian kedua memuat esai dari Hamdi Salad, Gugun El-Guyanie, Y. Wibowo, Fahruddin Nasrullah, Liza Wahyuninto, Achmad Muchlish Amrin, dan Sri Wintala Achmad. Bagian ketiga berisikan cerpen dari naskah Hardjono WS, Azizah Hefni, A. Rodhi Murtadho, dan Salman Rusydie Ar.

Bagian keempat adalah halaman khusus yang dipersembahkan untuk mengenang KH. Zainal Arifin Thoha (5 Agustus 1972-16 Maret 2007) dan KRT. Suryanto Sastroatmodjo (22 Februari 1957-17 Juli 2007) yang diberi topik In Memoriam Suryanto Sastroatmodjo yang ditulis oleh Herry Lamongan. Dan bagian terakhir pada jurnal ini memuat novelet dari Suryanto Sastroatmodjo.

Memang sengaja ada penulis-penulis kenamaan yang diambil naskahnya untuk disejajarkan dengan beberapa penulis lokal. Selain sebagai motivasi juga untuk menghapuskan senioritas dalam sastra. Tidak ada istilah sastrawan junior, tidak ada sastrawan senior, bahwa semuanya ditentukan oleh kualitas karyanya.

Jurnal Kebudayaan The Sandour edisi III ini juga bercerita perihal miskinnnya kritikus sastra di Indonesia. Di tengah karya sastra yang terus membludak, tidak ada kawalan dari para kritikus sastra yang akan menilai dan membuatkan genre-genre terhadap karya-karya yang dihasilkan. Akibatnya, Indonesia kaya akan sastrawan, kaya kaya sastra tapi minim kualitas. Hal ini dituturkan oleh Liza Wahyuninto dalam esainya yang bertajuk “Kritik “Sakit” Sastra Indonesia”.

Jurnal Kebudayaan The Sandour ini cocok dibaca bagi kalangan manapun, dan dikhususkan bagi pengkaji sastra (baik komunitas sastra maupun akademisi sastra), pegiat budaya dan pelajar yang menginginkan literatur baru mengenai sastra, terutama berkenaan dengan sastra pinggiran.

Judul: Jurnal Kebudayaan The Sandour
Dewan Redaksi: Nurel Javissyarqi, dkk.
Edisi: III, 2008
Halaman: 155 Halaman
Penerbit: PUstaka PuJAngga & Forum Sastra Lamongan
Peresensi: Musfi Efrizal*)
dijumput dari http://koranpendidikan.com

*)Bergiat dalam Komunitas Sastra Pusat Pengkajian Jalaluddin Rumi Kota Malang dan peneliti sastra pada Lembaga Kajian, Penelitian dan Pengembangan Mahasiswa (LKP2M) UIN Malang.

Minggu, 24 Agustus 2008

Agama, Bunuh Diri Hakekat dan Habermas

(Pentas Teater Keluarga ‘Alibi’)
Mashuri

Seorang lelaki di panggung, dengan setting: satu kursi, satu ranjang, sejumlah pakaian di gantungan, sekat ruang putih, juga tabir hitam. Ia berbicara sendiri, tentang siapa dan apa saja yang menyangkut soal korupsi. Ia beralibi tentang sikapnya, tentang pilihan hidupnya, tentang hubungan-hubungannya dengan orang-orang di sekitarnya, juga keluarga. Ia berbicara tentang harapan-harapan, frustasi, mimpi, juga ideologi.

Kesan itu mungkin yang terasa pertama-tama dari pementasan Alibi oleh Teater Keluarga di Fakultas Sastra Universitas Airlangga, 6 November 2004, Minggu Pon. Sepertinya tak ada yang menarik dari pementasan ini, kecuali nama-nama pekerja teater di belakangnya: aktor tunggal berbakat F Azis Manna, sutradara idealis S Jai, serta pemusik eksperimental Widi Asy’ari.

Tetapi Benarkah demikian?
Kegilaan! Mungkin itu kata-kata yang pertama harus diungkapkan terhadap penggarapan teater ini. Bukan hanya karena si tokoh berbicara sendiri dan identik dengan ‘orang gila’, bukan pula karena durasinya yang na’udzubillah sampai tiga jam lebih, tetapi kegilaan yang terjadi bermuara pada cakupan gagasan yang ingin disampaikan, eksplorasi, kualitas pementasan serta proses yang dilalui dalam penggarapan dengan konsep ‘teater terbuka’ dan berdarah-darah.

Kegilaan ini menjadi penting, manakala segala ihwal kesadaran tak bisa ditundukkan dalam sistem relasi biasa, tetapi melingkar sendiri, dalam ruang-ruang sendiri, pribadi, pada ego. Kegilaan ini menjadi penting, ketika realitas di luar diri demikian menakutkan atau memabukkan, lalu ditarik ke muasalnya: alam persepsi, kemudian dilontarkan kembali seperti peluru yang keluar dari satu moncong senjata. Lompatan pikiran, retak kesadaran diri dan lingkungan, dan gugatan yang muncul dari ego sebagai sentral meski tak utuh dalam satu peran dan satu bahasa, seakan menjadi universalitas bahasa yang absah untuk memberi jawab, menolak, mungkin berdialektik, dengan realitas di luar diri yang berhumbalang, mencekam, centang perenang dan berpretensi untuk merenggut kedirian dalam lingkup kebiasaan dan sistem yang ada.

Kebiasaan memang riskan pada kesadaran. Realitas kadang tak bisa dinalar dengan idealitas. Dalam kebiasaan, ada alur yang linear dari nalar untuk tak menolak dari rangkaian impulse diri, sehingga tak ada perlawanan yang berarti, meski pada hakekatnya kebiasaan itu ditempias dari hasrat hakiki manusia, kemurnian. Di titik ini, konsepsi korupsi yang menjadi landasan dari pentas Alibi mendapatkan penekanannya. Ternyata, ada dosa sosial yang telah mengakar dalam bangun kesadaran kolektif, yang terlegitimasi dan mendapatkan pengabsahan dari khalayak. Ada anggapan, karena sebuah tindakan keliru adalah kebiasaan, dosa terampuni dengan sendirinya.

Dan agama, seperti jauh tertinggal di belakang, jika ia hanya berkutat pada masalah dogma, serta verbalisasi hukum tentang halal haram dan teks-teks yang ada hanya alat justifikasi pada tindakan formal. Ia tak mampu menjangkau nalar samar yang terpatri di balik sebuah kebiasaan, karena hukum lebih dipahami dalam kerigidannya pada penafsiran teks-teks agama dalam sebuah tafsir kering. Tak ada refleksi, introspeksi dan mengembalikan nalar pada muasal dari kehadiran agama, yang menyejarah; terkait dengan bumi, bermain dalam lingkar fenomena, tetapi mampu menjadi dasar kesadaran diri.

Pada titik inilah, kehadiran agama seharusnya bukan hanya dipahami dalam konteks profetiknya, tetapi pada konteks mistiknya. Agama yang mempribadi dan bisa menjadi tumpuan dari segala tindakan, dan tanggung jawab diri. Agama yang tidak hanya berpretensi mengubah dunia, dan kadang terjebak di dalamnya, tetapi agama yang dimulai dari diri, kesadaran alter ego dan wujud hakiki dari manusia.***

Alibi bukan tarik ulur antara profetik dan mistik dalam pemikiran Muhammad Iqbal; bukan lubang hitam tanpa tawaran; bulan sumur tanpa dasar yang memusar dalam suara-suara asing, gaung asing dan lorong tak berkesudahan; bukan pula mimpi-mimpi asing yang tak berdasar; ular-ular yang menghuni ketaksadaran; Alibi berkutat di arus kesadaran dan ketaksadaran: saat wujud rumpang dan ruh raib Alibi adalah wilayah kemungkinan dan sipapaun diajak ke dalamnya untuk mencecapi hikmat dari eksistensi, sekaligus meniadakannya, ketika diri diancam dan harus menenggelamkan, menggelapkan dan mewujuidkan angan di wilayah yang paling ekstrim. Sebuah titik yang bisa menjelma awal manusia sekaligus mengakhirinya.

Di sinilah jalan alternatif merebut kebenaran! Tapi bukan jalan kelima dalam perspektif Al Ghazali, bukan jalan nabi-nabi, bukan Al Hallaj. Keberanan memang bukan di sana dan di sini, tapi segala lingkaran berawal dari satu titik. Inilah pilar penegak keadilan; kerna keadilan bukan terberi dan harus disergap dan diwujudkan; ia tidak turun dari langit, tapi harus ditumbuhkan dari bumi, dari diri. Inilah kekuatan kelima dari kontrol sosial, setelah trias politika Montesque dan pers; kekuatan yang tidak hanya tegak menjulang—tapi rapuh dalam kontradiksi; seperti wujud realitas yang berhumbalang!

Inilah inti antroposentrisme; tapi bukan manusia dalam wujud insan kamil, bukan jiwa terbelah schizofresnia; kerak retak dan utuh tak lebih dari persepsi dan Alibi menabrakan keduanya dalam dimensi yang tak dibayangkan siapapun; seperti seorang paranoid yang kehilangan kepercayaan, seperti ‘tuhan’ yang ingin menegakkan keadilan.

Dan Alibi tidak berhenti seperti induk ayam yang ingin mengendalikan anak-anaknya dari ancaman elang; Alibi bukan pertapaan sepi. Alibi seperti tubuh yang melindungi ruh dari tangan maut; inilah perjuangan sejati manusia untuk mengukuhkan jati dirinya sebagai manusia, meski dengan diri tercambuk, dengan diri lantak: karena inilah bunuh diri sejati. Sebuah bunuh diri tuk satu keyakinan.

Bunuh diri ‘Alibi’ melampaui bunuh diri kreatif karena ‘hukuman dewa-dewa’ seperti Camus; ini bunuh diri hakekat! Kerna takdir, nasib; bukan sekedar pemberian; ia hujan yang bisa ditolak atau dibiarkan; atau kedua-duanya; kerna pilihan ada pada manusia. Dan perubahan, bukan terberi; ia harus dinistakan dari tangan, direnggutkan dan diwujudkan. Perubahan bukan pemberian langit tapi diperjuangkan!

Tapi pertaruhan Alibi bukan nilai-nilai, bukan slogan, bukan baik benar; Alibi ingin bertaruh tentang ruang-ruang sendiri, ruang-ruang sosial yang diasingkan; ruang yang bermain dalam wilayah ambang; pertaruhannya bukan pada lingkar di luar atau di dalam; bukan agama, bukan dogma; bukan ‘pikiran-pikiran’ yang membatasi; bukan segalanya yang menafikan kebebasan; Alibi ingin membuka tali, mengajak samadi dari gemuruh tak tentu; menguliti kulit kepalsuan; Alibi lebih dari ‘alat pengaman’ dari cengkeraman tangan-tangan liar, tangan yang tidak hanya ‘membunuh’ tapi memabukkan dengan sejuta godaan!***

Gugatan yang dilakukan dalam pementasan ini memberi semacam tawaran, tentang sebuah percakapan tak selesai —menggantung di aras kesadaran— apalagi arah dari pementasan ini pada ‘estetika terlibat’ tapi bukan dalam pengertian estetika terlibat Marxis secara sosial, tetapi ‘terlibat’ dalam pengertian pementasan, dengan melibatkan penonton dalam ruang dialog, ikut bermain, dan sama-sama ikut merasakan meski sebenarnya juga diasingkan dari ruang sehari-hari, memasuki ruang pribadi Tokoh Lelaki.

Dari sinilah, ada pembalikan dari konsepsi estetika Berthold Brecht. Brecht menggunakan alienation effect (efek pengasingan) untuk berdialog dengan penonton. Dengan teknik itu, Brecht ‘mengasingkan’ penonton dari pertunjukan teater, sehingga mencegah munculnya identifikasi emosional dari penonton terhadap pertunjukan. Menurutnya, jika dibiarkan adanya identifikasi emosional dari penonton, bisa mematikan daya kritis mereka. Hal itu karena pertunjukan teater bukan sebuah kesatuan organik yang menghipnotis penonton selama berlangsungnya pertunjukan. Teater adalah produk panggung dan menyisakan teror, serta pikiran-pikiran yang menghantu. Ini jelas bermula dari konsep teater epik.

Karena Alibi bukan teater epik, bahkan terkesan anti-epik dari narasi yang dibangun, penonton tidak dituntun dalam identifikasi, melainkan diajak terlibat dalam satu ruang dan satu waktu; yakni WIBP (Waktu Indonesia Bagian Panggung). Jika Tokoh Lelaki berbicara, ia tak sekedar berbicara sendiri, pada dirinya sendiri, tetapi ia berbicara pada penonton, pada audiens. Bahkan, audiens diajak untuk ikut bermain, ruang melebar, menembus batas antara aktor dan penonton. Mungkin konsep teater etnik menjadi acuan dalam hal ini, dengan berusaha mendialogkan konsep teater realis (dengan monolog) dengan etnis yang kuat di pelisanan dan memunculkan konsep teater baru.

Pada sisi inilah, ada indikasi bahwa teater ini yang bisa dinyatakan sebagai sebuah ‘bahasa’, sebagai tindak komunikasi. Asumsi ini bermula dari konsepsi Juergen Habermas, bahwa teater sebagai ‘tindakan rasional yang bertujuan’; dan dipahami sebagai tindakan praksis, sebagai strategi kritik yang bersifat emansipatorik. Ada pola simbolik interaksi yang bermula dari realitas tapi tak berhenti. Adalah cukup penting jika tidak menyamakan ‘sistem yang mengatur dirinya sendiri yang tujuannya menyingkirkan kesadaran anggota yang bersatu dengannya’ dengan dunia kehidupan: dunia kesadaran dan aksi komunikatif. Ada upaya peninjauan struktur (khususnya bahasa dan aksi komunikatif, serta kesadaran moral) dunia kehidupan.

Alibi yang membuka ruang dialog dengan audiens, meski sebenarnya digagas dalam bentuk monolog, memang sebagai upaya dari komunikasi itu, lewat bahasa yang tak hanya merangkum identitas kultural, tetapi disertai dengan berbagai persoalan. Habermas sendiri menemukan sifat dasar bahasa sebagai sarana komunikasi terdapat dalam pengertian bahwa bahwa pembicara maupun pendengar suatu percakapan secara apriori berminat untuk saling memahami. Saling memahami berarti ada kesepakatan di antara kedua pihak; kesepakatan mensyaratkan adanya pengenalan antar-subjektif terhadap keabsahan terhadap topik dan gagasan. Dalam proses ini, masing-masing pihak bercermin tentang posisi mereka dalam komunikasi.

Pada titik ini, struktur ‘bahasa’ menempati sifatnya yang paling cerdas: hermeneutik. Ia memanggil pihak lain untuk terlibat dalam interpretasi pada setiap tataran, dan dari sini meningkatkan pemahaman diri setiap peserta akibat interaksi. Pada titik inilah tujuan bahasa sebenarnya, sehingga agar aspek komunikatif berhasil harus ada konsensus. Jika komunikasi tak berhasil, dalam arti tak ada kesalingpemahaman antar-subjek, bahasa diidentifikasi sedang mengalami pembusukan. Bahasa didiagnosa: sedang sakit.

Dan simbol wayang, juga tema korupsi, bisa menjadi konsensus dalam ‘tindak komunikasi’ itu dalam bingkai kultur dan sosial dari pentas Alibi, meski ada pula bahasa lainnya yang juga bisa dianggap sebagai konsensus, bahkan untuk judul Alibi sendiri. Tetapi jika ‘percakapan’ yang ditawarkan Alibi tak dipahami, ini bisa diandaikan ada sesuatu yang kronis dalam proses dialektika. Namun, jika melihat pementasannya yang komunikatif dan nyaris realis, maka yang diandaikan tak mampu mengenali dan memahami konsensus ‘bahasa’ itu, sangat mungkin datang dari audiens; ada indikasi bahwa audiens sudah terbiasa dengan ‘dosa sosial’ dan ‘penyakit kultur’, sehingga mengganggapnya sebagai sebuah kebiasaan, sebuah budaya.

Pada titik ini, mungkin yang paling tepat adalah mengkomunikasikan antara realitas di luar diri dan di dalam diri; dalam sebuah alur kejernihan. Aspek spiritualitas dari agama menjadi tak terelakan, karena di batas ini, ada sebuah tawaran terkait dengan ‘sangkan paran’ dan mengenalkan manusia pada muasalnya, yang berbicara tentang kesejatian. Pada titik inilah ekspresi estetik dan religiusitas bertemu, untuk membongkar kesadaran yang dipalsukan. (*)

Sajak Mardi Luhung

Bukit Onik

Dia, seperti yang aku kenal belasan tahun dulu, memang masih terlihat cantik dan enak digarap. Dan langkahnya yang berjingkat pelan, seperti menabuhi lantai. Membuat tirai bergoyang. Padahal, di antara pedang samurai yang pernah aku hunus, dia cuma menjawil. Lalu berseloroh tentang pertempuran yang tak pernah dilakukan. Tetapi selalu saja dirampungkan. “Kau, lelakiku, memang milik Adam. Selalu kisruh dan selalu merasa paling unggul," sambil terus berbalik dan hilang di hutan bambu yang penuh warna.

Dan di hutan bambu itu, aku melihat matahari turun dan terbelah sama persis. Yang satu mirip kuldi. Satunya lagi tak pernah aku kenal. Apa itu jamu atau tuba? Dan ketika menjilatnya, mendadak aku menjelma sekuntum teratai. Teratai merah menyala. Teratai yang di hari-hari ganjil mewarnai bibirnya. Dan membuat senyumnya begitu indah. Senyum yang kini telah menjadi milik bukit onik. Bukit onik yang goyang karena tertakik. Tertakik oleh sebaris taklimat: “Percayalah, dia selalu menampik setiap tulang-rusuk-lelaki yang tak cermat."

“Ya, ya, dia, istriku, memang adalah Hawa. Adalah yang akan terpisah dariku. Terpisah paksa atau pasrah!" Dan aku pun jadi tahu, jika jarakku dan jaraknya telah saling melambai. Aku di seberang. Dia di jauh yang tak terukur. Dan kami, seperti sudah-sudah, kembali saling bertualang sendirian. Saling merindu. Dan saling mencoba untuk menghapus setiap amanat. Yang membuat kami pernah melahirkan pembunuh pertama. Yang akan selalu kalian kenang. Seperti mengenang kebun dan ternak di pulau. “Akh, sudah ada yang menulis namaku di kubur itu!"

(Gresik, 2007)

Jumat, 22 Agustus 2008

Sajak-Sajak Liza Wahyuninto

Sebatang Dosa

Ingatkah kau saat kuajak
Intip sebatang dosa di bawah ketiak sampah
Kau terperangah seolah menyerah
Tak kau lanjutkan tuk sekedar berusaha

Tak dosa sebenarnya mencurinya
Toh, Aku menyarankan kau mengambil pembalutnya
Bukan batangnya

Sebatang dosa tak lebih hanya sekedar berludah
Kau keluarkan lagi lewat kepulan yang menyala
Cukuplah tuk menyambung ide yang tertunda
Takut kelak kan terlupa

Tak dosa sebenarnya mencurinya
Toh, Aku menyarankan kau mengambil pembalutnya
Bukan batangnya

Sebatang dosa yang kutunjukkan
Takkan terulang di ketiak yang sama
Jadi, tak perlu kau sesalkan
Jika ini menyisakan kisah belaka

Malang, 08 Februari 2008



Semuanya Berakhir Di Halim Perdana Kusuma

Teman datang silih berganti
Keluargalah tempat kembali

Empat tahun yang manis
Indah hari-hari
Kukirimi kau puisi di paginya

Empat tahun yang ku jaga
Berjelaga santunkan diri agar tak berlari
Membimbingmu menghulu agar segera ke tepi

Masih jauh penghujung tahun
Masih ingin ku bacakan puisi di pagi-pagi milikmu
Kau lirihkan “lupakan aku Dang”

Dua hari berjalan, susuri gemunung dan arungi selat
Belum lepas lelahku, belum terusir kantukku
Menjelang malam di Halim Perdana Kusuma
Bukan suaramu yang ku dengar, tapi isakmu yang ku jelang

Di sini, di Halim Perdana Kusuma
Kau pinta pisah
Tanpa air mata

Berat kau tuturkan kisah
Terlanjur basah Halim Perdana Kusuma
Dengan tangisku
Tidak inginkah kau menyekanya?

Semuanya berakhir di sini
Tanpa ada tangan berjabat
Tak ada senyum semburat
Hanya ada kata maaf
Bersama dederu pesawat

Halim Perdana Kusuma
Kau curi ia dariku

Halim Perdana Kusuma, 30 Oktober 2007

Mengasah Genius Keprigelan Membaca Ekologis

A. Qorib Hidayatullah

Sejarah ibarat gelombang pasang yang siap menggulung siapa saja. Manusia bukanlah sepotong gabus yang setelah terombang-ambing dapat dengan mudah dihempaskan ke daratan dan menjadi sampah di pantai. Sejarah tentang unggulnya harapan di zaman bergelimang daya-dera yang menggilas. Sejarah yang gagal membikin manusia bertekuk lutut menyerah pada nasib.

Membaca adalah aktivitas niscaya. Agar masyarakat tak melulu dihantam dan dirundung masalah tanpa jeda, kegiatan membaca merupakan investasi mental. Yaitu, mental genius keprigelan masyarakat menggubah bahasa sekaligus mendalami refleksi (muhasabah) dengan bersikeras hendak mengubah tragika nasib hidup ini. Reading and writing is a basic tool in living of a good life (Membaca dan menulis merupakan salah satu piranti dasar kehidupan yang berkualitas)”, ujar Mortimer J. Adler.

Ayat suci yang kali pertama lahir dari rahim kitab universal, al-Qur’an, adalah kata Iqra’ (anjuran membaca). “Anjuran” Ilahi tersebut mengandung prinsip transformasi dari setiap makhluk bumi. Transformasi yang menggugah pesona diri bersama semesta hikmah agar arif pijaki alam (baca: arif ekologis). Kompleksitas sikap: kesadaran diri, spontanitas, terbimbing visi dan nilai, berjiwa holistik, kepedulian, menghormati keragaman, independen terhadap lingkungan, berpikir mendasar, pembingkaian ulang, mengambil manfaat dari kemalangan, kerendahan hati, dan keterpanggilan, adalah muatan sikap transformasi, ketika seseorang menjadi pendengar setia “anjuran” Ilahi itu.

Lebih jauh lagi, adalah perihal penting bagi seseorang meninggikan antena kepekaan membaca kondisi alam-ekologis saat ini. Ada tamsil indah-menggugah yang diukir oleh Elie Wiesel, novelis peraih Nobel Perdamaian dalam memoar Night (1958): “Pada saat Adam dan Hawa mengkhianati-Mu, Tuhan, Kau usir mereka dari Taman Firdaus. Saat dikecewakan generasi Nabi Nuh, Kau datangkan air bah. Saat kota Sodom dan Gomorah tak lagi menjadi kesayangan-Mu, Kau buat langit memuntahkan kutukan hujan api. Tapi lihatlah para korban yang nasibnya bagai beras sedang diayak dan ditampi ini. Mereka bersimpuh dihadapan-Mu. Mereka memuji kebesaran-Mu.”

Wujud kearifan dan sikap bijak dari masyarakat pembaca (reading society) pada zaman ini, mengapresiasi secara kontekstual serta menangkap tanda-tanda zaman yang akan terjadi dan telah telanjur terjadi. Bangsa Indonesia memang bangsa yang hidup dinegeri yang kaya akan bencana alam. Aceh, Nias, dan Pengandaran digulung Tsunami. Yogyakarta dan Klaten diterjang gempa. Sidoarjo direndam bencana korporasi-birokratik lumpur panas Lapindo. Halmahera diguncang gunung meletus. Kalimantan Timur dan Sulawesi Barat disapu banjir bandang justru dimusim kemarau sedang menggila diseantero wilayah Nusantara. Sumatera Barat, Bengkulu, Jambi, Mentawai, dan Blitung pun, tak lepas disatroni lindu, serta banyak rekaman-rekaman terbaru lainnya potret bencana kekinian yang tak tersebut disini.

Membaca dan Memaknai
Alam bukanlah makhluk hidup yang bisa memperbaiki kerusakan sel-sel dalam tubuh. Manusia yang hidup diatas permukaan bumi yang harus mencegah agar daya rusak tidak semakin parah. Didalam kesedihan, ditengah keporakporandaan puing-puing bangunan yang melibas, dan hamparan ketidakpastian yang harus dijalani oleh para masyarakat korban. Proses penyelaman ke dalam diri jangan sampai membuat tenggelam dan terputus dengan dunia nyata.

Yang perlu ditekankan dalam membaca untuk memaknai ialah garis tegas introspeksi perihal nilai dan makna interaksi dengan orang lain. Membuat keputusan strategis saat kondisi mental sedang buruk, capek, dan tertekan, perlu dihindari sejak dini. Contoh baik yang dapat ditampilkan, “pada minggu pertama setelah gempa, sebelum dapur umum menyala dan persediaan bahan mentah masih langka, operasi nasi bungkus sangat membantu. Bila tidak, kelaparan bakal meluas dan anak-anak kekurangan gizi.” Kemafhuman membaca atas suatu kondisi tertentu masyarakat, sangat menjadi perihal prioritas. Sebab, salah satu manfaat membaca ialah mengaktifkan learning connection, dan mengolahragakan pikiran.

Bencana itu musibah sekaligus berkah. Kepedulian terhadap kemanusiaan bisa dilatarbelakangi kepentingan politik, bisnis bantuan, dan berbagai semangat filantropis berlumuran pamrih. Misalnya, kepedulian merancang perumahan di Aceh pascatsunami dan rumah tahan gempa yang menutup mata terhadap kearifan lokal. Kepedulian semacam ini tak ubahnya burung gagak hendak berpesta pora memangsa bangkai yang terkapar dizona bencana.

Aparatus pemerintah, aktivis LSM, dan donatur internasional semua bergerak atas nama kemanusiaan. Mereka bisa berperan sebagai iblis, perusak bumi, dan pendewa materi. Membonceng ideologi kemanusiaan untuk melakukan kejahatan yang ujung-ujungnya mencederai kemanusiaan. Bisa juga berperan ganda, sebagai malaikat, pemelihara lingkungan, dan pengayom korban.

Membaca dan Keagungan
Solidaritas adalah harta karun bangsa Indonesia yang terancam punah. Berkah bangsa ini bukan terletak pada kekayaan alam yang kemarin dibanggakan kini diratapi karena dikuras habis persekongkolan elite dan ekonomi lebih cepat dibandingkan eksploitasi penjajahan Belanda dan Jepang.

Keunggulan komparatif bangsa yang bertengger di jalur gebalau alam dahsyat tak lain masih adanya manusia-manusia suka bekerja keras, tulus, ikhlas, jujur, hemat, dan pantang serakah mengail di air keruh berbisnis penderitaan manusia.

Dengan menertawakan nasib tragis para penyintas bertahan dalam kesulitan dan tabah dalam penderitaan. Dostoyevsky pernah berujar, ”Jika Anda berharap untuk melihat sekilas ke dalam jiwa manusia dan ingin mengenal seorang manusia, pandanglah saat dia tertawa. Jika dia tertawa dengan lepas, dia orang bijak.”

Manajemen yang perlu dipegang dan dilakukan oleh masyarakat pembaca ekologis yang telah menyaksikan langsung maupun tidak akan potret peristiwa-peristiwa getir seperti diatas, bagaimana ia mampu menarasikan alur kesedihan masyarakat korban. Setiap narasi mesti temukan alur akhir yang akan menutup cerita sedih menyayat hati, berbalik menjadi pemantik kesadaran tuna daya lewat keprigelan membaca baru dari masyarakat korban maupun masyarakat saksi. Sebab, ada juga tuduhan umum yang membidik jantung pertahanan bahwa peristiwa kejadian bencana maupun musibah, juga tak lepas dari ulah tangan manusia, tak melulu murni ujian dari Tuhan. Entah mana yang benar?

Kamis, 21 Agustus 2008

(Me) Revolusi Pendidikan Lewat Perlawanan

Judul Buku : Guru: Mendidik Itu Melawan!
Penulis : Eko Prasetyo
Penerbit : Resist Book
Cetakan : Pertama, Mei 2006
Tebal : xii + 206 hal
Peresensi : A. Qorib Hidayatullah*

Sepertinya tak dapat dipungkiri, kemajuan pesat sebuah bangsa atau negara disebabkan kemapanan bingkai sistem pendidikannya. Kedewasan berpolitik, majunya perekonomian, hidup berkesadaran sosial, dan budaya masyarakat - sangat sulit dilepaskan dari peran agung pendidikan. Satu contoh, mencuatnya kasus korupsi yang menyebabkan bangsa ini tertorehkan tinta hitam dunia sebagai koruptor rangking wahid. Serasanya, tak dapat dipisahkan dengan keberadaan pendidikan bangsa ini yang menggambarkan kegagalannya.

Kegagalan-kegagalan dalam bidang pendidikan, oleh Eko Prasetyo penulis buku ini, Guru: Mendidik Itu Melawan, cukup lihai dipotretnya. Meliputi, kebijakan kurikulum, pengelolaan guru, dan managemen pendidikan tidak luput dari amatannya . Dengan gaya eksplorasi ulasan yang mendalam dan ketajaman isi, buku ini memberikan angin segera dan mengundang para aktivis pendidikan guna mendiskusikannya. Dan sebaliknya, menjadi tamparan telak bagi birokrasi elit pendidikan yang hanya enak-enak duduk santai dietalase gedung-gedung Diknas.

Tentang kebijakan-kebijakan pemerintah dalam dunia pendidikan, Eko Prasetyo merangkum penjelasan-penjelasannya dalam gambar tabel. Misalnya, kebijakan pemerintah yang berkaitan dengan kurikulum. Penulis kemudian mencari problemnya: ‘pergantian (kurikulum) yang berulang-ulang tanpa pernah dievaluasi’. Terakhir, dicarilah solusi dari kebijakan kurikulum dengan problemnya yang akan mengahasilkan dampak: ‘peserta didik terbebani baik karena perubahan yang terlalu cepat maupun konsekuensi biaya yang ditanggung’ (hal 43).

Terbantu dari tabel itulah, akan mempermudah pembacaan kita dengan ghirah kultur kritis terhadap proses dan berlangsungnya pendidikan di Indonesia. Kalau dilihat dari sumbangsih pemikiran, yang ia tuangkan lewat buku-bukunya sangatlah besar sekali. Ia sangat getol memotret keberlangsungan dan keberadaan pendidikan Indonesia. Ia sepertinya tak takut, apalagi sungkan-sungkan berhadap-hadapan dengan birokrasi pemerintah, utamanya birokrat pendidikan. Itu terlihat dari karya-karyanya yang mengurai dan mengkritisi habis pendidikan di Indonesia. Seperti dalam karya lainnya, yang juga berbicara tentang dunia pendidikan, Orang Miskin Dilarang Sekolah, dan Pengumuman: Tidak Ada Sekolah Murah dll.

Bahkan, mengenai anggaran pendidikan pun tidak lepas dari bidikannya. Misalkan, angaran pendidikan yang semestinya harus sesuai dengan undang-undang sebesar 20%, tapi praktik dilapangan-anggaran pendidikan yang disetujui pemerintah pada tahun 2006 hanya 8,4%. Presentase sebesar ini yang membuat sektor pendidikan hanya mendapat jatah sekitar Rp 36 triliun dari total anggaran yang mestinya dialokasikan sebesar Rp 425 triliun. Lain lagi, dana tersebut yang masih dipotong oleh Dana Bantuan Operasional Sekolah (BOS) sebesar Rp 12 triliun (hal 24).

Menyoal dana BOS, yang kerap diskriminasi dalam praktiknya, yaitu tidak mengindahkan kesenjangan pendidikan antara kelompok masyarakat miskin dan kaya (Kompas, 02/01/2007). Yang seharusnya, ada penyikapan serius pemerintah melalui kebijakan pembiayaan yang kian berpihak kepada kalangan miskin. Sehingga pada prinsipnya, BOS yang menjamin siswa miskin bisa tetap bersekolah dengan membebaskan mereka dari seluruh iuran sekolah dan penyediaan bantuan transportasi dapat terlaksana.

Bentuk Perlawanan
“Toyib, guru dari Tangerang, masih menyimpan kesal. Sebagai guru honor daerah di Kabupaten Tangerang, dia digaji Rp 200.000 per bulan. Honor itu seharusnya diterima setiap tiga bulan. Tiga bulan pertama, beres. Namun, selama sembilan bulan kemudian honor itu tidak kunjung datang. Setelah demonstrasi oleh para guru, baru uang yang menjadi haknya itu turun. Bagi Toyib, honor bulanannya itu sangat berharga untuk menopang kehidupan sehari-hari.” (Kompas, 02/01/2007)

Sekelumit gambaran keadaan guru honorer diatas, si Toyib, menjadi ulu persoalan dalam buku ini. Secara khusus, Eko Prasetyo dengan karyanya ini mutlak diperuntukkan kepada seluruh guru-guru honorer di Indonesia. Permasalahannya sekarang, di satu sisi perlunya menisbatkan ucapan-ucapan sakral yang sudah ada semenjak dulu, seperti: Guru, pahlawan tanpa tanda jasa, dan Guru, sebuah profesi yang mulia dan terhormat. Kalimat-kalimat itu sah-sah saja didaulatkan kepada semua guru Indonesia sebagai bentuk penghormatan kepadanya, yang telah mengajarkan anak-anak kita tentang kebajikan dan nilai-nilai universal kehidupan. Namun disisi lain, kita juga harus bertanya bagaimana cara membalas jasa-jasa guru? Kata Victor Hugo, sang maestro dan seorang sastrawan besar, hanya dua orang yang menyumbang besar bagi peradaban sebuah bangsa yakni seorang guru dan seorang perawat.

Dalam bab terakhir, Guruku: Jangan Takut Melawan dalam buku ini, penulis memberikan ruang khusus untuk hal ihwal perlawanan sosok guru. Sudah saatnyalah kita memberikan balasan jasa yang setimpal kepada guru, dengan memberikan gaji kesejahteraan yang layak. Melihat fenomena dimasyarakat pada umumnya, profesi guru hanya dijadikan profesi sampingan. Pendikotomian itu bukanlah tanpa alasan. Hal itu terjadi sudah bisa disangka, karena gaji atau uang kesejahteraan guru sangatlah minim. Meski, telah ada UU Guru dan Dosen serta Rancangan peraturan pemerintah tentang Guru dan Dosen masih tetap ada rasa kekahawatiran ketiadaan jaminan terhadap perlindungan profesi guru.

Kalau melihat dari full dedication sosok guru, utamanya guru yang ada dipedalaman sangatlah memprihatinkan keberadaaanya. Ia masih betah-betah duduk mengajar, meskipun gaji kesejahteraannya minim. Ia bergairah mendidik, meskipun tinggal dipedalaman dengan fasilitas apa adanya. Pengorbanannya tak dapat diukur dan ditukar sebatas nominal. Hanya satu komitmennya, ia khawatir nanti bangsa ini akan hancur karena generasinya bodoh-bodoh.

Guru sering kali mendidik dan mengajari murid atau generasi muda untuk berpikir besar tentang bangsa ini, mengingat bangsa ini dulu didirikan oleh para pemikir besar. Ia memberitahu dan memaparkan tentang Nasionalisme Soekarno, Ekonomi Rakyat Hatta, Sosialisme Tan Malaka, dan prinsip etika Haji Agus Salim (hal 196-198). Sementara bangsa Indonesia tahun-tahun ini, dirundung musibah atau bencana yang beraneka rupa silih berganti kerap terjadi tanpa jeda, membuat hati sakit dan prihatin - sepertinya lebih menyakitkan dan memprihatinkan, ketika engkau dan profesimu (guru) sudah tidak dihargai lagi. Apakah memang itu, bentuk takdir perlawananmu untuk merevolusi pendidikan Indonesia?

Rabu, 20 Agustus 2008

Dari Minder, Keblinger sampai Atos

Nurel Javissyarqi*

(I) Bagian pertama ini pernah dikorankan secara dadakan sekali terbit dalam acara DKL 2007, berjudul Lamongan Menuju Kota Buku dan sedikit ditambahkan. Yang kering-kerontang terbakarlah, yang basah tetap melempem. Oya sebelum jauh maaf, kiranya siratan perbahasaan ini tidak nikmat dikunyah, sebab guratan pena saya belumlah teruji media massa. Tapi diri ini tak hawatir, karena keyakinan kata-kata merupakan dinaya, yang sanggup menggempur kalimat teratur cepat dilupa.

Lamongan kelahiran saya, berpamorkan ikan bandeng dan ikan lele melingkari sebilah keris. Tahun 1993 saya meninggalkannya menuju kota Jombang, lantas pertengahan 1995 berhijrah ke Jogja, dan balik lagi ke Lamongan di tahun 2002. Entah bagaimana, saya lebih percaya diri jika di luar kota. Mungkin dikarena membawa beban identitas yang hilang (Sebelum kasus Amrozi dkk, kata Lamongan belumlah tampak di mata Nasional, apalagi Internasional. Entah ini berkah atau kutukan, atau sang penagih; sebab tak diberi ruang maksimal sejarah, semisal makam Sunan Drajad dalam arsip-arsip lama seringkali tertulis wilayah Gresik). Dan pernah berlaku, orang-orang kelahiran tanah mbah Lamong, malu menyebut lemah-lempung tubuhnya. Baru-baru ini saja pada berbondong di belakang nama menyorongkan identitas aslinya.

Mungkin sebab dalam sejarah, tanah kelahiran saya hanya kota kabupaten saja. Berbeda Kediri, Mojokerto atau lainnya, yang kehadirannya ditandai peristiwa besar. Dan mungkin pula Amrozi mengangkatnya, dengan wajah sangar berlebihan dari sebelumnya. Bagi yang belum pantaslah mensejarah, untuk yang telah biarkan tertimbun usia, sebagaimana Singosari menjadi kota kecil saja.

Kedatangan saya dari kembaraan tahun 2002, mencium aroma kesusastraan telah dikumandangkan deretan sastrawan yang bercokol di tlatah kelahiran saya. Dengan mengharumkan pendiskusian Candrakirana. Meski kadang yang datang sedikit tak terlaksana, itulah realitas maju-mundurnya komunitas (entah kini kemana kabar Kostela?, semoga tetap bergairah nyastra).

Ketika di kediaman, saya makin malas mengirimkan tulisan untuk dipublikasikan di koran (mungkin sebab sering ditolak), yang sewaktu di Jogja sempat bercokol di Kedaulatan Rakyat, Minggu Pagi, Solo Pos, Pos Kita, Bernas, Kuntum &ll. Keengganan itu bukan berarti tak lantas melupakan segala. Saya memulai membuat semacam penerbitan; buku-buku dengan cover samblonan, kertas dalamnya fotocopian. Yang hampir menghasilkan satu lusin judul buku, seribu eksemplar lebih saya lem (jilid) sendiri dan alhamdulillah sudah tersebar di beberapa kota, seperti Malang, Surabaya, Madura, Ponorogo, Jogjakarta, Bojonegoro, Lampung, Jakarta dan Lamongan sendiri (saya dengar-dengar sampai ke Makasar pula). Pada lembar pengesahannya tertuliskan; hak cipta dilindungi akal budhi, bukannya undang-undang. ISBNnya pun saya terjemahnya menjelma; Insyaallah diridhoi allah SuBhaNahu wataallah.

Sempat saya bangga hasil payah tersebut ketika dimuat berupa catatan kaki di buku Bermain dengan Cerpen (Gramedia, Juli 2006, karya Kritikus Sastra, dosen Ilmu Pengetahuan Budaya UI, Maman S Mahayana, di halaman 56). Penerbitan saya bertitel PUstaka puJAngga, satu sebutan hasil tapak tilas langkah pujangga R.Ng. Ronggowarsito kepada Kyai Ageng Muhammad Hasan Besyari di Ponorogo, dan kilas balik seringnya diri ini ke makam beliau di Klaten, tepatnya desa Palar. Niatan tapak tilas beliau, setelah mendapati buku karangan Anjar Any sewaktu nyantri di Magelang. PUstaka puJAngga bersingkatan PuJa, dikarenakan emosionalitas jiwa Jawa saya kepada tlatah India, bencah kelahiran pujangga Rabindranat Tagore yang pernah mengampuh sungkem di tanah Dwipa.

Ketika kerja tekun berkelanjutan, tentu kelamaan penerbitan saya meningkat tak sekadar fotokopian, lantas memberanikan diri dalam percetakan. Buku saya yang sempat dicetak berjudul; Trilogi Kesadaran (Kajian budaya semi, anatomi kesadaran &ras pemberontak). Kajian Budaya Semi, sebelumnya fotokopian, sempat di bedah di UNTAG Surabaya dan IAIN Yogyakarta). Ketika menjelma sebuhul buku Trilogi Kesadaran, kebetulan dibedah di lingkungan Universitas Indonesia (langkah tak ternyana sebelumnya).

Lantas menyusul menerbitkan karya-karya kawan, tentu bersistem kerjasama karena dalam hal ini bermodalkan nekat. Karya kawan-kawan yang tercetak, semisal Kantring Genjer-genjer (karya Teguh Winarsho AS, novelis Jogja yang mengikuti langkah saya membuat penerbitan; Lafal Indonesia, sebagaimana penerbitan MataKata Lampung, direkturnya penyair Y. Wibowo). Dilanjutkan mencetak Sastra Perkelaminan (karya Binhad Nurrohmat, penyair kelahiran Lampung), antologi puisi Ngaceng (karya Mashuri, kelahiran Lamongan yang di tahun 2006 memenangkan lomba cipta Novel diadakan DKJ), Amuk Tun Teja (kumpulan cerpen Marhalim Zaini, kelahiran Riau), novel Dunia Kecil; Panggung &Omong Kosong (karya A. Syauqi Sumbawi, kelahiran Jotosanur, Lamongan). Lalu Nabi Tanpa Wahyu (kumpulan esai Hudan Hidayat), Kitab Para Malaikat (karya saya sendiri), Antologi Sastra Lamongan; Gemuruh Ruh, dan Jurnal Kebudayaan The Sandour (edisi III, 2008, PuJa &FSL).

Di samping PUstaka puJAngga, di Lamongan terdapat penerbitan berISBN, seperti SastraNesia, PustakaIlalang, LaRoss. Jadi pantaslah jikalau kami memimpikan Lamongan kota budaya nantinya, sebagaimana Jogja yang telah jauh melampaui Malang, Surabaya, oleh dunia penerbitan, namun ini tidaklah bermakna jikalau tak rajin membaca realita. Di bawah ini keterangan lebih rinci buku-buku terbitan PuJa, karya saya; Sarang Ruh (puisi, manuskrip 1999, stensilan 2004), Balada-balada Takdir Terlalu Dini (cetakan 2001), Ujaran-ujaran Hidup Sang Pujangga (stensilan 2004), Segenggam Debu Di Langit (stensilan 2004), Sayap-sayap Sembrani (stensilan 2004), Kulya dalam Relung Filsafat (stensilan 2004), Kumpulan Cahaya Rasa Ardhana (stensilan 2005), Batas Pasir Nadi (stensilan 2005), Ada Puisi Di Jogja (stensilan 2005), Tabula Rasa Kumuda (stensilan 2006), Tubuh Jiwa Semangat (stensilan 2006), Trilogi Kesadaran (cetakan 2006), Kekuasaan Rindu Sayang (stensilan 2007), Kitab Para Malaikat (cetakan 2007).

Dan buku-buku karya kawan, majalah serta jurnal-jurnal terbitan PuJa; Serasi Denyutan Puri (cetakan biasa), Wanita Kencing di Semak (cetakan biasa), Esensi Bayang-bayang (stensilan), Sembah Rindu Sang Kekasih (stensilan), Kidung Sang Kekasih (stensilan), Kantring Genjer-genjer (cetakan), Herbarium (cetakan), Sastra Perkelaminan (cetakan), Amuk Tun Teja (cetakan), Ngaceng (cetakan), Dunia Kecil; Panggung &Omong Kosong (cetakan), Nabi Tanpa Wahyu (cetakan), Gemuruh Ruh (cetakan), Majalah Gerbang Massa (cetakan), Jurnal Sastra Timur Jauh I (stensilan), Jurnal Sastra Timur Jauh II (stensilan), Jurnal The Sandour I (cetakan biasa), Jurnal The sandour II (cetakan biasa), Jurnal The Sandour III (cetakan) &ll.

(II) Kelahiran Jurnal Kebudayaan The Sandour, tidak lepas keberadaan PuJa yang dirintis sejak tahun 2004 bulan agustus. Sedangkan Sandour (kata Sandour atau sandor, sebuah kesenian tradisional yang ada di Lamongan, jikalau di Gunung Kidul Jogja seperti Jatilan atau sejenis Kuda Lumping), dan Jurnal Kebudayaan The Sandour sendiri diawali pada tahun 2006. Dasar pencetusannya, disamping rasa syukur kepada-Nya karena dikaruniai kesanggupan merangkakkan dengkul PUstaka puJAngga, meski berupa buku-buku fotokopian, cover sablonan. Pula dikarena kegagalan berulang sebelumnya, lumpuhnya terbitan selanjutnya majalah Gerbang Massa, Jurnal Sastra Timur Jauh untuk menampung ledakan kreatifitas belia di Lamongan, Gersik dst.

Kehendak The Sandour tak lebih mengangkat karya-karya yang sulit masuk ke koran-koran sebagaimana karya saya. Yang mana dalam jurnal tersebut, tersejajarkan dengan kawan-kawan yang lebih dulu masuk media. Sebab keyakinan saya; tulisan yang tak dimuat media, bukan berarti tidak layak. Saya lihat kurang daripada selera redaksi, atau menyedihkan lagi dikarena kedekatan emosi. Padahal setiap kata-kata yang matang memiliki ruh, untuk menafaskan kepada sesama. Maka bentuk kategorian yang tidak adil merupakan tindak aniaya. Apalagi jika yang didholomi sudah lama berproses, dengan mengangkat-tampilkan yang baru bergiat ria bersastra.

Usah ngedumel mari buktikan, kita juga memiliki daya. Yang sungguh-sungguh mendapati, yang bersenda ria tak banyak keringat lupakan saja. Sejarah tak lebih tumpukan naskah, teks-teks bernafas, maka tebarkan kalimat sanubani untuk dibaca mata masa depan. Jika mereka terbaik, kenapa kita tidak demikian? Ketika mereka mengajak bertukar dinaya, kenapa tak menyuhkan kadikjayaan? Dunia sebagai permainan, dan sebaik permainan ialah lihai melantunkan ujung pena sebagai mata baca dunia.

Berkali-kali saya kabarkan, di Lamongan tak banyak ditemui koran selain JP, maka informasi yang masuk dalam alam raya pemikiran seolah tak komplit. Usah gentar hal itu, apalagi pada tulisan yang dihasilkan dari pemotretan kurang fokus, tak suntuk dalam bidang dicitakannya. Padahal karya-karya mempuni, apalagi berupa buku, merupakan endapan pemikiran waktu lampau nan mendatang; membaca masa lalu sebagai pijakan, memandang masa nanti sebagai kejayaan pemikiran gilang-gemilang.

Mumpung berpena dan sebab tak rajin menulis buku harian seperti Fahrudin; tak dinyana kemarin, tanggal 10 juni 2008, saya diundang Universitas Paramadina untuk membacakan puisi dalam rangkaian acara pengekuhan guru besar bapak Abdul Hadi WM, bersama dedengkot sastrawan Ibukota. Undangan itu berita besar bagi saya, yang mana durung sanggup menjebol dinding media massa secara maksimal; maka sebelum mangkat dan ketika berangkat, merasa dek-dekan pula. Dan sepulang menaiki kereta api, saya banyak memetik kuncup-kuncup hikmah; ternyata dek-dekan saya tidak beralasan. Oleh terpenting ialah jiwa karya dari kesuntukan gemilang, bidang yang disanggupi terus tegak tak gentar, tiada keringat dindin bagi yang telah memeras asinnya perjuangan.

Saya bersyukur seolah Ibukota menerima diri ini sebagaimana di Jogya, padahal secara geografis, saya tinggal di Jawa Timur. Mungkin itulah jajaran genjang nasib; ketika ditolah di suatu tempat, maka kan diterima ditempat lain. Terasalah bagi yang genggam serutan (tali) takdir berketeguhan, bersanggup kuat mengayuh.

Kembali pada The Sandour. Karena keterbatasan jangkauan media massa ke daerah saya, diri ini memberanikan membuat media yang menampung karya-karya belum menerima nasib selayaknya. Dengan kaca mata cerdik saya tancapkan keyakinan; tak banyak warga yang suka membaca, apalagi sastra, maka ketika kita mencipta karya di daerah terpencil, barang tentu kitalah penghulunya.

Banyak ruang-ruang memungkinkan tumbuhnya jamur kuping kesusastraan, yang tak disentuh distributor-distributor buku. Kita bisa memasoknya, sebagaimana di pesantren-pesantren terpencil atau desa-desa yang banyak melahirkan anak yang minimnya jenjang pendidikan. Dalam percandaan saya waktu itu pada kawan-kawan; setelah Chairil Anwar tiada lagi penulis puisi selaian saya (hehe). Itu seolah dapat terjadi, ketika sanggup memasuki daerah-daerah terpencil dengan buku-buku karangan kita. Dengan mata jeli saya bilang; biarkan di atas meja mereka mendapati jatahnya, namun sejarah di bawah telapak meja, kita menguasainya. Mungkin itulah yang menginspirasikan Herry Lamongan dan Fahrudin Nasrulloh menyebut saya gerilyawan atau penulis pemberontak. Yang sebelumnya banyak kawan dekat menyangsikan gerak kesemangatan ini, yang seolah banteng telinganya tersumbat tanah. Setidaknya berkali-kali terbentur pastilah berdarah, dan muncratnya getih petanda benih kesadaran nyata.

Bagi saya, diolok-olok bodoh, keblinger, tak tahu aturan, serampangan &ll ialah jamu mujarab untuk tetap menjejakkan kaki di manapun berada. Yang mencibir kehabisan daya, sehingga tak banyak berkarya, yang terus melangkah semakin menggila berekspersi, sampai Maman S. Mahayana menyebut saya “dewa mabuk.” Dalam penulisan ini, tentu saya berhati-hati karena kebanggaan bisa mematikan daya kreatif. Saya tak lebih dari kemarin, orang bodoh tak pernah dianggap ada, tak tenang tempat duduknya meski di bangku kesunyian, sungguh sakit bercampur legit keterasingan ini.

Aduh kok belok ke persoalan sendiri lagi, padahal membahas The Sandour yang saya pimpin. Mungkin itulah kaca benggala tak terpisah, oleh kerja berkesenian saya tak banyak meminta perhitungan pada kawan (khususnya dalam kesuntukan mengolah manajemen). Ini bukan berarti tak mau kompromi, tapi lebih didasari pemotretan saya pada lembaga-lembaga yang dibilang mapan, semisal pemerintahan. Saya fikir banyak membuang waktu untuk rapat &ll, sedangkan ketika bergerak sendiri, resikonya pun kecil; paling-paling dianggap bodoh seorang diri, atau bangkrut dibopong sendiri. Sementara ketika bekerja sama, jika terjadi kepahilitan, yang timbul gontok-gontokan, melempar kesalahan kemana-mana. Saya rasa cukup dua sayap; pertama keyakinan, kedua kesunguhan. Dan kawan-kawan terbaik ialah yang faham bagaimana kelepakan sayap itu begitu payah.

Itu tak kurang dari takdir saya menuju tlatah awal, menerima diri ini berhijriyah menimba keilmuan, yakni Jombang. Tepatnya di tahun 1993 saya yakinkan diri ke kota santri tersebut, sebelum menginjakkan kaki di tanah budaya (Yogyakarta). Semua serba saya perhitungkan dalam tingkatan terbesar. Di batok kepada saya waktu itu, Jombang itu kota terdekat dari kelahiran saya, yang banyak menghasilkan bibit unggul, semisal Gus Dur, almarhum Cak Nur serta Cak Nun, yang dimasa itu tengah berkibar Lautan Jilbab. Jadi seolah keharusan sebelum melangkah ke Jogja, saya kudu menimba linuwih di bencah atmosfir nadzliyin.

Mengeruk keilmuan bagi saya tak sekadar membaca buku, pun pula mengakrapi realita; lingkungan dan tanahnya, watak tradisi serta kebutuhan penduduknya. Bertolak dari itu bisa mengandai; kenapa orang-orang yang saya kagumi bisa hadir dari tlatah semacam itu? Dan pertanyaan-pertanyaan serupa. Bagi sebagian orang, belajar dari kekaguman itu kurang tepat, namun untuk diri saya; tergantung menarik benangnya yang tak sampai melupakan yang hendak diharap-harapkan.

Masa itu Jombang, penduduknya terus-terusan berseberangan dengan orang-orang pendatang. Atau kerap terjadi tawuran antar warga dan santri. Dari Jombang pula saya sempat mengenyam kanuragan. Sungguh banyak yang terperoleh darinya bagi saya, yang suka merenung memikirkan hutang di warung-warung kopi dekat pesantren, sambil berhayal ingin jadi orang besar (hehe).

Jombang waktu itu saya ibaratkan kota Madinah, Yogyakarta saya andaikan Paris, Surabaya saya kira Inggris, dan Jakarta saya umpamakan Amerika. Inilah salah satu bentuk hayalah saya, keterbatasan orang pribumi yang kesulitan biaya menyenyam pendidikan di luar negeri, namun bukan berarti capaian karya saya menyerupai lamunan; Saya tetap merasakan denyutan nadi tropis, tarikan nafas katulistiwa, kehujanan-kepanasan nusantara, terhinakan-terkucilkan hiruk pikuk pergaulan. Inilah realitas menjangkai impian, serupa jarak pandang manusia menghadap kehadirat tuhan, Wallahuaklam.

17 juni 2008,
*) pengelana dari desa Kendal-Kemlagi, Karanggeneng, Lamongan, JaTim (Jawa Timur).

Puisi-Puisi Javed Paul Syatha

MUQADIMAH

menyapa-mu
aku aus
di dekap takdir

sampaikan salam ini pada lapis langit
jelmakan rintik hujan yang melebur segala kata
membingkis risalah magis kalbu
biar segala keheningan mengantarku

assalamu’alaikum bapa
aku datang sebagai anjing
berpijak di kegelapan purna
dan aku mencari jejakku di bulan
pada hijrah pada tubir mi’raj

biarkan hanya sunyi dalam keheningan jiwaku
seperti denting doa tak kumengerti
makin kalap kurapalkan
sunyilah menandaskan detik air mata
di tetes waktu

dari sendiri kau datang tanpa rupa dan bentuk
kau menjelma bukan cahaya dalam ketakberjasadanmu
wadag yang akan meleburkanmu dalam tafsir hijabku
o, kebekuan jiwa
terjebaklah pada wadagku yang nian absurd
menamaimu!

Lamongan, 2007



MUNAJAD

belum sempat ku eja puisi senjamu
daun kering tibatiba rontok di latar
rumahku yang penuh debu
seperti kau telah menyapaku
di selembar helaian itu

kekasih
gelap ini
kugenggam
munajad
serapuh
ranting
hati
dan embun yang basah
bertasbih
tanpa wadag
aku yang sesungguhnya

kunukil seayat malam
dari hati yang kosong
dalam menemu bayangku
bayangmu yang teduh
semisal amsal
doa yang ku curi
dari cinta
yang tak mengenal
batas dzikir
menujumu

aku menziarahimu
kekasih
dalam rindu yang utuh
dalam napas yang terhunus
dari sukmahku yang hening.

Lamongan, 2005-2007



RISALAH CINTA

… izinkan aku mengecup keabadianmu
dengan segala hikayat cinta

bunda
teduh wajahmu adalah kiblat adalah ka’bah
dimana wajahku kuhadapkan kutundukkan
dalam kesyahduan sujud

duhai, menatapmu adalah perjamuan dalam berkah
engkau membimbingku dalam jejak menuju syurga

bunda
setiap butir air mata yang kau teteskan untukku
dalam doa dalam cinta dan harap
adalah untaian tasbih
dalam napas dzikirku

“allahummaghfirli dzunubii wa liwaalidayya
warhamhuma kama rabbayaanii shaghiraa”

bunda
engkaulah sungai yang mengalir itu; telaga bagi nabi.

Lamongan, 2008

PERNIKAHAN DUA BULAN

Haris del Hakim

Purwani menjatuhkan dua butir jagung di atas tanah yang telah di-cebloki. Angin sawah musim kemarau yang panas menembus kain bajunya. Keringat menetes dari dahinya. Kulitnya yang sawo matang tampak semakin gelap mendapatkan sinar pantulan dari tanah yang coklat. Sementara itu, suaminya terus menjatuhkan batang kayu yang berfungsi untuk membuat lubang di atas tanah. Pandangan matanya terus ke bawah.

Mereka menikah dua bulan yang lalu. Bagi mereka bulan madu hanya berumur seminggu dan selebihnya adalah kembali bekerja, memeras keringat untuk mencukupi kebutuhan mereka sendiri. Tidak ada yang luar biasa dalam pernikahan. Seperti sendawa. Nafas berhenti sejenak kemudian mengalir kembali.

Sejak pagi mereka telah bekerja dan baru separuh lahan yang tertanami. Mereka seperti sengaja menentang panasnya matahari dan menakar kekuatan kulit kakinya. Kaki-kaki mereka yang telanjang terus melangkah.

“Ndalu, aku lelah,” ujar Purwani menyeka keringat di dahinya.
Pandalu menoleh ke belakang dan melihat keringat yang berjatuhan dari dahi istrinya. “Istirahatlah!”

“Tapi, kita belum selesai menaburkan benih ini.”
“Istirahatlah sebentar dan nanti lanjutkan kembali. Biarkan aku nyebloki guludan ini sampai selesai dan kubantu menanam.”

Purwani memberi tanda batas tanah yang telah ditanaminya dengan tonggak jagung yang masih tersisa dari panen sebelumnya. Ia melangkah ke pematang, di bawah rimbun pohon pisang. Didudukkannya tubuhnya yang ramping. Ia memandang suaminya, mengikuti irama langkah kaki dan batang ceblok yang jatuh. Satu dua. Satu dua.

Perempuan muda itu pun membuka kain penutup makanan yang dibawanya dari rumah. “Ndalu, kita makan dulu,” teriaknya.

Pandalu menjawab dengan pandangan yang terus ke bawah, seakan takut jatuhnya kayu di genggaman tangannya tidak tepat di atas kowakan. Sedangkan istrinya telah memasukkan nasi jagung ke dalam mulutnya. Sayur lodeh dan ikan asin terasa nikmat di mulutnya, apalagi angin yang berubah semilir begitu bersentuhan dengan pepohonan pisang.

Beberapa saat kemudian, Pandalu merasa lelah dan menyusul istrinya untuk istirahat. Ia beranjak ke tempat istrinya. Dibiarkan saja istrinya yang bersandar di batang pohon pisang. Ia pandangi wajah manis yang dipujanya sejak setahun lalu. Masa-masa bunga bersemi ketika jatuh cinta telah menjelma keberanian dan membuat mereka harus menjalani kenyataan. Kehidupan suami istri seperti penyerbukan putik dan kembangsari yang dihembus oleh angin. Terkadang hanya sejumput yang didapatkan dan berbuah bogang, namun tidak ada yang berharap seperti itu. Semua petani berharap bahwa tanamannya harus tumbuh dengan subur dan berisi.

Pandalu tidak mau membangunkan istrinya. Ia membuka sendiri kain penutup makanan dan mulai memasukkan nasi jagung itu ke mulutnya. Decak-decak pelan terdengar, mengiringi gerakan bibirnya yang terbuka saat melahap makanan.

Nasi jagung dalam bakul itu pun tinggal separuh. Ia mengakhiri makan dan matanya mencari-cari botol air minum kemasan yang telah diisi dengan air tanakan istrinya. Ia bersedah-sedah merasakan pedas sayur lodeh.

Ia bertanya pada istrinya, “Wan, di mana minumnya.”
Purwani tidak memberikan jawaban. Angin yang berhembus seperti membuatnya semakin menikmati keadaannya. Pandalu coba berdiri dan melengok ke sana kemari, mencari air. Tetapi, air yang dicarinya seakan sengaja sembunyi begitu tahu ia diperlukan.

“Wan, di mana air minumnya,” tanya Pandalu kembali.
Tetapi, tetap saja tidak ada jawaban. Pandalu coba menyentuh tangan istrinya. Lemas. Perempuan yang dicintainya tidak memberikan tanggapan apa pun. Dingin. Pandalu coba menggoyang bahu istrinya dengan tangan kiri, tapi perempuan itu tidak juga membuka matanya. Pandalu semakin gelisah. Ia letakkan piring ke tanah kemudian membersihkan tangannya yang kotor dengan mengusapkan ke batang pohon pisang.

Lelaki berkulit coklat itu menggoyang-goyang tubuh istrinya lebih kuat dengan kedua tangannya. Perempuan itu belum juga bergeming. Benak Pandalu penuh dengan bayangan-bayangan yang menakutkan. Perpisahan sepanajng kehidupan yang akan dijalaninya. Betapa menyakitkan. Putik akan terbang sesuka hati menuruti ke mana arah angin, tanpa keyakinan sebonggol jagung yang ranum setia menunggunya. Pandalu meraba hidung istrinya, mencari udara yang keluar masuk sebagai tanda kehidupan. Aliran udara itu begitu lemah, seperti angin yang terhadang rerimbun dedaunan.

“Wan, bangun!” jerit Pandalu.
Seperti isyarat yang diterimanya begitu saja, ia mendekap tubuh istrinya. Tetes air mata mulai membasahi kelopak matanya dan jatuh ke dada istrinya. Tetesan itu semakin lama kian deras dan tidak terbendung lagi. Tangis yang perlahan berubah menjadi sesenggukan.

“Wan, bangun!”
Entah kepada siapa kata itu ditujukan. Sebujur tubuh yang didekapnya benar-benar tidak menghirup udara. Perempuan yang bersedia setia menjadi istrinya hanya menjadi tubuh yang lemas dan perlahan mulai memucat. Burung kutilang yang berkicau seakan telah menyanyikan lagu duka.

“Wani, mengapa kamu tinggalkan aku sendirian.”
Gairah yang semula penuh gelisah dan cemas telah berubah menjadi ratapan. Ia hendak mengutuk waktu yang tidak mau bersekutu dengannya untuk menikmati kebahagiaan. Seperti masih tidak percaya, ia memandang wajah istrinya. Bibir coklat tua itu tersenyum dan mengenangkan kalimat yang pernah dikatakannya saat mereka berjanji untuk mengikat kasih cinta.

“Wani, kamu harus berjanji untuk tidak menangis. Walau seberat apa pun cobaan yang akan menghadang kita, kita harus tersenyum.”

Dan perempuan yang berada di dekapannya itu yang memberikan jawaban, “Ya, kamu juga tidak boleh meneteskan air mata atas apa pun yang menimpa kita.”

Saat kembang cinta bersemi tentu jauh dari musim gugur. Ia mencubit pipi istrinya dan berkata, “Tidak! Aku tidak akan menangis, karena yang kupuja telah kutanam dalam hatiku.”

Kemudian mereka tertawa bersama.
Pandalu tersenyum getir. Betapa pahit rasanya menahan air mata dari dada yang bergemuruh. “Aku tidak akan menangis, Wani.”

Ladang-ladang senyap tanpa manusia. Panas matahari telah menyuruh petani-petani tua yang mudah lelah agar segera pulang. Petani-petani muda hanyalah nama yang tidak dapat membuat seseorang bangga kepada temannya. Lagipula, tanah-tanah sudah tidak berharga dan mendapatkan air mesti bersusah payah dengan biaya yang tidak sedikit, sementara panen bukan harapan yang menyenangkan. Hanya keyakinan bahwa alam pun tidak sudi hanya sekedar sebagai tempat berpijak bagi cakar-cakar beton, yang membuat Pandalu dan Purwani mempertaruhkan hidupnya. Hanya kekuatan cinta yang mengajari mereka cara menanam dengan indah, seperti pula tanaman yang mengajari mereka cinta yang tulus.

Pandalu membujurkan tubuh istrinya. Disedekapkannya kedua belah tangan. Matanya terjenak pada butir-butir kecil warna merah di sela jari tangan kanan istrinya. Ia menatap tidak percaya dengan mendekatkan tangan itu lekat ke depan matanya. Nafasnya begitu berat ditarik dan dihembuskan. Setets air matanya jatuh dan selagi masih mengalir di pipinya segera diseka dengan bahunya yang hitam kekar.

“Mengapa kamu tidak mencuci tanganmu, Wan?” bisik lirih Pandalu. “Benarkah perutmu sudah sangat lapar, sehingga kamu lupa racun itu akan membunuhmu perlahan-lahan?”

Ia seperti berbicara pada angin dan tak pernah ada jawaban. Ia menyesal, mengapa tidak menyuruh istrinya untuk mencuci tangan, karena fungisida yang ditaburkan pada benih jagung bukan hanya untuk membunuh tikus, namun juga makhluk hidup. Perlahan-lahan sekali.

Sekali lagi tidak boleh ada air mata yang menetes, sepahit apa pun kenyataan yang harus dijalani.

Pandalu menyedekapkan tangan istrinya dan menutupinya dengan sarung. Tubuh itu telah bersentuhan erat dengan tanah dan ia di ambang bimbang antara menunggu hingga seseorang datang dan memberitahukan kematian istrinya ke rumah atau pulang dan membiarkan tubuh istrinya dirayapi oleh semut-semut.

“Aku akan setia di sini sampai senja sekalipun, sebab aku percaya petani pun setia mengunjungi ladangnya di waktu senja.”

Ia duduk di samping istrinya, tepat di sebelah kanan kepalanya. Doa-doa dilantunkan. Mohon ampun dipanjatkan. Segala khilaf kiranya lumrah. Manusia tidak lebih sehelai rambut yang kerap goyah dihembus angin.

Sekali lagi tidak boleh ada air mata yang menetes, sepahit apa pun kenyataan yang harus dijalani. Apalah doa bila hanya ratapan.

Pandalu bergegas meninggalkan istrinya kemudian mengambil wadah benih dan melanjutkan sampai di mana istrinya tadi menanam. Batinnya terbentang lapang seluas padang Kurusetra, medan pertempuran Pandawa dan Kurawa. Dia bukan Pandawa atau Kurawa. Dia adalah Kurusetra yang tidak hendak berpihak kepada yang kalah dan menang. Dia hanyalah saksi.

Sebelum genap ia menjatuhkan jagung di atas ceblokan yang dibuatnya, Pandalu menumpahkan bulir benih di wadah dan menimbunnya di dalam tanah. Kemudian ia pergi ke arah istrinya.

“Wani, aku sudah membuang benih beracun itu. Kalau nanti benih yang kamu tanam telah tumbuh, maafkan aku bila harus membabatnya. Bukan karena aku tidak ingin kenangan darimu, tetapi aku tidak mau kematianmu akan disusul oleh kematian-kematian yang lain.”

Pandalu mengangkat tubuh istrinya dan membawanya pulang.
Sekali lagi tidak boleh ada air mata yang menetes, sepahit apa pun kenyataan yang harus dijalani.

Kediri, 29 Agustus 2005
• Ceblok adalah batang kayu yang ujungnya dilancipi dan berfungsi untuk membuat lubang di dalam tanah sebagai tempat taburan benih. Sementara ceblokan adalah lubang yang dihasilkan oleh ceblok.
• Guludan merupakan gundukan tanah di tengah ladang sebagai tempat kowakan, cerungan di atas guludan yang biasanya sebesar cangkul.

Melankolia

Javed Paul Syatha

Adalah Wisata Bahari Lamongan; disana ada hotel yang cukup sederhana untuk para pengunjung yang berdatangan atau sekedar ingin melepas lelah di tepi pantai beberapa waktu, meski sederhana, banyak orang bersepakat bahwa hotel itu cukup nyaman untuk dihuni. Ia terletak pada suatu ketinggian antara laut dan pusat pariwisata kota Lamongan: bagian utama terdiri dari tiga lantai dan ada sayap tambahan yang hanya satu lantai. Sebagian dari kamar-kamar menghadap ke arah laut yang memberikan pandangan indah kepada kota yang terletak sebagai cawan di pantai utara itu.

Sauqi berdiri di jendela kamar hotelnya di lantai dua sembari memperhatikan lampu-lampu yang gemerlapan di beberapa wilayah laut. Sebentar lagi matahari akan tenggelam, sebagaimana selalu terjadi pada bagian perjalanan masa. Ada perubahan warna yang ditimbulkan matahari dan yang memantul ke langit, kemudian awan yang datang berarak memberikan lanskap yang menggetarkan.

Ia berdiri gamang, merenungkan apa yang akan dikerjakan sesudah itu. Ia datang dari Jogjakarta satu hari yang lalu dalam kedudukan sebagai seorang penulis. Ia datang ke Lamongan atas undangan Rodli, seorang novelis yang mempunyai kepentingan dalam bidang yang sama yang sedang dijalani Sauqi, Rodli sedang lounching novel perdananya berjudul Dazadlove yang akan diseminarkan beberapa hari lagi di Pondok Pesantren Karangasem Paciran Lamongan, dengan pembicara muda Imanuel ISA juga Sauqi tentunya.

Tempat itu hanya berjarak satu kilo saja dari posisi dimana Sauqi sekarang menginap. Sauqi memenuhi undangan Rodli karena ia memerlukan perubahan suasana. Ia menghadapi suatu keadaan yang tiba-tiba dan mencemaskan. Ia musti mengambil keputusan yang sulit mengenai orang terdekatnya. “Anarose”. Untuk itu ia perlu meninggalkan Jogjakarta, jedah sejenak di tanah kelahirannya yang sudah hampir tiga tahun ditinggalnya, hampir saja ia melupakan betapa lezatnya semangkok soto atau betapa sedap tahu campur yang hampir tiap sore dulu ia santap sebagai menu wajib hari-harinya.

Ia kembali merenungkan apa sesungguhnya yang telah terjadi, perasaan cinta yang sungguh-sungguh dijaga terhadap Anarose sekarang dirasakan begitu asing. Ah, perasaan inilah yang selalu memenuhi ruang batin dan angannya saat ini.

Ia beranjak dari jendela menuju meja kamar yang jaraknya hanya beberpa langkah saja, sambil menenangkan jiwa yang mulai letih, Sauqi meraih Nokia biru muda bertipe 2100 yang ada di samping kanan letak duduknya di antara tumpukan buku yang beberapa waktu lalu ia terbitkan, keempat-empatnya bersampul biru muda “warna favoritnya”, bertitel; Tanpa Syahwat, Interlude di Remang Malam, Dunia Kecil Panggung & Omong Kosong dan Waktu di Pesisir Utara. Tampak juga beberapa buku berserak disana tak terkecuali Dazedlove. Sauqi memutuskan untuk mengirim pesan singkat lewat SMS kepada sahabat kecilnya dahulu:

“haris, aku di pelataran hatimu
ada kangen menyusup raga”

“selamat datang di kota sua abadi duhai kerinduanku
tapi maaf aku sekarang di “walhi” surabaya bersama
kekasih-kekasihku. ha.. ha.. ha...”

Di bawah jendela kamar tidurnya tepat di lantai dua itu, Sauqi menemukan cerita yang begitu indah, seperti ia telah menemukan dirinya kembali; jendela yang langsung menghadap laut itu seperti bercerita tentang suatu perjalanan panjang. “miniatur itu seperti aku pernah melihatnya! Yap 12 tahun silam aku dan keluarga saat Ziarah Wali Songo. Tidak salah lagi” seperti sejenak Sauqi telah melupakan kisah cinta yang menindihnya. Ia merasa seolah-olah dimasa lampau anjungan itu pernah digenangi mutiara hikmah. Ya, bersama keluarganya sesaat di wisata budaya religius itu hampir disetiap waktu selalu dipenuhi para peziarah yang datang dari segala penjuru.

Tiba-tiba ia tersadar dari lamunan panjangnya, seseorang telah mengetuk pintu kamarnya dengan lembut. Sementara Sauqi melirik jam di dinding yang menunjukkan pukul 19.30. Wib. Belum begitu malam pikirnya untuk menerima tamu.

Ia bangkit perlahan beranjak menuju pintu. Walaupun ia menyukai Lamongan dan penduduknya, dari pembawaannya yang kalem bahkan melankolis Sauqi adalah tergolong orang yang hati-hati dan tak ingin membukakan pintu bagi orang yang sama sekali tak dikenalnya. Hal itu dilakukan hanya semata-mata untuk menjaga keselamatan dirinya dari hal-hal yang tidak diinginkan. Oleh karena itu setiap tamunya yang datang berkunjung pasti akan melalui petugas hotel dan petugas itu akan menelponnya dulu ke kamar hotel apa tamu itu diperbolehkan datang langsung ke kamarnya atau tidak.

Ketukan terdengar kembali, dengan perlahan ia membukakan pintu. Seorang pelayan hotel sudah berdiri di depannya dengan penuh hormat.

“Assalamu’alaikum” ia mengucap salam dengan sopan.
“Waalaikumsalam, ada apa Mas?”
“Maaf ada seorang wanita di lantai bawah, ingin bertemu dengan anda”
“Dia mengatakan namanya?” tanyanya penasaran.

“Tidak” pelayan hotel itu nampak agak bingung sambil matanya bermain sedikit banal “Ia datang kepada saya dan Dia akan membayar saya kalau datang ke atas dan meminta anda turun untuk menemuinya di mini resto. Mas datang ya!?”.

Sauqi memandangi pelayan itu dengan rasa ragu. Apakah bijaksana menemui seseorang yang telah membayar pelayan tanpa melalui petugas resepsionis juga tanpa menyebut namanya. Pasti ada sesuatu yang disembunyikan di balik itu semua?.

“Jika Mas tidak datang, orang itu akan marah sekali kepada saya, dan saya akan sangat malu. Mohon Mas!” pelayan itu menghibah.

Sauqi tahu bahwa pelayan itu menginginkan uang yang ditawarkan orang yang mengaku tamunya itu. Dan bagaimana ia bisa sampai hati menolak permintaan pelayan itu? Toh ia tidak akan kehilangan apa-apa. Tak ada seorangpun yang akan berani mengganggunya di tengah kerumunan orang yang begitu banyak di mini resto, dimana hampir setiap malam sebuah pertunjukan teater sederhana mengadakan pertunjukan disana. Apalagi hanya seorang wanita.

“Saya akan memenuhi panggilan itu” katanya sambil sedikit senyum yang dipaksakan. Wajah pelayan itu cerah seperti baru saja terlepas dari perangkap harimau.

Sauqi mengikuti pelayan kecil itu menuju tangga. Seperti biasa dibeberapa sudut hotel itu penerangannya tampak remang-remang, namun demikian wajah pengunjung yang menduduki kursi-kursi di sekeliling panggung dimana sekelompok anak teater tengah mementaskan cerita-cerita lucu dan nyanyian-nyanyian romantis yang sedikit dengan sentuhan erotik, wajah mereka dapat dikenali dengan mudah.

Seperti sudah terpetakan, dengan lincah pelayan kecil itu megantar Sauqi berjalan di tengah-tengah para pengunjung menuju suatu sudut paling jauh dari pintu. Ia berhenti pada suatu meja dan memastikan apakah tamu pesanan wanita itu masih mengikutinya di belakang. Seketika Sauqi terkejut sekali, ia seperti menahan nafas yang berat ketika melihat seorang wanita yang duduk di kursi itu. Ia hampir saja berbalik arah dan kembali ke kamarnya. Jantungnya berdegup kencang.

“Barangkali dia bukan Anarose, bisa saja orang lain yang mirip dengannya” Sauqi mencoba menenangkan diri. Pada saat itu pelayan yang membawanya sedang berbicara dengan nada yang sedikit dipelankan kepada wanita yang duduk sendirian di hadapannya sambil jarinya menunjuk ke arah Sauqi yang sedang galau berdiri di sampingnya dan hanya beberapa jarak saja. Pelayan hotel itu lantas pergi setelah mendapat upah dari wanita yang telah menyuruhnya dan mempersilahkan Sauqi untuk duduk di kursi yang terbungkus kain putih yang telah tersedia di hadapannya.

“Bagaimana kabarmu Mas?” sapa wanita itu sambil mengulurkan tangannya ke arah Sauqi.
“Alhamdulillah aku sehat”
“Aku mencarimu Mas”
“Aku hanya butuh waktu sejenak untuk menenangkan pikiran”
“Tapi kenapa Mas tidak memberiku kabar?”
“Aku hanya tidak ingin mengganggu ketenanganmu An”

Mereka terdiam sejenak menyelami pikiran masing-masing. Dalam pertemuan ini sebenarnya Sauqi-lah yang benar-benar merasa tersakiti.

Beberapa waktu lalu Anarose; wanita yang telah dinikahinya tiga minggu silam itu telah berterus terang bahwa dia tidak sanggup melupakan kekasih lamanya. Terlebih setelah pernikahan yang dijodohkan kedua orang tua mereka itu tidak didasari dengan rasa cinta yang kuat, hanya perasaan saling mengerti akan kehendak orang tua saja. Sejak saat itulah Sauqi benar-benar kecewa dan ingin meninggalkan Anarose.

“Aku minta maaf” Anarose mencoba meraih tangan kiri Sauqi dengan lembut namun dia menolaknya, dan Anarose sangat mengerti tentang sikap itu.

Keadaan semakin beku, Sauqi mengambil sebatang Country dari saku jaket kulitnya yang kumal kemudian menyulutnya berlahan, hal demikian memang sering dilakukan oleh Sauqi apabila mengalami kebuntuan atau suntuk dalam menghadapi suatu masalah.

Terlintas kemudian di benak Sauqi untuk memanggil seorang pelayan; sekedar memesan secangkir kopi pahit untuk menghangatkan tubuhnya yang mulai disergap dingin, juga teh hangat untuk Anarose. Atau hanya semacam ekspresi ganjil untuk menenangkan pikiran yang mulai kalut.
***

Di atas panggung sebuah lagu Ketika Semua Harus Berakhir terdengar lirih, lagu yang di populerkan kelompok Band Naff itu terasa menusuk dalam dada.

“Ok. Ini persembahan terakhir kami malam ini, sebuah pembacaan puisi oleh Sastrawan asli Lamongan; kita sambut Nurel Javissyarqi”. Penonton sangat antusias sekali menyambut pembacaan puisi itu. Lampu dimatikan sejenak, kemudian meremang dan tiba-tiba Sastrawan itu sudah berada di tengah-tengah pentas, suasana hening sejenak dan puisi pun dibacakan dengan suara dan ekspresi yang menyihir semuatamu yang hadir. Tak terkecuali Sauqi dan Anarose yang saat itu sedang dalam kecamuk batin.

jangan kaubilang
aku tak mencegatmu
di gerbang halaman
saat kau tanpa pamit
ingin berjalan-jalan, menengok
gebyar di luaran
tahulah,
tak ada ruang lagi di dada
bahkan bagi diriku sendiri

—tuk mengungkapkan hak—

lidah telah dipatahkan cinta
dan apalah tuah kata
jika hanya jadi pagar
yang kau ingin lompat
kau terjang
maka, bersukalah

—cukup bagiku, kau—

dengan sebuah rumah di dada
pelindung panashujan
gebyar di luaran.1

“Puisi yang kedua; ini puisi yang terakhir berjudul Lamongan” ujar Sastrawan itu kepada puluhan tamu yang ada di hadapannya.

lewat celah cakrawala
aku telah membuka
matahari
terlelap diantara rumahrumah sunyi
dengan burung gagak di atasnya.

ohoi,
namai kesaksian ini atas waktu
hampir mati
genggam menuju entah;

pada seluruh ruang sublim bagi jiwa
bagi kemungkinan terburuk sekalipun.
ada yang mengintai di halaman rencana
mengurai isyaratisyarat kelicikan
namun esok, kita musti merebut sekali lagi
kenyataan lamongan ini
yang lunglai menangisi tahuntahun
kecemasan.

“Maaf saya tidak membacakan puisi cinta malam ini, tapi yakinlah bahwa cinta akan selalu ada di hati kita karena cintalah yang memilih kita dan menjadikan kita ada. Terima kasih”.

Sebuah penutup yang indah dari Sastrawan tersebut dan pertunjukan pun diakhiri dengan tepuk tangan yang riuh dari semua penonton yang hadir. Mungkin akhir yang estetis untuk kemudian dibawah dalam ruang istirah yang panjang menjelang tidur. Tapi tidak bagi sepasang suami istri yang dihadapannya sedang membentang jurang yang curam. Digenap 40 hari usia pernikahannya nanti mereka telah bersepakan untuk mengakhiri ikatan pernikahannya di meja Pengadilan Negeri Lamonagn; sehari sebelum bedah buku Dazedlove digelar.
***

Malam beranjak kelam, angin laut seakan berdesir mendesak raga. Sauqi mencium kening Anarose dengan mata tertutup; ciuman yang sama seperti saat setelah akad nikah dikobulkan tapi kali ini ciuman itu untuk yang terakhirkalinya. Lantas mereka menangis dalam ketidakberdayaan dalam diam yang luka.**

Lamongan, 2008
1Sajak AS. Sumbawi berjudul “Jangan Kau Bilang” dalam Antologi Absurditas Rindu, SastraNesia 2006.

GERAKAN BARU SASTRA LAMONGAN:

Catatan Singkat atas Forum Sastra Lamongan (FSL)
Haris del Hakim

Tulisan ini tidak hendak merekonstruksi sebuah gerakan secara komprehensif, namun sekadar mengambil salah satu sebuah gerakan halus yang terjadi secara simultan dan dapat disebut sebagai fenomena yang luar biasa. Selain dari itu, tulisan ini tidak menjamah ranah analisa karya yang memerlukan waktu yang panjang dan kajian lebih intens, tapi sekadar ulasan beberapa hal yang dapat dianggap penting.

Keberadaan sastra Lamongan patut mendapatkan perhatian. Sastrawan yang lahir dari Lamongan ikut mewarnai peta sastra Indonesia, sebut saja nama Satyagraha Hoerip, Djamil Suherman, Abdul Wachid BS, Viddy, Aguk Irawan MN, Mashuri, dll. Di samping itu di Lamongan sendiri sebenarnya nafas sastra telah mengakar kuat, sebagaimana yang pernah disaksikan sendiri oleh Emha Ainun Nadjib pada tahun 80-an. Geliatnya semakin kentara dengan kehadiran Harry Lamongan yang sebenarnya lahir di Bondowoso namun berdomisili di Lamongan.

Selama bertahun-tahun Harry Lamongan seperti penjaga gawang sastra. Berbicara tentang sastra di Lamongan, maka referensi utamanya adalah Herry Lamongan. Tentu saja dia tidak sendirian. Dalam Komunitas Sastra dan Teater Lamongan (Kostela) banyak tergabung pegiat-pegiat sastra. Mereka melakukan pergulatan sastra yang diadakan melalui apresiasi bulanan dalam wahana Candrakirana. Sayangnya, hanya seorang Herry yang muncul dalam media massa meskipun dalam beberapa pertemuan dia selalu menegaskan bahwa eksistensi sebuah karya tidak cukup dalam medan apresiasi lokal yang dihadiri oleh orang-orang yang dikenal. Sebuah karya mesti dilepas keluar agar dia menghirup keluasan cakrawala dan bertahan hidup dalam deru badai dan hantaman persepsi banyak orang.

Sastra pada masa itu, sebagaimana kondisi sastra di tingkat nasional secara umum, bersifat eksklusif. Sastra hanya milik orang-orang yang dianggap dan menganggap dirinya "paham" sastra. Selain mereka hanya bicara tentang kulit. Hal ini tentu tidak mengherankan. Seorang dedengkot sastra pernah menyatakan, selain penyair dilarang bicara tentang puisi. Pernyataan tersebut seakan dogma yang menghegemoni pola pikir semua sastrawan.

Kondisi ini diperkuat dengan kondisi masa Orde Baru dan kuatnya ajaran-ajaran HB Yassin sebagai paus dan penahbis seseorang dapat disebut sastrawan atau tidak. Maka, kelahiran kritikus-kritikus baru di ujung usia Orde Baru seperti angin segar yang membawa rerintik air dan menumbuhkan benih-benih bakat yang tidak tersentuh oleh tangan dingin sang paus sastra tersebut.

Kemudian Orde Baru tumbang dengan lahirnya Reformasi yang membuka katup-katup ruang berekspresi. Media masa semakin banyak dan beragam dengan suara yang teduh hingga sumbang. Sarana-sarana publikasi menjadi terbuka lebar bagi siapa saja yang ingin memasukinya. Semua itu mendukung munculnya sastrawan-sastrawan muda.

Tidak terkecuali di Lamongan. Beberapa tahun terakhir geliat sastra Lamongan sangat terasa menonjol dibandingkan sebelumnya. Indikasi tersebut tampak pada beberapa fenomena berikut:

Pertama, publikasi karya-karya sastrawan mudanya. Di antara karya-karya tersebut dapat disebutkan; Absurditas Rindu yang diterbitkan secara Indie oleh Sastranesia. Di dalamnya memuat beberapa puisi sastrawan muda baik yang namanya telah terpublikasi di media masa atau tidak. Juga antologi puisi tunggal seperti, Interlude di Remang Malam (puisi AS. Sumbawi), Tamasya Langit (Javed Paul Syatha), Kitab Suci Para Malaikat (Nurel Javissyarqi), Sembah Rindu Sang Kekasih, (Imamudin SA). Ada juga novel Dazedlove karya Rodli TL. dll.

Kedua, berdirinya penerbitan buku-buku sastra. Lamongan memiliki tiga penerbit yang konsentrasi dalam menerbitkan karya sastra: Pustaka Pujangga, Sastranesia, dan Pustaka Ilalang.

Sebenarnya, fenomena tersebut tidak dapat lepas dari keberadaan beberapa orang yang memberikan andil besar dalam perubahan gerakan. Mereka mendirikan Forum Sastra Lamongan. Forum ini terbuka bagi siapa saja yang ingin terlibat, tanpa memandang apakah dia sastrawan atau bukan namun yang penting memiliki rasa simpati terhadap sastra.

Latar belakang kelahiran forum ini lebih bersifat global. Fenomena hegemoni di tingkat media sudah semakin berbahaya. Sebagai contoh, Bajaj Bajuri di Trans TV pada waktu itu dapat dikatakan sebagai sinetron komedi dengan rating pemirsa yang tinggi, terbukti masih terus diputar meskipun diulang-ulang. Begitu pula dengan OB (Office Boy) di RCTI. Kedua sitkom itu bersetting budaya Betawi. Karakter orang Betawi selalu menang sendiri dan tak terkalahkan, berseberangan dengan karakter orang Jawa yang selalu naif (istilah Jawa bagi orang Betawi adalah penduduk Jawa selain mereka). Dalam Bajaj Bajuri ada tokoh Emak Etti yang cerdik dan licik berseberangan dengan Mpok Hindun yang kenes dan endel atau Yusuf bin Sanusi sebagai orang Betawi yang paling naif berhadapan dengan Parti yang suka mengalah dan tak berdaya menghadapinya bahkan mau diperistri. Dalam OB tokoh Saodah yang gembrot dan Ismail yang kaku selalu menang berhadapan dengan Sayuti yang Jawa yang lamban dan tidak cerdas.

Dari latar belakang tersebut kemudian muncul inisiatif untuk melakukan gerilya budaya di tingkat local atau daerah. Budaya-budaya lokal yang selama ini tergerus oleh budaya pembangunanisme Orde Baru coba digali dan dikaji ulang. Meskipun budaya lokal, namun lebih mengedepankan pada keterbukaan, asimilasi, atau akulturasi dengan budaya lain.

Sebagai penjembatan harapan tersebut, Forum Sastra Lamongan (FSL) menerbitkan Jurnal Kebudayaan The Sandour yang mewakili ekspresi sastrawan mapan tingkat nasional. Jurnal ini terbit sekali dalam tiga bulan dengan memuat tulisan berbentuk puisi, esei, artikel, cerpen, atau monolog. Sedangkan bagi kalangan remaja yang berminat terhadap sastra diterbitkan Jurnal Sastra Timur Jauh. Sementara bagi kalangan masyarakat umum diterbitkan majalah Gerbang Massa yang berusia sekali terbit setelah itu tidak ada kabarnya lagi.

Lain dari itu, sebagai bukti penghargaan Forum terhadap generasi muda maka Forum menganugerahkan Van Der Wijk Award untuk remaja-remaja yang berkarya dan berkualitas. Sementara kegiatan instrumen berupa bedah buku atau launching yang diadakan di sekolah-sekolah: Madrasah Aliyah Negeri Lamongan, Madrasah Aliyah Simo Sungelebak, dan Pondok Pesantren Karangasem Paciran. Pada saat itu menghadirkan Raudal Tanjung Banua dan Ida Idris sebagai pembicara.

Selain Forum Sastra Lamongan muncul Sastranesia yang dibidani oleh AS. Sumbawi dkk. Akan tetapi, nama tersebut bermetamorfosa menjadi penerbit buku-buku sastra. Ruang lingkup Sastranesia sendiri hamper dapat dikatakan saling jalin dengan Forum Sastra Lamongan.

Gerakan-gerakan sastra tersebut tidak lepas dari peran para sastrawan mudanya. Beberapa nama yang dapat disebutkan adalah Nurel Javissyarqi, Rodli TL, AS. Sumbawi, Javed Paul Syatha, Imamudin SA, dll.

Nurel Javissyarqi. Sastrawan muda paling produktif ini—saat ini telah menulis 13 buku di samping menulis di berbagai media dan jurnal—lahir di Lamongan. Jiwa susastranya digembleng di Yogyakarta bersama dengan Y. Wibowo, Muhaimin Azzet, dll. dalam bendera KSTI (Komunitas Sastra Tugu Indonesia). Semangatnya yang besar menemukan muara di kampung kelahirannya dan mendirikan penerbit PUstaka puJAngga yang menerbitkan karya-karya sastra, baik sastrawan lokal maupun nasional. Karya terakhirnya adalah Kitab Para Malaikat (PUstaka puJAngga: 2007).

Rodli TL. Dia menemukan jiwa seninya di Jember dan bahkan pernah dipercaya sebagai Ketuanya. Beberapa kali dia menulis naskah sekaligus menyutradarai, di antaranya Adam Hawa. Kesibukannya sangat padat di bidang pendidikan dengan Sanggar Bahasa Kampung yang mendidik anak-anak kecil di desanya untuk memahami bahasa dan sastra. Di samping itu dia seorang dosen Universitas Darul Ulum Lamongan yang dipercaya menjadi pembimbing komunitas STNK (Studi Teater Nafas Kata), salah satu lembaga mahasiswa di bidang kesenian di samping Teater Roda. Pergulatannya dalam sastra dibuktikan dengan terbitnya novel Dazedlove.

AS. Sumbawi. Alumni IAIN Sunan Kalijaga Yogyakarta ini memulai pergulatannya di bidang sastra ketika bergabung dengan Sanggar Suto dan Sanggar Nuun. Saat ini dia menjadi pengajar sekaligus pemilik penerbitan Sastranesia. Tulisan-tulisannya banyak menghiasi media massa dan tergabung dalam antologi bersama, seperti: Dian Sastro for President: End of Trilogy (Insist: 2005), Malsasa 2005 (FSB: 2006), Sepasang Bekicot Muda (Buku Laela: 2006), dan Khianat Waktu (DKL: 2006).

Javed Paul Syatha. Dia menggeluti sastra dengan bergumul bersama sastrawan-sastrawan lokal Lamongan. Dia memiliki nama-nama lain, seperti Saiful Anam, Ifoel Moenzoek, dan terakhir Javed Paul Syatha. Sehari-hari sebagai pengajar dan membimbing komunitas AUM. Beberapa karyanya tercatat dalam Malsasa 2005 (FBS: 2005), Khianat Waktu (DKL: 2006), Pelayaran Bunga (DKJT: 2007), dll.

Imamudin SA. Sastrawan muda ini murni berjiwa Lamongan, tidak terbaur dengan dunia luar dan banyak berkarya melalui media lokal. Di antara karyanya termuat dalam Lanskap Telunjuk (DKL: 2004), Khianat Waktu (DKL: 2004), dan beberapa antologi tunggalnya. Saat ini dia menjadi koordinator kajian Candrakirana.

Selain nama-nama tersebut masih banyak lagi sastrawan muda yang memiliki gairah sastra luar biasa: Ariandalu, Heri Listianto, Anis CH, D. Zaini Ahmad, dan masih banyak yang lain dari kalangan generasi muda.

Dari penjelasan singkat di atas ada beberapa nama yang berproses kreatif dengan bersinggungan bersama dunia luar. Mereka menjalin pola relasi dengan sastrawan-sastrawan dari daerah lain atau sastrawan nasional sekalipun. Di antaranya adalah kehadiran beberapa tokoh sastrawan nasional ke daerah Lamongan, seperti Raudal Tanjung Banua, Abdul Aziz Soekarno, Joni Ariadinata, Mardiluhung, dll.

Gerakan baru ini dapat dikatakan masih seumur jagung. Di masa depan ada tantangan-tantangan berupa keberlanjutan eksistensial dan esensial. Secara eksistensial adalah konsistensi gerakan yang mengarah pada pengembangan sastra, sedangkan secara esensial adalah bentuk karya yang dihasilkan apakah berkualitas sastra atau sekadar euporia pada kesenangan baru. Persoalan ini sepenuhnya tergantung pada mereka.
---

Haris del Hakim, penulis cerpen kelahiran Lamongan. Sekarang tinggal di Surabaya. Beberapa tahun tinggal di Yogyakarta kemudian pulang dan bergumul dengan sastrawan-sastrawan Lamongan hampir selama dua tahun.

A Rodhi Murtadho A. Ginandjar Wiludjeng A. Junianto A. Kurnia A. Qorib Hidayatullah A. Yusrianto Elga A.S Laksana A’yat Khalili Aang Fatihul Islam Abdul Azis Sukarno Abdul Aziz Rasjid Abdul Hadi WM Abdul Kadir Ibrahim Abdul Malik Abdul Razak Abdul Rosyid Abdul Wahab Abdurrahman Wahid Abu Salman Acep Iwan Saidi Acep Zamzam Noor Adam Chiefni Ade P. Nasution Adhitia Armitriant Adi Prasetyo Adrizas AF. Tuasikal Afriza Hanifa Afrizal Malna Agama Para Bajingan Agnes Rita Sulistyawaty Aguk Irawan M.N. Agus B. Harianto Agus Buchori Agus R. Sarjono Agus R. Subagyo Agus Sulton Agus Sunyoto Ahda Imran Ahid Hidayat Ahmad Baso Ahmad Faishal Ahmad Fatoni Ahmad Hasan MS Ahmad Kekal Hamdani Ahmad Khotim Muzakka Ahmad Muchlish Amrin Ahmad Naufel Ahmad Rofiq Ahmad S. Zahari Ahmad Syauqi Sumbawi Ahmad Yulden Erwin Ahmad Zaini Ahmadun Yosi Herfanda Ahsanu Nadia Aini Aviena Violeta Ainul Fiah Ajip Rosidi Akhiriyati Sundari Akhmad Muhaimin Azzet Akhmad Sekhu Akhmad Sofyan Hadi Akhmad Taufiq Akhudiat Akmal Nasery Basral Alam Terkembang Alang Khoiruddin Alex R. Nainggolan Alfian Dippahatang Ali Audah Ali Mahmudi CH Ali Rif’an Almania Rohmah Ami Herman Amien Wangsitalaja Aminah Aminullah HA.Noor Amir Sutaarga Anam Rahus Anata Siregar Andari Karina Anom Andina Dwifatma Andong Buku #3 Andre Mediansyah Andri Awan Anett Tapai Anggie Melianna Anindita S Thayf Anis Ceha Anjrah Lelono Broto Anton Bae Anton Kurnia Anton Wahyudi Anwar Nuris Ardi Bramantyo Ardus M Sawega Arie MP Tamba Arie Yani Arief Joko Wicaksono Arief Junianto Ariera Arif Bagus Prasetyo Aris Kurniawan Arman A.Z. Arswendo Atmowiloto Arti Bumi Intaran AS Sumbawi Asarpin Asep Sambodja Asmaul Fauziyah Asti Musman Atafras Awalludin GD Mualif Ayu Wulan Sari Aziz Abdul Gofar Azizah Hefni Bagus Takwin Bahrul Ulum A. Malik Balada Bale Aksara Balok Sf Bambang Kempling Bamby Cahyadi Bandung Mawardi Beni Setia Benny Arnas Benny Benke Beno Siang Pamungkas Bentara Budaya Yogyakarta Berita Berita Duka Berita Koran Bernando J Sujibto Berthold Damshauser BI Purwantari Binhad Nurrohmat Bobby Gunawan Bonari Nabonenar Brunel University London Budaya Budi Darma Budi P. Hatees Budiman S. Hartoyo Burhanuddin Bella Camelia Mafaza Catatan Cerbung Cerpen Chairul Akhmad Chamim Kohari Chavchay Syaifullah Cover Buku Cucuk Espe D. Zaini Ahmad D. Zawawi Imron Dadang Ari Murtono Dahta Gautama Daisuke Miyoshi Damhuri Muhammad Dami N. Toda Damiri Mahmud Danarto Daniel Paranamesa Danusantoso Dareen Tatour Darju Prasetya David Kuncara Denny Mizhar Denza Perdana Desi Sommalia Gustina Desiana Medya A.L Dewan Kesenian Lamongan (DKL) Dewi Indah Sari Dewi Susme Dian Sukarno Didik Harianto Didik Kusbiantoro Dina Jerphanion Dina Oktaviani Dinas Kebudayaan dan Pariwisata (Disbudpar) Jawa Timur Dipo Handoko Diyah Errita Damayanti Djoko Pitono Djoko Saryono Doddy Wisnu Pribadi Dody Kristianto Dody Yan Masfa Donny Anggoro Donny Syofyan Dorothea Rosa Herliany Dr Junaidi SS MHum Dwi Cipta Dwi Fitria Dwi Pranoto Dwi Wiyana Dyah Ratna Meta Novia Dyah Sulistyorini Ecep Heryadi Eddy Pranata PNP Edeng Syamsul Ma’arif Eep Saefulloh Fatah EH Kartanegara Eka Budianta Eka Kurniawan Eko Hendrawan Sofyan Eko Hendri Saiful Eko Windarto Elnisya Mahendra Elva Lestary Emha Ainun Nadjib Emil WE Endah Sulwesi Endo Suanda Eppril Wulaningtyas R Esai Evan Ys F. Moses F. Rahardi Fadlillah Malin Sutan Fahmi Faqih Fahrudin Nasrulloh Faisal Kamandobat Fajar Kurnianto Fanani Rahman Fanny Chotimah Fatah Anshori Fatah Yasin Noor Febby Fortinella Rusmoyo Felix K. Nesi Festival Sastra Gresik Gabriel Garcia Marquez Galang Ari P. Galuh Tulus Utama Gampang Prawoto Gandra Gupta Ganug Nugroho Adi Gerson Poyk Ghassan Kanafani Gita Nuari Gita Pratama Goenawan Mohamad Grathia Pitaloka Gunoto Saparie H.B. Jassin Habibullah Hadi Napster Hadriani Pudjiarti Halim HD Halimi Zuhdy Hamberan Syahbana Han Gagas Hanibal W. Y. Wijayanta Hardi Haris del Hakim Haris Saputra Harri Ash Shiddiqie Hartono Harimurti Hary B Kori’un Hasan Aspahani Hasan Junus Hasif Amini Hasnan Bachtiar Hasta Indriyana HE. Benyamine Hendra Junaedi Hendra Makmur Heri CS Heri Latief Heri Listianto Herman RN Herry Lamongan Heru CN Heru Nugroho Hikmat Gumelar HL Renjis Magalah Hudan Nur Hujuala Rika Ayu Huminca Sinaga IBM. Dharma Palguna Ibnu Wahyudi Ida Farida Idris Pasaribu Ignas Kleden Ignatius Haryanto Iksan Basoeky Ilham Khoiri Imam Cahyono Imam Muhtarom Imam Nawawi Imamuddin SA Iman Budhi Santosa Imron Rosyid Imron Tohari Indiar Manggara Indra Intisa Indra Tjahyadi Indra Tranggono Indrian Koto Ira Puspitaningsih Irfan Budiman Isbedy Stiawan Z.S. Iskandar Noe Iskandar Zulkarnain Ismail Marzuki Iva Titin Shovia Iwan Kurniawan Jabbar Abdullah Jafar Fakhrurozi Jalan Raya Simo Sungelebak Jamal D. Rahman Jamal T. Suryanata Javed Paul Syatha Jayaning S.A JILFest 2008 Jody Setiawan Johan Edy Raharjo Johannes Sugianto Joko Pinurbo Joko Sandur Joni Ariadinata Jual Buku Jual Buku Paket Hemat Juan Kromen Julika Hasanah Jurnalisme Sastrawi Jusuf AN Juwairiyah Mawardy Ka’bati Karanggeneng Karya Lukisan: Andry Deblenk Kasnadi Keith Foulcher Kemah Budaya Panturan (KBP) Khansa Arifah Adila Khoirul Inayah Khoirul Rosyadi Khudori Husnan Ki Ompong Sudarsono Kirana Kejora Komplek Gor Kamantren Paciran Lamongan Komunitas Deo Gratias Komunitas Sastra Ilalang Indonesia Korrie Layun Rampan Kostela Kritik Sastra Kukuh S Wibowo Kurnia Effendi Kurniawan Kuswaidi Syafi'ie L.N. Idayanie Laili Rahmawati Lamongan Lan Fang Langgeng Widodo Lathifa Akmaliyah Leila S. Chudori Lely Yuana Lembaga Pengembangan Pembelajaran dan Penjaminan Mutu (LP3M) Universitas Jember Liestyo Ambarwati Khohar Lina Kelana Linda Sarmili Liza Wahyuninto Lucia Idayanie Lukman A Sya Lutfiah Lynglieastrid Isabellita M Arman AZ M Ismail M Thobroni M. Afifuddin M. Arwan Hamidi M. Lukluk Atsmara Anjaina M. Lutfi M. Luthfi Aziz M. Nurdin M. Yoesoef M.D. Atmaja M.S. Nugroho Mahendra Cipta Mahmud Jauhari Ali Mahmud Syaltut Usfa Mahmudi Arif Dahlan Malam Apresiasi Seni Tanahmerah Ponorogo Malkan Junaidi Maman S. Mahayana Mardi Luhung Marhalim Zaini Martin Aleida Maruli Tobing Mas Ruscita Mashuri Masuki M. Astro Matroni Matroni Muserang Media: Crayon on Paper Membongkar Mitos Kesusastraan Indonesia MG. Sungatno Mh Zaelani Tammaka Mia Arista Mia El Zahra Mikael Johani Misbahus Surur Misran Mohamad Ali Hisyam Mohammad Eri Irawan Much. Khoiri Muh. Muhlisin Muhammad Al-Fayyadl Muhammad Amin Muhammad Aris Muhammad Muhibbuddin Muhammad Rain Muhammad Taufiqurrohman Muhammad Yasir Muhammad Zuriat Fadil Muhammadun Muhammadun AS Muhidin M Dahlan Mujtahid Mujtahidin Billah Mukti Sutarman Espe Mulyadi SA Mulyosari Banyuurip Ujungpangkah Gresik Munawir Aziz Musfarayani Musfi Efrizal Nafisatul Husniah Nandang Darana Naskah Teater Nelson Alwi Ni Made Purnamasari Nikmatus Sholikhah Nina Herlina Lubis Nina Susilo Ning Elia Noor H. Dee Noval Jubbek Novel-novel berbahasa Jawa Novelet Nunuy Nurhayati Nur Azizah Nur Hamzah Nur Kholiq Nurdin Kalim Nurel Javissyarqi Nurul Aini Nurul Anam Nurul Komariyah Nuryana Asmaudi SA Nyoman Tusthi Eddy Obrolan Okty Budiati Orasi Budaya Akhir Tahun 2018 Otto Sukatno CR Oyos Saroso H.N. Pagan Press Pagelaran Musim Tandur Palupi Panca Astuti Parimono V / 40 Plandi Jombang Pawang Surya Kencana PDS H.B. Jassin Petrus Nandi Politik Politik Sastra Pradana Boy ZTF Pramoedya Ananta Toer Pramono Pringadi AS Prof Dr Fabiola D. Kurnia Prosa Puisi Puji Santosa Puji Tyasari Puput Amiranti N Purnawan Andra Purnawan Kristanto Pusat Dokumentasi Sastra H.B. Jassin Pustaka Ilalang Group PUstaka puJAngga Putu Wijaya Qaris Tajudin R. Ng. Ronggowarsito Rachmad Djoko Pradopo Radhar Panca Dahana Rahmat Kemat Hidayatullah Rahmat Sularso Nh Rakai Lukman Rakhmat Giryadi Rasanrasan Boengaketji Raudal Tanjung Banua Redland Movie Reiny Dwinanda Resensi Rialita Fithra Asmara Ribut Wijoto Riki Dhamparan Putra Riki Utomi Ririe Rengganis Risang Anom Pujayanto Riyon Fidwar Robin Al Kautsar Robin Dos Santos Soares Rodli TL Rofiqi Hasan Roso Titi Sarkoro Rozi Kembara Rukardi Rumah Budaya Pantura (RBP) Rusmanadi S Yoga S. Jai S.W. Teofani Sabrank Suparno Sahaya Santayana Saiful Amin Ghofur Saiful Anam Sainul Hermawan Sajak Salamet Wahedi Salman S. Yoga Samsudin Adlawi Samsul Anam Sanggar Lukis Alam Sanggar Pasir Sanggar Rumah Ilalang KSII Santi Puji Rahayu Sapardi Djoko Damono Saroni Asikin Sartika Dian Nuraini Sastra dan Kuasa Simbolik Sastra Jawa Timur Satmoko Budi Santoso Saut Situmorang Sayyid Fahmi Alathas SelaSastra #24 di Boenga Ketjil Jombang SelaSastra Boenga Ketjil SelaSastra Boenga Ketjil #33 Seno Gumira Ajidarma Seno Joko Suyono Sergi Sutanto Setia Naka Andrian Shiny.ane el’poesya Sholihul Huda Sigit Susanto Sihar Ramses Simatupang Sinopsis Siti Khoeriyah Siti Muyassarotul Hafidzoh Siti Sa’adah Siwi Dwi Saputra Siwi Dwi Saputro Sjifa Amori Slamet Rahardjo Rais Soegiharto Sofyan RH. Zaid Soni Farid Maulana Sony Prasetyotomo Sosiawan Leak Spectrum Center Press Sri Weni Sri Wintala Achmad Suci Ayu Latifah Sucipto Hadi Purnomo Sudirman Sugi Lanus Sukron Ma’mun Sulaiman Djaya Sunaryono Basuki Ks Sungatno Sungging Raga Sunlie Thomas Alexander Sunu Wasono Supriyadi Surya Lesmana Suryanto Sastroatmodjo Susianna Sutardji Calzoum Bachri Sutejo Suyanto Syaf Anton Wr Syaifuddin Gani Syaiful Amin Syarif Wadja Bae Sylvianita Widyawati TanahmeraH ArtSpace Tarmuzie (1961-2019) Taufiq Ismail Taufiq Wr. Hidayat Teguh Presetyo Teguh Setiawan Teguh Winarsho AS Temu Penyair Timur Jawa Tengsoe Tjahjono Tia Setiadi Tirto Suwondo Tita Tjindarbumi Tjahjono Widarmanto Tjahjono Widijanto Toko Buku Murah PUstaka puJAngga Lamongan Tosa Poetra Tri Nurdianingsih Triyanto Triwikromo TS Pinang Tu-ngang Iskandar Tulus S Ulul Azmiyati Umar Fauzi Umar Fauzi Ballah Umar Kayam Umbu Landu Paranggi Universitas Indonesia Universitas Jember Usman Arrumy Utari Tri Prestianti Viddy AD Daery Virdika Rizky Utama W Haryanto W.S. Rendra Wahyu Prasetya Wan Anwar Wawan Eko Yulianto Wawancara Wina Bojonegoro Wita Lestari Wong Wing King Wowok Hesti Prabowo Xu Xi (Sussy Komala) Y. Thendra BP Y. Wibowo Yanusa Nugroho Yasraf Amir Piliang Yayat R. Cipasang Yohanes Sehandi Yona Primadesi Yopi Setia Umbara Yudhi Herwibowo Yudi Latif Yusri Fajar Yusuf Ariel Hakim Yuval Noah Harari Zacky Khairul Uman Zainuddin Sugendal Zamakhsyari Abrar Zawawi Se Zed Abidien Zehan Zareez Zhaenal Fanani Zubaidi Khan Zuniest